Evangelisasi memang merupakan tanggung jawab sebagai akibat pembaptisan kita, di mana kita diangkat menjadi anak-anak Allah dalam Yesus Kristus dan menjadi anggota Tubuh-Nya dan berpartisipasi dalam perutusan-Nya. Yesus Kristus datang sebagai “Roti Kehidupan” karena Dia tahu orang-orang sesungguhnya mempunyai rasa lapar akan kepenuhan hidup, namun Dia memanggil kita untuk memberi makan kepada domba-domba-Nya. Bagaimana para awam Fransiskan menanggapi panggilan-Nya itu?
EVANGELISASI DAN FRANSISKAN AWAM [2]
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
Catatan: Tulisan ini diambil dari majalah PeranTau XII, No.5-6, September-Desember 1999. Untuk kenyamanan para pembaca situs OFS INDONESIA ini, tulisan aslinya dibagi-bagi menjadi beberapa bagian bacaan bersambung.
Bagaimana dengan Para Awam Fransiskan?
Kita telah melihat di atas bahwa bagi umat Katolik, evangelisasi adalah tanggung jawab untuk mengkomunikasikan Kabar Baik keselamatan, untuk menemukan dan menyingkapkan kehadiran dan kuat-kuasa Imanuel (Allah-beserta-kita) dalam dunia, artinya untuk mengungkapkan Yesus Kristus sendiri yang menguduskan (sebagai Imam), yang mengajar (sebagai Nabi) dan yang memimpin (sebagai Raja). Yesus Kristus yang menyembuhkan pribadi manusia dan mempersatukan umat Allah dan merekonsiliasikan segenap ciptaan dengan Bapa surgawi. Yesus Kristus yang mensyeringkan cintakasih Bapa, mendirikan Gereja dan mengumumkan kedatangan Kerajaan Allah. Dengan demikian evangelisasi lebih-lebih berarti membagikan dengan orang-orang lain kekayaan iman yang kita miliki. Kita juga telah melihat bahwa dunia mempunyai rasa lapar dan haus akan iman ini. Tuhan Yesus tergantung pada mereka yang telah dibaptis untuk melanjutkan karya evangelisasi ini. Evangelisasi memang merupakan tanggung jawab sebagai akibat pembaptisan kita, di mana kita diangkat menjadi anak-anak Allah dalam Yesus Kristus dan menjadi anggota Tubuh-Nya dan berpartisipasi dalam perutusan-Nya. Yesus Kristus datang sebagai “Roti Kehidupan” karena Dia tahu orang-orang sesungguhnya mempunyai rasa lapar akan kepenuhan hidup, namun Dia memanggil kita untuk memberi makan kepada domba-domba-Nya. Bagaimana para awam Fransiskan menanggapi panggilan-Nya itu?
Kita mengumumkan, mengkomunikasikan, atau mensyeringkan Kabar Baik kehadiran Yesus Kristus dan kekuatan penyelamatan-Nya kepada orang lain, lewat kata-kata dan tindakan-tindakan kita. Sebagai Fransiskan, ini memang tugas perutusan kita. Kita telah dipanggil oleh Tuhan untuk menjadi para ‘penghayat Injil’, para ‘pelaku Injil’ dan para ‘pewarta Injil’. Pada pertemuan mereka di Bahia tahun 1983, para Saudara Dina memproklamirkan bahwa gerakan Fransiskan adalah suatu ‘Evangelization Vanguard’, artinya berada pada barisan depan dalam proses evangelisasi ini. Ordo Fransiskan Sekular adalah bagian dari keluarga Fransiskan. Dengan demikian evangelisasi – mau tidak mau – merupakan sesuatu yang melekat pada keberadaan Ordo Fransiskan Sekular.
Dengan demikian Ordo Fransiskan Sekular bukan sekedar sebuah ‘paguyuban suci’, bukan pula sebuah ‘kumpulan rohani’ atau sebuah ‘kelompok doa’ belaka, namun sebuah komunitas penginjilan yang dinamis yang para anggotanya terdiri dari orang-orang awam (sekular) yang sudah dibaptis, yang menghayati spiritualitas, gaya hidup dan misi berdasarkan Injil, seturut teladan Santo Fransiskus dari Assisi (Anggaran Dasar Ordo Fransiskan Sekular [AD OFS] Pasal 2 Artikel 4).
