Pada waktu dia berdoa berjam-jam lamanya di gua-gua luar kota Assisi, Fransiskus untuk pertama kali menemukan apa yang diinginkan Allah untuk dilakukan olehnya. Juga hanya setelah banyak berdoa sendiri dan lewat doa-doa orang lain juga, Fransiskus membuat sejumlah keputusan atau melaksanakan tugas-tugas penting. Hanya oleh doa yang tetap dan terus-menerus Fransiskus mampu untuk selalu dipenuhi sukacita, kesabaran dan kemurahan-hati, meskipun pada saat-saat mengalami penderitaan dan pencobaan.
DOA FRANSISKUS DI DEPAN SALIB*)
Allah yang mahatinggi dan penuh kemuliaan, terangilah kegelapan hatiku dan berilah aku iman yang benar, pengharapan yang teguh, dan kasih yang sempurna. Berilah aku, ya Tuhan, perasaan yang peka dan budi yang cerah, agar aku mampu melaksanakan perintah-Mu yang kudus dan takkan menyesatkan. [DoaSlb]
Pada tulisan saya yang berjudul “DOA-DOA PRIBADI DALAM KEHIDUPAN SEORANG FRANSISKAN SEKULAR” (No. UMUM/OFS/ S. THOMAS MORE 2009/02) yang digunakan dalam pertemuan OFS Persaudaraan Santo Thomas More pada hari Minggu tanggal 15 Februari 2009, saya mengemukakan bahwa kalau kita mau membahas spiritualitas, memenuhi panggilan Allah kepada kekudusan atau hidup saleh, maka kita – tidak dapat tidak – haruslah membahas dan mendalami hal-ikhwal doa, teristimewa yang menyangkut doa-doa pribadi. Dan, kalau kalau kita berbicara tentang doa dikaitkan dengan spiritualitas Fransiskus dan/atau Fransiskan, maka kita harus melihat kehidupan doa orang kudus itu.
Sebelum kita membahas doa Fransiskus di depan salib ini, kita mulai dengan membahas secara singkat kehidupan doa Santo Fransiskus dulu.
FRANSISKUS DAN DOA
Setiap orang kudus yang dikanonikasikan oleh Gereja sebagai santo dan santa, pastilah seorang pendoa. Dapat kita katakan, bahwa tingkat kekudusan/kesucian seseorang mempunyai hubungan langsung dengan tingkat kehidupan doanya.
Yang jelas Santo Fransiskus adalah seorang manusia pendoa par excellence, sampai-sampai Beato Thomas dari Celano mengatakan, bahwa Fransiskus bukan sekedar berdoa, tetapi sudah menjadi doa itu sendiri” – Latin: “Totus non tam orans, quam oratio factus”(2Cel 95).[1]
Pentingnya doa dalam kehidupan Fransiskus.
Pada waktu dia berdoa berjam-jam lamanya di gua-gua luar kota Assisi, Fransiskus untuk pertama kali menemukan apa yang diinginkan Allah untuk dilakukan olehnya. Juga hanya setelah banyak berdoa sendiri dan lewat doa-doa orang lain juga, Fransiskus membuat sejumlah keputusan atau melaksanakan tugas-tugas penting. Hanya oleh doa yang tetap dan terus-menerus Fransiskus mampu untuk selalu dipenuhi sukacita, kesabaran dan kemurahan-hati, meskipun pada saat-saat mengalami penderitaan dan pencobaan. Juga, hanya dengan mengundurkan diri ke gubuk-gubuk pertapaan di gunung, di mana dia berdoa berhari-hari dan bahkan berminggu-minggu lamanya, maka Fransiskus mampu mengobarkan kembali dan menopang cintanya yang besar kepada Allah dan cintanya kepada semua ciptaan Allah. Pada waktu berdoa dalam sebuah gubuk pertapaan di gunung La Verna, Fransiskus menerima karunia stigmata Tuhan di tubuhnya. Dia juga meninggal dunia dengan doa di bibirnya.
Para penulis riwayatnya yang awal juga menyoroti kehidupan doa Fransiskus. Santo Bonaventura (1221- 1274), juga seorang kudus Fransiskus dan pendoa, melukiskan betapa pentingnya doa dalam kehidupan Fransiskus:
Hamba Kristus, Fransiskus, merasa, bahwa selama dia merantau dalam tubuhnya di dunia, dia merasa jauh dari Tuhan, meskipun dia karena cintakasih Kristus telah membuat dirinya mati rasa sepenuhnya terhadap keinginan-keinginan duniawi. Agar dia jangan sampai tanpa hiburan sang Kekasih, maka dia berdoa dengan tak kunjung putus dan berusaha keras untuk senantiasa menghadirkan Allah dalam batinnya. Memang doa memberikan hiburan kepadanya, apabila dia bersemadi. Karena dia sudah menjadi sewarga dengan para malaikat dan berada di dalam lingkungan kediaman-kediaman surgawi, maka dengan keinginan yang bernyala-nyala dia mencari Kekasihnya; dari Dia hanya terpisah oleh dinding tubuhnya. Juga dalam mengerjakan sesuatu dia mendapat bantuan dalam doa. Justru karena dalam semuanya yang dikerjakannya, dia tidak percaya akan daya-upayanya sendiri tetapi menaruh kepercayaan pada kasih-sayang Ilahi, maka lebih dahulu menyerahkan segala kekuatirannya kepada Tuhan dalam doa yang hangat dan mendesak. Dinyatakannya dengan tegas, bahwa seorang religius harus menginginkan rahmat berdoa di atas segala-galanya, karena dia pun yakin, bahwa tanpa rahmat berdoa itu tiada seorang pun dapat mencapai kemajuan dalam pengabdian kepada Allah; dan sekadar dia dapat, dia mendorong saudara-saudaranya untuk rajin berdoa. Sebab entah dia berjalan entah dia duduk, entah di dalam entah di luar rumah, entah dia bekerja entah dia mengaso, dia asyik berdoa, sehingga kelihatannya dia membaktikan bukan hanya seluruh hatinya dan tubuhnya, tetapi juga segala pekerjaannya dan segala waktunya kepada doa (LegMaj X:1).
Praktek doa Fransiskus
Bagaimana Fransiskus berdoa? Metode doanya? Di mana dia berdoa? Kapan saja dia berdoa? Bentuk-bentuk doa seperti apa yang digunakannya? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini berurusan dengan praktek doa Fransiskus. Jawaban atas masing-masing pertanyaan ini tidaklah sederhana, karena Fransiskus berdoa dengan banyak cara dan di banyak keadaan yang berbeda-beda.
Fransiskus banyak berdoa, misalnya pada saat menghadapi krisis dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan Ordo-nya. Dia berdoa dengan lebih bersungguh-sungguh pada hari-hari pesta gerejawi dan selama masa pertobatan seperti Adven dan Prapaskah. Dia berdoa dengan sangat intens sebelum berkhotbah kepada umat dan juga pada saat-saat menanggung penderitaan.
Di mana Fransiskus berdoa? Dia senang sekali berdoa di tempat-tempat yang sunyi: di gua-gua, di tengah hutan, atau di daerah pegunungan yang tinggi. Namun dia juga suka berdoa di gereja-gereja, teristimewa doa Ofisi Ilahi (Ibadat Harian) dengan para saudaranya. Fransiskus juga suka berdoa di tengah-tengah warga kota biasa atau para petani di ladang-ladang di luar kota, di mana saja kiranya dia sedang berada. Kadangkala dia berdoa dengan bersembah sujud di tanah, namun dia juga suka berdoa sambil berlutut, atau sambil berjalan kaki, atau berdiri.
Sehubungan dengan bentuk-bentuk doa yang digunakannya, Fransiskus menggunakan banyak bentuk doa. Dia suka sekali melambungkan puji-pujian secara pribadi kepada Allah; namun dia juga menyukai doa-doa formal Ofisi Ilahi dan Misa Kudus, doa-doa resmi Gereja; dan dia menuntut doa-doa liturgis menjadi doa-komunal resmi bagi Ordonya.
Akan tetapi Fransiskus juga menyukai jenis-jenis doa lain. Kadangkala dia berdoa dengan para saudaranya dalam suatu jenis doa bersama (shared prayer), namun yang lebih sering terjadi adalah dia berdoa sendiri, baik dalam keheningan maupun dengan mengulang-ulang frase tertentu, seperti : “Ya Allah, kasihanilah aku orang yang berdosa” (1Cel 26). Dalam ‘Permenungan Ketiga – Fransiskus Mendapat Stigmata’ di hutan gunung La Verna Saudara Leo mendengar Fransiskus berulang-ulang kali mengucapkan ‘doa’ ini: “Siapakah Engkau Tuhan Allah yang amat manis?” (Fioretti edisi Sekafi, hal. 217).
Dari Fioretti yang sama kita dapat membaca, bahwa karena mengira Bernardus sudah tidur nyenyak, Fransiskus bangkit dari tempat tidurnya dan berlutut untuk berdoa. Sambil menengadahkan mata dan mengangkat kedua tangannya ke langit, ia pun berseru dengan penuh kehangatan dan rasa saleh, “Deus meus et omnia” (Allahku dan segalanya-ku). Seruan itu didaras terus-menerus sambil mencucurkan air mata hingga fajar (Fioretti 2). Dalam hal ini Fransiskus tercekam dalam kontemplasi dan kekaguman akan luhurnya kemahakuasaan Allah yang telah sudi turun ke dunia. Diterangi oleh Roh Kenabian, Fransiskus melihat hal-hal besar yang akan dikerjakan Allah lewat dia dan Ordonya. Menyadari ketidakpantasan serta kekurangannya akan keutamaan, maka dia pun berseru kepada Allah dan memohon belaskasihan dan kekuatan-Nya untuk menolong serta menyempurnakan semua yang tak dapat diselesaikannya sendiri (lihat Fioretti edisi Sekafi, hal. 20-21).
Thomas dari Celano menulis, bahwa manakala Fransiskus berdoa dalam hutan atau tempat-tempat yang sunyi-terpencil, maka dia akan memenuhi hutan dengan keluh-kesah dan rintihan, mengairi tempat-tempat itu dengan air matanya, dan berbicara kepada Tuhan dengan kata-kata yang layaknya ditujukan kepada seorang teman (2Cel 95).
Dengan demikian, kita samasekali tidak dapat membatasi praktek doa Fransiskus seakan-akan terpaku pada satu bentuk doa tertentu, metode doa tertentu atau jenis doa tertentu.
Doa-doa Fransiskus
Fransiskus mewariskan kepada kita sejumlah doa yang disusun olehnya sendiri atau yang sering digunakannya. Studi tentang doa-doa Fransiskus dapat memberikan kepada kita beberapa wawasan, paling sedikit ke dalam aspek-aspek tertentu hidup doa orang kudus ini. Di samping itu, penggunaan doa-doa Fransiskus ini dapat memperkaya hidup doa kita sendiri.
Dalam tulisan ini akan diuraikan sebuah doa yang sangat dikenal dalam keluarga besar Fransiskan, yaitu “Doa di depan Salib”, sebagai awal dari studi-studi selanjutnya sehubungan dengan doa-doa Santo Fransiskus dari Assisi.
DOA DI DEPAN SALIB
Doa pertama yang disusun oleh Fransiskus ini cukup singkat. Tanggal penyusunannya diperkirakan sekitar tahun 1205 dan 1206[2], pada waktu Fransiskus masih mencari-cari tahu mengenai panggilannya dan berjuang melawan berbagai godaan dan keragu-raguan. Doa ini dinamakan juga “doa pertobatan Fransiskus”, namun hal itu tidak berarti bahwa doa tersebut disusun pada saat pertobatannya. Orang kudus ini telah menghaturkan doa-doa dengan cara yang sama sebelum dia menyusunnya seperti kita kenal sekarang:
Bahasa Italia
Terjemahan ke dalam Bahasa Inggris
Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia
Altissimo glorioso Dio,illumina le tenebre de lo core mio et dammi fede retta, speranza certa e carita perfectasenno e congnoscemento,Signore, che faccialo tuo santo e verace comandamento.Amen.
Most High, glorious God,enlighten the darkness of my heart and give me true faith, certain hope, and perfect charity, sense and knowledge, Lord, that I may carry out Your holy and true command.
Allah yang mahatinggi dan penuh kemuliaan, terangilah kegelapan hatiku dan berilah aku iman yang benar, pengharapan yang teguh, dan kasih yang sempurna.Berikanlah aku, ya Tuhan, perasaan yang peka dan budi yang cerah, agar aku mampu melaksanakan perintah-Mu yang kudus dan takkan menyesatkan.
Catatan:
Teks doa dalam bahasa Italia kuno di atas masih dapat dilihat dalam sebuah manuskrip yang disimpan di Oxford. Di situ pula kita dapat temukan catatan-catatan sehingga doa ini segera diterjemahkan ke dalam bahasa Latin agar menjadi lebih bermanfaat dalam arti dapat dipahami di seluruh dunia.
Teks doa itu sendiri pun memberikan dasar bagi keotentikannya. Tiga keutamaan ilahi, yaitu iman, harapan dan kasih, merupakan pokok yang dibahas secara panjang lebar oleh para pengarang abad pertengahan dan periode sebelumnya (Agustinus, Petrus Lombardus). Fransiskus kiranya juga terkena pengaruh suasana itu, dan dia berdoa dengan pokok-pokok tersebut. Tema yang sama juga kita jumpai dalam tulisannya yang lain, yaitu dalam AngTBul XXIII:11. “Doa di depan Salib” ini jelas cocok sepenuhnya dengan kesalehan Fransiskus (lihat LLL, hal. 85).
Memang menarik untuk mengetahui, bahwa doa pertama dan doa terakhir Fransiskus yang masih terpelihara bagi kita sampai hari ini adalah dalam bahasa ibunya, bahasa Italia, yaitu “Doa di depan Salib” dan “Nyanyian Saudara Matahari”. Semua tulisan Fransiskus lainnya didiktekan olehnya dalam bahasa Italia (sebagian dalam bahasa Latin yang buruk) yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh seorang saudara yang fasih dalam bahasa Latin.
Penerjemahan “Doa di depan Salib” juga mengalami beberapa kesulitan dan kelihatannya tidak memuaskan semua pihak. Namun terjemahan dalam bahasa Latin dan kedua terjemahan di atas boleh dianggap sebagai terjemahan yang cukup setia.
Latar belakang
Sudah cukup lama Fransiskus tidak seperti biasanya, seorang laki-laki muda yang senang bergaul, seorang pemimpin kaum muda di kota Assisi yang memiliki sifat ceria dan selalu kelihatan riang gembira. Sekarang dia berjalan dengan gontai karena banyak pikiran. Bahkan mimpi buruk sering mengganggu tidurnya. Dia tidak tahu apa dengan tepat apa yang dia ingin lakukan dengan hidupnya, apa yang sedang terjadi dengan dirinya atau apa yang salah dengan dirinya. Hanya satu hal saja yang jelas bagi dirinya: impian-impiannya untuk menjadi seorang ksatria telah punah, dan dia belum menemukan kebahagiaan yang dikejar-kejarnya sebagai seorang ksatria-pejuang.
Dipenjarakannya Fransiskus di Perugia dan penyakit yang diakibatkan oleh pemenjaraan dirinya itu, telah membuatnya menjadi seorang yang introvert, dan suka termenung-menung tidak seperti biasanya. Di atas semua ini, suasana rumah tangga Bapak Pietro Bernardone sama sekali tidak menunjang. Di satu sisi ada Fransiskus yang tidak mau menuruti rencana ambisius sang ayah bagi dirinya. Di sisi lain, Pietro Bernardone sang usahawan yang memiliki aspirasi-aspirasi sosial, merasa kaget dan marah sekali terhadap sikap puteranya, yang dipandangnya tidak mampu mengambil keputusan dan tidak memiliki ambisi sama sekali.
