Sebagai seorang Fransiskan sekular, saya menghayati apa yang dinamakan “4-C Fransiskan”, empat hal yang menunjukkan perendahan diri Allah, yaitu Crib (kelahiran Yesus di palungan / di kandang hina), Cross (kematian Yesus di kayu salib), Chalice (= piala = kehadiran Yesus Kristus dalam Ekaristi) dan Creation (kehadiran Yesus dalam alam ciptaan).[1] Dalam kesempatan ini kita akan mencoba untuk merenungkan Yesus sebagai Allah yang merendahkan diri itu dengan menggunakan bacaan Flp 2:1-11. Dari bacaan yang sama itu kita diharapkan akan menyadari bahwa kita pun harus mengikuti contoh yang diberikan Kristus.
ALLAH YANG MERENDAHKAN DIRI *)
Ketika berjalan bersama para murid-Nya menuju ke kampung-kampung di sekitar Kaisarea Filipi, Yesus bertanya kepada mereka : “….., siapakah Aku ini?” (Mrk 8:29). Pertanyaan ini juga masih berlaku bagi kita masing-masing dewasa ini: “Siapakah Yesus yang kuimani ini?” Pada kesempatan ini baiklah saya sedikit syering dengan Saudara-saudari. Yesus Kristus yang saya imani adalah Allah yang merendahkan diri-Nya, semua itu karena cinta kasih-Nya yang sehabis-habisnya bagi dunia dan segenap isinya. Dengan demikian posisi saya vis a vis Yesus adalah seperti seorang debitur (semoga belum macet) menghadapi kreditur: “Saya berhutang kepada-Nya.” Oleh karena itu dengan segala upaya yang “halal”, saya akan terus berusaha untuk melayani dan mengikuti jejak-Nya.
Sebagai seorang Fransiskan sekular, saya menghayati apa yang dinamakan “4-C Fransiskan”, empat hal yang menunjukkan perendahan diri Allah, yaitu Crib (kelahiran Yesus di palungan / di kandang hina), Cross (kematian Yesus di kayu salib), Chalice (= piala = kehadiran Yesus Kristus dalam Ekaristi) dan Creation (kehadiran Yesus dalam alam ciptaan).[1] Dalam kesempatan ini kita akan mencoba untuk merenungkan Yesus sebagai Allah yang merendahkan diri itu dengan menggunakan bacaan Flp 2:1-11. Dari bacaan yang sama itu kita diharapkan akan menyadari bahwa kita pun harus mengikuti contoh yang diberikan Kristus.
Dalam Flp 2:1-5 Santo Paulus mengingatkan jemaat di Filipi bahwa mereka adalah milik Kristus. Oleh karena itu mereka diminta untuk memperkenankan sikap Kristus yang mengosongkan diri itu agar ‘merasuki’ kehidupan mereka. Dengan demikian mereka akan menerima satu sama lain dalam komunitas mereka dan kasih-lah yang akan mendominir -malah mengatur- relasi-relasi mereka. Pengosongan diri Yesus akan membawa kepada peninggian-Nya di atas segala ciptaan, bagi kemuliaan Allah Bapa. Implikasinya adalah bahwa mereka yang masuk ke dalam misteri ketaatan yang merendah dari Yesus, juga akan ikut ambil bagian dalam kemuliaan-Nya.
PERENDAHAN DIRI ALLAH (Flp 2:6-8)
Ayat-ayat 6-11 dari bab 2 Surat Santo Paulus kepada jemaat di Filipi memuat sebuah madah agung untuk memuji-muji Kristus. Madah ini memproklamasikan bahwa Kristus mengosongkan dan merendahkan diri-Nya, dan karenanya Dia ditinggikan oleh Allah sebagai Tuhan atas segala sesuatu. Para pakar Kitab Suci mengira bahwa Paulus di sini mengutip sebuah madah Kristiani awal. Teks ini merupakan teks yang luar biasa, dengan demikian pantas menjadi bahan meditasi kita secara serius.
Pentinglah bagi kita untuk mencatat mengapa Paulus memasukkan kata-kata tentang Kristus ini ke dalam suratnya kepada jemaat di Filipi. Paulus hendak memproklamasikan Kristus sebagai Dia yang mengosongkan diri-Nya dan ditinggikan, akan tetapi Paulus juga mau menunjukkan Kristus sebagai contoh untuk kita tiru: “Hendaklah kamu ….. menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat dalam Kristus Yesus” (ay. 5). Dapat juga kita terjemahkan sebagai berikut: “Sikapmu seharusnya seperti sikap Kristus”, atau “Hendaklah niatmu sama dengan niat Kristus.” Kristus yang mengosongkan dan merendahkan diri-Nya membentuk sebuah pola yang harus ditiru oleh setiap insan Kristiani.
Allah Bapa tidak mengutus Anak-Nya ke dunia dalam kekuasaan dan kemuliaan, malah sebaliknya à lahir di kandang hewan (bukan di dalam istana raja), dari seorang perempuan kelas rendahan dalam masyarakat dan anak seorang tukang kayu saja. Kenyataan ini bertentangan sekali dengan pemahaman tentang Mesias yang ada di kalangan orang-orang Yahudi. Ini adalah ‘perendahan diri Allah yang pertama’ (karena cinta kasih Allah Bapa, lih. Yoh 3:16; Firman menjadi manusia {Sabda menjadi daging} Yoh 1 = inkarnasi —> perbedaan sangat hakiki dengan agama-agama monotheis yang lain).
