Hampir setiap orang mengakui bahwa ada sesuatu yang salah dalam dunia dewasa ini, demikian pula dengan negara dan bangsa kita. Bagi mereka yang pesimistis, hal ini merupakan sesuatu yang menakutkan. Namun bagi para pengikut Santo Fransiskus dari Assisi, keadaan yang kelihatannya “rumit dan kacau” itu menunjukkan adanya sebuah peluang penuh kemuliaan untuk memperkenalkan kembali nilai-nilai kekristenan sejati ke dalam kehidupan sehari-hari. Seperti juga para Fransiskan mampu melipat-gandakan jumlah mereka setelah mengalami kematian besar-besaran karena terkena wabah di abad pertengahan, maka nilai-nilai Fransiskan dapat didirikan/dibangun/ dibangkitkan kembali dalam milenium baru ini.
MENGIKUTI JEJAK KRISTUS SETURUT JEJAK LANGKAH FRANSISKUS – SEBUAH CATATAN KECIL
PENGANTAR
Ketika beberapa bulan lalu Frater Eko yang terkasih minta kepada saya untuk berbicara dan men-syeringkan pengalaman hidup saya sebagai seorang Fransiskan awam di dalam sebuah pertemuan KANESTA, saya memang gembira sekali, tetapi dengan beberapa catatan. Ada beberapa hal yang teringat dan ”selalu mengganggu” setiap kali saya mau men-syering-kan pokok-pokok iman-kepercayaan saya dan/atau penghayatan iman saya, apalagi sekarang ketika berhadap-hadapan dengan Saudari-saudara sendiri, para anggota keluarga besar Santo Fransiskus dari Assisi, a.l.:
(1) Mat 7:21-23.
(2) Kata-kata Santo Fransiskus dalam “Petuah-petuah”: “Oleh sebab itu memalukan sekali bagi kita, hamba-hamba Allah, karena para kudus yang telah melakukan karya-karya itu, sedangkan kita, hanya dengan menceritakannya, ingin mendapat kemuliaan dan hormat” (Pth VI, 3)
(3) Kenyataan bahwa Bapak Fransiskus sendiri tak begitu suka syering-syeringan dalam arti bersaksi dengan kata-kata secara panjang-lebar (lihat misalnya kesaksian yang begitu singkat dalam Was, 1-3).
(4) Apa yang pernah dikatakan oleh Fransiskus kepada para saudara, sesuai dengan catatan para penulis riwayat hidupnya: “Saudara-saudaraku, kita harus mulai mengabdi kepada Tuhan Allah kita. Hingga kini sedikit saja yang telah kita lakukan” (Leg Maj XIV, 1).
Ada cerita Sdr. Masseo yang bertanya kepada Fransiskus mengapa seluruh dunia kelihatannya mengikuti dia, padahal dia “nggak keren” dll. Ternyata Santo Fransiskus bersukacita dalam menanggapi pertanyaan Sdr. Masseo tadi karena dalam pertanyaan itu tersiratlah idaman orang suci ini, perihal bagaimana dia mau kelihatan oleh orang lain: sederhana; tampak berdosa; miskin; tak menarik; bersifat ignoran/masa bodoh; tidak memiliki kekuasaan.