Pada kenyataannya, pada waktu itu praktis Fransiskus telah memisahkan diri dari keluarganya. Dia tidak berniat untuk mencoba sedikit pun apa yang diinginkan oleh ayahnya. Sebaliknya dia mencari tempat-tempat yang sunyi agar dapat berkomunikasi dan menyatu dengan Allah dalam doa-doanya. Dia menghindar dari teman-temannya dan akhirnya dia hidup bersama para penderita kusta. Di sanalah, di tengah-tengah orang-orang yang tersisihkan dari masyarakat, Fransiskus mengalami suatu pembalikan sikap dan perilaku secara total dan lengkap. Dalam wasiatnya orang kudus ini mengatakan:
“Ketika aku dalam dosa, aku merasa amat muak melihat orang kusta. Akan tetapi Tuhan sendiri menghantar aku ke tengah mereka dan aku merawat mereka penuh kasihan. Setelah aku meninggalkan mereka, apa yang tadinya terasa memuakkan, berubah bagiku menjadi kemanisan jiwa dan badan; dan sesudahnya aku sebentar menetap, lalu aku meninggalkan dunia” (Was 1-3).
Dahulu dia bereaksi negatif bila bertemu dengan orang kusta, sekarang berubah menjadi belarasa. Yang dahulu memuakkan, sekarang menjadi sesuatu yang menyenangkan. Yang dahulu ditolak olehnya dengan sikap angkuh, sekarang dirawatnya dengan penuh kelembutan karena dia sungguh menemukan sukacita yang luarbiasa besar dalam melayani para penderita kusta itu. Ketika pada akhirnya dia telah mampu mengatasi rasa jijiknya lalu merangkul seorang kusta, Fransiskus pun menemukan dirinya sendiri, dirinya yang baru, dan menemukan berbagai kemungkinan di dalam dirinya yang tak pernah dimimpi-mimpikan olehnya sebelum itu.
Pada waktu memandang masa depan yang masih remang-remang Fransiskus sekilas menangkap adanya sesuatu yang menunggu dia, yang berbeda sekali dengan perang dan perdagangan, meskipun dia belum dapat memastikan apa kiranya “sesuatu” itu. Namun yang terpenting adalah, bahwa dirinya sekarang sudah terbuka lengkap dan total dan siap untuk mengubah cara hidupnya. Peristiwa-peristiwa yang baru dialaminya telah memberikan kepadanya standar-standar penilaian baru, nilai-nilai baru yang belum pernah dipikirkannya dengan serius sebelumnya, bahkan yang dibencinya karena terasa jijik. Dengan kata lain dia telah menemukan Allah dan para penderita kusta; dan penemuan tersebut begitu mengubah dirinya, sehingga sekarang dia mungkin memiliki semacam perasaan awal bahwa dia sedang dipanggil untuk suatu kehidupan yang lebih tinggi (LL II, hal.3).
Dalam hatinya Fransiskus sudah berubah sama sekali, … pada suatu hari dia berjalan di dekat gereja San Damiano, yang nyaris runtuh dan telah ditinggalkan setiap orang.[3] Dibimbing oleh Roh dia masuk ke dalam untuk berdoa dan dia bersujud dengan penuh bakti di depan Salib Kristus. Secara luar biasa dia terkesan oleh pengalaman tak biasa ini, dan dia merasa lain sama sekali daripada ketika dia memasuki gereja itu. Di dalam keadaan itu tiba-tiba – hal mana belum pernah terdengar sejak berabad-abad, – gambar Kristus yang tersalib menggerakkan bibirnya dan berbicara kepadanya. Gambar di salib itu memanggil namanya dan berkata: “Fransiskus, pergilah dan perbaikilah rumah-Ku, yang kaulihat sudah roboh seluruhnya ini.” Fransiskus amat terkesima, gemetar dan bicara menggagap seperti seorang tidak waras. Ia menyiapkan dirinya untuk untuk taat dan memberikan dirinya secara penuh untuk melaksanakan perintah ini (2Cel 10; bdk K3S 13).[4]
“Dia memberikan dirinya secara penuh untuk melaksanakan perintah ini …” Dalam kata-kata yang digunakan oleh Thomas dari Celano ini kita dapat melihat suatu allusi terhadap doa yang sedang kita pelajari saat ini, di mana Fransiskus juga menyebutkan sebuah “perintah”.[5] Apa pun yang terjadi, narasi Thomas dari Celano menggambarkan dengan tepat konteks dalam mana kita harus menempatkan doa ini. Sayang sekali Thomas dari Celano tidak memberikan kepada kita teks doa tersebut. Namun bersama doa-doa Fransiskus lainnya, “Doa di depan Salib” ini sampai ke tangan kita lewat beberapa manuskrip kuno yang menunjukkan bahwa Santo Fransiskus sering mendoakan doa ini dengan menggunakan bahasa Italia, dan dia juga mengajarkan para saudaranya untuk mendoakan doa yang sama.
SALIB SAN DAMIANO
Pater Leonard Lehman OFMCap. mengatakan, bahwa kalau kita mau memahami doa ini, kita harus mengingat fakta kedua, yaitu bahwa Fransiskus mendoakannya di depan Salib Kristus di gereja San Damiano (LL I, hal. 3).
“Salib” San Damiano ini sesungguhnya sebuah ikon yang berukuran 2,10m x 1,30m. Sekarang salib ini ada di Gereja Santa Klara di Assisi. Lukisannya ditempelkan pada potongan kayu kenari, beraliran Umbria dan menunjukkan pengaruh Syro-Byzantin yang menonjol, dilukis pada abad ke-12 oleh seorang seniman tak dikenal.[6] Warnanya terang dan hidup. Kristus tidak ditampilkan sebagai seseorang dengan wajah sedih-muram, akan tetapi sebaliknya: Penampilan-Nya agung seperti seorang Raja dengan pandangan mata seakan-akan mau melihat-tembus ke dalam jiwa orang yang memandangi salib tersebut. Tangan-tangan-Nya terentang, namun tanpa terlihat adanya tanda-tanda ketegangan. Ia berdiri, dan tidak tergantung di salib. Lagipula, ikon itu menggambarkan keseluruhan misteri Paskah – penyaliban, kebangkitan dan kenaikan ke surga, juga mereka orang-orang yang terlibat dalam peristiwa penyaliban, beserta para malaikat pada waktu kebangkitan dan para perempuan di luar kubur yang kosong. Para rasul juga ditunjukkan, mereka memandangi Kristus yang naik ke surga.
Di bagian atas salib terlihat pintu gerbang surga, dengan tangan Bapa surgawi yang terlihat diulurkan untuk memberkati Putera-Nya, yang telah melakukan kehendak-Nya, “taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp 2:8). Tangan Bapa yang diulurkan untuk memberkati mungkin mau menggambarkan Roh Kudus, yang disebut sebagai “jari dari tangan kanan Allah (digitus paternae dexterae) seperti kita dapat dengar pada Misa Pentakosta. Kalau demikian halnya, maka ikon ini menghubungkan orang yang memandanginya dengan Trinitas: Bapa, Putera dan Roh Kudus. Ikon ini menarik perhatian Fransiskus secara istimewa.
Figur sentral dalam ikon itu, Kristus Tuhan, menyita seluruh perhatian Fransiskus; menjadi hidup baginya dan menyentuhnya secara mendalam. Ia merasakan bahwa Kristus secara pribadi sedang memandangnya dengan mata yang penuh daya tarik, namun menembus, dan dengan tangan yang terentang mengundang dia untuk merenungkan pemikiran ini: “Hai Fransiskus, tidakkah kaulihat betapa reyot rumah-Ku? Jadi, pergilah memperbaikinya bagi-Ku!” (K3S 13).
Thomas dari Celano dan “Kisah Tiga Sahabat” memandang peristiwa San Damiano sebagai suatu mukjizat. Santo Bonaventura malah lebih menekankan lagi unsur mukjizat itu dengan menceritakan kepada kita bahwa suara dari salib itu didengar oleh Fransiskus bukan satu kali, melainkan sebanyak tiga kali (LegMaj II:1). Pater Leonard Lehman OFMCap. mengatakan, bahwa tidak perlulah menghubungkannya dengan mukjizat untuk menekankan pentingnya peristiwa itu. Peristiwa itu sendiri bahkan lebih signifikan apabila kita memandangnya pada tingkat alami (LL I, hal. 4).
Ada situasi-situasi di mana kata-kata tertentu memiliki suatu arti istimewa bagi kita; ada pula saat-saat di mana kita memahami dengan jelas adanya sesuatu yang sampai sekarang telah menghindar dari kita, perjumpaan-perjumpaan di mana kita mengenal diri kita dengan lebih baik, gambar-gambar yang meninggalkan suatu kesan tak terlupakan bagi kita. Kita kadang-kadang berkata: “Hal itu sangat berarti bagiku. Peristiwa itu memberi pesan kepadaku. Kejadian itu berbicara kepadaku.”
Dengan demikian kita dapat memahami kata-kata Kristus kepada Fransiskus di San Damiano dalam artian itu. Ikon San Damiano, gambar Kristus dengan pandangan-Nya yang tajam, dapat memberi kesan kepada Fransiskus begitu mendalam, justru pada waktu dia sedang mencari-cari dalam menggeluti panggilannya dalam hidup. Maka kita dapat mengerti, bahwa dia begitu tersentuh sampai sedalam-dalamnya sehingga seakan ditarik untuk mengikuti Sang Tersalib sepanjang hidupnya. Fransiskus merasakan dirinya begitu dipengaruhi secara mendalam oleh Kristus pada kayu salib San Damiano, sehingga dia tidak banyak mempunyai pilihan, kecuali menanggapi pesan Yesus dari salib itu dengan melakukan apa yang diminta kepadanya.
STRUKTUR DOA
Doa ini memang mencerminkan situasi yang dihadapi Fransiskus pada waktu itu. Doa ini ditujukan kepada Allah Bapa yang disapa sebagai yang mahatinggi dan penuh kemuliaan. Fransiskus berlutut di hadapan Allah yang mahatinggi dan penuh kemuliaan ini dengan hatinya diliputi kegelapan, dan diapun tahu bahwa penerangan/pencerahan hanya dapat datang dari Dia yang adalah Terang. Oleh karena itu dia memohon kepada Allah, pertama-tama untuk “menerangi kegelapan hatinya”; dan kedua untuk memberikan empat hal, yaitu “iman yang benar, pengharapan yang teguh, dan kasih yang sempurna, perasaan yang peka dan budi yang cerah”.
Permohonan pertama, “terangilah kegelapan hatiku”[7]terdiri dari kata-kata yang jumlahnya lebih sedikit dan mengandung makna yang lebih umum ketimbang permohonan yang kedua. Pengucapan kata “Tuhan” untuk kedua kalinya lebih singkat, namun berujung pada seluruh pokok doa ini, yaitu keinginan mendalam Fransiskus untuk mengetahui/mengenali dan melakukan kehendak Allah.
Maka doa ini mempunyai suatu dinamika internalnya sendiri. Sambil berlutut di hadirat Tuhan dan Allah-nya, Fransiskus mengakui bahwa hatinya dipenuhi kegelapan dan keragu-raguan. Setiap kemampuan hati dan pikirannya diterimanya dari Allah saja dan semua itu harus membawanya kembali kepada Allah. Meskipun dia sedang gundah-gulana atau merasa gamang, dia tidak hanya mohon iman, harapan dan cinta-kasih, melainkan keseluruhan doanya diarahkan pada satu sasaran, yaitu agar mampu “melaksanakan perintah Allah yang kudus dan benar.”
Doa ini berbicara banyak tentang cara berpikir Fransiskus. Ia mulai dengan menyapa Allah dan mengakhirinya dengan tujuan melaksanakan perintah Allah yang kudus. Dua butir sangat penting dari doa ini adalah “berikan” dan “ melaksanakan”: Allah memberi agar kita dapat melaksanakan perintah-Nya (kehendak-Nya). Dalam Wasiat-nya, Fransiskus menulis: “Beginilah Tuhan menganugerahkan kepadaku, Saudara Fransiskus, untuk mulai melakukan pertobatan……” (Was 1); “Tuhan memberi aku anugerah ……” (Was 4); “Lalu Tuhan menganugerahkan ……” (Was 6); “Sesudah Tuhan memberi aku sejumlah saudara ……; tetapi Yang Mahatinggi sendiri mewahyukan kepadaku ……” (Was 14).
Permenungan atas “Doa di depan Salib”
“Allah yang mahatinggi dan penuh kemuliaan”
Selagi Fransiskus memandang wajah agung Sang Tersalib pada ikon di San Damiano, bagaimana lagi dia dapat menyapa Allah selain sebagai “Allah yang mahatinggi dan penuh kemuliaan”? Bagi Fransiskus, Kristus yang tersalib adalah Allah, dan Allah adalah Yang Mahatinggi, bahkan ketika menderita hinaan di kayu salib. Di masa depan Fransiskus akan seringkali menyapa Allah seperti itu – “Allah Yang Mahakuasa, Mahakudus, Mahatinggi dan Mahaluhur, Engkaulah segala kebaikan, paling baik, seluruhnya baik, hanya Engkau sendiri yang baik” (PujIb 11). “Allah Yang Mahakuasa, Mahakudus, Mahatinggi dan Mahaluhur” (AngTBul XXIII:1).
“Nyanyian Saudara Matahari” dimulai sebagai berikut: “Yang Mahaluhur, Mahakuasa, Tuhan yang baik” (NyaMat 1). Frase “Yang Mahatinggi” kelihatannya terus ada dalam doa-doa sepanjang hidupnya, karena terdapat pada awal doanya yang pertama maupun yang terakhir. Bagi Fransiskus, Allah sungguh adalah Yang Mahatinggi (Mahaluhur) dan dia melihat dan mengakui keagungan di mana saja – di atas kayu salib, di Betlehem dan dalam roti dan anggur yang telah dikonsekrasikan. Ia menemukan Sang Mahatinggi di mana saja dia memandang.
Pater Murray Bodo OFM memberi sedikit catatan sehubungan dengan doa ini. Menurutnya doa Fransiskus ini adalah agar supaya “Sang Mahatinggi” mengambil inisiatif terhadap dirinya, dan semua ini dimulai dengan pujian penuh sopan-santun dari seorang ksatria: “Allah yang mahatinggi dan penuh kemuliaan”. Imam-penyair Fransiskan ini juga mengatakan, bahwa doa Fransiskus selalu dimulai dan diakhiri dengan pujian. Doa Fransiskus adalah doa penyembahan (adorasi) yang mengakui jarak tak terbatas antara Sang Pencipta dan makhluk ciptaan, yang mengakui ketiadaan-arti dirinya di hadapan Allah yang mahatinggi. Ketiadaan-arti atau ke-kecilan ini merupakan suatu pernyataan teologis, dan bukan pernyataan psikologis, seperti sering dipandang oleh manusia modern. Fransiskus tidak memandang dirinya rendah atau merendahkan martabatnya sendiri, atau bahkan memandang dirinya samasekali. Dia memandang Allah dan secara sederhana membuat pernyataan yang baginya adalah sebuah kenyataan: Allah adalah Allah dan Fransiskus bukanlah Allah. Perspektif ini akan mewarnai segala sesuatu yang berkaitan dengan perkembangan dirinya selanjutnya dan apa saja yang akan dilakukannya kelak (MB, hal. 11).
Pada waktu Fransiskus mengucapkan “Doa di depan salib” ini, segala sesuatunya telah menjadi masalah baginya. Namun demikian kita dapat bertanya (kepada diri sendiri), mengapa dia tidak memikirkan sendiri berbagai masalah yang dihadapinya? Bukankah dia sendiri yang harus mencari solusi terbaik berkaitan dengan masa depannya sendiri atau relasinya dengan ayahnya? Bukankah dia sendiri yang harus mengambil keputusan? Pada kanyataannya Fransiskus tidak menyandarkan diri pada kemampuannya mencari solusi, akan tetapi dia malah berpaling kepada Sang Mahatinggi.
Kita juga seringkali menghadapi kesulitan-kesulitan berkaitan dengan relasi pribadi, baik dalam keluarga, lingkungan kerja, lingkungan dan lain sebagainya. Kita masing-masing harus mencari solusi atas kesulitan-kesulitan seperti itu. Dalam situasi pencarian solusi tersebut kita dapat berada dalam kegelapan sehingga tak mungkinlah mencapai solusi yang baik. Kita terjebak dalam semacam lingkaran setan. Dalam kasus seperti itu kita dapat banyak menolong diri kita dengan memandang Sang Tersalib dan berkata pelahan: “O, Yang Mahatinggi!” Apabila kita berdoa seperti ini, kita mengakui adanya Seorang Pribadi yang jauh lebih besar dan agung daripada diri kita sendiri; bahwa kita adalah makhluk ciptaan yang kecil saja. Maka kita berpaling kepada-Nya yang Teragung dan mempercayakan segalanya kepada-Nya.