Karena spiritualitas Ordo Fransiskan Sekular itu bersifat sekular, demikian pula kiranya pelayanannya: suatu transformasi dunia dan pelayanan kepada Gereja oleh orang-orang awam untuk memberikan kesaksian akan cintakasih Kristus yang bersifat inkarnasional, untuk membawa persatuan bagi Tubuh Kristus dan untuk merekonsiliasikan segenap ciptaan dalam Kristus, dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan spiritual, psikis, sosial-kemasyarakatan dan keduniawian dari orang-orang di sekeliling mereka. Menjadi seorang Fransiskan sekular berarti menjalani kehidupan kerasulan dari hari ke hari. Cara hidup ini bukannya dimaksudkan hanya untuk tercapainya kekudusan para anggota masing-masing, tetapi juga dalam rangka menuju tercapainya rekonsiliasi tatanan dunia dalam Allah dan pelayanan kepada umat Allah. Agar supaya cita-cita para Fransiskan sekular menjadi efektif, maka haruslah dibuat praktis lewat kesaksian dan pelayanan, lewat teladan hidup dan kegiatan kerasulan.
Fransiskus sendiri menunjukkan kepada kita bahwa proses evangelisasi dapat mengambil dua bentuk, ketika dia memberitahukan kepada para Saudara Dina bagaimana mengkomunikasikan Kabar Baik: “Saudara-saudara yang pergi dapat membawa diri secara rohani di antara orang-orang itu dengan dua cara. Cara yang satu ialah: tidak menimbulkan perselisihan dan pertengkaran, tetapi hendaklah mereka tunduk kepada setiap makhluk insani karena Allah dan mengakui bahwa mereka orang Kristen. Cara yang lain ialah mewartakan firman Allah, bila hal itu mereka anggap berkenan kepada Allah supaya orang percaya akan Allah Yang Mahakuasa (Anggaran Dasar Tanpa Bulla [AngTBul] XVI:5-7).
Dengan mengambil isyarat dari petunjuk Fransiskus di atas, kita melaksanakan juga perintah Yesus yang bersabda, “Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah, sebab untuk itulah Aku diutus” (Luk 4:43) – artinya kita melakukan evangelisasi – dalam dua cara yang berbeda namun terkoordinasi satu sama lain: dengan cara pemberian kesaksian hidup yang efektif dan juga melalui program kerasulan.
Kitab Hukum Kanonik [KHK] menyatakan, “Umat beriman Kristiani awam, berkat sakramen baptis dan penguatan, merupakan saksi-saksi warta Injili dengan kata-kata dan teladan hidup Kristiani mereka; mereka dapat diajak pula untuk bekerjasama dengan Uskup dan para imam dalam pelaksanaan pelayanan sabda” (KHK, Kanon 759). Lihatlah sekarang kesejajaran yang ada dalam AD OFS, yang menyatakan, “..... hendaklah mereka (anggota OFS) menjadi saksi dan alat perutusan Gereja di tengah-tengah manusia manusia, sambil mewartakan Kristus dengan cara hidup dan kata-kata mereka” (AD OFS Pasal 2 Artikel 6).
Kanon dalam KHK yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa ada dua segi utama dari panggilan Kristus bagi para awam dalam Gereja. Yang pertama adalah untuk menjadi saksi Injil dan yang kedua adalah kerjasama dengan para gembala Gereja dalam hal pelayanan sabda Allah. Meskipun kedua segi ini memberi kesan sangat erat satu sama lain dan agak tumpang tindih dalam contoh-contohnya, tetap dapat terlihat adanya urut-urutan logis yang harus dilalui, dan hal ini harus tidak boleh kelewatan. Seseorang pertama-tama harus menjadi saksi Injil lewat kata-katanya dan teladan hidupnya, baru setelah itu kerja samanya dengan para gembala Gereja dalam hal pelayanan sabda Allah akan sungguh-sungguh bermakna atau memiliki arti.
Evangelisasi lewat Kata-kata, Teladan Hidup Kristiani, dan Pelayanan Sabda
Kesaksian adalah ciri dari hidup Kristiani di mana seseorang menghayati komitmen pribadinya kepada Yesus Kristus dan Gereja dengan kredibilitas, keyakinan, dan kesungguhan sehingga orang lain dapat mencatat dan merefleksikan relasi mereka sendiri untuk menerima dan kemudian ‘memberitakan’ Injil. Kesaksian merupakan kekuatan dari ‘contoh yang baik’ untuk menyentuh hati orang-orang lain dan membawa perubahan dalam sikap dan perilaku mereka. Kadang-kadang keefektifan kesaksian berada di luar daya upaya secara sadar; artinya terjadi secara otomatis karena dedikasi dari sang saksi kepada Tuhan Yesus yang begitu otentik dan transparan.