Sesungguhnya hanya ada satu alasan saja bagi orang banyak untuk mengikuti Santo Fransiskus. “Allah”, pikir Fransiskus, “tidak akan memilih orang yang lebih “buruk” (lebih “keji”, lebih “jelek”) untuk membuat bingung dan menantang mereka yang berkuasa dan penuh kemegahan, yang mengagung-agungkan intelektualisme dan materialisme dunia.” Banyak orang mengikuti jejak Santo Fransiskus, karena dalam transparansi kerendahan (hati) nya yang suci, Roh Allah dapat memancar ke luar tanpa terhalangi. Itulah sebabnya, mengapa delapan abad setelah kematiannya, banyak orang tetap mengikutinya.[1]
Dalam konteks budaya yang mengagung-agungkan kepemilikan –baik harta benda maupun pengetahuan/teknologi- kita lihat Fransiskus dan para pengikutnya merasa “nyaman” (comfortable) dalam kemiskinan sebagai suatu gaya hidup yang secara sukarela dipilih oleh mereka. Dalam era “power politics” seperti yang sedang kita alami dewasa ini, kita memandang kedamaian luar biasa Santo Fransiskus dalam ketidakberdayaannya. Terpujilah Allah kalau di tengah-tengah tekanan untuk mencapai prestasi dalam masyarakat melalui pelbagai status dan simbol-simbol-nya (T shirt anggota Harley Davidson dll., aneka macam kartu kredit dan tanda keanggotaan klub-klub eksklusif lainnya), kita –berkat rahmat-Nya- dimampukan untuk menemukan prestise dan identitas sejati/asli dalam simbol “SALIB KRISTUS”. Martabat atau sosok perihal siapakah diri kita sebenarnya datang dari kenyataan bahwa kita mengikuti seseorang yang tahu benar bahwa kemuliaan sejati tak dapat ditemukan dalam diri kita sendiri, melainkan dalam Allah saja.
Spiritualitas Santo Fransiskus, yang memilih untuk menjadi rendah dan hina, sungguh menjangkau dan menyentuh hati banyak orang dari zaman ke zaman. Spiritualitas ini sungguh-sungguh menyentuh hati kita pada titik-titik rendah kehidupan kita, yaitu pada saat-saat kita berada dalam keadaan berdosa dan/atau ketika kita mengalami pelbagai bentuk kegagalan. Pada sisi yang lain spiritualitas ini membuat seimbang saat-saat sukses kehidupan kita dengan pengetahuan/keyakinan bahwa segala yang baik itu sesungguhnya hanyalah datang dari Allah saja. Bersama dengan sang pemazmur kita mengakui, “….. Dialah yang menjadikan kita dan punya Dialah kita, umat-Nya dan kawanan domba gembalaan-Nya”“ (Mzm 100:3b).
Spiritualitas Santo Fransiskus bukanlah sesuatu yang ditambahkan ke atas Kekristenan/Kristianitas. Barangkali, malah spiritualitasnya ini merupakan hakekat Kekristenan itu sendiri. Disaring lewat proses inkulturasi yang berabad-abad lamanya, “Kekristenan yang Fransiskan” berusaha untuk menyarikan kesederhanaan serta kemurnian kehidupan dan ajaran-ajaran Yesus, dan mencurahkan semua itu ke dalam kehidupan kita sehari-hari.[2]
Setiap zaman, gerakan Fransiskan telah mampu untuk merevitalisasi dirinya. Pada abad pertengahan kurang lebih 90% dari para Fransiskan terkena wabah “black plague”, karena mereka hidup di tengah-tengah orang-orang miskin yang memang pada kenyataannya paling terkena wabah. Namun demikian, jumlah para Fransiskan terus berlipat ganda.
Hampir setiap orang mengakui bahwa ada sesuatu yang salah dalam dunia dewasa ini, demikian pula dengan negara dan bangsa kita. Bagi mereka yang pesimistis, hal ini merupakan sesuatu yang menakutkan. Namun bagi para pengikut Santo Fransiskus dari Assisi, keadaan yang kelihatannya “rumit dan kacau” itu menunjukkan adanya sebuah peluang penuh kemuliaan untuk memperkenalkan kembali nilai-nilai kekristenan sejati ke dalam kehidupan sehari-hari. Seperti juga para Fransiskan mampu melipat-gandakan jumlah mereka setelah mengalami kematian besar-besaran karena terkena wabah di abad pertengahan, maka nilai-nilai Fransiskan dapat didirikan/dibangun/ dibangkitkan kembali dalam milenium baru ini.
Cara untuk mendapatkan dan kemudian merangkul spiritualitas Fransiskan adalah dengan mencarinya. Lihatlah riwayat-riwayat hidup para kudus yang telah mengikuti Kristus seturut teladan Santo Fransiskus. Meskipun Fransiskus meninggal dunia pada tahun 1226, hidup baru terus-menerus bertumbuh dari spiritualitasnya. Kalau kita berhasil menemukan benih spiritualitas Fransiskan dalam diri orang-orang lain, maka kita dapat menanamkannya dalam kehidupan kita sendiri, lalu memupuk pertumbuhannya dengan doa, pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan.