Madah kepada Kristus ini secara implisit memperlawankan Kristus dengan Adam. Adam tidak puas dengan status yang diberikan kepadanya oleh Allah à dia kemudian makan buah dari pohon terlarang agar dapat menjadi seperti Allah (Kej 3:5). Adam mau mendapatkan lebih dari ‘jatah’ yang diberikan kepadanya, tetapi akhirnya malah memperoleh kurang, jauh kurang dari ‘jatah’ semula. Sebaliknya Kristus, sang ‘Adam baru’ (lih. Rm 5:12-21; 1Kor 15:45-49), tidak bersikeras berpegang teguh pada hak-hak istimewa-Nya (yang memang sungguh adalah hak-hak-Nya). Dia mengosongkan diri-Nya dan menjadi seorang hamba, bahkan Dia menerima kematian seorang hamba di kayu salib.[2] Oleh karena itu Allah membangkitkan-Nya dan meninggikan-Nya.
Kita adalah anak-anak Adam, dan tentunya bagi kita lebih mudah untuk meniru contoh Adam daripada contoh Kristus. Naluri alamiah kita adalah menginginkan ‘lebih’ bagi diri kita sendiri dan bukan kurang, ingin dilayani dan bukan melayani, memiliki hidup yang penuh kenikmatan dan bukan memeluk atau merangkul salib. Kita lebih-lebih seperti Adam, bukan seperti Kristus: kita sibuk berusaha untuk memuaskan diri kita sendiri, bukan sebaliknya.
Itulah mengapa Paulus harus mendesak agar kita berniat untuk mengosongkan dan merendahkan diri kita karena dia tahu bahwa hal ini bukanlah kecenderungan alamiah kita. Paulus tidak dapat memberikan contoh yang lebih meyakinkan tentang ‘pengosongan diri’ (Yunani: kenosis) ini daripada contoh Kristus sendiri. Siapa yang dapat menyerahkan lebih daripada ‘mengambil rupa seorang hamba’ daripada Anak Allah sendiri? Bagi siapa penyaliban merupakan sebuah kematian yang lebih hina daripada Dia yang setara dengan Allah? Dengan demikian apabila pengosongan diri kita terasa terlalu sulit, terlalu menyakitkan, terlalu banyak yang diharapkan dari diri kita, maka kita dapat berpaling kepada Yesus yang tersalib. Baiklah kita meditasikan, Siapa sebenarnya Dia yang menerima kematian sedemikian itu?
PENINGGIAN SETELAH PERENDAHAN (Flp 2:9-11)
Kalau pengosongan dan perendahan diri Kristus yang radikal ini membentuk pola yang harus kita teladani, maka peninggian diri-Nya oleh Allah membentuk harapan dengan mana kita harus bertahan. Kita mengambil bagian dalam kematian Kristus melalui baptis dan meneladani-Nya setiap hari, sehingga dengan demikian kita juga dapat berpartisipasi dalam kebangkitan-Nya (Rm 6:5). Harapan kita bahwa kita kelak akan bergabung dengan Kristus dalam kebangkitan harus memberikan kepada kita kekuatan selagi kita tak henti-hentinya bertempur melawan dosa dan keserakahan (mau menang sendiri dll.). Kalau kita merasa sulit untuk mengosongkan diri kita, hari lepas hari, sedikit demi sedikit, maka kita dapat memandang Dia yang kita mau tiru ….. dan kita pun dapat memperoleh daya tahan dari kemuliaan yang kita harap dapat kita syering dengan Dia apabila “kita akan menjadi sama seperti Dia” (1Yoh 3:2).
‘Nama di atas segala nama’ adalah nama atau gelar ‘Tuhan’ yang diberikan kepada Yesus oleh Allah Bapa. Dalam bahasa Yunani surat Paulus ini, kata ‘Tuhan’ adalah kyrios à ingat kyrie eleison atau ‘Tuhan kasihanilah’? ‘Yesus Kristus adalah Tuhan (kyrios)’ merupakan salah satu pengakuan iman yang paling mendalam.
Akan tetapi kata kyrios dapat juga digunakan sekedar sebagai suatu bentuk sapaan yang sedikit sopan. Misalnya ketika beberapa orang minta bantuan Filipus untuk bertemu dengan Yesus, mereka berkata kepada Filipus: “Tuan (kyrie), kami ingin bertemu dengan Yesus” (Yoh 12:21). Jelas di sini mereka tidak menyapa Filipus dalam arti yang sama kalau kita menyapa Yesus sebagai Tuhan, meskipun kata yang dipakai adalah sama à kyrios.
Arti yang berbeda-beda dari gelar kyrios ini sepantasnya menjadi undangan bagi kita semua untuk ‘menguji’ apa yang sesungguhnya kita maksudkan pada waktu kita menyatakan ‘Yesus adalah Tuhan’ atau pada waktu kita berseru ‘Tuhan, kasihanilah kami’.
Arti asli dari kata kyrios adalah seseorang yang mempunyai kewenangan atas daerah tertentu, atau seseorang yang menjalankan fungsi pengendalian atas orang-orang tertentu. Dalam ‘Perumpamaan Yesus tentang Pengampunan’ kita temukan juga kata kyrios (lih. Mat 18:31.34). Ada perbedaan dalam tingkat dalam hal penggunaan kata kyrios ini. Seorang pemilik kebun anggur adalah kyrios dari kebun anggurnya, sedangkan seorang raja adalah kyrios dari kerajaannya. Meskipun kata ini dapat digunakan sebagai suatu cara sopan dalam menyapa seseorang lain, meskipun orang lain itu tidak mempunyai wewenang apa-apa, arti dasar dari kata kyrios ini berkaitan dengan kontrol/pengendalian dan wewenang.
Kyrios yang paling akhir/tinggi adalah Tuhan Allah, yang memerintah alam semesta serta segala isinya yang diciptakan oleh-Nya. Ketika Allah meninggikan Yesus dan memberikan gelar kyrios sebagai ‘nama di atas segala nama’, maka nama kyrios itu dimaksudkan seperti berlaku untuk Allah sendiri. Segenap ciptaan adalah subyek terhadap Yesus, seperti juga terhadap Allah; supaya bertekuk lututlah segala yang ada di alam semesta serta isinya, guna menyembah Yesus sebagai kyrios.