Kita memberi kesaksian atas iman-kepercayaan kita dan dengan demikian kita mengkomunikasikan Kabar Baik Yesus Kristus melalui kata-kata yang kita gunakan. Di satu pihak, apabila kita bercerita dengan jujur dan sederhana kepada orang-orang lain bagaimana Allah bekerja dalam hidup kita dan betapa perspektif kita mengenai kehidupan telah berubah karena Allah berdiam dalam diri kita dan di tengah-tengah kita, maka kita menyentuh pikiran dan hati orang-orang itu dan menyesuaikan diri mereka pada kehadiran dan kuat-kuasa Allah. Di lain pihak, kredibilitas dari hal-hal yang kita katakan – bebas dari kata-kata kasar, kata-kata yang mengandung praduga, prasangka dan penghakiman serta memuji diri sendiri – meneguhkan keotentikan hidup kita yang berorientasi kepada Allah dan yang melayani Allah.
Kita juga memberikan kesaksian lewat tindakan-tindakan kita yang biasa-biasa saja di tengah-tengah keluarga, para sahabat, para tetangga, para kerabat kerja dan bahkan orang-orang asing yang belum kita kenal sebelumnya. Karena efek sakramen baptis dan krisma, keberadaan kita merupakan kesaksian atas kebenaran Injil. Hal ini berarti bahwa setiap kegiatan sehari-hari kita merupakan cermin yang memantulkan kehadiran Allah di dunia ini, suatu sarana perantara yang mengkomunikasikan pesan Allah, sebuah saluran yang menyalurkan cintakasih Allah. Cara kita berinteraksi dengan orang-orang lain; cara kita memperlakukan binatang/hewan peliharaan atau liar –; cara kita menggunakan kemajuan dalam dunia ilmu pengetahuan, misalnya bidang teknologi; cara kita membawa diri kita sendiri dalam masyarakat, cara kita memenuhi tanggung jawab kita sendiri sebagai warga Gereja, negara dan bangsa; cara kita mengambil pelbagai inisiatif dan isu-isu yang ada, misalnya dalam bidang pengentasan kemiskinan, ekologi/lingkungan hidup serta perdamaian dan keadilan. Semua kegiatan ini dan banyak lagi kegiatan yang tak mungkin disebutkan satu persatu di sini, sebenarnya mengungkapkan kepada orang-orang lain integritas dari hati Kristiani kita sendiri, ketulusan tekad kita sendiri untuk menepati hidup Injili dan tentunya keaslian hasrat kita untuk memberi kesempatan kepada ‘Sang Sabda yang menjadi daging’ untuk berdiam dalam diri kita masing-masing. Dengan perkataan lain, contoh dari perilaku yang kita tunjukkan kepada orang-orang lain dapat menjadi ‘jembatan’ (sebaliknya juga dapat menjadi ‘penghalang’) bagi mereka untuk mengenal Tuhan Yesus, berinteraksi dengan Dia dan akhirnya mengikuti jejak-Nya.
Menurut saya, tugas evangelisasi yang paling besar (dalam Gereja Katolik) pada zaman kita sekarang ini adalah untuk memberikan inspirasi kepada umat Katolik pada umumnya untuk jatuh cinta kepada Yesus, untuk balik bertobat kepada-Nya, untuk membuat-Nya menjadi pusat kehidupan mereka, untuk mengikuti jejak-Nya, untuk mensyeringkan pengalaman akan Kristus dengan orang-orang lain. Bagaimana pun juga ‘sumber daya’ terbesar adalah umat kita sendiri. Setiap paroki kita memiliki data statistik yang lengkap mengenai berapa orang yang dipermandikan, jumlah umat setiap tahun, dan seterusnya. Akan tetapi, apakah setiap paroki mengetahui dengan jelas berapa banyak umat yang praktis tidak menghadiri Misa Kudus atau yang sudah keluar (meskipun secara tidak resmi alias tanpa melapor) menyeberang ke gereja-gereja lainnya atau ‘pindah agama’ karena perkawinan campur atau alasan lain? Terus terang saja, seandainya semua umat Katolik KAJ menghadiri perayaan Ekaristi setiap hari Minggu, maka seluruh paroki yang ada di KAJ ini sungguh-sungguh tak akan mempu menampung umat yang datang ke gereja.