Seperti telah saya kemukakan di awal tadi, sungguh susah sekali bagi saya untuk syering-syeringan soal kehidupan iman pribadi saya sendiri. Kenyataan yang saya hadapi adalah, bahwa semakin dalam saya mencoba menggali/mengeksplorasi spiritualitas Fransiskan saya sendiri, semakin nyata pula bagi saya betapa banyak kekurangan-kekurangan saya, maksudnya masih berserakannya sudut-sudut kehidupan saya yang belum seluruhnya diserahkan kepada Tuhan. Saya telah dan masih menggumuli terus beberapa bidang kehidupan pribadi saya yang belum sesuai dengan apa yang saya profesikan sebagai cara hidup Fransiskan. Saya dan keluarga saya tidaklah hidup bersama dengan orang-orang yang paling miskin dalam masyarakat. Rumah tinggal keluarga kami –meskipun tidak dipenuhi dengan barang-barang antik atau mebel-mebel mewah- termasuk kategori gedongan. Meskipun mobil-mobil milik kami adalah dua buah “Kijang” yang bukan lagi baru, sehari-hari saya masih naik mobil dinas saya, sebuah sedan Mercedez yang masih kelihatan mewah juga. Saya pun masih memperoleh kesempatan melihat pelbagai tempat di tanah air maupun di luar negeri. Banyak lagi berkat Allah yang diterima oleh keluarga kami. Melihat semua itu –meskipun tidak pernah lepas dari memanggul salib- ,saya suka bertanya kepada diri sendiri, “apakah saya sungguh dapat menamakan diri saya seorang “Fransiskan”?
Ternyata kemudian bahwa kehidupan rohani (spiritual) adalah sebuah perjalanan dan saya jelas masih berada di tengah perjalanan itu. Ada pepatah Inggris yang berbunyi “God is not finished with me yet”, dan itu memang benar dan berlaku untuk kita semua. Hasrat Fransiskus akan suatu hidup rohani sesungguhnya berakar pada kehidupan sekularnya yang penuh kelimpahan, vitalitas dan sukacita. Dari kehidupan macam itulah muncul kebutuhannya akan Allah. Dengan demikian siapa pun kita ini sekarang dan apa pun yang kita miliki merupakan dasar dari pertumbuhan spiritual kita.
Kita memang sering berbicara mengenai spiritualitas, tetapi di sini saya tak mau memberikan definisi apa itu “spiritualitas” karena sekadar “kata-kata” boleh jadi hanya membatasi dan bukan membuat jelas masalahnya. Yang jelas spiritualitas bukanlah suatu “sistem kepercayaan”, melainkan lebih-lebih pendekatan mendasar terhadap kehidupan. Spiritualitas dapat dipertentangkan dengan pandangan hidup yang berdasarkan dunia materi dan intelektual. Spiritualitas mancakup nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai moral, nilai-nilai sakral dan sekular, cara kita berpikir, berdoa dan menghayati kehidupan kita. Spiritualitas itu seperti sistem kerangka di mana sistem kepercayaan dan prakteknya mengambil bentuk.
Jovian Weigel, OFM dan Leonard Foley, OFM [3] menyatakan yang berikut ini: “Suatu spiritualitas adalah sebuah cara atau penekanan khusus dalam mengikuti Kristus ….. Banyak yang sama untuk semua orang Kristiani dan ini lebih penting daripada minat sebuah kelompok Kristiani tertentu: Cinta kasih dan pengampunan seperti Kristus, komunitas, doa pribadi maupun komunal, perayaan hidup sakramental Gereja, ketaatan terhadap otoritas yang legitim, cinta pada Kitab Suci, keprihatinan terhadap keadilan dan damai ….. Akan tetapi dapat terjadi perbedaan dalam penekanan. Kita berbicara mengenai suatu spiritualitas Benediktin, Dominikan atau Fransiskan. Ada juga spiritualitas yang khas untuk orang awam dll.”