Sekarang bagaimana dengan kita masing-masing? Apa yang kita maksudkan pada waktu kita menyapa Yesus sebagai Tuhan (kyrios)? Apakah penyebutan itu sekedar ‘lip service’ saja tanpa banyak arti? Apakah kita menyapa Yesus sebagai Tuhan (kyrios) hanya sekedar sebagai sebuah cara yang sopan dalam mengajukan permohonan-permohonan kepada-Nya, seperti orang-orang pada waktu berbicara dengan Filipus?
Barangkali kita memaksudkan sesuatu yang lebih ketika kita menyapa Yesus sebagai Tuhan (kyrios); tampaknya paling sedikit kita mengakui bahwa Dia adalah Tuhan (kyrios) dari Gereja-Nya. Akan tetapi apakah kita mengerti sedikit misteri bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan (kyrios) dari segala ciptaan? Sebagai konsekuensinya, apakah kita meng-approach Dia sebagai yang mempunyai kuasa dan wewenang atas segala alam ciptaan? Apakah kita ‘bertekuk lutut’ (paling sedikit secara mental) ketika kita menyebut ‘nama yang di atas segala nama’ ini dan mengakui bahwa bahwa Yesus sungguh adalah “Raja segala raja dan Tuan di atas segala tuan” (Why 19:16)? Apakah kita –seperti Rasul Tomas- mengakui keilahian Yesus dan mengatakan: “Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yoh 20:28)?
Memang menyapa Yesus sebagai Tuhan (kyrios) dapat bervariasi dalam arti yang dimaksudkan. Menyapa Yesus sebagai Tuhan (kyrios) segenap alam ciptaan serta isinya adalah satu hal. Akan tetapi halnya akan sedikit berbeda kalau kita mengakui-Nya sebagai Tuhan-ku (kyrios-ku). Kita dapat menerima bahwa secara obyektif semua kuasa dan wewenang berada pada Yesus, namun kita tetap saja mencoba untuk menjalani hidup kita seakan-akan kitalah yang secara lengkap berkuasa atas hidup kita itu. Seakan-akan kita berkata: “Yesus boleh saja menjadi Tuhan (kyrios) dari/atas siapa dan apa saja, tetapi bukan atas saya.”
Menerima Yesus sebagai Tuhan-ku (kyrios-ku) berarti mengakui tidak saja kewenangan-Nya dalam arti abstrak, tetapi kewenangan-Nya atas diriku. ‘Nama yang di atas segala nama’ pada akhirnya harus menjadi nama yang kugunakan untuk mengakui kesetiaanku yang lengkap kepada Yesus sebagai Tuhan (kyrios).
Catatan penutup:
Beberapa ide dari bacaan di atas yang sangat mengesankan adalah, bahwa:
1. Yesus adalah sungguh Allah, sungguh manusia.
Lihat juga Kol 2:9 — dalam Yesus Kristus berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan keAllahan. Dia mengambil rupa manusia (sungguhan) secara sukarela. Dia berhasrat untuk hidup seperti manusia. Dia mau mengunjungi ciptaan-Nya. Dia menjadi manusia agar manusia dapat mengenal Allah pada tingkat pemahaman manusia. Dengan demikian manusia dapat berelasi dengan Dia ….. karena Dia adalah manusia (sungguhan).
2. Yesus mengesampingkan posisi-Nya sebagai Allah.
Meskipun Yesus Kristus adalah sepenuhnya Allah, Dia tidak mengambil manfaat untuk diri-Nya sendiri segala kesetaraan dengan Allah itu (2:6). Dia tidak menggunakan kuasa-Nya untuk membalas dendam dll., tetapi untuk menolong orang yang telah menyakiti-Nya. Dia berkorban. Dia membatasi diri-Nya untuk hidup sebagai seorang manusia, dicobai ….. hanya tidak berbuat dosa (lih. Ibr 4:15).
3. Yesus memiliki kerelaan untuk menerima kematian.
Lihat 2:8. Dia adalah Sang Pencipta yang bertindak sebagai hamba bagi para pendosa. Luarbiasa memang. Tetapi siapa lagi -kecuali Allah sendiri- yang sungguh dapat menjadi hamba bagi kebutuhan manusia yang paling besar, yaitu Keselamatan? Memang tidak dapat digantikan.
4. Yesus dibangkitkan setelah kematian-Nya dan Allah Bapa sangat meninggikan Yesus karena kerelaan-Nya untuk mati bagi kita.
Lihat 2:9-10.
5. Yesus Kristus adalah Tuhan (kyrios).
Lihat 2:11.
POKOK-POKOK UNTUK REFLEKSI PRIBADI DAN SYERING DALAM KELOMPOK
1. Flp 2:6-11 sebenarnya adalah sebuah madah atau kidung Gereja Perdana yang dipetik oleh Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi. Madah ini menunjukkan Yesus yang mengosongkan diri-Nya dari segala hal yang ilahi, sehingga Dia dapat menjadi seorang manusia, bahkan sebagai seorang budak/hamba yang kemudian dihukum mati di kayu salib. Selagi kita masing-masing memeditasikan madah ini, baiklah kita juga mengosongkan diri. Cobalah untuk mengingat-ingat, barangkali selama dua minggu terakhir ini, kapan Saudara-saudari dipanggil untuk ‘mengosongkan diri’? Apakah Saudara-saudari mampu untuk melakukannya, atau tetap ‘nyantol’ pada posisimu, keangkuhanmu atau pada apa saja yang menurut Saudara-saudari memang adalah hakmu. Bagaimana perasaan Saudara-saudari tentang hal ini? Seandainya Saudara-saudari mampu membuat dirimu kosong, bagaimana perasaanmu? Apakah ada rasa takut yang menyertainya?