Mengikuti Jejak Kristus Sang Imam
Ini berarti menjalankan kepemimpinan spiritual terutama melalui hidup doa, pengorbanan dan perayaan sakramental. Inilah alasannya mengapa bagi umat Katolik, liturgi begitu penting artinya. Liturgi, khususnya Ekaristi adalah model dari kegiatan imamat. Ini juga yang menjadi fokus evangelisasi Katolik. Liturgi itu adalah puncak yang dituju oleh kegiatan Gereja dan serta-merta sumber segala daya-kekuatannya (Konstitusi Sacrosanctum Concilium tentang Liturgi Suci, 10). Evangelisasi Katolik diarahkan agar dapat mengundang orang-orang untuk mengalami secara penuh Yesus Kristus yang dirayakan dalam liturgi. Tujuan kita adalah persekutuan atau communio dengan Yesus Kristus. Apa lagi yang lebih baik daripada komuni kudus? Ketika Yesus mengenyangkan kita dengan Tubuh-Nya sendiri dalam Ekaristi, Roh Kudus-Nya terus membentuk kita menjadi Tubuh-Nya, yaitu Gereja. Kita pun menjadi roti bagi dunia sekeliling kita. Dalam hal ini, cara hidup bagi para Fransiskan awam adalah sebagai berikut:
“Sebagaimana Yesus menjadi penyembah sejati bagi Bapa, demikian pula mereka (para Fransiskan sekular) hendaknya membuat doa dan kontemplasi menjadi jiwa bagi kehidupan dan tingkah laku mereka. Hendaklah mereka ambil bagian dalam kehidupan sakramental Gereja, terutama sakramen Ekaristi, dan menggabungkan diri dengan doa-doa liturgis dalam salah satu bentuk yang dianjurkan Gereja; supaya dengan demikian mereka menghidupkan kembali misteri-misteri kehidupan Kristus” (AD OFS Pasal 2 Artikel 8).
Ada cukup tersedia ruangan bagi para Fransiskan awam (sekular) untuk terlibat secara aktif dalam hal ini, antara lain dengan teratur menghadiri Misa Kudus harian, menjalankan tugas pelayanan sebagai pro diakon di paroki masing-masing dan lain-lain.
Spiritualitas keluarga juga merupakan dasar dari kehidupan Gereja. Paus Yohanes Paulus II menekankan kebutuhan akan doa yang dimulai di rumah. Sri Paus juga menunjukkan hubungan timbal balik yang penting antara hidup doa di rumah dan hidup doa di paroki. Lewat doa-doa bersama di rumah, para orangtua juga dapat memperkenalkan doa-doa liturgis dari seluruh Gereja, mungkin dimulai dengan ibadat pagi, ibadat sore, dan ibadat penutup secara bersama. Doa bersama di meja makan dapat merupakan persiapan yang baik sekali untuk mengikuti perayaan Ekaristi. Dengan demikian sebuah paroki dapat menjadi ‘keluarga dari keluarga-keluarga’.
Misi atau perutusan Kristus Sang Imam telah dijalankan dengan setia oleh para imam/rohaniwan, biarawan-biarawati yang penuh dedikasi. Mereka telah mengajarkan kepada kita bagai mana cara berdoa. Hal yang sama juga dijalankan oleh para awam yang memiliki komitmen, teristimewa para orangtua, kakek-nenek, laki-laki dan perempuan lain yang saleh, yang telah memberikan kepemimpinan religius yang dindah bagi umat. Ada juga orang-orang dewasa dan pemuda-pemudi tidak menikah yang telah memberikan tantangan sekaligus menjadi motivator bagi teman-teman dan rekan-rekan sejawat mereka untuk bertumbuh dalam hidup Kristiani.