Saya tidak dapat mendefinisikan spiritualitas kepada Saudari-saudara sekalian. Saya yakin Saudari-saudara sekalian lebih tahu. Akan tetapi saya sangat berkeyakinan bahwa spiritualitas ini merupakan sebuah kekuatan yang vital-namun-tak-kelihatan dalam kehidupan ini. Atas dasar pemahaman sederhana ini kita dapat mulai menggali/mengeksplorasi kehidupan kita masing-masing, kehidupan para santo-santa dan kehidupan begitu banyak orang kudus yang tak pernah akan dikanonisasikan oleh Gereja. Ini adalah kehidupan-kehidupan yang dibimbing/dipimpin oleh kekuatan dinamis-namun-tak-kelihatan dari hidup spiritual. Di dalam kehidupan-kehidupan inilah terdapat benih-benih spiritualitas.
Karena cara hidup Fransiskan adalah menepati hidup Injil Tuhan Yesus Kristus dengan mengikuti teladan Santo Fransiskus dari Assisi, maka saya mau mengajak Saudari-saudara sekalian untuk kembali membaca Injil. Dari sini kita dapat melihat bahwa spiritualitas sebenarnya berkembang dari bagaimana caranya kita menghayati pertanyaan Yesus: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” (lihat Mrk 8:29). Tanggapan kita masing-masing terhadap pertanyaan Yesus itu akan dicerminkan dalam kehidupan kita sehari-hari, yaitu dalam pilihan-pilihan yang kita buat, pengorbanan-pengorbanan yang kita alami dst. Kalau kita tak dapat menemukan spiritualitas dalam kehidupan kita sehari-hari, maka kita pun tak akan dapat menemukannya di mana-mana.
Spiritualitas yang baik akan memimpin kita kepada Allah. Spiritualitas ini akan menyediakan energi yang memberdayakan kegiatan-kegiatan kita untuk kebaikan. Lewat spiritualitas yang baik Allah akan memberikan pelbagai anugerah-Nya. Lewat spiritualitas yang baik, buah Roh pun akan nyata dalam diri kita masing-masing: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, dll. (lihat Gal 5: 16 dsj). Spiritualitas adalah apa yang kita ikuti dalam kegelapan/ ketidaktahuan/kesulitan kita dan kemudian membimbing kita kepada terang damai dan pemahaman. Tujuan akhir spiritualitas yang baik adalah kekudusan. Bukankan kita semua, seperti juga Santo Fransiskus, dipanggil untuk menjadi kudus?
Mengapa spiritualitas Fransiskan? Banyak jawabannya, tergantung pada Saudara-saudari masing-masing. Seorang Fransiskan terkenal, Murray Bodo OFM mengungkapkan sesuatu yang menarik: “Francis of Assisi gave me a way of life that keeps challenging me and troubling me and making me look again at the possibilities within and around me. I keep returning to Francis and his interpreters to find help in understanding my own experience.” [4]
Bacaan Kitab Suci: Flp 2: 6-11 disertai bacaan No. FXI/KANESTA/25-02-2001 A, dengan judul “ALLAH YANG MERENDAHKAN DIRI”.
DEUS MEUS ET OMNIA
Catatan: Dibawakan oleh Sdr. F.X. Indrapradja OFS dalam pertemuan KANESTA di Biara Sienna Suster-suster Fransiskanes Charitas, Pondok Labu, hari Minggu tanggal 25 Februari 2001.
Pemeriksaan dan perbaikan terakhir (salah ketik dll.) dilakukan oleh Sdr. F.X. Indrapradja OFS pada tanggal 22 Februari 2013.
[1] Keluarga Fransiskan (Ordo I, II dan III) adalah keluarga rohani terbesar dalam Gereja Katolik; malah ada juga Fransiskan/Fransiskanes di luar Gereja Katolik, artinya dalam gereja-gereja kristen protestan, misalnya Lutheran, Anglikan dll.