2. ‘Jalan Yesus’ adalah ‘jalan perendahan diri’. Para rasul/murid-Nya yang pertama (kecuali Yudas Iskariot) telah memilih ‘Jalan Yesus’ ini, demikian pula dengan para kudus (martir atau bukan) dan begitu banyak orang. Apa yang paling menarik adalah bahwa untuk menempuh ‘Jalan Yesus’ itu seseorang harus mengambil sikap tertentu terhadap dirinya, terhadap dunia dan terhadap Allah. Seperti telah dicontohkan oleh Yesus sendiri, ‘gerbang kemerdekaan Kristiani’ itu nampaknya hanya terbuka bagi orang yang mau dan berusaha untuk tidak melekat kepada harta, kuasa dan nama, sebagai hal-hal yang umumnya dicari dan didambakan manusia. Orang itu harus berusaha untuk tidak gelisah akan ‘apa yang harus dimakan atau apa yang akan dipakai’, melainkan sepenuhnya percaya kepada penyelenggaraan ilahi (bdk. Mat 6:25-34). Dia juga dituntut untuk berusaha tunduk dan merendahkan diri di hadapan sesamanya, bukan karena rasa rendah diri (minder atau rasa inferior) melainkan karena kasih persaudaraan, seperti yang telah dicontohkan oleh Yesus sendiri. Dan di hadapan Allah, dia selalu akan bersyukur serta memuja-muji dan memuliakan Allah, yang adalah Kebaikan itu sendiri. Dalam hal ini, apa yang telah ditunjukkan oleh kehidupan para kudus yang telah mendahului kita, khususnya Bapak Fransiskus, Santa Klara dari Assisi dan semua orang kudus Ordo Serafik? Bagaimana dengan kehidupan Saudara-saudari sebagai umat kristen (= murid Kristus) umumnya dan sebagai anggota keluarga besar Fransiskan khususnya? Sudahkah kita mempraktekkan ‘Jalan Yesus’ ini, di dalam persaudaraan/komunitas kita dan juga dalam hal berhubungan dengan orang-orang lain di sekeliling kita, termasuk saudara-saudari kita yang beriman-kepercayaan lain?
3. Ada yang pernah mengatakan, “Nothing proves humility better than a humiliation.” Artinya: Tidak ada sesuatu pun membuktikan secara lebih baik tentang kerendahan hati selain mengalami penghinaan. Yesus adalah contoh kita, demikian pula Santo Fransiskus dan segenap para kudus yang telah mendahului kita. Setujukah Saudara-saudari dengan pernyataan itu? Pernahkan Saudara-saudari mengalaminya? Syeringkan pengalamanmu!
4. Apakah Saudara-saudaari pernah mengalami dibangkitkan atau ditinggikan? Dapatkah kita percaya apa yang diwahyukan Yesus kepada kita, yaitu bahwa pengosongan diri tidak membawa kepada kehancuran, melainkan melalui kematian kita dibangkitkan kepada hidup yang baru?
5. Apakah Yesus Kristus sungguh-sungguh Tuhan (Kyrios) bagi pribadi kita masing-masing? Pada waktu mengalami kesusahan, ke manakah kita pergi? Kepada Yesus atau dukun (orang pintar), paranormal dlsb.?
BEBERAPA CATATAN TAMBAHAN
· Allah berjalan bersama orang rendah; Ia mengungkapkan diri-Nya kepada orang-orang rendah; Ia memberikan pemahaman bagi orang-orang kecil; Ia membuka arti / memberi pengertian bagi pikiran-pikiran yang murni, tetapi menyembunyikan rahmat-Nya terhadap orang-orang yang sok mau tahu dan sombong. Thomas a Kempis.
· Kerendahan hati adalah akar, ibu, perawat, fondasi dan tali pengikat segala keutamaan (kebajikan). Santo Yohanes Kristosomos.
· Seandainya anda bertanya kepada saya: Apa sih yang paling pertama dalam hidup keagamaan? Saya akan menjawab: Yang pertama, yang kedua, yang ketiga ….. tidak, malah semuanya adalah kerendahan hati. Santo Augustinus dari Hippo.
· Hendaklah seluruh diri manusia gemetar, seluruh dunia bergetar dan langit bersorak-sorai, apabila Kristus, Putera Allah yang hidup hadir di atas altar dalam tangan imam! O keagungan yang mengagumkan dan kesudian yang menakjubkan! O perendahan diri yang luhur! O keluhuran yang merendah! Tuhan semesta alam, Allah dan Putera Allah, begitu merendahkan diri-Nya, sampai Ia menyembunyikan diri di dalam rupa roti yang kecil itu, untuk keselamatan kita! Saudara-saudara, pandanglah perendahan diri Allah itu dan curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya; rendahkanlah dirimu juga, agar kamu ditinggikan oleh-Nya.” (SurOr 26-28)
PAX ET BONUM
*)Disusun oleh Sdr. F.X. Indrapradja, OFS dari beberapa sumber, untuk dibawakan dalam pertemuan KANESTA pada hari Minggu tanggal 25 Februari 2001.
[1] Perihal C yang keempat misalnya ada catatan (yang sangat penting, misalnya bagi orang-orang yang suka ‘merusak’ hutan) berikut ini; “In crucifying the earth we are also crucifying the Christ.” Artinya: dengan menyalibkan/merusak bumi (alam ciptaan) kita juga menyalibkan Kristus (lagi).