“Penuh kemuliaan”
Mata iman mampu melihat melampaui sakit, sengsara dan penderitaan Sang Tersalib. Karena imannya yang mendalam, artis tak dikenal yang melukis Salib San Damiano mampu untuk menunjukkan dalam ikonnya, baik Jumat Agung maupun Minggu Paskah. Bahkan di kayu salib pun, Kristus tetap Tuhan, penuh kemuliaan dan keagungan.
Pada dasarnya seluruh tugas hidup iman kita adalah mengkontemplasikan Jumat Agung dan Minggu Paskah secara bersama-sama, membawa hari Minggu ke dalam hari-hari lainnya sepanjang pekan. Karena Kristus, meskipun tersalib, tetap gilang-gemilang penuh keagungan, maka manakala penderitaan, kesedihan dan kematian merusak rutinitas keseharian kita yang nyaman, kita tidak boleh memperkenankan semua itu sampai menjerumuskan kita ke dalam keputus-asaan. Fransiskus sendiri merupakan sebuah contoh bagaimana sukacita dapat bersinar melalui kelemahan dan penderitaan badaniah. Bahkan pada saat kematiannya pun, keagungan Allah dimanisfestasikan, karena Tuhan-nya menganugerahkan kepada Fransiskus suatu kematian indah dengan mazmur di bibirnya dan para saudara berkumpul di sekelilingnnya.
“Terangilah kegelapan hatiku”
Ketika Fransiskus mengatakan, “Allah yang mahatinggi dan penuh kemuliaan”, dia sebenarnya mengakui keagungan Allah. Apa yang kita dapat lakukan manakala dikonfrontrasikan dengan terang Allah yang tidak dapat diakses, adalah mengakui kegelapan (hati) kita sendiri. Itulah sebabnya mengapa ungkapan “penuh kemuliaan” cocok sekali diikuti dengan permohonan ini: “Terangilah kegelapan hatiku.” Kata “hati” di sini berarti pusat terdalam keberadaan Fransiskus, kegelapan pikirannya dan emosinya, keragu-raguannya dan gundah-gulananya, ketidakmampuannya untuk ke mana dia harus pergi, kekacauan batinnya, berpindah-pindahnya dia dari desolasi ke konsolasi dan sebaliknya.
Akan tetapi pencerahan (penerangan) hanya dapat datang dari Allah. Permohonan pertama Fransiskus ini adalah untuk ikut serta dalam kemuliaan Allah, untuk turut ambil bagian dalam terang-Nya. Itulah yang paling dibutuhkan olehnya, sebuah kebutuhan urgent – untuk diubah (ditransformasikan), karena apabila terang Allah menyinari diri kita, maka kita melihat kehidupan kita secara berbeda sekali dan jauh lebih jelas.
“Berilah aku iman yang benar, pengharapan yang teguh, dan kasih yang sempurna”
Sambil berlutut di depan Sang Tersalib di gereja kecil San Damiano, Fransiskus sampai pada kesadaran mendalam, betapa gelap hatinya. Sebab utama kegelapan adalah ketidak-mampuannya untuk membebaskan dirinya dari dunia dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Bapa, seperti yang telah dilakukan oleh Kristus Tersalib sebelumnya. Fransiskus memohon tiga keutamaan teologal, dasar dan unsur konstituen kehidupan Kristiani. Di bawah pengaruh Paulus (1Kor 13:13) dan Santo Augustinus, tradisi yang menyebutkan ketiga keutamaan ilahi ini secara bersamaan itu menyebar-luas. Fransiskus mengetahui tradisi ini dari liturgi zamannya, dengan demikian cukup wajarlah kalau dia menyebutkan ketiga keutamaan/kebajikan teologal ini dalam doanya (lihat BL, hal. 96). Dengan iman, kita menyerahkan diri kita kepada Allah seperti telah dilakukan oleh Abraham; dengan harapan, kita melihat melampaui diri kita sendiri; dan dengan kasih, kita menyerahkan keseluruhan diri kita dalam menanggapi kasih Allah kepada kita.
Iman yang benar. Agar supaya mampu melihat cara hidupnya yang baru dan menjalaninya, Fransiskus mohon diberikan iman yang benar (Latin: fidem rectam). Imannya benar kalau sungguh Katolik dan sesuai dengan iman Gereja Roma. Namun demikian, lebih daripada sekedar menerima kebenaran-kebenaran obyektif tertentu seturut ajaran Gereja, keprihatinan Fransiskus adalah menghayati imannya dalam Kristus yang tersalib. Lebih dari sekedar ortodoksi, iman yang benar bagi Fransiskus secara sangat konkret juga berarti praktek iman yang benar (ortopraksis); artinya mengikuti jejak Yesus Kristus secara setia, atau seperti yang suka dikatakan oleh Fransiskus: hidup sesuai dengan forma sancti evangelii, bagian terpenting Injil, sebagai satu-satunya norma yang sahih bagi dirinya dan persaudaraannya.
Pater Leonard Lehman OFMCap. mengatakan, bahwa dengan memohonkan iman yang benar, mungkin Fransiskus mengungkapkan sikapnya untuk menjaga jarak dengan banyak gerakan bid’ah pada zamannya. Lembah Spoleto sudah menjadi basis kaum Katari dan para bid’ah ini telah membingungkan umat lewat ajaran-ajaran mereka. Pada waktu itu juga ada pengkhotbah-pengkhotbah keliling yang pergi dari kota ke kota sambil mewartakan pertobatan, sehingga rakyat biasa sungguh dibuat bingung, siapa dan apa yang harus dipercaya. Dalam situasi seperti inilah Fransiskus mohon diberikan terang untuk membimbingnya memilih iman yang benar dan tetap berada di dalamnya (tetap berpegang teguh pada iman tersebut). Pater Leonard Lehman OFMCap. juga mengatakan, mungkin saja kata-kata yang digunakan oleh Fransiskus di sini dipengaruhi oleh doa permohonan yang terdapat dalam Kanon Misa Romawi: “untuk semua mereka yang memegang dan mengajarkan iman Katolik yang datang kepada kita dari para rasul” (LL II, hal. 8). Yang jelas, dalam “Doa di depan Salib”, kita dapat melihat ketetapan hati Fransiskus untuk tetap setia kepada iman Katolik, suatu ketetapan hati yang akan jelas tampak kemudian dalam beberapa tulisannya (AngTBul II:2, III:4; Pth XXVI; 2SurBerim 32-36).
Doa permohonan Fransiskus untuk diberikan iman yang benar begitu mendalam artinya sekarang. Mengapa? Karena sekarang kita menyadari bahwa kepercayaan umum akan Allah saja tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan pasti atau merupakan suatu pengandaian, karena pengaruh atheisme dan agnostisme, apalagi iman-kepercayaan Katolik. “Berikan aku iman yang benar” juga dapat menjaga kita dari rasa percaya diri yang berlebihan dan menjaga kita dari rasa ragu yang yang ditimbulkan oleh karena pengaruh berbagai kepercayaan populer baru.
Pengharapan yang teguh.
Untuk sekian lamanya Fransiskus mengejar-ngejar khayalannya. Dia telah memimpikan pakaian tempur, persenjataannya dan tindakan-tindakan gagah-berani penuh kejantanan seorang ksatria. Namun demikian, pada saat yang sama dia juga mendengarkan hati nuraninya, dengan demikian ada cita-cita yang lain. Sekarang, dalam usahanya mencapai cita-cita ini, dia mohon kepada Sang Tersalib untuk diberi pengharapan yang teguh (Latin:spem certam), suatu pengharapan yang jauh lebih tinggi, lebih menjanjikan daripada ambisi lamanya untuk mencapai ketenaran dan kemuliaan dalam pertempuran. Ini adalah pengharapan yang akan tetap tak tergoyahkan karena didirikan di atas Tuhan sendiri. Di masa depan, Allah sendirilah yang akan menjadi jaminan keberhasilannya.
Kasih yang sempurna. Kita semua mencari kasih, dan kita bertumbuh dan menjadi lebih baik apabila kita mengasihi dan dikasihi. Kasih kita disempurnakan dalam penyerahan-diri kepada orang-orang lain. Ini adalah kasih yang sempurna (Latin: caritatem perfectam) yang dimohon oleh Fransiskus.
Kasih yang dicari Fransiskus adalah kasih yang lengkap, yang komplit, yang sempurna. Dalam permohonan ini, kita dapat mendengar gema dari perjumpamaannya dengan orang-orang kusta yang membawanya kepada suatu arahan-kembali yang radikal dalam kehidupannya. Sesaat sebelum wafatnya, orang kudus ini mengingat kembali hal tersebut:
“…… Tuhan sendiri menghantar aku ke tengah mereka dan aku merawat mereka penuh kasihan. Setelah aku meninggalkan mereka, apa yang tadinya terasa memuakkan, berubah bagiku menjadi kemanisan jiwa dan badan ……” (Was 2-3).
Dedikasi Fransiskus untuk menolong orang-orang kusta membuat caranya memandang dan merasakan menjadi berbeda total dengan apa yang telah dialaminya sebelum itu. Ketika dia sedang mendoakan “Doa di depan Salib” dengan menggagap, dia masih begitu tersentuh oleh pengalaman-pengalaman barunya ini. Dia masih saja kaget dan heran terhadap dirinya sendiri dari mana dia menemukan kekuatan untuk mengatasi rasa benci dan jijiknya terhadap orang kusta yang buruk-rupa di pinggir jalan, menciumnya dan membersihkan luka-luka pada tubuh orang kusta. Bagi Fransiskus, jawabnya terletak pada salib, penyerahan-diri Kristus yang penuh pengorbanan. Maka dia mohon kekuatan untuk memampukan diri untuk melanjutkan apa yang telah dimulainya, yakni menolong orang-orang kusta.
Namun demikian, Fransiskus sangat sadar bahwa dia tidak akan pernah dapat melakukan semua itu sendiri: dia tahu dirinya memerlukan kasih, yang akan membuatnya mampu untuk melihat sesama dalam terang yang baru dan memberikan dirinya kepada mereka. Untuk itu dia membutuhkan suatu kasih yang akan menolongnya untuk dilahirkan kembali dan mulai hidup baru. Itulah sebabnya mengapa dia mohon diberikan suatu kasih yang sempurna.
Iman yang benar, pengharapan yang teguh dan kasih yang sempurna. Sepanjang hidupnya Fransiskus memelihara semua karunia/anugerah yang dimohonkannya pada tahapan awal pertobatannya ini. Tidak seperti kaum bid’ah fanatik pada waktu itu, Fransiskus tetap memelihara dan membela “Iman yang Satu dan Benar” itu. Karunia pengharapan-yang-diperbaharui memperkenankannya untuk tampil percaya-diri di hadapan uskup, bahkan di hadapan Sri Paus. Harapan ini menolongnya untuk membawa kehidupan baru kepada orang miskin dan menderita sakit-penyakit. Bahkan pada saat kematiannya pun harapan ini memenuhi dirinya dengan rasa percaya yang hidup.
Fransiskus minta kepada para saudaranya untuk menyanyikan “Nyanyian Saudara Matahari” pada saat-saat terakhir kehidupannya di dunia. Hal ini merupakan sebuah ekspresi dari kasih yang sempurna – kasihnya kepada Allah, kasihnya kepada sesama, sehat ataupun sakit, suatu kasih yang merangkul semua makhluk dan mengubah langit dan bumi baginya. Tidak lama sebelum kematiannya, kasih yang sempurna ini membantu menciptakan perdamaian antara Uskup Assisi dan Walikota Assisi, yang sudah sejak lama berkonflik.
“Perasaan yang peka dan budi yang cerah”
Pertama-tama Fransiskus berdoa mohon diberikan beberapa kebajikan/keutamaan yang mendasar, yaitu keutamaan teologal: iman, pengharapan dan kasih. Kemudian dia mohon perasaan dan budi/pengetahuan (Italia: senno e cognoscemento, Latin: sensum et cognitionem). Dua istilah ini dapat dipahami dengan berbagai cara. Pater Bertulf van Leeuwen OFM mengatakan, bahwa sensum et cognitionem adalah knowledge of heart and mind (pengetahuan hati dan pikiran). Menurut dia kata sensus sulit untuk diterjemahkan. Kata ini berurusan dengan atau mengacu kepada “perasaan”, pada aspek pengetahuan yang afektif dan eksperiensial, sedang cognitio mengacu pada sisi intelektual dari pengetahuan. Artinya Fransiskus ingin mengetahui tidak hanya dengan pikirannya (akal budinya); dia juga ingin mengetahui dengan hatinya, untuk merasakan hal-hal yang terjadi, untuk mengalami hal-hal tersebut dalam hatinya (BL, hal. 97).
Pater Leonard Lehman OFMCap. mengatakan, pada umumnya sensus mengacu pada indera, perasaan atau kepekaan (sensitivitas). Menurut dia, doa Fransiskus dapat diterjemahkan sebagai berikut:
Berikan kepadaku kepekaan untuk memahami perintah-Mu; perkenankanlah aku merasakan atau mengalami secara nyata apa yang Kaukehendaki untuk kulakukan. Buatlah aku peka terhadap-Mu dan mahluk-mahluk ciptaan lainnya. Buatlah aku menjadi reseptif terhadap panggilan-Mu dan sadar akan permohonan-permohonan – permohonan-permohonan yang sering tidak terdengar – dari orang-orang lain. Anugerahilah aku rahmat agar dapat menjaga indera-inderaku selalu waspada untuk memahami arti kehidupanku (LL II, hal. 10).
Cognitio (pengetahuan) berarti kemampuan untuk mengakui dan memahami (di dalamnya termasuk persepsi dan intuisi), artinya pengakuan dan pemahaman. Jadi Fransiskus berdoa, agar dia dapat memahami rancangan Allah. “Kesadaran dan pemahaman” menyangkut keseluruhan pribadinya, tubuh dan jiwa. Dia harus melaksanakan perintah Allah dengan segenap hati dan pikiran, dengan segenap kekuatan yang dimilikinya. Namun manusia tidak dapat melaksanakan hal ini dengan kekuatan sendiri. Fransiskus mengakui kemiskinan dan kelemahan manusia, ketergantungannya pada Allah. Oleh karena itulah Fransiskus berseru: “Tuhan!” Perasaan dan pengetahuan (budi) sejati hanya dapat datang dari Allah saja. Hanya dari Allah-lah seeorang dapat menerima pengalaman dan pemahaman yang benar.
Berbicara perihal keutamaan-keutamaan, karunia-karunia, anugerah-anugerah, maka kita pun adalah pengemis-pengemis yang berdiri di hadapan Allah, akan tetapi hanya para pengemis yang dapat mengangkat tangan dengan penuh rasa percaya untuk minta:
Pada penutupan doanya, Fransiskus samasekali tidak minta apa-apa untuk dirinya. Keseluruhan tujuan permohonannya yang terakhir adalah untuk mampu menjalani hidupnya sesuai dengan perintah Allah; tidak pernah melupakan Allah, tidak pernah merencanakan hidupnya tanpa mengikutsertakan Allah, atau membuat rencana yang menyimpang dari cetak-biru (blue print) Allah sendiri. Dalam pencarian akan makna kehidupannya, Fransiskus muda mengharapkan segala solusi dari Allah saja. Ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan hanya mohon untuk melaksanakan “perintah-Nya yang kudus dan benar” (Latin: sanctam et verax mandatum). Fransiskus tidak dapat meragukan atau mempertanyakan perintah Allah, karena dia melihat perintah itu kudus, karena datang dari Allah. Oleh karena itu, dia selalu siap untuk melaksanakan perintah itu, dan dia tidak berhenti ketika mengucapkannya, melainkan langsung mulai mengambil tindakan seturut perintah itu.[8]
Perintah tersebut pertama-tama mengacu pada perintah Sang Tersalib: “Hai Fransiskus, tidakkah kaulihat betapa reyot rumah-Ku? Jadi, pergilah memperbaikinya bagi-Ku!” (K3S 13). Namun kita dapat memahaminya dalam arti yang lebih luas dan mendalam, yang mencakup keseluruhan cara hidup Fransiskus dan para saudaranya. Maka Fransiskus menulis: “… bila mereka (para saudara) bertekun dalam perintah-perintah Tuhan yang telah mereka janjikan dalam Injil suci dan cara hidup mereka, maka mereka tetap berada dalam ketaatan yang sejati; dan semoga mereka diberkati oleh Tuhan” (AngTBul V:17).
