MERENUNGKAN MISTERI KEMATIAN
In memoriam – Sdr. Vicente Kunrath, OFM.
Seorang saudara lagi tidak bersama dengan kita! Sdr. Vicente Kunrath OFM telah berjumpa dengan Saudari Maut-badani pada tengah hari kemarin, Jumat tanggal 4 September 2009 dan dikuburkan hari Sabtu pagi ini di Depok, Jawa Barat di samping para saudara lainnya yang telah meninggal dunia sebelumnya.
In memoriam – Sdr. Vicente Kunrath, OFM.
Seorang saudara lagi tidak bersama dengan kita! Sdr. Vicente Kunrath OFM telah berjumpa dengan Saudari Maut-badani pada tengah hari kemarin, Jumat tanggal 4 September 2009 dan dikuburkan hari Sabtu pagi ini di Depok, Jawa Barat di samping para saudara lainnya yang telah meninggal dunia sebelumnya.
Kami (Sdri. Esther dan saya) sangat bersyukur kepada Allah karena Dia masih memperkenankan kami bertemu dengan Sdr. Vicente pada hari Kamis pagi/siang di kamar 501, Wisma Semar, Rumah Sakit S. Carolus. Bersama pasutri Irwan dan Mona (menantu dan puteri Sdr./Sdri. Hendrarto OFS dan Vera OFS dari Persaudaraan Santa Elisabet dari Hungaria, Depok-Cinere), kami masih sempat guyon-guyonan dengan beliau, membantu Sdr. Vicente untuk makan karena sudah dua hari beliau ‘puasa’ makan, dan yang paling indah: kami masih sempat berdoa bersama sambil bergandengan tangan. Kita semua yang hadir di situ mengetahui dan menyadari verdict yang telah diberikan para dokter yang selama ini merawatnya, namun kita juga tahu bahwa pelayanan Sdr. Vicente masih diperlukan di Timor Leste sana. Dalam hati saya hanya dapat berdoa, “Kehendak-Mu yang terjadi, ya Tuhan Allahku.” Allah telah menyatakan kehendak-Nya kemarin siang. Pada waktu kunjungan itu saya juga membawa sebuah buku tua terbitan LBI/Penerbit Nusa Indah (1975) yang berjudul SEJARAH PENYELAMATAN. Buku karangan J.S. Croatto itu saya beli pada tahun 1979, dan buku itu diterjemahkan oleh Vicente Kunrath OFM (aslinya berbahasa Portugis). Maksud saya membawa buku itu ke S. Carolus adalah untuk minta tanda-tangan Sdr. Vicente sebagai kenang-kenangan, akan tetapi kemudian saya mengurungkan niat saya yang agak ‘konyol’ itu.
Sdr. Vicente Kunrath dilahirkan di Fao, Brasil tanggal 27 Juni 1933. Beliau masuk biara tahun 1950 dan ditahbiskan imam pada tahun 1955. Beliau adalah dari keluarga turunan Jerman-Italia yang datang ke negeri Samba (ketika ditanya oleh Sdr. Irwan, beliau mengaku sudah lupa bagaimana menari Samba). Dari jauh-jauh sana, beliau datang ke negeri kita, sebagai seorang imam-misionaris, seorang Fransiskan sejati. Lebih dari 40 tahun berkiprah di ladang Tuhan yang bernama Indonesia ini (termasuk Timor Timur yang sekarang disebut Timor Leste). Benih-benih yang ditaburkannya tentunya sudah dapat dirasakan hasilnya oleh kita semua. Pertemuan Persaudaraan OFS Santo Ludovikus IX di ruang P.A. Vincentius (Kramat Raya) pada bulan September 1993 adalah pertemuan pertama kali bagi Sdri. Esther dan saya, dan juga merupakan perkenalan kami dengan Sdr. Vicente yang hadir untuk membantu pembinaan para anggota OFS. Kemungkinan besar kami berdua tidak melanjutkan dengan pertemuan kedua, seandainya tidak bertemu dengan beliau pada pertemuan pertama itu. Penyelenggaran Ilahi memang luarbiasa, tak terbayangkan oleh imajinasi manusia dan tak terpikirkan oleh otak kita! Memang ada beberapa hal yang membuat saya pribadi sangat mengagumi dan menghormati Sdr. Vicente ini, namun biarlah saya kemukakan satu saja di sini: Bagi saya, dia adalah gambaran hidup dari Santo Fransiskus sendiri. Saya tahu, bahwa dia juga tahu pandangan saya itu! Selamat jalan Pater Vicente!