[2] Penyaliban merupakan bentuk penghukuman yang cukup lazim pada zaman Yesus (kekaisaran Romawi). Mati di kayu salib merupakan suatu bentuk kematian yang mengerikan, yang hanya diperuntukkan bagi para budak/hamba dan pemberontak. Para warga lain yang melakukan kejahatan besar dihukum dengan cara yang lebih manusiawi. Hanya orang-orang yang paling jelek dalam masyarakat, yang dihukum lewat penyaliban. Mati di kayu salib dengan telanjang merupakan puncak kegagalan dan sangat memalukan. Bagi kita para Fransiskan, hal ini adalah ‘perendahan diri Allah yang kedua’.
Ketika berjalan bersama para murid-Nya menuju ke kampung-kampung di sekitar Kaisarea Filipi, Yesus bertanya kepada mereka : “….., siapakah Aku ini?” (Mrk 8:29). Pertanyaan ini juga masih berlaku bagi kita masing-masing dewasa ini: “Siapakah Yesus yang kuimani ini?” Pada kesempatan ini baiklah saya sedikit syering dengan Saudara-saudari. Yesus Kristus yang saya imani adalah Allah yang merendahkan diri-Nya, semua itu karena cinta kasih-Nya yang sehabis-habisnya bagi dunia dan segenap isinya. Dengan demikian posisi saya vis a vis Yesus adalah seperti seorang debitur (semoga belum macet) menghadapi kreditur: “Saya berhutang kepada-Nya.” Oleh karena itu dengan segala upaya yang “halal”, saya akan terus berusaha untuk melayani dan mengikuti jejak-Nya.
Sebagai seorang Fransiskan sekular, saya menghayati apa yang dinamakan “4-C Fransiskan”, empat hal yang menunjukkan perendahan diri Allah, yaitu Crib (kelahiran Yesus di palungan / di kandang hina), Cross (kematian Yesus di kayu salib), Chalice (= piala = kehadiran Yesus Kristus dalam Ekaristi) dan Creation (kehadiran Yesus dalam alam ciptaan).[1] Dalam kesempatan ini kita akan mencoba untuk merenungkan Yesus sebagai Allah yang merendahkan diri itu dengan menggunakan bacaan Flp 2:1-11. Dari bacaan yang sama itu kita diharapkan akan menyadari bahwa kita pun harus mengikuti contoh yang diberikan Kristus.
Dalam Flp 2:1-5 Santo Paulus mengingatkan jemaat di Filipi bahwa mereka adalah milik Kristus. Oleh karena itu mereka diminta untuk memperkenankan sikap Kristus yang mengosongkan diri itu agar ‘merasuki’ kehidupan mereka. Dengan demikian mereka akan menerima satu sama lain dalam komunitas mereka dan kasih-lah yang akan mendominir -malah mengatur- relasi-relasi mereka. Pengosongan diri Yesus akan membawa kepada peninggian-Nya di atas segala ciptaan, bagi kemuliaan Allah Bapa. Implikasinya adalah bahwa mereka yang masuk ke dalam misteri ketaatan yang merendah dari Yesus, juga akan ikut ambil bagian dalam kemuliaan-Nya.
PERENDAHAN DIRI ALLAH (Flp 2:6-8)
Ayat-ayat 6-11 dari bab 2 Surat Santo Paulus kepada jemaat di Filipi memuat sebuah madah agung untuk memuji-muji Kristus. Madah ini memproklamasikan bahwa Kristus mengosongkan dan merendahkan diri-Nya, dan karenanya Dia ditinggikan oleh Allah sebagai Tuhan atas segala sesuatu. Para pakar Kitab Suci mengira bahwa Paulus di sini mengutip sebuah madah Kristiani awal. Teks ini merupakan teks yang luar biasa, dengan demikian pantas menjadi bahan meditasi kita secara serius.
Pentinglah bagi kita untuk mencatat mengapa Paulus memasukkan kata-kata tentang Kristus ini ke dalam suratnya kepada jemaat di Filipi. Paulus hendak memproklamasikan Kristus sebagai Dia yang mengosongkan diri-Nya dan ditinggikan, akan tetapi Paulus juga mau menunjukkan Kristus sebagai contoh untuk kita tiru: “Hendaklah kamu ….. menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat dalam Kristus Yesus” (ay. 5). Dapat juga kita terjemahkan sebagai berikut: “Sikapmu seharusnya seperti sikap Kristus”, atau “Hendaklah niatmu sama dengan niat Kristus.” Kristus yang mengosongkan dan merendahkan diri-Nya membentuk sebuah pola yang harus ditiru oleh setiap insan Kristiani.
Allah Bapa tidak mengutus Anak-Nya ke dunia dalam kekuasaan dan kemuliaan, malah sebaliknya à lahir di kandang hewan (bukan di dalam istana raja), dari seorang perempuan kelas rendahan dalam masyarakat dan anak seorang tukang kayu saja. Kenyataan ini bertentangan sekali dengan pemahaman tentang Mesias yang ada di kalangan orang-orang Yahudi. Ini adalah ‘perendahan diri Allah yang pertama’ (karena cinta kasih Allah Bapa, lih. Yoh 3:16; Firman menjadi manusia {Sabda menjadi daging} Yoh 1 = inkarnasi —> perbedaan sangat hakiki dengan agama-agama monotheis yang lain).
Madah kepada Kristus ini secara implisit memperlawankan Kristus dengan Adam. Adam tidak puas dengan status yang diberikan kepadanya oleh Allah à dia kemudian makan buah dari pohon terlarang agar dapat menjadi seperti Allah (Kej 3:5). Adam mau mendapatkan lebih dari ‘jatah’ yang diberikan kepadanya, tetapi akhirnya malah memperoleh kurang, jauh kurang dari ‘jatah’ semula. Sebaliknya Kristus, sang ‘Adam baru’ (lih. Rm 5:12-21; 1Kor 15:45-49), tidak bersikeras berpegang teguh pada hak-hak istimewa-Nya (yang memang sungguh adalah hak-hak-Nya). Dia mengosongkan diri-Nya dan menjadi seorang hamba, bahkan Dia menerima kematian seorang hamba di kayu salib.[2] Oleh karena itu Allah membangkitkan-Nya dan meninggikan-Nya.