Hubungan antara peristiwa Salib San Damiano dan peristiwa gunung La Verna. Selagi Fransiskus berlutut di depan Salib San Damiano, rasa susahnya yang mendalam berubah menjadi belarasa terhadap Sang Tersalib. Sebelum itu dia disibukkan terus dengan kegelapan hatinya sendiri, kecemasan dan ketidakmampuannya untuk mengambil keputusan. Namun setelah itu, penderitaannya menemukan titik acuan yang jelas dan sebuah arti yang pasti: dia akan meluaskan kasihnya pertama-tama kepada para penderita kusta, kemudian meluaskannya kepada siapa saja, dengan hidup di tengah orang-orang jelata dan yang dipandang hina, orang miskin dan lemah, orang sakit dan orang kusta serta pengemis di pinggir jalan (AngTBul IX:2).
Ia akan menderita bersama dengan siapa saja yang berada dalam keadaan menderita dan susah, karena dia melihat dalam diri mereka sang Penebus/Penyelamat yang menderita. Menderita bersama (compassio) atau belarasa terhadap Sang Tersalib, bagi Fransiskus berarti menderita bersama Sang Tersalib. Di masa depan hal ini akan menentukan jalan yang akan ditempuh Fransiskus sepanjang hidupnya. Belarasa memiliki makna lebih mendalam daripada sekedar simpati (sympathia) seorang Kristiani. Dari riwayat hidupnya kita lihat betapa Fransiskus sampai begitu tidak melekat pada dirinya sendiri dan begitu dipenuhi belarasa terhadap Sang Tersalib, sehingga Kristus sendiri memeteraikan gambar-Nya sendiri pada tubuhnya (stigmata) hanya dua tahun sebelum akhir hidupnya di dunia.
Dalam peristiwa bersejarah di San Damiano, ketika Fransiskus sadar bahwa dia harus membaktikan dirinya kepada Yesus Tersalib, itulah saat yang merupakan suatu turning point (titik balik) dalam kehidupannya. Pada saat itulah Fransiskus mengambil langkah pertama di jalan yang akan membawanya kepada stigmata, tanda yang kelihatan dari identifikasi dirinya dengan Kristus. Jalan menuju ke gunung La Verna dimulai di San Damiano. “Kisah Tiga Sahabat” menunjukkan koneksi antara La Verna dan San Damiano:
Sejak saat itu Fransiskus begitu terbakar dan luluh, sehingga seumur hidup ia ingat akan penderitaan Tuhan dan membawa luka-luka Tuhan Yesus dalam hatinya, sebagaimana kemudian hari menjadi kentara oleh karena dalam badan Fransiskus luka-luka itu secara ajaib diperbarui, dan hal itu jelas terbukti” (K3S 14).
CATATAN PENUTUP: ALLAH MEMBERI DAN MANUSIA MELAKSANAKAN
“Doa di depan Salib” ini berbicara banyak tentang cara atau pola berpikir Fransiskus dan juga kedalaman iman-kepercayaannya. Bagi dia, Kristus yang tersalib tidak melambangkan kekalahan dalam kematian sehingga kita meratapinya dan perlu berkabung karenanya, melainkan menunjukkan wajah manusia dari Allah yang hidup, “yang mahatinggi dan penuh kemuliaan”. (MH, hal. 17).
Fransiskus mulai dengan menyapa Allah dan mengakhirinya dengan tujuan melaksanakan perintah Allah yang kudus. Dua butir sangat penting dari doa ini adalah “berikan” dan “melaksanakan”: Allah memberi (Latin: dare) agar kita dapat melaksanakan (Latin: facere) perintah-Nya (kehendak-Nya). Fransiskus mohon kepada Allah untuk memberikan kepadanya iman, harapan dan kasih, juga pengetahuan hati dan pikiran; agar dia dapat memenuhi perintah-Nya. Jadi apa yang dimintanya kepada Allah untuk diberikan kepadanya secara keseluruhan diarahkan kepada “pelaksanaan” sabda Allah.
Fransiskus mengawali Wasiat-nya dengan cara yang sama: “Beginilah Tuhan menganugerahkan kepadaku, Saudara Fransiskus, untuk mulai melakukan pertobatan……” (Was 1). Kemudian dalam Wasiat yang sama dia menulis: “Tuhan memberi aku anugerah ……” (Was 4); “Lalu Tuhan menganugerahkan ……” (Was 6); “Sesudah Tuhan memberi aku sejumlah saudara, tidak seorangpun menunjukkan kepadaku apa yang harus kuperbuat; tetapi Yang Mahatinggi sendiri mewahyukan kepadaku, bahwa aku harus hidup menurut pola Injil Suci” (Was 14). Dalam tulisan-tulisan lainnya Fransiskus juga berbicara mengenai pengalaman tentang bimbingan Allah kepadanya dalam hidupnya. Fransiskus menamakannya suatu pewahyuan atau inspirasi. Allah mewahyukan kepadanya, Allah memberikan inspirasi kepadanya, dan Fransiskus melaksanakan apa yang diperintahkan Allah untuk dilakukannya. Dalam pengalaman “melaksanakan” inilah Fransiskus memperoleh wawasan yang semakin mendalam ke dalam perintah Allah. Dalam mengikuti Yesus dengan I menepati Injil, Fransiskus sampai kepada suatu pengetahuan hati dan pikiran yang semakin besar.
Hal ini pada gilirannya memimpin dia kepada suatu kesatuan lebih mendalam dengan Yesus Kristus, yang menemukan klimaksnya dalam pengalamannya dengan Kristus yang tersalib di La Verna dan dalam “selamat datang” yang dihaturkannya kepada Saudari Maut yang akan memimpinnya ke negeri orang-orang hidup!
Pater Michael Hubaut OFM menulis sesuatu yang baik untuk kita renungkan dalam bagian akhir tulisan ini: “Allah mengatakan segalanya pada waktu Dia berhenti berbicara dan mati. Itu adalah suatu pengalaman spiritual yang menentukan bagi Fransiskus, ketika dia tiba-tiba menyadari bahwa Allah adalah Kasih yang disalibkan. Sejak saat itu, luka-luka Kristus, luka-luka Kasih itu, tidak pernah lagi menyembuhkan hatinya” (MH, hal. 18).
LATIHAN-LATIHAN PRAKTIS
“Doa di depan Salib” merupakan sebuah doa yang bersifat pribadi berkaitan dengan Fransiskus dan doa itu disusun dalam suatu situasi yang istimewa. Namun demikian, kita semua dapat menggunakan doa itu sebagai sebuah model doa atau contoh doa. Kita dapat menghaturkan ini kepada Allah teristimewa pada saat-saat dilanda keragu-raguan atau ketika kita harus mengambil suatu keputusan penting. Doa ini juga cocok digunakan sebagai sebuah doa pagi untuk memulai suatu hari, sehingga seseorang dapat memperoleh kekuatan apa saja yang akan terjadi pada hari tersebut.
Di lain pihak, pandangan Pater Bertulf van Leeuwen OFM agak berbeda. Dia mengatakan bahwa karena “Doa di depan Salib” merupakan doa pribadi, maka tidak begitu mudahlah untuk menggunakannya sebagai doa komunal. Selanjutnya dikatakan olehnya, bahwa tidak begitu mudahlah bagi seseorang untuk menggunakan doa seperti itu bagi dirinya pribadi (BL, hal. 104).
Berikut ini adalah pokok-pokok yang dianjurkan oleh Pater Leonard Lehman OFMCap. untuk latihan rohani kita masing-masing (LL II, hal. 11; LL III, hal. 50):
KEPUSTAKAAN:
1. Regis Amstrong OFMCap., J.A. Wayne Hellmann OFMConv. & William Short OFM (Editors), FRANCIS OF ASSISI: EARLY DOCUMENTS – THE SAINT Volume I), New York, NY: New City Press, 1999. [RA I]
2. Regis Amstrong OFMCap., J.A. Wayne Hellmann OFMConv. & William Short OFM (Editors), FRANCIS OF ASSISI: EARLY DOCUMENTS – THE FOUNDER Volume II), New York, NY: New City Press, 2000. [RA II]
3. Regis Amstrong OFMCap., J.A. Wayne Hellmann OFMConv. & William Short OFM (Editors), FRANCIS OF ASSISI: EARLY DOCUMENTS – THE PROPHET Volume III), New York, NY: New City Press, 2001. [RA III]
4. Murray Bodo OFM, THE WAY OF ST. FRANCIS – THE CHALLENGE OF FRANCISCAN SPIRITUALITY FOR EVERYONE, Cincinnati, Ohio: St. Anthony Messenger Press, 1995. [MB]
5. Santo Bonaventura, “RIWAYAT HIDUP ST. FRANSISKUS”, (Terjemahan P. Y. Wahyosudibyo OFM), Jakarta: SEKAFI, 1990.
6. Thomas dari Celano, ST. FRANSISKUS DARI ASISI (Riwayat Hidup yang Pertama & Riwayat Hidup yang Kedua (sebagian) –terjemahan P.J. Wahjasudibja OFM), Jakarta: Sekafi, 1981.
7. Berard Doerger OFM, THE PRAYERS OF FRANCIS – I, dalam The Cord, Volume 36, No. 2, February 1986. [BD]
8. Hilarin Felder OFMCap., THE IDEALS OF ST. FRANCIS OF ASSISI (translated by Berchmans Bittle OFMCap.), 800th Anniversary Edition, Chicago, Illinois: Franciscan Herald Press, 1982. [HF]
9. FIORETTI DAN LIMA RENUNGAN TENTANG STIGMATA SUCI, Jakarta: Sekafi, 1997 (Cetakan pertama).
10. C. Groenen OFM (Penerjemah, pemberi pengantar dan catatan), KISAH KETIGA SAHABAT – RIWAYAT HIDUP SANTO FRANSISKUS DARI ASISI, Jakarta: Sekafi, 2000 (Cetakan Pertama). [K3S]
11. Marion Habig OFM (Editor), ST. FRANCIS OF ASSISI – OMNIBUS OF SOURCES, Fourth Revised Edition, Quincy, Illinois: Franciscan Press –Quincy College, 1991. [OMNIBUS]
12. Michael Hubaut OFM, CHRIST, OUR JOY – LEARNING TO PRAY WITH ST. FRANCIS AND ST. CLARE (terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh Paul Barret OFMCap.), Greyfriars Review, Supplement to Vol. 9 – 1995. [MH]
13. Mgr. Leo Laba Ladjar OFM (Penerjemah, pemberi pengantar dan catatan), “KARYA-KARYA FRANSISKUS DARI ASISI”, Jakarta: SEKAFI, 2001. [LLL]
14. Bertulf van Leeuwen OFM, TWO PRAYERS OF ST. FRANCIS BEFORE THE CROSS, dalam TAU – Review on Franciscanism, Vol. VI, No. 3, October 1981. Terjemahan dari TWEE GEBEDEN VAN FRANCISKUS VOOR HET HEILEGE KRUIS dalam Franciskaans Leven, 64 (1981). [BL]
15. Leonard Lehman OFMCap., PRAYER BEFORE THE CRUCIFIX, dalam Greyfriars Review, Vol. 11, Number 1, 1997. [LL I]
16. Leonhard Lehman OFMCap., FRANCIS MASTER OF PRAYER, New Delhi, India: Media House, 1999. [LL II]
17. Michael Scanlan TOR, THE SAN DAMIANO CROSS – AN EXPLANATION, Steubenville, Ohio: Franciscan University Press, 1983. [MS]
18. AD OFS 1978 dan Kitab Suci.
*) Disusun oleh Sdr. F.X. Indrapradja OFS untuk digunakan dalam pertemuan OFS Persaudaraan Santo Thomas More pada Hari Minggu Paskah VII, tanggal 24 Mei 2009. Cilandak, Peringatan Santa Perawan Maria dari Fatima, Rabu tanggal 13 Mei 2009.
[1] Ungkapan dalam bahasa Latin dipetik dari HF, hal. 386.
[2] Informasi yang disampaikan oleh naskah-naskah, bahwa doa itu diucapkan Fransiskus ketika dia menerima pesan dari salib San Damiano, merupakan petunjuk untuk memperkirakan waktu penggubahannya. Peristiwa itu kiranya dapat ditempatkan dalam tahun 1206, mungkin bulan Januari (A. Terzi). Maka doa ini bisa jadi sudah disusun pada saat-saat meditasi sebelum peristiwa itu. Karena itu, harus ditempatkan pada tahun 1205/1206. Maka doa itu berada pada ujung awal karya-karya Fransiskus. Isinya memperlihatkan, bahwa juga pada saat permulaan pencarian dan pergulatannya, Fransiskus sudah masuk dalam misteri Allah sedalam-dalamnya (lihat LLL, hal. 86).
[3] Gereja San Damiano terletak sekitar 1 km di sebelah selatan kota Assisi, di lereng bukit. Gereja itu sudah lama sekali dibangun untuk menghormati Santo Damianus dan yang karena amat tuanya terancam keruntuhan (1Cel 8).
[4] Teks ini diambil dari terjemahan oleh P. J. Wahjasudibja OFM (Sekafi; Cetakan II, Juni 1984) setelah memperbandingkannya dengan terjemahan Inggris yang terdapat dalam Omnibus, hal. 370 dan RA II, hal. 249.
[5] Kata Latin untuk “perintah” adalah mandatum atau comandamento dalam bahasa Italia.
[6] Pater Michael Scanlan TOR mengatakan, bahwa tradisi salib-salib sedemikian dimulai di Gereja Timur dan dibawa oleh para rahib Serbia ke distrik Umbria di Italia. Salib San Damiano adalah salah satu dari sejumlah salib yang dilukis dengan figur serupa dalam abad ke-12 di Umbria. Tujuan dari sebuah salib ikon adalah untuk mengajar mengenai makna peristiwa yang digambarkan, dengan demikian memperkuat iman orang (MS, hal. 5).
[7] Bandingkan dengan Mzm 18:29 (Ibadat Bacaan hari Rabu I): “Sungguh, Engkaulah pelitaku, ya Tuhan, Allahku, Engkau menerangi kegelapanku.” Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI berbunyi: “Karena Engkaulah yang membuat pelitaku bercahaya; TUHAN, Allahku, menyinari kegelapanku.”
[8] Verax merupakan kualitas seorang pribadi: seseorang yang benar (truthful), berbicara kebenaran (speak the truth), memenuhi janji-janjinya (true to his promises), dapat dipercaya (trustworthy). Di sini dikatakan tentang perintah Allah, yang selalu memenuhi janji-janjinya. Oleh karena itu Fransiskus tahu bahwa dia dapat menaruh seluruh kepercayaannya pada perintah ini; dia sungguh dapat – tanpa takut – membangun kehidupannya di atas ini (lihat BL, hal. 97.
Allah yang mahatinggi dan penuh kemuliaan, terangilah kegelapan hatiku dan berilah aku iman yang benar, pengharapan yang teguh, dan kasih yang sempurna. Berilah aku, ya Tuhan, perasaan yang peka dan budi yang cerah, agar aku mampu melaksanakan perintah-Mu yang kudus dan takkan menyesatkan. [DoaSlb]
Pada tulisan saya yang berjudul “DOA-DOA PRIBADI DALAM KEHIDUPAN SEORANG FRANSISKAN SEKULAR” (No. UMUM/OFS/ S. THOMAS MORE 2009/02) yang digunakan dalam pertemuan OFS Persaudaraan Santo Thomas More pada hari Minggu tanggal 15 Februari 2009, saya mengemukakan bahwa kalau kita mau membahas spiritualitas, memenuhi panggilan Allah kepada kekudusan atau hidup saleh, maka kita – tidak dapat tidak – haruslah membahas dan mendalami hal-ikhwal doa, teristimewa yang menyangkut doa-doa pribadi. Dan, kalau kalau kita berbicara tentang doa dikaitkan dengan spiritualitas Fransiskus dan/atau Fransiskan, maka kita harus melihat kehidupan doa orang kudus itu.