Di dalam ‘gereja-paroki’ kita merayakan sakramen-sakramen bersama-sama – baptis, ekaristi, krisma, tobat, perkawinan, imamat, dan sakramen orang sakit. Di sana pula kita dapat melakukan Ibadat Harian (Ofisi Ilahi) atau pelbagai devosi yang ada. Kalau semua ini dirayakan oleh seluruh atau sebagian besar komunitas dalam suatu suasana doa yang benar dan penuh cintakasih, maka paroki-paroki sungguh akan menjadi pusat-pusat evangelisasi yang tangguh.
(Bersambung)
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
Catatan: Tulisan ini diambil dari majalah PeranTau XII, No.5-6, September-Desember 1999. Untuk kenyamanan para pembaca situs OFS INDONESIA ini, tulisan aslinya dibagi-bagi menjadi beberapa bagian bacaan bersambung.
Bagaimana dengan Para Awam Fransiskan?
Kita telah melihat di atas bahwa bagi umat Katolik, evangelisasi adalah tanggung jawab untuk mengkomunikasikan Kabar Baik keselamatan, untuk menemukan dan menyingkapkan kehadiran dan kuat-kuasa Imanuel (Allah-beserta-kita) dalam dunia, artinya untuk mengungkapkan Yesus Kristus sendiri yang menguduskan (sebagai Imam), yang mengajar (sebagai Nabi) dan yang memimpin (sebagai Raja). Yesus Kristus yang menyembuhkan pribadi manusia dan mempersatukan umat Allah dan merekonsiliasikan segenap ciptaan dengan Bapa surgawi. Yesus Kristus yang mensyeringkan cintakasih Bapa, mendirikan Gereja dan mengumumkan kedatangan Kerajaan Allah. Dengan demikian evangelisasi lebih-lebih berarti membagikan dengan orang-orang lain kekayaan iman yang kita miliki. Kita juga telah melihat bahwa dunia mempunyai rasa lapar dan haus akan iman ini. Tuhan Yesus tergantung pada mereka yang telah dibaptis untuk melanjutkan karya evangelisasi ini. Evangelisasi memang merupakan tanggung jawab sebagai akibat pembaptisan kita, di mana kita diangkat menjadi anak-anak Allah dalam Yesus Kristus dan menjadi anggota Tubuh-Nya dan berpartisipasi dalam perutusan-Nya. Yesus Kristus datang sebagai “Roti Kehidupan” karena Dia tahu orang-orang sesungguhnya mempunyai rasa lapar akan kepenuhan hidup, namun Dia memanggil kita untuk memberi makan kepada domba-domba-Nya. Bagaimana para awam Fransiskan menanggapi panggilan-Nya itu?
Kita mengumumkan, mengkomunikasikan, atau mensyeringkan Kabar Baik kehadiran Yesus Kristus dan kekuatan penyelamatan-Nya kepada orang lain, lewat kata-kata dan tindakan-tindakan kita. Sebagai Fransiskan, ini memang tugas perutusan kita. Kita telah dipanggil oleh Tuhan untuk menjadi para ‘penghayat Injil’, para ‘pelaku Injil’ dan para ‘pewarta Injil’. Pada pertemuan mereka di Bahia tahun 1983, para Saudara Dina memproklamirkan bahwa gerakan Fransiskan adalah suatu ‘Evangelization Vanguard’, artinya berada pada barisan depan dalam proses evangelisasi ini. Ordo Fransiskan Sekular adalah bagian dari keluarga Fransiskan. Dengan demikian evangelisasi – mau tidak mau – merupakan sesuatu yang melekat pada keberadaan Ordo Fransiskan Sekular.
Dengan demikian Ordo Fransiskan Sekular bukan sekedar sebuah ‘paguyuban suci’, bukan pula sebuah ‘kumpulan rohani’ atau sebuah ‘kelompok doa’ belaka, namun sebuah komunitas penginjilan yang dinamis yang para anggotanya terdiri dari orang-orang awam (sekular) yang sudah dibaptis, yang menghayati spiritualitas, gaya hidup dan misi berdasarkan Injil, seturut teladan Santo Fransiskus dari Assisi (Anggaran Dasar Ordo Fransiskan Sekular [AD OFS] Pasal 2 Artikel 4).