Kita adalah anak-anak Adam, dan tentunya bagi kita lebih mudah untuk meniru contoh Adam daripada contoh Kristus. Naluri alamiah kita adalah menginginkan ‘lebih’ bagi diri kita sendiri dan bukan kurang, ingin dilayani dan bukan melayani, memiliki hidup yang penuh kenikmatan dan bukan memeluk atau merangkul salib. Kita lebih-lebih seperti Adam, bukan seperti Kristus: kita sibuk berusaha untuk memuaskan diri kita sendiri, bukan sebaliknya.
Itulah mengapa Paulus harus mendesak agar kita berniat untuk mengosongkan dan merendahkan diri kita karena dia tahu bahwa hal ini bukanlah kecenderungan alamiah kita. Paulus tidak dapat memberikan contoh yang lebih meyakinkan tentang ‘pengosongan diri’ (Yunani: kenosis) ini daripada contoh Kristus sendiri. Siapa yang dapat menyerahkan lebih daripada ‘mengambil rupa seorang hamba’ daripada Anak Allah sendiri? Bagi siapa penyaliban merupakan sebuah kematian yang lebih hina daripada Dia yang setara dengan Allah? Dengan demikian apabila pengosongan diri kita terasa terlalu sulit, terlalu menyakitkan, terlalu banyak yang diharapkan dari diri kita, maka kita dapat berpaling kepada Yesus yang tersalib. Baiklah kita meditasikan, Siapa sebenarnya Dia yang menerima kematian sedemikian itu?
PENINGGIAN SETELAH PERENDAHAN (Flp 2:9-11)
Kalau pengosongan dan perendahan diri Kristus yang radikal ini membentuk pola yang harus kita teladani, maka peninggian diri-Nya oleh Allah membentuk harapan dengan mana kita harus bertahan. Kita mengambil bagian dalam kematian Kristus melalui baptis dan meneladani-Nya setiap hari, sehingga dengan demikian kita juga dapat berpartisipasi dalam kebangkitan-Nya (Rm 6:5). Harapan kita bahwa kita kelak akan bergabung dengan Kristus dalam kebangkitan harus memberikan kepada kita kekuatan selagi kita tak henti-hentinya bertempur melawan dosa dan keserakahan (mau menang sendiri dll.). Kalau kita merasa sulit untuk mengosongkan diri kita, hari lepas hari, sedikit demi sedikit, maka kita dapat memandang Dia yang kita mau tiru ….. dan kita pun dapat memperoleh daya tahan dari kemuliaan yang kita harap dapat kita syering dengan Dia apabila “kita akan menjadi sama seperti Dia” (1Yoh 3:2).
‘Nama di atas segala nama’ adalah nama atau gelar ‘Tuhan’ yang diberikan kepada Yesus oleh Allah Bapa. Dalam bahasa Yunani surat Paulus ini, kata ‘Tuhan’ adalah kyrios à ingat kyrie eleison atau ‘Tuhan kasihanilah’? ‘Yesus Kristus adalah Tuhan (kyrios)’ merupakan salah satu pengakuan iman yang paling mendalam.
Akan tetapi kata kyrios dapat juga digunakan sekedar sebagai suatu bentuk sapaan yang sedikit sopan. Misalnya ketika beberapa orang minta bantuan Filipus untuk bertemu dengan Yesus, mereka berkata kepada Filipus: “Tuan (kyrie), kami ingin bertemu dengan Yesus” (Yoh 12:21). Jelas di sini mereka tidak menyapa Filipus dalam arti yang sama kalau kita menyapa Yesus sebagai Tuhan, meskipun kata yang dipakai adalah sama à kyrios.
Arti yang berbeda-beda dari gelar kyrios ini sepantasnya menjadi undangan bagi kita semua untuk ‘menguji’ apa yang sesungguhnya kita maksudkan pada waktu kita menyatakan ‘Yesus adalah Tuhan’ atau pada waktu kita berseru ‘Tuhan, kasihanilah kami’.
Arti asli dari kata kyrios adalah seseorang yang mempunyai kewenangan atas daerah tertentu, atau seseorang yang menjalankan fungsi pengendalian atas orang-orang tertentu. Dalam ‘Perumpamaan Yesus tentang Pengampunan’ kita temukan juga kata kyrios (lih. Mat 18:31.34). Ada perbedaan dalam tingkat dalam hal penggunaan kata kyrios ini. Seorang pemilik kebun anggur adalah kyrios dari kebun anggurnya, sedangkan seorang raja adalah kyrios dari kerajaannya. Meskipun kata ini dapat digunakan sebagai suatu cara sopan dalam menyapa seseorang lain, meskipun orang lain itu tidak mempunyai wewenang apa-apa, arti dasar dari kata kyrios ini berkaitan dengan kontrol/pengendalian dan wewenang.
Kyrios yang paling akhir/tinggi adalah Tuhan Allah, yang memerintah alam semesta serta segala isinya yang diciptakan oleh-Nya. Ketika Allah meninggikan Yesus dan memberikan gelar kyrios sebagai ‘nama di atas segala nama’, maka nama kyrios itu dimaksudkan seperti berlaku untuk Allah sendiri. Segenap ciptaan adalah subyek terhadap Yesus, seperti juga terhadap Allah; supaya bertekuk lututlah segala yang ada di alam semesta serta isinya, guna menyembah Yesus sebagai kyrios.