Sebelum kita membahas doa Fransiskus di depan salib ini, kita mulai dengan membahas secara singkat kehidupan doa Santo Fransiskus dulu.
FRANSISKUS DAN DOA
Setiap orang kudus yang dikanonikasikan oleh Gereja sebagai santo dan santa, pastilah seorang pendoa. Dapat kita katakan, bahwa tingkat kekudusan/kesucian seseorang mempunyai hubungan langsung dengan tingkat kehidupan doanya.
Yang jelas Santo Fransiskus adalah seorang manusia pendoa par excellence, sampai-sampai Beato Thomas dari Celano mengatakan, bahwa Fransiskus bukan sekedar berdoa, tetapi sudah menjadi doa itu sendiri” – Latin: “Totus non tam orans, quam oratio factus”(2Cel 95).[1]
Pentingnya doa dalam kehidupan Fransiskus.
Pada waktu dia berdoa berjam-jam lamanya di gua-gua luar kota Assisi, Fransiskus untuk pertama kali menemukan apa yang diinginkan Allah untuk dilakukan olehnya. Juga hanya setelah banyak berdoa sendiri dan lewat doa-doa orang lain juga, Fransiskus membuat sejumlah keputusan atau melaksanakan tugas-tugas penting. Hanya oleh doa yang tetap dan terus-menerus Fransiskus mampu untuk selalu dipenuhi sukacita, kesabaran dan kemurahan-hati, meskipun pada saat-saat mengalami penderitaan dan pencobaan. Juga, hanya dengan mengundurkan diri ke gubuk-gubuk pertapaan di gunung, di mana dia berdoa berhari-hari dan bahkan berminggu-minggu lamanya, maka Fransiskus mampu mengobarkan kembali dan menopang cintanya yang besar kepada Allah dan cintanya kepada semua ciptaan Allah. Pada waktu berdoa dalam sebuah gubuk pertapaan di gunung La Verna, Fransiskus menerima karunia stigmata Tuhan di tubuhnya. Dia juga meninggal dunia dengan doa di bibirnya.
Para penulis riwayatnya yang awal juga menyoroti kehidupan doa Fransiskus. Santo Bonaventura (1221- 1274), juga seorang kudus Fransiskus dan pendoa, melukiskan betapa pentingnya doa dalam kehidupan Fransiskus:
Hamba Kristus, Fransiskus, merasa, bahwa selama dia merantau dalam tubuhnya di dunia, dia merasa jauh dari Tuhan, meskipun dia karena cintakasih Kristus telah membuat dirinya mati rasa sepenuhnya terhadap keinginan-keinginan duniawi. Agar dia jangan sampai tanpa hiburan sang Kekasih, maka dia berdoa dengan tak kunjung putus dan berusaha keras untuk senantiasa menghadirkan Allah dalam batinnya. Memang doa memberikan hiburan kepadanya, apabila dia bersemadi. Karena dia sudah menjadi sewarga dengan para malaikat dan berada di dalam lingkungan kediaman-kediaman surgawi, maka dengan keinginan yang bernyala-nyala dia mencari Kekasihnya; dari Dia hanya terpisah oleh dinding tubuhnya. Juga dalam mengerjakan sesuatu dia mendapat bantuan dalam doa. Justru karena dalam semuanya yang dikerjakannya, dia tidak percaya akan daya-upayanya sendiri tetapi menaruh kepercayaan pada kasih-sayang Ilahi, maka lebih dahulu menyerahkan segala kekuatirannya kepada Tuhan dalam doa yang hangat dan mendesak. Dinyatakannya dengan tegas, bahwa seorang religius harus menginginkan rahmat berdoa di atas segala-galanya, karena dia pun yakin, bahwa tanpa rahmat berdoa itu tiada seorang pun dapat mencapai kemajuan dalam pengabdian kepada Allah; dan sekadar dia dapat, dia mendorong saudara-saudaranya untuk rajin berdoa. Sebab entah dia berjalan entah dia duduk, entah di dalam entah di luar rumah, entah dia bekerja entah dia mengaso, dia asyik berdoa, sehingga kelihatannya dia membaktikan bukan hanya seluruh hatinya dan tubuhnya, tetapi juga segala pekerjaannya dan segala waktunya kepada doa (LegMaj X:1).
Praktek doa Fransiskus
Bagaimana Fransiskus berdoa? Metode doanya? Di mana dia berdoa? Kapan saja dia berdoa? Bentuk-bentuk doa seperti apa yang digunakannya? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini berurusan dengan praktek doa Fransiskus. Jawaban atas masing-masing pertanyaan ini tidaklah sederhana, karena Fransiskus berdoa dengan banyak cara dan di banyak keadaan yang berbeda-beda.
Fransiskus banyak berdoa, misalnya pada saat menghadapi krisis dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan Ordo-nya. Dia berdoa dengan lebih bersungguh-sungguh pada hari-hari pesta gerejawi dan selama masa pertobatan seperti Adven dan Prapaskah. Dia berdoa dengan sangat intens sebelum berkhotbah kepada umat dan juga pada saat-saat menanggung penderitaan.
Di mana Fransiskus berdoa? Dia senang sekali berdoa di tempat-tempat yang sunyi: di gua-gua, di tengah hutan, atau di daerah pegunungan yang tinggi. Namun dia juga suka berdoa di gereja-gereja, teristimewa doa Ofisi Ilahi (Ibadat Harian) dengan para saudaranya. Fransiskus juga suka berdoa di tengah-tengah warga kota biasa atau para petani di ladang-ladang di luar kota, di mana saja kiranya dia sedang berada. Kadangkala dia berdoa dengan bersembah sujud di tanah, namun dia juga suka berdoa sambil berlutut, atau sambil berjalan kaki, atau berdiri.
Sehubungan dengan bentuk-bentuk doa yang digunakannya, Fransiskus menggunakan banyak bentuk doa. Dia suka sekali melambungkan puji-pujian secara pribadi kepada Allah; namun dia juga menyukai doa-doa formal Ofisi Ilahi dan Misa Kudus, doa-doa resmi Gereja; dan dia menuntut doa-doa liturgis menjadi doa-komunal resmi bagi Ordonya.
Akan tetapi Fransiskus juga menyukai jenis-jenis doa lain. Kadangkala dia berdoa dengan para saudaranya dalam suatu jenis doa bersama (shared prayer), namun yang lebih sering terjadi adalah dia berdoa sendiri, baik dalam keheningan maupun dengan mengulang-ulang frase tertentu, seperti : “Ya Allah, kasihanilah aku orang yang berdosa” (1Cel 26). Dalam ‘Permenungan Ketiga – Fransiskus Mendapat Stigmata’ di hutan gunung La Verna Saudara Leo mendengar Fransiskus berulang-ulang kali mengucapkan ‘doa’ ini: “Siapakah Engkau Tuhan Allah yang amat manis?” (Fioretti edisi Sekafi, hal. 217).
Dari Fioretti yang sama kita dapat membaca, bahwa karena mengira Bernardus sudah tidur nyenyak, Fransiskus bangkit dari tempat tidurnya dan berlutut untuk berdoa. Sambil menengadahkan mata dan mengangkat kedua tangannya ke langit, ia pun berseru dengan penuh kehangatan dan rasa saleh, “Deus meus et omnia” (Allahku dan segalanya-ku). Seruan itu didaras terus-menerus sambil mencucurkan air mata hingga fajar (Fioretti 2). Dalam hal ini Fransiskus tercekam dalam kontemplasi dan kekaguman akan luhurnya kemahakuasaan Allah yang telah sudi turun ke dunia. Diterangi oleh Roh Kenabian, Fransiskus melihat hal-hal besar yang akan dikerjakan Allah lewat dia dan Ordonya. Menyadari ketidakpantasan serta kekurangannya akan keutamaan, maka dia pun berseru kepada Allah dan memohon belaskasihan dan kekuatan-Nya untuk menolong serta menyempurnakan semua yang tak dapat diselesaikannya sendiri (lihat Fioretti edisi Sekafi, hal. 20-21).
Thomas dari Celano menulis, bahwa manakala Fransiskus berdoa dalam hutan atau tempat-tempat yang sunyi-terpencil, maka dia akan memenuhi hutan dengan keluh-kesah dan rintihan, mengairi tempat-tempat itu dengan air matanya, dan berbicara kepada Tuhan dengan kata-kata yang layaknya ditujukan kepada seorang teman (2Cel 95).
Dengan demikian, kita samasekali tidak dapat membatasi praktek doa Fransiskus seakan-akan terpaku pada satu bentuk doa tertentu, metode doa tertentu atau jenis doa tertentu.
Doa-doa Fransiskus
Fransiskus mewariskan kepada kita sejumlah doa yang disusun olehnya sendiri atau yang sering digunakannya. Studi tentang doa-doa Fransiskus dapat memberikan kepada kita beberapa wawasan, paling sedikit ke dalam aspek-aspek tertentu hidup doa orang kudus ini. Di samping itu, penggunaan doa-doa Fransiskus ini dapat memperkaya hidup doa kita sendiri.
Dalam tulisan ini akan diuraikan sebuah doa yang sangat dikenal dalam keluarga besar Fransiskan, yaitu “Doa di depan Salib”, sebagai awal dari studi-studi selanjutnya sehubungan dengan doa-doa Santo Fransiskus dari Assisi.
DOA DI DEPAN SALIB
Doa pertama yang disusun oleh Fransiskus ini cukup singkat. Tanggal penyusunannya diperkirakan sekitar tahun 1205 dan 1206[2], pada waktu Fransiskus masih mencari-cari tahu mengenai panggilannya dan berjuang melawan berbagai godaan dan keragu-raguan. Doa ini dinamakan juga “doa pertobatan Fransiskus”, namun hal itu tidak berarti bahwa doa tersebut disusun pada saat pertobatannya. Orang kudus ini telah menghaturkan doa-doa dengan cara yang sama sebelum dia menyusunnya seperti kita kenal sekarang:
Bahasa Italia
Terjemahan ke dalam Bahasa Inggris
Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia
Altissimo glorioso Dio,illumina le tenebre de lo core mio et dammi fede retta, speranza certa e carita perfectasenno e congnoscemento,Signore, che faccialo tuo santo e verace comandamento.Amen.
Most High, glorious God,enlighten the darkness of my heart and give me true faith, certain hope, and perfect charity, sense and knowledge, Lord, that I may carry out Your holy and true command.
Allah yang mahatinggi dan penuh kemuliaan, terangilah kegelapan hatiku dan berilah aku iman yang benar, pengharapan yang teguh, dan kasih yang sempurna.Berikanlah aku, ya Tuhan, perasaan yang peka dan budi yang cerah, agar aku mampu melaksanakan perintah-Mu yang kudus dan takkan menyesatkan.
Catatan:
- Doa dalam bahasa Italia diambil dari LL II, halaman 35.
- Doa dalam bahasa Inggris diambil dari RA I, halaman 40.
- Doa dalam bahasa Indonesia diambil dari LLL, halaman 279.
Teks doa dalam bahasa Italia kuno di atas masih dapat dilihat dalam sebuah manuskrip yang disimpan di Oxford. Di situ pula kita dapat temukan catatan-catatan sehingga doa ini segera diterjemahkan ke dalam bahasa Latin agar menjadi lebih bermanfaat dalam arti dapat dipahami di seluruh dunia.
Teks doa itu sendiri pun memberikan dasar bagi keotentikannya. Tiga keutamaan ilahi, yaitu iman, harapan dan kasih, merupakan pokok yang dibahas secara panjang lebar oleh para pengarang abad pertengahan dan periode sebelumnya (Agustinus, Petrus Lombardus). Fransiskus kiranya juga terkena pengaruh suasana itu, dan dia berdoa dengan pokok-pokok tersebut. Tema yang sama juga kita jumpai dalam tulisannya yang lain, yaitu dalam AngTBul XXIII:11. “Doa di depan Salib” ini jelas cocok sepenuhnya dengan kesalehan Fransiskus (lihat LLL, hal. 85).
Memang menarik untuk mengetahui, bahwa doa pertama dan doa terakhir Fransiskus yang masih terpelihara bagi kita sampai hari ini adalah dalam bahasa ibunya, bahasa Italia, yaitu “Doa di depan Salib” dan “Nyanyian Saudara Matahari”. Semua tulisan Fransiskus lainnya didiktekan olehnya dalam bahasa Italia (sebagian dalam bahasa Latin yang buruk) yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh seorang saudara yang fasih dalam bahasa Latin.
Penerjemahan “Doa di depan Salib” juga mengalami beberapa kesulitan dan kelihatannya tidak memuaskan semua pihak. Namun terjemahan dalam bahasa Latin dan kedua terjemahan di atas boleh dianggap sebagai terjemahan yang cukup setia.
Latar belakang
Sudah cukup lama Fransiskus tidak seperti biasanya, seorang laki-laki muda yang senang bergaul, seorang pemimpin kaum muda di kota Assisi yang memiliki sifat ceria dan selalu kelihatan riang gembira. Sekarang dia berjalan dengan gontai karena banyak pikiran. Bahkan mimpi buruk sering mengganggu tidurnya. Dia tidak tahu apa dengan tepat apa yang dia ingin lakukan dengan hidupnya, apa yang sedang terjadi dengan dirinya atau apa yang salah dengan dirinya. Hanya satu hal saja yang jelas bagi dirinya: impian-impiannya untuk menjadi seorang ksatria telah punah, dan dia belum menemukan kebahagiaan yang dikejar-kejarnya sebagai seorang ksatria-pejuang.
Dipenjarakannya Fransiskus di Perugia dan penyakit yang diakibatkan oleh pemenjaraan dirinya itu, telah membuatnya menjadi seorang yang introvert, dan suka termenung-menung tidak seperti biasanya. Di atas semua ini, suasana rumah tangga Bapak Pietro Bernardone sama sekali tidak menunjang. Di satu sisi ada Fransiskus yang tidak mau menuruti rencana ambisius sang ayah bagi dirinya. Di sisi lain, Pietro Bernardone sang usahawan yang memiliki aspirasi-aspirasi sosial, merasa kaget dan marah sekali terhadap sikap puteranya, yang dipandangnya tidak mampu mengambil keputusan dan tidak memiliki ambisi sama sekali.
Pada kenyataannya, pada waktu itu praktis Fransiskus telah memisahkan diri dari keluarganya. Dia tidak berniat untuk mencoba sedikit pun apa yang diinginkan oleh ayahnya. Sebaliknya dia mencari tempat-tempat yang sunyi agar dapat berkomunikasi dan menyatu dengan Allah dalam doa-doanya. Dia menghindar dari teman-temannya dan akhirnya dia hidup bersama para penderita kusta. Di sanalah, di tengah-tengah orang-orang yang tersisihkan dari masyarakat, Fransiskus mengalami suatu pembalikan sikap dan perilaku secara total dan lengkap. Dalam wasiatnya orang kudus ini mengatakan:
“Ketika aku dalam dosa, aku merasa amat muak melihat orang kusta. Akan tetapi Tuhan sendiri menghantar aku ke tengah mereka dan aku merawat mereka penuh kasihan. Setelah aku meninggalkan mereka, apa yang tadinya terasa memuakkan, berubah bagiku menjadi kemanisan jiwa dan badan; dan sesudahnya aku sebentar menetap, lalu aku meninggalkan dunia” (Was 1-3).
Dahulu dia bereaksi negatif bila bertemu dengan orang kusta, sekarang berubah menjadi belarasa. Yang dahulu memuakkan, sekarang menjadi sesuatu yang menyenangkan. Yang dahulu ditolak olehnya dengan sikap angkuh, sekarang dirawatnya dengan penuh kelembutan karena dia sungguh menemukan sukacita yang luarbiasa besar dalam melayani para penderita kusta itu. Ketika pada akhirnya dia telah mampu mengatasi rasa jijiknya lalu merangkul seorang kusta, Fransiskus pun menemukan dirinya sendiri, dirinya yang baru, dan menemukan berbagai kemungkinan di dalam dirinya yang tak pernah dimimpi-mimpikan olehnya sebelum itu.