Merenungkan misteri kematian
Setiap kali kita berhadapan dengan peristiwa kematian, apakah kematian anggota keluarga, sahabat dan lain sebagainya, tidak salahlah bagi kita untuk kembali merenungkan makna kematian bagi kita masing-masing sebagai seorang Kristiani. Baiklah saya ‘start’ dengan firman Allah dalam Kitab Suci.
Sikap Kristiani terhadap kematian bersifat positif. Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru kita dapat menemukan dan membaca sejumlah catatan tentang sikap positif Kristiani terhadap kematian yang patut kita teladani. Dalam suratnya yang paling tua, Santo Paulus mengatakan: “……jikalau kita percaya bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa dengan perantaraan Yesus, Allah akan mengumpulkan bersama-sama dengan Dia mereka yang telah meninggal” (1Tes 4:14). Santo Paulus juga menulis betapa rindu dia untuk mati sehingga dapat tinggal bersama Kristus: “Aku ingin pergi dan tinggal bersama-sama dengan Kristus – itu memang jauh lebih baik” (Flp 1:23). Penulis surat kepada orang Ibrani juga mengungkapkan kerinduan para saksi-iman untuk mati: “… sekarang mereka merindukan tanah air yang lebih baik, yaitu tanah air surgawi … Allah tidak malu disebut Allah mereka, karena Ia telah mempersiapkan sebuah kota bagi mereka” (Ibr 11:16).
Sayangnya kebanyakan dari kita tidak memiliki sikap positif seperti ini. Bagi kebanyakan dari kita, kematian mengkonfrontasikan iman-kepercayaan kita dengan mengungkapkan ketakutan dan keragu-raguan kita. Keterlekatan kita pada segalanya yang duniawi menjadi dapat terlihat dan puncak ketidak-berdayaan kita pun tidak dapat ditutup-tutupi lagi. Namun demikian, dari sejak awal harus kita camkan, bahwa Yesus Kristus menghendaki kita untuk menghadapi kematian serta segala misterinya, dan memperkenankan Roh Kudus untuk mencabut sengat maut.
Tantangan kematian. Tantangan yang kita hadapi berkaitan dengan kematian adalah pertanyaan, apakah kita menaruh kepercayaan kepada Yesus Kristus dan janji-janji kebangkitan-Nya? Apakah kita sepenuhnya memandang Dia sebagai andalan kita satu-satunya? Apakah kita berpegung teguh pada janji-njanji-Nya itu? Ini merupakan tantangan yang bersifat hakiki. Kita dapat melakukan hal ini hanya apabila hidup kita kuat berakar dalam doa, laku-tobat dan Ekaristi. Dalam doa-doa, kita dapat memperkenankan Roh Kudus untuk dengan lemah-lembut meyakinkan kita bahwa Yesus itu sungguh riil dan surga itu juga sungguh-sungguh riil. Dengan melakukan pertobatan setiap hari (tentunya juga dengan mengakukan dosa-dosa kita kepada imam dalam Sakramen Tobat secara teratur), kita dapat mengalami damai-sejahtera yang datang dari pengetahuan, bahwa berbagai relasi kita dengan Allah dan sesama yang sempat rusak telah mampu diperbaiki. Sakramen Tobat juga disebut Sakramen Rekonsiliasi, bukan? Dalam Ekaristi Kudus, kita dapat melihat Yesus datang kepada kita, memperbaharui kita, dan memberdayakan kita agar dapat menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada diri-Nya – meski dalam situasi yang paling sulit sekali pun dalam hidup kita.
Apabila dalam menghadapi tantangan kematian itu kita tetap berada dekat Yesus, maka kita akan mengalami kuat-kuasa Allah yang melembutkan hati kita, dan kita pun akan merasa tergerak untuk melakukan hal-hal yang biasanya kita tidak mau lakukan. Misalnya, kita dapat mohon maaf atau pengampunan dari seseorang, atau kita akhirnya dapat menerima permohonan maaf seseorang yang telah begitu melukai hati kita. Kita menjadi mau mengasihi orang-orang lain secara lebih mendalam ketimbang sebelumnya. Kita juga dapat lebih bersyukur atas semua berkat yang telah kita terima selama ini. Bahkan kita juga dapat menjadi lebih reflektif dan kurang direpotkan oleh kesusahan-kesusahan harian kita selagi kita melangkah maju ke masa depan surgawi kita.