Sekarang bagaimana dengan kita masing-masing? Apa yang kita maksudkan pada waktu kita menyapa Yesus sebagai Tuhan (kyrios)? Apakah penyebutan itu sekedar ‘lip service’ saja tanpa banyak arti? Apakah kita menyapa Yesus sebagai Tuhan (kyrios) hanya sekedar sebagai sebuah cara yang sopan dalam mengajukan permohonan-permohonan kepada-Nya, seperti orang-orang pada waktu berbicara dengan Filipus?
Barangkali kita memaksudkan sesuatu yang lebih ketika kita menyapa Yesus sebagai Tuhan (kyrios); tampaknya paling sedikit kita mengakui bahwa Dia adalah Tuhan (kyrios) dari Gereja-Nya. Akan tetapi apakah kita mengerti sedikit misteri bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan (kyrios) dari segala ciptaan? Sebagai konsekuensinya, apakah kita meng-approach Dia sebagai yang mempunyai kuasa dan wewenang atas segala alam ciptaan? Apakah kita ‘bertekuk lutut’ (paling sedikit secara mental) ketika kita menyebut ‘nama yang di atas segala nama’ ini dan mengakui bahwa bahwa Yesus sungguh adalah “Raja segala raja dan Tuan di atas segala tuan” (Why 19:16)? Apakah kita –seperti Rasul Tomas- mengakui keilahian Yesus dan mengatakan: “Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yoh 20:28)?
Memang menyapa Yesus sebagai Tuhan (kyrios) dapat bervariasi dalam arti yang dimaksudkan. Menyapa Yesus sebagai Tuhan (kyrios) segenap alam ciptaan serta isinya adalah satu hal. Akan tetapi halnya akan sedikit berbeda kalau kita mengakui-Nya sebagai Tuhan-ku (kyrios-ku). Kita dapat menerima bahwa secara obyektif semua kuasa dan wewenang berada pada Yesus, namun kita tetap saja mencoba untuk menjalani hidup kita seakan-akan kitalah yang secara lengkap berkuasa atas hidup kita itu. Seakan-akan kita berkata: “Yesus boleh saja menjadi Tuhan (kyrios) dari/atas siapa dan apa saja, tetapi bukan atas saya.”
Menerima Yesus sebagai Tuhan-ku (kyrios-ku) berarti mengakui tidak saja kewenangan-Nya dalam arti abstrak, tetapi kewenangan-Nya atas diriku. ‘Nama yang di atas segala nama’ pada akhirnya harus menjadi nama yang kugunakan untuk mengakui kesetiaanku yang lengkap kepada Yesus sebagai Tuhan (kyrios).
Catatan penutup:
Beberapa ide dari bacaan di atas yang sangat mengesankan adalah, bahwa:
1. Yesus adalah sungguh Allah, sungguh manusia.
Lihat juga Kol 2:9 — dalam Yesus Kristus berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan keAllahan. Dia mengambil rupa manusia (sungguhan) secara sukarela. Dia berhasrat untuk hidup seperti manusia. Dia mau mengunjungi ciptaan-Nya. Dia menjadi manusia agar manusia dapat mengenal Allah pada tingkat pemahaman manusia. Dengan demikian manusia dapat berelasi dengan Dia ….. karena Dia adalah manusia (sungguhan).
2. Yesus mengesampingkan posisi-Nya sebagai Allah.
Meskipun Yesus Kristus adalah sepenuhnya Allah, Dia tidak mengambil manfaat untuk diri-Nya sendiri segala kesetaraan dengan Allah itu (2:6). Dia tidak menggunakan kuasa-Nya untuk membalas dendam dll., tetapi untuk menolong orang yang telah menyakiti-Nya. Dia berkorban. Dia membatasi diri-Nya untuk hidup sebagai seorang manusia, dicobai ….. hanya tidak berbuat dosa (lih. Ibr 4:15).
3. Yesus memiliki kerelaan untuk menerima kematian.
Lihat 2:8. Dia adalah Sang Pencipta yang bertindak sebagai hamba bagi para pendosa. Luarbiasa memang. Tetapi siapa lagi -kecuali Allah sendiri- yang sungguh dapat menjadi hamba bagi kebutuhan manusia yang paling besar, yaitu Keselamatan? Memang tidak dapat digantikan.
4. Yesus dibangkitkan setelah kematian-Nya dan Allah Bapa sangat meninggikan Yesus karena kerelaan-Nya untuk mati bagi kita.
Lihat 2:9-10.
5. Yesus Kristus adalah Tuhan (kyrios).
Lihat 2:11.
POKOK-POKOK UNTUK REFLEKSI PRIBADI DAN SYERING DALAM KELOMPOK
1. Flp 2:6-11 sebenarnya adalah sebuah madah atau kidung Gereja Perdana yang dipetik oleh Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi. Madah ini menunjukkan Yesus yang mengosongkan diri-Nya dari segala hal yang ilahi, sehingga Dia dapat menjadi seorang manusia, bahkan sebagai seorang budak/hamba yang kemudian dihukum mati di kayu salib. Selagi kita masing-masing memeditasikan madah ini, baiklah kita juga mengosongkan diri. Cobalah untuk mengingat-ingat, barangkali selama dua minggu terakhir ini, kapan Saudara-saudari dipanggil untuk ‘mengosongkan diri’? Apakah Saudara-saudari mampu untuk melakukannya, atau tetap ‘nyantol’ pada posisimu, keangkuhanmu atau pada apa saja yang menurut Saudara-saudari memang adalah hakmu. Bagaimana perasaan Saudara-saudari tentang hal ini? Seandainya Saudara-saudari mampu membuat dirimu kosong, bagaimana perasaanmu? Apakah ada rasa takut yang menyertainya?