Pada waktu memandang masa depan yang masih remang-remang Fransiskus sekilas menangkap adanya sesuatu yang menunggu dia, yang berbeda sekali dengan perang dan perdagangan, meskipun dia belum dapat memastikan apa kiranya “sesuatu” itu. Namun yang terpenting adalah, bahwa dirinya sekarang sudah terbuka lengkap dan total dan siap untuk mengubah cara hidupnya. Peristiwa-peristiwa yang baru dialaminya telah memberikan kepadanya standar-standar penilaian baru, nilai-nilai baru yang belum pernah dipikirkannya dengan serius sebelumnya, bahkan yang dibencinya karena terasa jijik. Dengan kata lain dia telah menemukan Allah dan para penderita kusta; dan penemuan tersebut begitu mengubah dirinya, sehingga sekarang dia mungkin memiliki semacam perasaan awal bahwa dia sedang dipanggil untuk suatu kehidupan yang lebih tinggi (LL II, hal.3).
Dalam hatinya Fransiskus sudah berubah sama sekali, … pada suatu hari dia berjalan di dekat gereja San Damiano, yang nyaris runtuh dan telah ditinggalkan setiap orang.[3] Dibimbing oleh Roh dia masuk ke dalam untuk berdoa dan dia bersujud dengan penuh bakti di depan Salib Kristus. Secara luar biasa dia terkesan oleh pengalaman tak biasa ini, dan dia merasa lain sama sekali daripada ketika dia memasuki gereja itu. Di dalam keadaan itu tiba-tiba – hal mana belum pernah terdengar sejak berabad-abad, – gambar Kristus yang tersalib menggerakkan bibirnya dan berbicara kepadanya. Gambar di salib itu memanggil namanya dan berkata: “Fransiskus, pergilah dan perbaikilah rumah-Ku, yang kaulihat sudah roboh seluruhnya ini.” Fransiskus amat terkesima, gemetar dan bicara menggagap seperti seorang tidak waras. Ia menyiapkan dirinya untuk untuk taat dan memberikan dirinya secara penuh untuk melaksanakan perintah ini (2Cel 10; bdk K3S 13).[4]
“Dia memberikan dirinya secara penuh untuk melaksanakan perintah ini …” Dalam kata-kata yang digunakan oleh Thomas dari Celano ini kita dapat melihat suatu allusi terhadap doa yang sedang kita pelajari saat ini, di mana Fransiskus juga menyebutkan sebuah “perintah”.[5] Apa pun yang terjadi, narasi Thomas dari Celano menggambarkan dengan tepat konteks dalam mana kita harus menempatkan doa ini. Sayang sekali Thomas dari Celano tidak memberikan kepada kita teks doa tersebut. Namun bersama doa-doa Fransiskus lainnya, “Doa di depan Salib” ini sampai ke tangan kita lewat beberapa manuskrip kuno yang menunjukkan bahwa Santo Fransiskus sering mendoakan doa ini dengan menggunakan bahasa Italia, dan dia juga mengajarkan para saudaranya untuk mendoakan doa yang sama.
SALIB SAN DAMIANO
Pater Leonard Lehman OFMCap. mengatakan, bahwa kalau kita mau memahami doa ini, kita harus mengingat fakta kedua, yaitu bahwa Fransiskus mendoakannya di depan Salib Kristus di gereja San Damiano (LL I, hal. 3).
“Salib” San Damiano ini sesungguhnya sebuah ikon yang berukuran 2,10m x 1,30m. Sekarang salib ini ada di Gereja Santa Klara di Assisi. Lukisannya ditempelkan pada potongan kayu kenari, beraliran Umbria dan menunjukkan pengaruh Syro-Byzantin yang menonjol, dilukis pada abad ke-12 oleh seorang seniman tak dikenal.[6] Warnanya terang dan hidup. Kristus tidak ditampilkan sebagai seseorang dengan wajah sedih-muram, akan tetapi sebaliknya: Penampilan-Nya agung seperti seorang Raja dengan pandangan mata seakan-akan mau melihat-tembus ke dalam jiwa orang yang memandangi salib tersebut. Tangan-tangan-Nya terentang, namun tanpa terlihat adanya tanda-tanda ketegangan. Ia berdiri, dan tidak tergantung di salib. Lagipula, ikon itu menggambarkan keseluruhan misteri Paskah – penyaliban, kebangkitan dan kenaikan ke surga, juga mereka orang-orang yang terlibat dalam peristiwa penyaliban, beserta para malaikat pada waktu kebangkitan dan para perempuan di luar kubur yang kosong. Para rasul juga ditunjukkan, mereka memandangi Kristus yang naik ke surga.
Di bagian atas salib terlihat pintu gerbang surga, dengan tangan Bapa surgawi yang terlihat diulurkan untuk memberkati Putera-Nya, yang telah melakukan kehendak-Nya, “taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp 2:8). Tangan Bapa yang diulurkan untuk memberkati mungkin mau menggambarkan Roh Kudus, yang disebut sebagai “jari dari tangan kanan Allah (digitus paternae dexterae) seperti kita dapat dengar pada Misa Pentakosta. Kalau demikian halnya, maka ikon ini menghubungkan orang yang memandanginya dengan Trinitas: Bapa, Putera dan Roh Kudus. Ikon ini menarik perhatian Fransiskus secara istimewa.
Figur sentral dalam ikon itu, Kristus Tuhan, menyita seluruh perhatian Fransiskus; menjadi hidup baginya dan menyentuhnya secara mendalam. Ia merasakan bahwa Kristus secara pribadi sedang memandangnya dengan mata yang penuh daya tarik, namun menembus, dan dengan tangan yang terentang mengundang dia untuk merenungkan pemikiran ini: “Hai Fransiskus, tidakkah kaulihat betapa reyot rumah-Ku? Jadi, pergilah memperbaikinya bagi-Ku!” (K3S 13).
Thomas dari Celano dan “Kisah Tiga Sahabat” memandang peristiwa San Damiano sebagai suatu mukjizat. Santo Bonaventura malah lebih menekankan lagi unsur mukjizat itu dengan menceritakan kepada kita bahwa suara dari salib itu didengar oleh Fransiskus bukan satu kali, melainkan sebanyak tiga kali (LegMaj II:1). Pater Leonard Lehman OFMCap. mengatakan, bahwa tidak perlulah menghubungkannya dengan mukjizat untuk menekankan pentingnya peristiwa itu. Peristiwa itu sendiri bahkan lebih signifikan apabila kita memandangnya pada tingkat alami (LL I, hal. 4).
Ada situasi-situasi di mana kata-kata tertentu memiliki suatu arti istimewa bagi kita; ada pula saat-saat di mana kita memahami dengan jelas adanya sesuatu yang sampai sekarang telah menghindar dari kita, perjumpaan-perjumpaan di mana kita mengenal diri kita dengan lebih baik, gambar-gambar yang meninggalkan suatu kesan tak terlupakan bagi kita. Kita kadang-kadang berkata: “Hal itu sangat berarti bagiku. Peristiwa itu memberi pesan kepadaku. Kejadian itu berbicara kepadaku.”
Dengan demikian kita dapat memahami kata-kata Kristus kepada Fransiskus di San Damiano dalam artian itu. Ikon San Damiano, gambar Kristus dengan pandangan-Nya yang tajam, dapat memberi kesan kepada Fransiskus begitu mendalam, justru pada waktu dia sedang mencari-cari dalam menggeluti panggilannya dalam hidup. Maka kita dapat mengerti, bahwa dia begitu tersentuh sampai sedalam-dalamnya sehingga seakan ditarik untuk mengikuti Sang Tersalib sepanjang hidupnya. Fransiskus merasakan dirinya begitu dipengaruhi secara mendalam oleh Kristus pada kayu salib San Damiano, sehingga dia tidak banyak mempunyai pilihan, kecuali menanggapi pesan Yesus dari salib itu dengan melakukan apa yang diminta kepadanya.
STRUKTUR DOA
Doa ini memang mencerminkan situasi yang dihadapi Fransiskus pada waktu itu. Doa ini ditujukan kepada Allah Bapa yang disapa sebagai yang mahatinggi dan penuh kemuliaan. Fransiskus berlutut di hadapan Allah yang mahatinggi dan penuh kemuliaan ini dengan hatinya diliputi kegelapan, dan diapun tahu bahwa penerangan/pencerahan hanya dapat datang dari Dia yang adalah Terang. Oleh karena itu dia memohon kepada Allah, pertama-tama untuk “menerangi kegelapan hatinya”; dan kedua untuk memberikan empat hal, yaitu “iman yang benar, pengharapan yang teguh, dan kasih yang sempurna, perasaan yang peka dan budi yang cerah”.
Permohonan pertama, “terangilah kegelapan hatiku”[7]terdiri dari kata-kata yang jumlahnya lebih sedikit dan mengandung makna yang lebih umum ketimbang permohonan yang kedua. Pengucapan kata “Tuhan” untuk kedua kalinya lebih singkat, namun berujung pada seluruh pokok doa ini, yaitu keinginan mendalam Fransiskus untuk mengetahui/mengenali dan melakukan kehendak Allah.
Maka doa ini mempunyai suatu dinamika internalnya sendiri. Sambil berlutut di hadirat Tuhan dan Allah-nya, Fransiskus mengakui bahwa hatinya dipenuhi kegelapan dan keragu-raguan. Setiap kemampuan hati dan pikirannya diterimanya dari Allah saja dan semua itu harus membawanya kembali kepada Allah. Meskipun dia sedang gundah-gulana atau merasa gamang, dia tidak hanya mohon iman, harapan dan cinta-kasih, melainkan keseluruhan doanya diarahkan pada satu sasaran, yaitu agar mampu “melaksanakan perintah Allah yang kudus dan benar.”
Doa ini berbicara banyak tentang cara berpikir Fransiskus. Ia mulai dengan menyapa Allah dan mengakhirinya dengan tujuan melaksanakan perintah Allah yang kudus. Dua butir sangat penting dari doa ini adalah “berikan” dan “ melaksanakan”: Allah memberi agar kita dapat melaksanakan perintah-Nya (kehendak-Nya). Dalam Wasiat-nya, Fransiskus menulis: “Beginilah Tuhan menganugerahkan kepadaku, Saudara Fransiskus, untuk mulai melakukan pertobatan……” (Was 1); “Tuhan memberi aku anugerah ……” (Was 4); “Lalu Tuhan menganugerahkan ……” (Was 6); “Sesudah Tuhan memberi aku sejumlah saudara ……; tetapi Yang Mahatinggi sendiri mewahyukan kepadaku ……” (Was 14).
Permenungan atas “Doa di depan Salib”
“Allah yang mahatinggi dan penuh kemuliaan”
Selagi Fransiskus memandang wajah agung Sang Tersalib pada ikon di San Damiano, bagaimana lagi dia dapat menyapa Allah selain sebagai “Allah yang mahatinggi dan penuh kemuliaan”? Bagi Fransiskus, Kristus yang tersalib adalah Allah, dan Allah adalah Yang Mahatinggi, bahkan ketika menderita hinaan di kayu salib. Di masa depan Fransiskus akan seringkali menyapa Allah seperti itu – “Allah Yang Mahakuasa, Mahakudus, Mahatinggi dan Mahaluhur, Engkaulah segala kebaikan, paling baik, seluruhnya baik, hanya Engkau sendiri yang baik” (PujIb 11). “Allah Yang Mahakuasa, Mahakudus, Mahatinggi dan Mahaluhur” (AngTBul XXIII:1).
“Nyanyian Saudara Matahari” dimulai sebagai berikut: “Yang Mahaluhur, Mahakuasa, Tuhan yang baik” (NyaMat 1). Frase “Yang Mahatinggi” kelihatannya terus ada dalam doa-doa sepanjang hidupnya, karena terdapat pada awal doanya yang pertama maupun yang terakhir. Bagi Fransiskus, Allah sungguh adalah Yang Mahatinggi (Mahaluhur) dan dia melihat dan mengakui keagungan di mana saja – di atas kayu salib, di Betlehem dan dalam roti dan anggur yang telah dikonsekrasikan. Ia menemukan Sang Mahatinggi di mana saja dia memandang.
Pater Murray Bodo OFM memberi sedikit catatan sehubungan dengan doa ini. Menurutnya doa Fransiskus ini adalah agar supaya “Sang Mahatinggi” mengambil inisiatif terhadap dirinya, dan semua ini dimulai dengan pujian penuh sopan-santun dari seorang ksatria: “Allah yang mahatinggi dan penuh kemuliaan”. Imam-penyair Fransiskan ini juga mengatakan, bahwa doa Fransiskus selalu dimulai dan diakhiri dengan pujian. Doa Fransiskus adalah doa penyembahan (adorasi) yang mengakui jarak tak terbatas antara Sang Pencipta dan makhluk ciptaan, yang mengakui ketiadaan-arti dirinya di hadapan Allah yang mahatinggi. Ketiadaan-arti atau ke-kecilan ini merupakan suatu pernyataan teologis, dan bukan pernyataan psikologis, seperti sering dipandang oleh manusia modern. Fransiskus tidak memandang dirinya rendah atau merendahkan martabatnya sendiri, atau bahkan memandang dirinya samasekali. Dia memandang Allah dan secara sederhana membuat pernyataan yang baginya adalah sebuah kenyataan: Allah adalah Allah dan Fransiskus bukanlah Allah. Perspektif ini akan mewarnai segala sesuatu yang berkaitan dengan perkembangan dirinya selanjutnya dan apa saja yang akan dilakukannya kelak (MB, hal. 11).
Pada waktu Fransiskus mengucapkan “Doa di depan salib” ini, segala sesuatunya telah menjadi masalah baginya. Namun demikian kita dapat bertanya (kepada diri sendiri), mengapa dia tidak memikirkan sendiri berbagai masalah yang dihadapinya? Bukankah dia sendiri yang harus mencari solusi terbaik berkaitan dengan masa depannya sendiri atau relasinya dengan ayahnya? Bukankah dia sendiri yang harus mengambil keputusan? Pada kanyataannya Fransiskus tidak menyandarkan diri pada kemampuannya mencari solusi, akan tetapi dia malah berpaling kepada Sang Mahatinggi.
Kita juga seringkali menghadapi kesulitan-kesulitan berkaitan dengan relasi pribadi, baik dalam keluarga, lingkungan kerja, lingkungan dan lain sebagainya. Kita masing-masing harus mencari solusi atas kesulitan-kesulitan seperti itu. Dalam situasi pencarian solusi tersebut kita dapat berada dalam kegelapan sehingga tak mungkinlah mencapai solusi yang baik. Kita terjebak dalam semacam lingkaran setan. Dalam kasus seperti itu kita dapat banyak menolong diri kita dengan memandang Sang Tersalib dan berkata pelahan: “O, Yang Mahatinggi!” Apabila kita berdoa seperti ini, kita mengakui adanya Seorang Pribadi yang jauh lebih besar dan agung daripada diri kita sendiri; bahwa kita adalah makhluk ciptaan yang kecil saja. Maka kita berpaling kepada-Nya yang Teragung dan mempercayakan segalanya kepada-Nya.
“Penuh kemuliaan”
Mata iman mampu melihat melampaui sakit, sengsara dan penderitaan Sang Tersalib. Karena imannya yang mendalam, artis tak dikenal yang melukis Salib San Damiano mampu untuk menunjukkan dalam ikonnya, baik Jumat Agung maupun Minggu Paskah. Bahkan di kayu salib pun, Kristus tetap Tuhan, penuh kemuliaan dan keagungan.
Pada dasarnya seluruh tugas hidup iman kita adalah mengkontemplasikan Jumat Agung dan Minggu Paskah secara bersama-sama, membawa hari Minggu ke dalam hari-hari lainnya sepanjang pekan. Karena Kristus, meskipun tersalib, tetap gilang-gemilang penuh keagungan, maka manakala penderitaan, kesedihan dan kematian merusak rutinitas keseharian kita yang nyaman, kita tidak boleh memperkenankan semua itu sampai menjerumuskan kita ke dalam keputus-asaan. Fransiskus sendiri merupakan sebuah contoh bagaimana sukacita dapat bersinar melalui kelemahan dan penderitaan badaniah. Bahkan pada saat kematiannya pun, keagungan Allah dimanisfestasikan, karena Tuhan-nya menganugerahkan kepada Fransiskus suatu kematian indah dengan mazmur di bibirnya dan para saudara berkumpul di sekelilingnnya.