Karena spiritualitas Ordo Fransiskan Sekular itu bersifat sekular, demikian pula kiranya pelayanannya: suatu transformasi dunia dan pelayanan kepada Gereja oleh orang-orang awam untuk memberikan kesaksian akan cintakasih Kristus yang bersifat inkarnasional, untuk membawa persatuan bagi Tubuh Kristus dan untuk merekonsiliasikan segenap ciptaan dalam Kristus, dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan spiritual, psikis, sosial-kemasyarakatan dan keduniawian dari orang-orang di sekeliling mereka. Menjadi seorang Fransiskan sekular berarti menjalani kehidupan kerasulan dari hari ke hari. Cara hidup ini bukannya dimaksudkan hanya untuk tercapainya kekudusan para anggota masing-masing, tetapi juga dalam rangka menuju tercapainya rekonsiliasi tatanan dunia dalam Allah dan pelayanan kepada umat Allah. Agar supaya cita-cita para Fransiskan sekular menjadi efektif, maka haruslah dibuat praktis lewat kesaksian dan pelayanan, lewat teladan hidup dan kegiatan kerasulan.
Fransiskus sendiri menunjukkan kepada kita bahwa proses evangelisasi dapat mengambil dua bentuk, ketika dia memberitahukan kepada para Saudara Dina bagaimana mengkomunikasikan Kabar Baik: “Saudara-saudara yang pergi dapat membawa diri secara rohani di antara orang-orang itu dengan dua cara. Cara yang satu ialah: tidak menimbulkan perselisihan dan pertengkaran, tetapi hendaklah mereka tunduk kepada setiap makhluk insani karena Allah dan mengakui bahwa mereka orang Kristen. Cara yang lain ialah mewartakan firman Allah, bila hal itu mereka anggap berkenan kepada Allah supaya orang percaya akan Allah Yang Mahakuasa (Anggaran Dasar Tanpa Bulla [AngTBul] XVI:5-7).
Dengan mengambil isyarat dari petunjuk Fransiskus di atas, kita melaksanakan juga perintah Yesus yang bersabda, “Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah, sebab untuk itulah Aku diutus” (Luk 4:43) – artinya kita melakukan evangelisasi – dalam dua cara yang berbeda namun terkoordinasi satu sama lain: dengan cara pemberian kesaksian hidup yang efektif dan juga melalui program kerasulan.
Kitab Hukum Kanonik [KHK] menyatakan, “Umat beriman Kristiani awam, berkat sakramen baptis dan penguatan, merupakan saksi-saksi warta Injili dengan kata-kata dan teladan hidup Kristiani mereka; mereka dapat diajak pula untuk bekerjasama dengan Uskup dan para imam dalam pelaksanaan pelayanan sabda” (KHK, Kanon 759). Lihatlah sekarang kesejajaran yang ada dalam AD OFS, yang menyatakan, “..... hendaklah mereka (anggota OFS) menjadi saksi dan alat perutusan Gereja di tengah-tengah manusia manusia, sambil mewartakan Kristus dengan cara hidup dan kata-kata mereka” (AD OFS Pasal 2 Artikel 6).
Kanon dalam KHK yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa ada dua segi utama dari panggilan Kristus bagi para awam dalam Gereja. Yang pertama adalah untuk menjadi saksi Injil dan yang kedua adalah kerjasama dengan para gembala Gereja dalam hal pelayanan sabda Allah. Meskipun kedua segi ini memberi kesan sangat erat satu sama lain dan agak tumpang tindih dalam contoh-contohnya, tetap dapat terlihat adanya urut-urutan logis yang harus dilalui, dan hal ini harus tidak boleh kelewatan. Seseorang pertama-tama harus menjadi saksi Injil lewat kata-katanya dan teladan hidupnya, baru setelah itu kerja samanya dengan para gembala Gereja dalam hal pelayanan sabda Allah akan sungguh-sungguh bermakna atau memiliki arti.
Evangelisasi lewat Kata-kata, Teladan Hidup Kristiani, dan Pelayanan Sabda
Kesaksian adalah ciri dari hidup Kristiani di mana seseorang menghayati komitmen pribadinya kepada Yesus Kristus dan Gereja dengan kredibilitas, keyakinan, dan kesungguhan sehingga orang lain dapat mencatat dan merefleksikan relasi mereka sendiri untuk menerima dan kemudian ‘memberitakan’ Injil. Kesaksian merupakan kekuatan dari ‘contoh yang baik’ untuk menyentuh hati orang-orang lain dan membawa perubahan dalam sikap dan perilaku mereka. Kadang-kadang keefektifan kesaksian berada di luar daya upaya secara sadar; artinya terjadi secara otomatis karena dedikasi dari sang saksi kepada Tuhan Yesus yang begitu otentik dan transparan.