[2] Patti Normile, SFO, “Following Francis of Assisi – A Spirituality for Daily Living”, Cincinnati, Ohio, Anthony Messenger Press: 1996.
[3] “The Third Order Vocation – A basic program of study, prayer and action for novices and professed in the Third Order of St.Francis”, Cincinnatti, Ohio, Lay Franciscan Province of St. John Baptist: 1976.
[4] “The Way of St. Francis – The Challenge of Franciscan Spirituality for Everyone”, Cincinnati, Ohio, St. Anthony Messenger Press: 1995.
PENGANTAR
Ketika beberapa bulan lalu Frater Eko yang terkasih minta kepada saya untuk berbicara dan men-syeringkan pengalaman hidup saya sebagai seorang Fransiskan awam di dalam sebuah pertemuan KANESTA, saya memang gembira sekali, tetapi dengan beberapa catatan. Ada beberapa hal yang teringat dan ”selalu mengganggu” setiap kali saya mau men-syering-kan pokok-pokok iman-kepercayaan saya dan/atau penghayatan iman saya, apalagi sekarang ketika berhadap-hadapan dengan Saudari-saudara sendiri, para anggota keluarga besar Santo Fransiskus dari Assisi, a.l.:
(1) Mat 7:21-23.
(2) Kata-kata Santo Fransiskus dalam “Petuah-petuah”: “Oleh sebab itu memalukan sekali bagi kita, hamba-hamba Allah, karena para kudus yang telah melakukan karya-karya itu, sedangkan kita, hanya dengan menceritakannya, ingin mendapat kemuliaan dan hormat” (Pth VI, 3)
(3) Kenyataan bahwa Bapak Fransiskus sendiri tak begitu suka syering-syeringan dalam arti bersaksi dengan kata-kata secara panjang-lebar (lihat misalnya kesaksian yang begitu singkat dalam Was, 1-3).
(4) Apa yang pernah dikatakan oleh Fransiskus kepada para saudara, sesuai dengan catatan para penulis riwayat hidupnya: “Saudara-saudaraku, kita harus mulai mengabdi kepada Tuhan Allah kita. Hingga kini sedikit saja yang telah kita lakukan” (Leg Maj XIV, 1).
Ada cerita Sdr. Masseo yang bertanya kepada Fransiskus mengapa seluruh dunia kelihatannya mengikuti dia, padahal dia “nggak keren” dll. Ternyata Santo Fransiskus bersukacita dalam menanggapi pertanyaan Sdr. Masseo tadi karena dalam pertanyaan itu tersiratlah idaman orang suci ini, perihal bagaimana dia mau kelihatan oleh orang lain: sederhana; tampak berdosa; miskin; tak menarik; bersifat ignoran/masa bodoh; tidak memiliki kekuasaan.
Sesungguhnya hanya ada satu alasan saja bagi orang banyak untuk mengikuti Santo Fransiskus. “Allah”, pikir Fransiskus, “tidak akan memilih orang yang lebih “buruk” (lebih “keji”, lebih “jelek”) untuk membuat bingung dan menantang mereka yang berkuasa dan penuh kemegahan, yang mengagung-agungkan intelektualisme dan materialisme dunia.” Banyak orang mengikuti jejak Santo Fransiskus, karena dalam transparansi kerendahan (hati) nya yang suci, Roh Allah dapat memancar ke luar tanpa terhalangi. Itulah sebabnya, mengapa delapan abad setelah kematiannya, banyak orang tetap mengikutinya.[1]
Dalam konteks budaya yang mengagung-agungkan kepemilikan –baik harta benda maupun pengetahuan/teknologi- kita lihat Fransiskus dan para pengikutnya merasa “nyaman” (comfortable) dalam kemiskinan sebagai suatu gaya hidup yang secara sukarela dipilih oleh mereka. Dalam era “power politics” seperti yang sedang kita alami dewasa ini, kita memandang kedamaian luar biasa Santo Fransiskus dalam ketidakberdayaannya. Terpujilah Allah kalau di tengah-tengah tekanan untuk mencapai prestasi dalam masyarakat melalui pelbagai status dan simbol-simbol-nya (T shirt anggota Harley Davidson dll., aneka macam kartu kredit dan tanda keanggotaan klub-klub eksklusif lainnya), kita –berkat rahmat-Nya- dimampukan untuk menemukan prestise dan identitas sejati/asli dalam simbol “SALIB KRISTUS”. Martabat atau sosok perihal siapakah diri kita sebenarnya datang dari kenyataan bahwa kita mengikuti seseorang yang tahu benar bahwa kemuliaan sejati tak dapat ditemukan dalam diri kita sendiri, melainkan dalam Allah saja.