“Terangilah kegelapan hatiku”
Ketika Fransiskus mengatakan, “Allah yang mahatinggi dan penuh kemuliaan”, dia sebenarnya mengakui keagungan Allah. Apa yang kita dapat lakukan manakala dikonfrontrasikan dengan terang Allah yang tidak dapat diakses, adalah mengakui kegelapan (hati) kita sendiri. Itulah sebabnya mengapa ungkapan “penuh kemuliaan” cocok sekali diikuti dengan permohonan ini: “Terangilah kegelapan hatiku.” Kata “hati” di sini berarti pusat terdalam keberadaan Fransiskus, kegelapan pikirannya dan emosinya, keragu-raguannya dan gundah-gulananya, ketidakmampuannya untuk ke mana dia harus pergi, kekacauan batinnya, berpindah-pindahnya dia dari desolasi ke konsolasi dan sebaliknya.
Akan tetapi pencerahan (penerangan) hanya dapat datang dari Allah. Permohonan pertama Fransiskus ini adalah untuk ikut serta dalam kemuliaan Allah, untuk turut ambil bagian dalam terang-Nya. Itulah yang paling dibutuhkan olehnya, sebuah kebutuhan urgent – untuk diubah (ditransformasikan), karena apabila terang Allah menyinari diri kita, maka kita melihat kehidupan kita secara berbeda sekali dan jauh lebih jelas.
“Berilah aku iman yang benar, pengharapan yang teguh, dan kasih yang sempurna”
Sambil berlutut di depan Sang Tersalib di gereja kecil San Damiano, Fransiskus sampai pada kesadaran mendalam, betapa gelap hatinya. Sebab utama kegelapan adalah ketidak-mampuannya untuk membebaskan dirinya dari dunia dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Bapa, seperti yang telah dilakukan oleh Kristus Tersalib sebelumnya. Fransiskus memohon tiga keutamaan teologal, dasar dan unsur konstituen kehidupan Kristiani. Di bawah pengaruh Paulus (1Kor 13:13) dan Santo Augustinus, tradisi yang menyebutkan ketiga keutamaan ilahi ini secara bersamaan itu menyebar-luas. Fransiskus mengetahui tradisi ini dari liturgi zamannya, dengan demikian cukup wajarlah kalau dia menyebutkan ketiga keutamaan/kebajikan teologal ini dalam doanya (lihat BL, hal. 96). Dengan iman, kita menyerahkan diri kita kepada Allah seperti telah dilakukan oleh Abraham; dengan harapan, kita melihat melampaui diri kita sendiri; dan dengan kasih, kita menyerahkan keseluruhan diri kita dalam menanggapi kasih Allah kepada kita.
Iman yang benar. Agar supaya mampu melihat cara hidupnya yang baru dan menjalaninya, Fransiskus mohon diberikan iman yang benar (Latin: fidem rectam). Imannya benar kalau sungguh Katolik dan sesuai dengan iman Gereja Roma. Namun demikian, lebih daripada sekedar menerima kebenaran-kebenaran obyektif tertentu seturut ajaran Gereja, keprihatinan Fransiskus adalah menghayati imannya dalam Kristus yang tersalib. Lebih dari sekedar ortodoksi, iman yang benar bagi Fransiskus secara sangat konkret juga berarti praktek iman yang benar (ortopraksis); artinya mengikuti jejak Yesus Kristus secara setia, atau seperti yang suka dikatakan oleh Fransiskus: hidup sesuai dengan forma sancti evangelii, bagian terpenting Injil, sebagai satu-satunya norma yang sahih bagi dirinya dan persaudaraannya.
Pater Leonard Lehman OFMCap. mengatakan, bahwa dengan memohonkan iman yang benar, mungkin Fransiskus mengungkapkan sikapnya untuk menjaga jarak dengan banyak gerakan bid’ah pada zamannya. Lembah Spoleto sudah menjadi basis kaum Katari dan para bid’ah ini telah membingungkan umat lewat ajaran-ajaran mereka. Pada waktu itu juga ada pengkhotbah-pengkhotbah keliling yang pergi dari kota ke kota sambil mewartakan pertobatan, sehingga rakyat biasa sungguh dibuat bingung, siapa dan apa yang harus dipercaya. Dalam situasi seperti inilah Fransiskus mohon diberikan terang untuk membimbingnya memilih iman yang benar dan tetap berada di dalamnya (tetap berpegang teguh pada iman tersebut). Pater Leonard Lehman OFMCap. juga mengatakan, mungkin saja kata-kata yang digunakan oleh Fransiskus di sini dipengaruhi oleh doa permohonan yang terdapat dalam Kanon Misa Romawi: “untuk semua mereka yang memegang dan mengajarkan iman Katolik yang datang kepada kita dari para rasul” (LL II, hal. 8). Yang jelas, dalam “Doa di depan Salib”, kita dapat melihat ketetapan hati Fransiskus untuk tetap setia kepada iman Katolik, suatu ketetapan hati yang akan jelas tampak kemudian dalam beberapa tulisannya (AngTBul II:2, III:4; Pth XXVI; 2SurBerim 32-36).
Doa permohonan Fransiskus untuk diberikan iman yang benar begitu mendalam artinya sekarang. Mengapa? Karena sekarang kita menyadari bahwa kepercayaan umum akan Allah saja tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan pasti atau merupakan suatu pengandaian, karena pengaruh atheisme dan agnostisme, apalagi iman-kepercayaan Katolik. “Berikan aku iman yang benar” juga dapat menjaga kita dari rasa percaya diri yang berlebihan dan menjaga kita dari rasa ragu yang yang ditimbulkan oleh karena pengaruh berbagai kepercayaan populer baru.
Pengharapan yang teguh.
Untuk sekian lamanya Fransiskus mengejar-ngejar khayalannya. Dia telah memimpikan pakaian tempur, persenjataannya dan tindakan-tindakan gagah-berani penuh kejantanan seorang ksatria. Namun demikian, pada saat yang sama dia juga mendengarkan hati nuraninya, dengan demikian ada cita-cita yang lain. Sekarang, dalam usahanya mencapai cita-cita ini, dia mohon kepada Sang Tersalib untuk diberi pengharapan yang teguh (Latin:spem certam), suatu pengharapan yang jauh lebih tinggi, lebih menjanjikan daripada ambisi lamanya untuk mencapai ketenaran dan kemuliaan dalam pertempuran. Ini adalah pengharapan yang akan tetap tak tergoyahkan karena didirikan di atas Tuhan sendiri. Di masa depan, Allah sendirilah yang akan menjadi jaminan keberhasilannya.
Kasih yang sempurna. Kita semua mencari kasih, dan kita bertumbuh dan menjadi lebih baik apabila kita mengasihi dan dikasihi. Kasih kita disempurnakan dalam penyerahan-diri kepada orang-orang lain. Ini adalah kasih yang sempurna (Latin: caritatem perfectam) yang dimohon oleh Fransiskus.
Kasih yang dicari Fransiskus adalah kasih yang lengkap, yang komplit, yang sempurna. Dalam permohonan ini, kita dapat mendengar gema dari perjumpamaannya dengan orang-orang kusta yang membawanya kepada suatu arahan-kembali yang radikal dalam kehidupannya. Sesaat sebelum wafatnya, orang kudus ini mengingat kembali hal tersebut:
“…… Tuhan sendiri menghantar aku ke tengah mereka dan aku merawat mereka penuh kasihan. Setelah aku meninggalkan mereka, apa yang tadinya terasa memuakkan, berubah bagiku menjadi kemanisan jiwa dan badan ……” (Was 2-3).
Dedikasi Fransiskus untuk menolong orang-orang kusta membuat caranya memandang dan merasakan menjadi berbeda total dengan apa yang telah dialaminya sebelum itu. Ketika dia sedang mendoakan “Doa di depan Salib” dengan menggagap, dia masih begitu tersentuh oleh pengalaman-pengalaman barunya ini. Dia masih saja kaget dan heran terhadap dirinya sendiri dari mana dia menemukan kekuatan untuk mengatasi rasa benci dan jijiknya terhadap orang kusta yang buruk-rupa di pinggir jalan, menciumnya dan membersihkan luka-luka pada tubuh orang kusta. Bagi Fransiskus, jawabnya terletak pada salib, penyerahan-diri Kristus yang penuh pengorbanan. Maka dia mohon kekuatan untuk memampukan diri untuk melanjutkan apa yang telah dimulainya, yakni menolong orang-orang kusta.
Namun demikian, Fransiskus sangat sadar bahwa dia tidak akan pernah dapat melakukan semua itu sendiri: dia tahu dirinya memerlukan kasih, yang akan membuatnya mampu untuk melihat sesama dalam terang yang baru dan memberikan dirinya kepada mereka. Untuk itu dia membutuhkan suatu kasih yang akan menolongnya untuk dilahirkan kembali dan mulai hidup baru. Itulah sebabnya mengapa dia mohon diberikan suatu kasih yang sempurna.
Iman yang benar, pengharapan yang teguh dan kasih yang sempurna. Sepanjang hidupnya Fransiskus memelihara semua karunia/anugerah yang dimohonkannya pada tahapan awal pertobatannya ini. Tidak seperti kaum bid’ah fanatik pada waktu itu, Fransiskus tetap memelihara dan membela “Iman yang Satu dan Benar” itu. Karunia pengharapan-yang-diperbaharui memperkenankannya untuk tampil percaya-diri di hadapan uskup, bahkan di hadapan Sri Paus. Harapan ini menolongnya untuk membawa kehidupan baru kepada orang miskin dan menderita sakit-penyakit. Bahkan pada saat kematiannya pun harapan ini memenuhi dirinya dengan rasa percaya yang hidup.
Fransiskus minta kepada para saudaranya untuk menyanyikan “Nyanyian Saudara Matahari” pada saat-saat terakhir kehidupannya di dunia. Hal ini merupakan sebuah ekspresi dari kasih yang sempurna – kasihnya kepada Allah, kasihnya kepada sesama, sehat ataupun sakit, suatu kasih yang merangkul semua makhluk dan mengubah langit dan bumi baginya. Tidak lama sebelum kematiannya, kasih yang sempurna ini membantu menciptakan perdamaian antara Uskup Assisi dan Walikota Assisi, yang sudah sejak lama berkonflik.
“Perasaan yang peka dan budi yang cerah”
Pertama-tama Fransiskus berdoa mohon diberikan beberapa kebajikan/keutamaan yang mendasar, yaitu keutamaan teologal: iman, pengharapan dan kasih. Kemudian dia mohon perasaan dan budi/pengetahuan (Italia: senno e cognoscemento, Latin: sensum et cognitionem). Dua istilah ini dapat dipahami dengan berbagai cara. Pater Bertulf van Leeuwen OFM mengatakan, bahwa sensum et cognitionem adalah knowledge of heart and mind (pengetahuan hati dan pikiran). Menurut dia kata sensus sulit untuk diterjemahkan. Kata ini berurusan dengan atau mengacu kepada “perasaan”, pada aspek pengetahuan yang afektif dan eksperiensial, sedang cognitio mengacu pada sisi intelektual dari pengetahuan. Artinya Fransiskus ingin mengetahui tidak hanya dengan pikirannya (akal budinya); dia juga ingin mengetahui dengan hatinya, untuk merasakan hal-hal yang terjadi, untuk mengalami hal-hal tersebut dalam hatinya (BL, hal. 97).
Pater Leonard Lehman OFMCap. mengatakan, pada umumnya sensus mengacu pada indera, perasaan atau kepekaan (sensitivitas). Menurut dia, doa Fransiskus dapat diterjemahkan sebagai berikut:
Berikan kepadaku kepekaan untuk memahami perintah-Mu; perkenankanlah aku merasakan atau mengalami secara nyata apa yang Kaukehendaki untuk kulakukan. Buatlah aku peka terhadap-Mu dan mahluk-mahluk ciptaan lainnya. Buatlah aku menjadi reseptif terhadap panggilan-Mu dan sadar akan permohonan-permohonan – permohonan-permohonan yang sering tidak terdengar – dari orang-orang lain. Anugerahilah aku rahmat agar dapat menjaga indera-inderaku selalu waspada untuk memahami arti kehidupanku (LL II, hal. 10).
Cognitio (pengetahuan) berarti kemampuan untuk mengakui dan memahami (di dalamnya termasuk persepsi dan intuisi), artinya pengakuan dan pemahaman. Jadi Fransiskus berdoa, agar dia dapat memahami rancangan Allah. “Kesadaran dan pemahaman” menyangkut keseluruhan pribadinya, tubuh dan jiwa. Dia harus melaksanakan perintah Allah dengan segenap hati dan pikiran, dengan segenap kekuatan yang dimilikinya. Namun manusia tidak dapat melaksanakan hal ini dengan kekuatan sendiri. Fransiskus mengakui kemiskinan dan kelemahan manusia, ketergantungannya pada Allah. Oleh karena itulah Fransiskus berseru: “Tuhan!” Perasaan dan pengetahuan (budi) sejati hanya dapat datang dari Allah saja. Hanya dari Allah-lah seeorang dapat menerima pengalaman dan pemahaman yang benar.
Berbicara perihal keutamaan-keutamaan, karunia-karunia, anugerah-anugerah, maka kita pun adalah pengemis-pengemis yang berdiri di hadapan Allah, akan tetapi hanya para pengemis yang dapat mengangkat tangan dengan penuh rasa percaya untuk minta:
- agar kegelapan hati kita diterangi,
- iman, harapan dan kasih,
- perasaan dan pengetahuan.
Pada penutupan doanya, Fransiskus samasekali tidak minta apa-apa untuk dirinya. Keseluruhan tujuan permohonannya yang terakhir adalah untuk mampu menjalani hidupnya sesuai dengan perintah Allah; tidak pernah melupakan Allah, tidak pernah merencanakan hidupnya tanpa mengikutsertakan Allah, atau membuat rencana yang menyimpang dari cetak-biru (blue print) Allah sendiri. Dalam pencarian akan makna kehidupannya, Fransiskus muda mengharapkan segala solusi dari Allah saja. Ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan hanya mohon untuk melaksanakan “perintah-Nya yang kudus dan benar” (Latin: sanctam et verax mandatum). Fransiskus tidak dapat meragukan atau mempertanyakan perintah Allah, karena dia melihat perintah itu kudus, karena datang dari Allah. Oleh karena itu, dia selalu siap untuk melaksanakan perintah itu, dan dia tidak berhenti ketika mengucapkannya, melainkan langsung mulai mengambil tindakan seturut perintah itu.[8]
Perintah tersebut pertama-tama mengacu pada perintah Sang Tersalib: “Hai Fransiskus, tidakkah kaulihat betapa reyot rumah-Ku? Jadi, pergilah memperbaikinya bagi-Ku!” (K3S 13). Namun kita dapat memahaminya dalam arti yang lebih luas dan mendalam, yang mencakup keseluruhan cara hidup Fransiskus dan para saudaranya. Maka Fransiskus menulis: “… bila mereka (para saudara) bertekun dalam perintah-perintah Tuhan yang telah mereka janjikan dalam Injil suci dan cara hidup mereka, maka mereka tetap berada dalam ketaatan yang sejati; dan semoga mereka diberkati oleh Tuhan” (AngTBul V:17).
Hubungan antara peristiwa Salib San Damiano dan peristiwa gunung La Verna. Selagi Fransiskus berlutut di depan Salib San Damiano, rasa susahnya yang mendalam berubah menjadi belarasa terhadap Sang Tersalib. Sebelum itu dia disibukkan terus dengan kegelapan hatinya sendiri, kecemasan dan ketidakmampuannya untuk mengambil keputusan. Namun setelah itu, penderitaannya menemukan titik acuan yang jelas dan sebuah arti yang pasti: dia akan meluaskan kasihnya pertama-tama kepada para penderita kusta, kemudian meluaskannya kepada siapa saja, dengan hidup di tengah orang-orang jelata dan yang dipandang hina, orang miskin dan lemah, orang sakit dan orang kusta serta pengemis di pinggir jalan (AngTBul IX:2).