Kita memberi kesaksian atas iman-kepercayaan kita dan dengan demikian kita mengkomunikasikan Kabar Baik Yesus Kristus melalui kata-kata yang kita gunakan. Di satu pihak, apabila kita bercerita dengan jujur dan sederhana kepada orang-orang lain bagaimana Allah bekerja dalam hidup kita dan betapa perspektif kita mengenai kehidupan telah berubah karena Allah berdiam dalam diri kita dan di tengah-tengah kita, maka kita menyentuh pikiran dan hati orang-orang itu dan menyesuaikan diri mereka pada kehadiran dan kuat-kuasa Allah. Di lain pihak, kredibilitas dari hal-hal yang kita katakan – bebas dari kata-kata kasar, kata-kata yang mengandung praduga, prasangka dan penghakiman serta memuji diri sendiri – meneguhkan keotentikan hidup kita yang berorientasi kepada Allah dan yang melayani Allah.
Kita juga memberikan kesaksian lewat tindakan-tindakan kita yang biasa-biasa saja di tengah-tengah keluarga, para sahabat, para tetangga, para kerabat kerja dan bahkan orang-orang asing yang belum kita kenal sebelumnya. Karena efek sakramen baptis dan krisma, keberadaan kita merupakan kesaksian atas kebenaran Injil. Hal ini berarti bahwa setiap kegiatan sehari-hari kita merupakan cermin yang memantulkan kehadiran Allah di dunia ini, suatu sarana perantara yang mengkomunikasikan pesan Allah, sebuah saluran yang menyalurkan cintakasih Allah. Cara kita berinteraksi dengan orang-orang lain; cara kita memperlakukan binatang/hewan peliharaan atau liar –; cara kita menggunakan kemajuan dalam dunia ilmu pengetahuan, misalnya bidang teknologi; cara kita membawa diri kita sendiri dalam masyarakat, cara kita memenuhi tanggung jawab kita sendiri sebagai warga Gereja, negara dan bangsa; cara kita mengambil pelbagai inisiatif dan isu-isu yang ada, misalnya dalam bidang pengentasan kemiskinan, ekologi/lingkungan hidup serta perdamaian dan keadilan. Semua kegiatan ini dan banyak lagi kegiatan yang tak mungkin disebutkan satu persatu di sini, sebenarnya mengungkapkan kepada orang-orang lain integritas dari hati Kristiani kita sendiri, ketulusan tekad kita sendiri untuk menepati hidup Injili dan tentunya keaslian hasrat kita untuk memberi kesempatan kepada ‘Sang Sabda yang menjadi daging’ untuk berdiam dalam diri kita masing-masing. Dengan perkataan lain, contoh dari perilaku yang kita tunjukkan kepada orang-orang lain dapat menjadi ‘jembatan’ (sebaliknya juga dapat menjadi ‘penghalang’) bagi mereka untuk mengenal Tuhan Yesus, berinteraksi dengan Dia dan akhirnya mengikuti jejak-Nya.
Menurut saya, tugas evangelisasi yang paling besar (dalam Gereja Katolik) pada zaman kita sekarang ini adalah untuk memberikan inspirasi kepada umat Katolik pada umumnya untuk jatuh cinta kepada Yesus, untuk balik bertobat kepada-Nya, untuk membuat-Nya menjadi pusat kehidupan mereka, untuk mengikuti jejak-Nya, untuk mensyeringkan pengalaman akan Kristus dengan orang-orang lain. Bagaimana pun juga ‘sumber daya’ terbesar adalah umat kita sendiri. Setiap paroki kita memiliki data statistik yang lengkap mengenai berapa orang yang dipermandikan, jumlah umat setiap tahun, dan seterusnya. Akan tetapi, apakah setiap paroki mengetahui dengan jelas berapa banyak umat yang praktis tidak menghadiri Misa Kudus atau yang sudah keluar (meskipun secara tidak resmi alias tanpa melapor) menyeberang ke gereja-gereja lainnya atau ‘pindah agama’ karena perkawinan campur atau alasan lain? Terus terang saja, seandainya semua umat Katolik KAJ menghadiri perayaan Ekaristi setiap hari Minggu, maka seluruh paroki yang ada di KAJ ini sungguh-sungguh tak akan mempu menampung umat yang datang ke gereja.