Spiritualitas Santo Fransiskus, yang memilih untuk menjadi rendah dan hina, sungguh menjangkau dan menyentuh hati banyak orang dari zaman ke zaman. Spiritualitas ini sungguh-sungguh menyentuh hati kita pada titik-titik rendah kehidupan kita, yaitu pada saat-saat kita berada dalam keadaan berdosa dan/atau ketika kita mengalami pelbagai bentuk kegagalan. Pada sisi yang lain spiritualitas ini membuat seimbang saat-saat sukses kehidupan kita dengan pengetahuan/keyakinan bahwa segala yang baik itu sesungguhnya hanyalah datang dari Allah saja. Bersama dengan sang pemazmur kita mengakui, “….. Dialah yang menjadikan kita dan punya Dialah kita, umat-Nya dan kawanan domba gembalaan-Nya”“ (Mzm 100:3b).
Spiritualitas Santo Fransiskus bukanlah sesuatu yang ditambahkan ke atas Kekristenan/Kristianitas. Barangkali, malah spiritualitasnya ini merupakan hakekat Kekristenan itu sendiri. Disaring lewat proses inkulturasi yang berabad-abad lamanya, “Kekristenan yang Fransiskan” berusaha untuk menyarikan kesederhanaan serta kemurnian kehidupan dan ajaran-ajaran Yesus, dan mencurahkan semua itu ke dalam kehidupan kita sehari-hari.[2]
Setiap zaman, gerakan Fransiskan telah mampu untuk merevitalisasi dirinya. Pada abad pertengahan kurang lebih 90% dari para Fransiskan terkena wabah “black plague”, karena mereka hidup di tengah-tengah orang-orang miskin yang memang pada kenyataannya paling terkena wabah. Namun demikian, jumlah para Fransiskan terus berlipat ganda.
Hampir setiap orang mengakui bahwa ada sesuatu yang salah dalam dunia dewasa ini, demikian pula dengan negara dan bangsa kita. Bagi mereka yang pesimistis, hal ini merupakan sesuatu yang menakutkan. Namun bagi para pengikut Santo Fransiskus dari Assisi, keadaan yang kelihatannya “rumit dan kacau” itu menunjukkan adanya sebuah peluang penuh kemuliaan untuk memperkenalkan kembali nilai-nilai kekristenan sejati ke dalam kehidupan sehari-hari. Seperti juga para Fransiskan mampu melipat-gandakan jumlah mereka setelah mengalami kematian besar-besaran karena terkena wabah di abad pertengahan, maka nilai-nilai Fransiskan dapat didirikan/dibangun/ dibangkitkan kembali dalam milenium baru ini.
Cara untuk mendapatkan dan kemudian merangkul spiritualitas Fransiskan adalah dengan mencarinya. Lihatlah riwayat-riwayat hidup para kudus yang telah mengikuti Kristus seturut teladan Santo Fransiskus. Meskipun Fransiskus meninggal dunia pada tahun 1226, hidup baru terus-menerus bertumbuh dari spiritualitasnya. Kalau kita berhasil menemukan benih spiritualitas Fransiskan dalam diri orang-orang lain, maka kita dapat menanamkannya dalam kehidupan kita sendiri, lalu memupuk pertumbuhannya dengan doa, pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan.
Seperti telah saya kemukakan di awal tadi, sungguh susah sekali bagi saya untuk syering-syeringan soal kehidupan iman pribadi saya sendiri. Kenyataan yang saya hadapi adalah, bahwa semakin dalam saya mencoba menggali/mengeksplorasi spiritualitas Fransiskan saya sendiri, semakin nyata pula bagi saya betapa banyak kekurangan-kekurangan saya, maksudnya masih berserakannya sudut-sudut kehidupan saya yang belum seluruhnya diserahkan kepada Tuhan. Saya telah dan masih menggumuli terus beberapa bidang kehidupan pribadi saya yang belum sesuai dengan apa yang saya profesikan sebagai cara hidup Fransiskan. Saya dan keluarga saya tidaklah hidup bersama dengan orang-orang yang paling miskin dalam masyarakat. Rumah tinggal keluarga kami –meskipun tidak dipenuhi dengan barang-barang antik atau mebel-mebel mewah- termasuk kategori gedongan. Meskipun mobil-mobil milik kami adalah dua buah “Kijang” yang bukan lagi baru, sehari-hari saya masih naik mobil dinas saya, sebuah sedan Mercedez yang masih kelihatan mewah juga. Saya pun masih memperoleh kesempatan melihat pelbagai tempat di tanah air maupun di luar negeri. Banyak lagi berkat Allah yang diterima oleh keluarga kami. Melihat semua itu –meskipun tidak pernah lepas dari memanggul salib- ,saya suka bertanya kepada diri sendiri, “apakah saya sungguh dapat menamakan diri saya seorang “Fransiskan”?
Ternyata kemudian bahwa kehidupan rohani (spiritual) adalah sebuah perjalanan dan saya jelas masih berada di tengah perjalanan itu. Ada pepatah Inggris yang berbunyi “God is not finished with me yet”, dan itu memang benar dan berlaku untuk kita semua. Hasrat Fransiskus akan suatu hidup rohani sesungguhnya berakar pada kehidupan sekularnya yang penuh kelimpahan, vitalitas dan sukacita. Dari kehidupan macam itulah muncul kebutuhannya akan Allah. Dengan demikian siapa pun kita ini sekarang dan apa pun yang kita miliki merupakan dasar dari pertumbuhan spiritual kita.
Kita memang sering berbicara mengenai spiritualitas, tetapi di sini saya tak mau memberikan definisi apa itu “spiritualitas” karena sekadar “kata-kata” boleh jadi hanya membatasi dan bukan membuat jelas masalahnya. Yang jelas spiritualitas bukanlah suatu “sistem kepercayaan”, melainkan lebih-lebih pendekatan mendasar terhadap kehidupan. Spiritualitas dapat dipertentangkan dengan pandangan hidup yang berdasarkan dunia materi dan intelektual. Spiritualitas mancakup nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai moral, nilai-nilai sakral dan sekular, cara kita berpikir, berdoa dan menghayati kehidupan kita. Spiritualitas itu seperti sistem kerangka di mana sistem kepercayaan dan prakteknya mengambil bentuk.
Jovian Weigel, OFM dan Leonard Foley, OFM [3] menyatakan yang berikut ini: “Suatu spiritualitas adalah sebuah cara atau penekanan khusus dalam mengikuti Kristus ….. Banyak yang sama untuk semua orang Kristiani dan ini lebih penting daripada minat sebuah kelompok Kristiani tertentu: Cinta kasih dan pengampunan seperti Kristus, komunitas, doa pribadi maupun komunal, perayaan hidup sakramental Gereja, ketaatan terhadap otoritas yang legitim, cinta pada Kitab Suci, keprihatinan terhadap keadilan dan damai ….. Akan tetapi dapat terjadi perbedaan dalam penekanan. Kita berbicara mengenai suatu spiritualitas Benediktin, Dominikan atau Fransiskan. Ada juga spiritualitas yang khas untuk orang awam dll.”