2. ‘Jalan Yesus’ adalah ‘jalan perendahan diri’. Para rasul/murid-Nya yang pertama (kecuali Yudas Iskariot) telah memilih ‘Jalan Yesus’ ini, demikian pula dengan para kudus (martir atau bukan) dan begitu banyak orang. Apa yang paling menarik adalah bahwa untuk menempuh ‘Jalan Yesus’ itu seseorang harus mengambil sikap tertentu terhadap dirinya, terhadap dunia dan terhadap Allah. Seperti telah dicontohkan oleh Yesus sendiri, ‘gerbang kemerdekaan Kristiani’ itu nampaknya hanya terbuka bagi orang yang mau dan berusaha untuk tidak melekat kepada harta, kuasa dan nama, sebagai hal-hal yang umumnya dicari dan didambakan manusia. Orang itu harus berusaha untuk tidak gelisah akan ‘apa yang harus dimakan atau apa yang akan dipakai’, melainkan sepenuhnya percaya kepada penyelenggaraan ilahi (bdk. Mat 6:25-34). Dia juga dituntut untuk berusaha tunduk dan merendahkan diri di hadapan sesamanya, bukan karena rasa rendah diri (minder atau rasa inferior) melainkan karena kasih persaudaraan, seperti yang telah dicontohkan oleh Yesus sendiri. Dan di hadapan Allah, dia selalu akan bersyukur serta memuja-muji dan memuliakan Allah, yang adalah Kebaikan itu sendiri. Dalam hal ini, apa yang telah ditunjukkan oleh kehidupan para kudus yang telah mendahului kita, khususnya Bapak Fransiskus, Santa Klara dari Assisi dan semua orang kudus Ordo Serafik? Bagaimana dengan kehidupan Saudara-saudari sebagai umat kristen (= murid Kristus) umumnya dan sebagai anggota keluarga besar Fransiskan khususnya? Sudahkah kita mempraktekkan ‘Jalan Yesus’ ini, di dalam persaudaraan/komunitas kita dan juga dalam hal berhubungan dengan orang-orang lain di sekeliling kita, termasuk saudara-saudari kita yang beriman-kepercayaan lain?
3. Ada yang pernah mengatakan, “Nothing proves humility better than a humiliation.” Artinya: Tidak ada sesuatu pun membuktikan secara lebih baik tentang kerendahan hati selain mengalami penghinaan. Yesus adalah contoh kita, demikian pula Santo Fransiskus dan segenap para kudus yang telah mendahului kita. Setujukah Saudara-saudari dengan pernyataan itu? Pernahkan Saudara-saudari mengalaminya? Syeringkan pengalamanmu!
4. Apakah Saudara-saudaari pernah mengalami dibangkitkan atau ditinggikan? Dapatkah kita percaya apa yang diwahyukan Yesus kepada kita, yaitu bahwa pengosongan diri tidak membawa kepada kehancuran, melainkan melalui kematian kita dibangkitkan kepada hidup yang baru?
5. Apakah Yesus Kristus sungguh-sungguh Tuhan (Kyrios) bagi pribadi kita masing-masing? Pada waktu mengalami kesusahan, ke manakah kita pergi? Kepada Yesus atau dukun (orang pintar), paranormal dlsb.?
BEBERAPA CATATAN TAMBAHAN
· Allah berjalan bersama orang rendah; Ia mengungkapkan diri-Nya kepada orang-orang rendah; Ia memberikan pemahaman bagi orang-orang kecil; Ia membuka arti / memberi pengertian bagi pikiran-pikiran yang murni, tetapi menyembunyikan rahmat-Nya terhadap orang-orang yang sok mau tahu dan sombong. Thomas a Kempis.
· Kerendahan hati adalah akar, ibu, perawat, fondasi dan tali pengikat segala keutamaan (kebajikan). Santo Yohanes Kristosomos.
· Seandainya anda bertanya kepada saya: Apa sih yang paling pertama dalam hidup keagamaan? Saya akan menjawab: Yang pertama, yang kedua, yang ketiga ….. tidak, malah semuanya adalah kerendahan hati. Santo Augustinus dari Hippo.
· Hendaklah seluruh diri manusia gemetar, seluruh dunia bergetar dan langit bersorak-sorai, apabila Kristus, Putera Allah yang hidup hadir di atas altar dalam tangan imam! O keagungan yang mengagumkan dan kesudian yang menakjubkan! O perendahan diri yang luhur! O keluhuran yang merendah! Tuhan semesta alam, Allah dan Putera Allah, begitu merendahkan diri-Nya, sampai Ia menyembunyikan diri di dalam rupa roti yang kecil itu, untuk keselamatan kita! Saudara-saudara, pandanglah perendahan diri Allah itu dan curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya; rendahkanlah dirimu juga, agar kamu ditinggikan oleh-Nya.” (SurOr 26-28)
PAX ET BONUM
*)Disusun oleh Sdr. F.X. Indrapradja, OFS dari beberapa sumber, untuk dibawakan dalam pertemuan KANESTA pada hari Minggu tanggal 25 Februari 2001.
[1] Perihal C yang keempat misalnya ada catatan (yang sangat penting, misalnya bagi orang-orang yang suka ‘merusak’ hutan) berikut ini; “In crucifying the earth we are also crucifying the Christ.” Artinya: dengan menyalibkan/merusak bumi (alam ciptaan) kita juga menyalibkan Kristus (lagi).
[2] Penyaliban merupakan bentuk penghukuman yang cukup lazim pada zaman Yesus (kekaisaran Romawi). Mati di kayu salib merupakan suatu bentuk kematian yang mengerikan, yang hanya diperuntukkan bagi para budak/hamba dan pemberontak. Para warga lain yang melakukan kejahatan besar dihukum dengan cara yang lebih manusiawi. Hanya orang-orang yang paling jelek dalam masyarakat, yang dihukum lewat penyaliban. Mati di kayu salib dengan telanjang merupakan puncak kegagalan dan sangat memalukan. Bagi kita para Fransiskan, hal ini adalah ‘perendahan diri Allah yang kedua’.