Mengikuti Jejak Kristus Sang Imam
Ini berarti menjalankan kepemimpinan spiritual terutama melalui hidup doa, pengorbanan dan perayaan sakramental. Inilah alasannya mengapa bagi umat Katolik, liturgi begitu penting artinya. Liturgi, khususnya Ekaristi adalah model dari kegiatan imamat. Ini juga yang menjadi fokus evangelisasi Katolik. Liturgi itu adalah puncak yang dituju oleh kegiatan Gereja dan serta-merta sumber segala daya-kekuatannya (Konstitusi Sacrosanctum Concilium tentang Liturgi Suci, 10). Evangelisasi Katolik diarahkan agar dapat mengundang orang-orang untuk mengalami secara penuh Yesus Kristus yang dirayakan dalam liturgi. Tujuan kita adalah persekutuan atau communio dengan Yesus Kristus. Apa lagi yang lebih baik daripada komuni kudus? Ketika Yesus mengenyangkan kita dengan Tubuh-Nya sendiri dalam Ekaristi, Roh Kudus-Nya terus membentuk kita menjadi Tubuh-Nya, yaitu Gereja. Kita pun menjadi roti bagi dunia sekeliling kita. Dalam hal ini, cara hidup bagi para Fransiskan awam adalah sebagai berikut:
“Sebagaimana Yesus menjadi penyembah sejati bagi Bapa, demikian pula mereka (para Fransiskan sekular) hendaknya membuat doa dan kontemplasi menjadi jiwa bagi kehidupan dan tingkah laku mereka. Hendaklah mereka ambil bagian dalam kehidupan sakramental Gereja, terutama sakramen Ekaristi, dan menggabungkan diri dengan doa-doa liturgis dalam salah satu bentuk yang dianjurkan Gereja; supaya dengan demikian mereka menghidupkan kembali misteri-misteri kehidupan Kristus” (AD OFS Pasal 2 Artikel 8).
Ada cukup tersedia ruangan bagi para Fransiskan awam (sekular) untuk terlibat secara aktif dalam hal ini, antara lain dengan teratur menghadiri Misa Kudus harian, menjalankan tugas pelayanan sebagai pro diakon di paroki masing-masing dan lain-lain.
Spiritualitas keluarga juga merupakan dasar dari kehidupan Gereja. Paus Yohanes Paulus II menekankan kebutuhan akan doa yang dimulai di rumah. Sri Paus juga menunjukkan hubungan timbal balik yang penting antara hidup doa di rumah dan hidup doa di paroki. Lewat doa-doa bersama di rumah, para orangtua juga dapat memperkenalkan doa-doa liturgis dari seluruh Gereja, mungkin dimulai dengan ibadat pagi, ibadat sore, dan ibadat penutup secara bersama. Doa bersama di meja makan dapat merupakan persiapan yang baik sekali untuk mengikuti perayaan Ekaristi. Dengan demikian sebuah paroki dapat menjadi ‘keluarga dari keluarga-keluarga’.
Misi atau perutusan Kristus Sang Imam telah dijalankan dengan setia oleh para imam/rohaniwan, biarawan-biarawati yang penuh dedikasi. Mereka telah mengajarkan kepada kita bagai mana cara berdoa. Hal yang sama juga dijalankan oleh para awam yang memiliki komitmen, teristimewa para orangtua, kakek-nenek, laki-laki dan perempuan lain yang saleh, yang telah memberikan kepemimpinan religius yang dindah bagi umat. Ada juga orang-orang dewasa dan pemuda-pemudi tidak menikah yang telah memberikan tantangan sekaligus menjadi motivator bagi teman-teman dan rekan-rekan sejawat mereka untuk bertumbuh dalam hidup Kristiani.
Di dalam ‘gereja-paroki’ kita merayakan sakramen-sakramen bersama-sama – baptis, ekaristi, krisma, tobat, perkawinan, imamat, dan sakramen orang sakit. Di sana pula kita dapat melakukan Ibadat Harian (Ofisi Ilahi) atau pelbagai devosi yang ada. Kalau semua ini dirayakan oleh seluruh atau sebagian besar komunitas dalam suatu suasana doa yang benar dan penuh cintakasih, maka paroki-paroki sungguh akan menjadi pusat-pusat evangelisasi yang tangguh.
(Bersambung)