Saya tidak dapat mendefinisikan spiritualitas kepada Saudari-saudara sekalian. Saya yakin Saudari-saudara sekalian lebih tahu. Akan tetapi saya sangat berkeyakinan bahwa spiritualitas ini merupakan sebuah kekuatan yang vital-namun-tak-kelihatan dalam kehidupan ini. Atas dasar pemahaman sederhana ini kita dapat mulai menggali/mengeksplorasi kehidupan kita masing-masing, kehidupan para santo-santa dan kehidupan begitu banyak orang kudus yang tak pernah akan dikanonisasikan oleh Gereja. Ini adalah kehidupan-kehidupan yang dibimbing/dipimpin oleh kekuatan dinamis-namun-tak-kelihatan dari hidup spiritual. Di dalam kehidupan-kehidupan inilah terdapat benih-benih spiritualitas.
Karena cara hidup Fransiskan adalah menepati hidup Injil Tuhan Yesus Kristus dengan mengikuti teladan Santo Fransiskus dari Assisi, maka saya mau mengajak Saudari-saudara sekalian untuk kembali membaca Injil. Dari sini kita dapat melihat bahwa spiritualitas sebenarnya berkembang dari bagaimana caranya kita menghayati pertanyaan Yesus: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” (lihat Mrk 8:29). Tanggapan kita masing-masing terhadap pertanyaan Yesus itu akan dicerminkan dalam kehidupan kita sehari-hari, yaitu dalam pilihan-pilihan yang kita buat, pengorbanan-pengorbanan yang kita alami dst. Kalau kita tak dapat menemukan spiritualitas dalam kehidupan kita sehari-hari, maka kita pun tak akan dapat menemukannya di mana-mana.
Spiritualitas yang baik akan memimpin kita kepada Allah. Spiritualitas ini akan menyediakan energi yang memberdayakan kegiatan-kegiatan kita untuk kebaikan. Lewat spiritualitas yang baik Allah akan memberikan pelbagai anugerah-Nya. Lewat spiritualitas yang baik, buah Roh pun akan nyata dalam diri kita masing-masing: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, dll. (lihat Gal 5: 16 dsj). Spiritualitas adalah apa yang kita ikuti dalam kegelapan/ ketidaktahuan/kesulitan kita dan kemudian membimbing kita kepada terang damai dan pemahaman. Tujuan akhir spiritualitas yang baik adalah kekudusan. Bukankan kita semua, seperti juga Santo Fransiskus, dipanggil untuk menjadi kudus?
Mengapa spiritualitas Fransiskan? Banyak jawabannya, tergantung pada Saudara-saudari masing-masing. Seorang Fransiskan terkenal, Murray Bodo OFM mengungkapkan sesuatu yang menarik: “Francis of Assisi gave me a way of life that keeps challenging me and troubling me and making me look again at the possibilities within and around me. I keep returning to Francis and his interpreters to find help in understanding my own experience.” [4]
Bacaan Kitab Suci: Flp 2: 6-11 disertai bacaan No. FXI/KANESTA/25-02-2001 A, dengan judul “ALLAH YANG MERENDAHKAN DIRI”.
DEUS MEUS ET OMNIA
Catatan: Dibawakan oleh Sdr. F.X. Indrapradja OFS dalam pertemuan KANESTA di Biara Sienna Suster-suster Fransiskanes Charitas, Pondok Labu, hari Minggu tanggal 25 Februari 2001.
Pemeriksaan dan perbaikan terakhir (salah ketik dll.) dilakukan oleh Sdr. F.X. Indrapradja OFS pada tanggal 22 Februari 2013.
[1] Keluarga Fransiskan (Ordo I, II dan III) adalah keluarga rohani terbesar dalam Gereja Katolik; malah ada juga Fransiskan/Fransiskanes di luar Gereja Katolik, artinya dalam gereja-gereja kristen protestan, misalnya Lutheran, Anglikan dll.
[2] Patti Normile, SFO, “Following Francis of Assisi – A Spirituality for Daily Living”, Cincinnati, Ohio, Anthony Messenger Press: 1996.
[3] “The Third Order Vocation – A basic program of study, prayer and action for novices and professed in the Third Order of St.Francis”, Cincinnatti, Ohio, Lay Franciscan Province of St. John Baptist: 1976.
[4] “The Way of St. Francis – The Challenge of Franciscan Spirituality for Everyone”, Cincinnati, Ohio, St. Anthony Messenger Press: 1995.