Ia akan menderita bersama dengan siapa saja yang berada dalam keadaan menderita dan susah, karena dia melihat dalam diri mereka sang Penebus/Penyelamat yang menderita. Menderita bersama (compassio) atau belarasa terhadap Sang Tersalib, bagi Fransiskus berarti menderita bersama Sang Tersalib. Di masa depan hal ini akan menentukan jalan yang akan ditempuh Fransiskus sepanjang hidupnya. Belarasa memiliki makna lebih mendalam daripada sekedar simpati (sympathia) seorang Kristiani. Dari riwayat hidupnya kita lihat betapa Fransiskus sampai begitu tidak melekat pada dirinya sendiri dan begitu dipenuhi belarasa terhadap Sang Tersalib, sehingga Kristus sendiri memeteraikan gambar-Nya sendiri pada tubuhnya (stigmata) hanya dua tahun sebelum akhir hidupnya di dunia.
Dalam peristiwa bersejarah di San Damiano, ketika Fransiskus sadar bahwa dia harus membaktikan dirinya kepada Yesus Tersalib, itulah saat yang merupakan suatu turning point (titik balik) dalam kehidupannya. Pada saat itulah Fransiskus mengambil langkah pertama di jalan yang akan membawanya kepada stigmata, tanda yang kelihatan dari identifikasi dirinya dengan Kristus. Jalan menuju ke gunung La Verna dimulai di San Damiano. “Kisah Tiga Sahabat” menunjukkan koneksi antara La Verna dan San Damiano:
Sejak saat itu Fransiskus begitu terbakar dan luluh, sehingga seumur hidup ia ingat akan penderitaan Tuhan dan membawa luka-luka Tuhan Yesus dalam hatinya, sebagaimana kemudian hari menjadi kentara oleh karena dalam badan Fransiskus luka-luka itu secara ajaib diperbarui, dan hal itu jelas terbukti” (K3S 14).
CATATAN PENUTUP: ALLAH MEMBERI DAN MANUSIA MELAKSANAKAN
“Doa di depan Salib” ini berbicara banyak tentang cara atau pola berpikir Fransiskus dan juga kedalaman iman-kepercayaannya. Bagi dia, Kristus yang tersalib tidak melambangkan kekalahan dalam kematian sehingga kita meratapinya dan perlu berkabung karenanya, melainkan menunjukkan wajah manusia dari Allah yang hidup, “yang mahatinggi dan penuh kemuliaan”. (MH, hal. 17).
Fransiskus mulai dengan menyapa Allah dan mengakhirinya dengan tujuan melaksanakan perintah Allah yang kudus. Dua butir sangat penting dari doa ini adalah “berikan” dan “melaksanakan”: Allah memberi (Latin: dare) agar kita dapat melaksanakan (Latin: facere) perintah-Nya (kehendak-Nya). Fransiskus mohon kepada Allah untuk memberikan kepadanya iman, harapan dan kasih, juga pengetahuan hati dan pikiran; agar dia dapat memenuhi perintah-Nya. Jadi apa yang dimintanya kepada Allah untuk diberikan kepadanya secara keseluruhan diarahkan kepada “pelaksanaan” sabda Allah.
Fransiskus mengawali Wasiat-nya dengan cara yang sama: “Beginilah Tuhan menganugerahkan kepadaku, Saudara Fransiskus, untuk mulai melakukan pertobatan……” (Was 1). Kemudian dalam Wasiat yang sama dia menulis: “Tuhan memberi aku anugerah ……” (Was 4); “Lalu Tuhan menganugerahkan ……” (Was 6); “Sesudah Tuhan memberi aku sejumlah saudara, tidak seorangpun menunjukkan kepadaku apa yang harus kuperbuat; tetapi Yang Mahatinggi sendiri mewahyukan kepadaku, bahwa aku harus hidup menurut pola Injil Suci” (Was 14). Dalam tulisan-tulisan lainnya Fransiskus juga berbicara mengenai pengalaman tentang bimbingan Allah kepadanya dalam hidupnya. Fransiskus menamakannya suatu pewahyuan atau inspirasi. Allah mewahyukan kepadanya, Allah memberikan inspirasi kepadanya, dan Fransiskus melaksanakan apa yang diperintahkan Allah untuk dilakukannya. Dalam pengalaman “melaksanakan” inilah Fransiskus memperoleh wawasan yang semakin mendalam ke dalam perintah Allah. Dalam mengikuti Yesus dengan I menepati Injil, Fransiskus sampai kepada suatu pengetahuan hati dan pikiran yang semakin besar.
Hal ini pada gilirannya memimpin dia kepada suatu kesatuan lebih mendalam dengan Yesus Kristus, yang menemukan klimaksnya dalam pengalamannya dengan Kristus yang tersalib di La Verna dan dalam “selamat datang” yang dihaturkannya kepada Saudari Maut yang akan memimpinnya ke negeri orang-orang hidup!
Pater Michael Hubaut OFM menulis sesuatu yang baik untuk kita renungkan dalam bagian akhir tulisan ini: “Allah mengatakan segalanya pada waktu Dia berhenti berbicara dan mati. Itu adalah suatu pengalaman spiritual yang menentukan bagi Fransiskus, ketika dia tiba-tiba menyadari bahwa Allah adalah Kasih yang disalibkan. Sejak saat itu, luka-luka Kristus, luka-luka Kasih itu, tidak pernah lagi menyembuhkan hatinya” (MH, hal. 18).
LATIHAN-LATIHAN PRAKTIS
“Doa di depan Salib” merupakan sebuah doa yang bersifat pribadi berkaitan dengan Fransiskus dan doa itu disusun dalam suatu situasi yang istimewa. Namun demikian, kita semua dapat menggunakan doa itu sebagai sebuah model doa atau contoh doa. Kita dapat menghaturkan ini kepada Allah teristimewa pada saat-saat dilanda keragu-raguan atau ketika kita harus mengambil suatu keputusan penting. Doa ini juga cocok digunakan sebagai sebuah doa pagi untuk memulai suatu hari, sehingga seseorang dapat memperoleh kekuatan apa saja yang akan terjadi pada hari tersebut.
Di lain pihak, pandangan Pater Bertulf van Leeuwen OFM agak berbeda. Dia mengatakan bahwa karena “Doa di depan Salib” merupakan doa pribadi, maka tidak begitu mudahlah untuk menggunakannya sebagai doa komunal. Selanjutnya dikatakan olehnya, bahwa tidak begitu mudahlah bagi seseorang untuk menggunakan doa seperti itu bagi dirinya pribadi (BL, hal. 104).
Berikut ini adalah pokok-pokok yang dianjurkan oleh Pater Leonard Lehman OFMCap. untuk latihan rohani kita masing-masing (LL II, hal. 11; LL III, hal. 50):
- Pandanglah Salib San Damiano secara intens untuk beberapa saat lamanya, lebih baik lagi kalau memperkenankan Sang Tersalib yang penuh kemuliaan itu memandang anda. Apakah yang mau dikatakan-Nya kepada anda? … Sadarlah akan mandat atau perintah yang akan diberikan-Nya kepada anda. Biarlah mata anda bertemu dengan mata-Nya, dan katakanlah “Allah yang mahatinggi dan penuh kemuliaan……” atau teristimewa kalau anda sedang berkelompok, biarlah sapaan kita berkembang menjadi semacam proklamasi atau bahkan lagu puja-pujian – kidung – misalnya dengan ungkapan-ungkapan berikut ini:”Dalam memandang ikon-Mu, dalam mengkontemplasikan wajah-Mu, kami akan diubah, kami akan diubah, kami akan diubah ke dalam gambar-Mu … dalam mengkontemplasikan ciptaan-Mu … dalam mengkontemplasikan salib-Mu … melalui kebangkitan-Mu … mendengar kata-kata-Mu.”
- Salib San Damiano merupakan sebuah ikon dengan banyak detil. Seseorang dapat mengikuti jalan Penjelamatan dari penyaliban sampai pada saat Roh Kudus turun atas para rasul. Dia juga dapat mengkontemplasikan individu-individu yang digambarkan dalam ikon tersebut. Pada akhirnya dia dapat memusatkan pandangannya pada wajah gemilang Sang Tersalib. Lalu dia dapat berdoa dan menyanyikan kidung seperti di atas.
- Dalam riwayat hidup Santa Klara cetakan pertama terdapat acuan kepada doa Fransiskus di depan Salib San Damiano dengan catatan sebagai berikut: Fransiskus menghaturkan doa ini setiap hari (Italia: orazione la quale diceva ogni zorno Sancto Francesco). Ada kemungkinan, bahwa Fransiskus suka dan senang mendoakannya secara berulang-ulang (semacam ejaculatory prayer) seturut kebiasaan para Bapa gurun pada awal masa Kekristenan (ancient desert fathers) atau para rahib. Para rahib menyebutnya ruminatio (Inggris: rumination, seperti seekor sapi yang secara perlahan-lahan mengunyah rumput yang ada di mulutnya). Jadi pada dasarnya ruminatio adalah mengulang-ulang suatu doa singkat atau sebuah ayat mazmur secara lambat/tidak-terburu-buru.
KEPUSTAKAAN:
1. Regis Amstrong OFMCap., J.A. Wayne Hellmann OFMConv. & William Short OFM (Editors), FRANCIS OF ASSISI: EARLY DOCUMENTS – THE SAINT Volume I), New York, NY: New City Press, 1999. [RA I]
2. Regis Amstrong OFMCap., J.A. Wayne Hellmann OFMConv. & William Short OFM (Editors), FRANCIS OF ASSISI: EARLY DOCUMENTS – THE FOUNDER Volume II), New York, NY: New City Press, 2000. [RA II]
3. Regis Amstrong OFMCap., J.A. Wayne Hellmann OFMConv. & William Short OFM (Editors), FRANCIS OF ASSISI: EARLY DOCUMENTS – THE PROPHET Volume III), New York, NY: New City Press, 2001. [RA III]
4. Murray Bodo OFM, THE WAY OF ST. FRANCIS – THE CHALLENGE OF FRANCISCAN SPIRITUALITY FOR EVERYONE, Cincinnati, Ohio: St. Anthony Messenger Press, 1995. [MB]
5. Santo Bonaventura, “RIWAYAT HIDUP ST. FRANSISKUS”, (Terjemahan P. Y. Wahyosudibyo OFM), Jakarta: SEKAFI, 1990.
6. Thomas dari Celano, ST. FRANSISKUS DARI ASISI (Riwayat Hidup yang Pertama & Riwayat Hidup yang Kedua (sebagian) –terjemahan P.J. Wahjasudibja OFM), Jakarta: Sekafi, 1981.
7. Berard Doerger OFM, THE PRAYERS OF FRANCIS – I, dalam The Cord, Volume 36, No. 2, February 1986. [BD]
8. Hilarin Felder OFMCap., THE IDEALS OF ST. FRANCIS OF ASSISI (translated by Berchmans Bittle OFMCap.), 800th Anniversary Edition, Chicago, Illinois: Franciscan Herald Press, 1982. [HF]
9. FIORETTI DAN LIMA RENUNGAN TENTANG STIGMATA SUCI, Jakarta: Sekafi, 1997 (Cetakan pertama).
10. C. Groenen OFM (Penerjemah, pemberi pengantar dan catatan), KISAH KETIGA SAHABAT – RIWAYAT HIDUP SANTO FRANSISKUS DARI ASISI, Jakarta: Sekafi, 2000 (Cetakan Pertama). [K3S]
11. Marion Habig OFM (Editor), ST. FRANCIS OF ASSISI – OMNIBUS OF SOURCES, Fourth Revised Edition, Quincy, Illinois: Franciscan Press –Quincy College, 1991. [OMNIBUS]
12. Michael Hubaut OFM, CHRIST, OUR JOY – LEARNING TO PRAY WITH ST. FRANCIS AND ST. CLARE (terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh Paul Barret OFMCap.), Greyfriars Review, Supplement to Vol. 9 – 1995. [MH]
13. Mgr. Leo Laba Ladjar OFM (Penerjemah, pemberi pengantar dan catatan), “KARYA-KARYA FRANSISKUS DARI ASISI”, Jakarta: SEKAFI, 2001. [LLL]
14. Bertulf van Leeuwen OFM, TWO PRAYERS OF ST. FRANCIS BEFORE THE CROSS, dalam TAU – Review on Franciscanism, Vol. VI, No. 3, October 1981. Terjemahan dari TWEE GEBEDEN VAN FRANCISKUS VOOR HET HEILEGE KRUIS dalam Franciskaans Leven, 64 (1981). [BL]
15. Leonard Lehman OFMCap., PRAYER BEFORE THE CRUCIFIX, dalam Greyfriars Review, Vol. 11, Number 1, 1997. [LL I]
16. Leonhard Lehman OFMCap., FRANCIS MASTER OF PRAYER, New Delhi, India: Media House, 1999. [LL II]
17. Michael Scanlan TOR, THE SAN DAMIANO CROSS – AN EXPLANATION, Steubenville, Ohio: Franciscan University Press, 1983. [MS]
18. AD OFS 1978 dan Kitab Suci.
*) Disusun oleh Sdr. F.X. Indrapradja OFS untuk digunakan dalam pertemuan OFS Persaudaraan Santo Thomas More pada Hari Minggu Paskah VII, tanggal 24 Mei 2009. Cilandak, Peringatan Santa Perawan Maria dari Fatima, Rabu tanggal 13 Mei 2009.
[1] Ungkapan dalam bahasa Latin dipetik dari HF, hal. 386.
[2] Informasi yang disampaikan oleh naskah-naskah, bahwa doa itu diucapkan Fransiskus ketika dia menerima pesan dari salib San Damiano, merupakan petunjuk untuk memperkirakan waktu penggubahannya. Peristiwa itu kiranya dapat ditempatkan dalam tahun 1206, mungkin bulan Januari (A. Terzi). Maka doa ini bisa jadi sudah disusun pada saat-saat meditasi sebelum peristiwa itu. Karena itu, harus ditempatkan pada tahun 1205/1206. Maka doa itu berada pada ujung awal karya-karya Fransiskus. Isinya memperlihatkan, bahwa juga pada saat permulaan pencarian dan pergulatannya, Fransiskus sudah masuk dalam misteri Allah sedalam-dalamnya (lihat LLL, hal. 86).
[3] Gereja San Damiano terletak sekitar 1 km di sebelah selatan kota Assisi, di lereng bukit. Gereja itu sudah lama sekali dibangun untuk menghormati Santo Damianus dan yang karena amat tuanya terancam keruntuhan (1Cel 8).
[4] Teks ini diambil dari terjemahan oleh P. J. Wahjasudibja OFM (Sekafi; Cetakan II, Juni 1984) setelah memperbandingkannya dengan terjemahan Inggris yang terdapat dalam Omnibus, hal. 370 dan RA II, hal. 249.
[5] Kata Latin untuk “perintah” adalah mandatum atau comandamento dalam bahasa Italia.
[6] Pater Michael Scanlan TOR mengatakan, bahwa tradisi salib-salib sedemikian dimulai di Gereja Timur dan dibawa oleh para rahib Serbia ke distrik Umbria di Italia. Salib San Damiano adalah salah satu dari sejumlah salib yang dilukis dengan figur serupa dalam abad ke-12 di Umbria. Tujuan dari sebuah salib ikon adalah untuk mengajar mengenai makna peristiwa yang digambarkan, dengan demikian memperkuat iman orang (MS, hal. 5).
[7] Bandingkan dengan Mzm 18:29 (Ibadat Bacaan hari Rabu I): “Sungguh, Engkaulah pelitaku, ya Tuhan, Allahku, Engkau menerangi kegelapanku.” Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI berbunyi: “Karena Engkaulah yang membuat pelitaku bercahaya; TUHAN, Allahku, menyinari kegelapanku.”
[8] Verax merupakan kualitas seorang pribadi: seseorang yang benar (truthful), berbicara kebenaran (speak the truth), memenuhi janji-janjinya (true to his promises), dapat dipercaya (trustworthy). Di sini dikatakan tentang perintah Allah, yang selalu memenuhi janji-janjinya. Oleh karena itu Fransiskus tahu bahwa dia dapat menaruh seluruh kepercayaannya pada perintah ini; dia sungguh dapat – tanpa takut – membangun kehidupannya di atas ini (lihat BL, hal. 97.