Perspektif yang baru atas kematian
Pada suatu hari seorang saudara muda pergi menemui Fransiskus yang sedang bekerja di kebun. Dia bertanya: “Saudara Fransiskus, apa yang akan saudara lakukan seandainya engkau tahu bahwa Yesus akan datang kembali pada hari ini?” Fransiskus menjawab dengan sederhana, “Saya akan tetap mencangkul tanah di tamanku ini.” Hal ini menunjukkan bahwa Fransiskus siap menghadapi kedatangan Yesus, di mana dan kapan saja! Inilah yang saya lihat pada wajah Sdr. Vicente ketika masih berbaring di S. Carolus pada siang hari Kamis lalu. Sdr. Vicente tentu memiliki secercah harapan untuk masih dapat melayani (seperti dikatakannya kepada Sdri. Esther lewat sebuah anggukan ketika ditanya), paling sedikit untuk selama beberapa tahun lagi, tapi memang kalau dijemput oleh Saudari Maut-badani, dia pun sudah siap.
Hari ini saya sudah berumur lebih dari 65 tahun. Kalau dilihat dari satu sisi, saya memang sudah tua dalam usia dan saya hanya mempunyai beberapa tahun lagi untuk hidup di dunia ini. Namun kalau dilihat dari sisi lain, saya sebenarnya dapat mengatakan bahwa saya masih muda usia dan dan di depanku masih ada rentangan waktu yang cukup panjang bagiku untuk melakukan banyak hal bagi Allah dan sesama. Namun pada kenyataannya tidak seorangpun mengetahui kapan Tuhan Yesus akan memanggilku pulang ke Rumah Bapa.
Dengan demikian, meskipun kelihatannya kita masih mempunyai waktu yang cukup panjang untuk hidup di dunia ini, kita harus selalu memiliki perspektif terhadap kematian yang mencakup di dalamnya kemungkinan bahwa kematian mungkin saja terjadi hari ini. Beberapa hari lalu seorang lelaki muda tetangga kami meninggal dunia karena kecelakaan di kawasan Dago, Bandung. Umurnya baru 30’an tahun saja. Bulan lalu seorang anggota lingkungan kami juga meninggal dunia pada usianya yang 50’an tahun.
Jadi, entah kita sedang menderita sakit atau masih sehat walafiat, kita harus mempersiapkan dengan baik pertemuan kita dengan Tuhan. Ada orang yang mengatakan, “Kalau aku tahu bahwa aku akan mati hari ini, maka mungkin sekali aku akan mengubah rencana-rencanaku untuk hari ini.” Sekarang bagaimana dengan sikap Saudara-saudari pembaca tulisan ini? Apakah anda akan bersikap lebih-lebih seperti Santo Fransiskus dari Assisi di tamannya seperti diceritakan di atas, ataukah bersikap lebih mirip dengan orang ini?
Kalau seandainya saudara-saudari merasa takut atau ragu-ragu, maka janganlah merasa malu. Ingatlah, bahwa Yesus pun ditimpa rasa takut pada waktu sakratmautnya di taman Getsemani. Namun apakah yang dilakukannya? Dia mohon kepada Bapa-Nya agar supaya diberikan penghiburan dan kekuatan. Oleh karena itu marilah kita menjadikan Yesus sebagai ‘model’ kita semua. Berdoalah kepada Bapa surgawi guna menghibur dan memberikan kedamaian kepada kita. Semoga berkat Allah Tritunggal Mahakudus selalu menyertai dan menguatkan anda sekalian.
Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesengsaraan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Seperti ada tertulis: “Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan” [Mzm 44:23]. Tetapi dalam semuanya itu kita lebih daripada orang-orang yang menang, melalui Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita (Rm 8:35-39).
Hai maut dimanakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu? Sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah hukum Taurat. Tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan melalui Yesus Kristus, Tuhan kita (1Kor 15:55-57).
Ia akan meniadakan maut untuk seterusnya; dan Tuhan ALLAH akan menghapuskan air mata daripada segala muka; dan aib umat-Nya akan dijauhkan-Nya dari seluruh bumi, sebab TUHAN telah mengatakannya (Yes 25:8).
Cilandak, 5 September 2009
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS