11. “..... semua saudara hendaknya berkhotbah dengan perbuatan” (AngTBul XVII:3).
EVANGELISASI DAN FRANSISKAN AWAM [4]
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
Catatan: Tulisan ini diambil dari majalah PeranTau XII, No.5-6, September-Desember 1999. Untuk kenyamanan para pembaca situs OFS INDONESIA ini, tulisan aslinya dibagi-bagi menjadi beberapa bagian bacaan bersambung.
11. “..... semua saudara hendaknya berkhotbah dengan perbuatan” (AngTBul XVII:3).
12. Fransiskus memohon kepada para saudara “agar mereka berusaha merendahkan diri dalam segalanya; tidak memegahkan diri, tidak berpuas-puas diri, dan tidak meninggikan diri dalam batin atas perkataan dan perbuatan baik, bahkan atas kebaikan mana pun juga yang dikerjakan atau dikatakan dan dilaksanakan oleh Allah sewaktu-waktu dalam diri mereka atau melalui diri mereka” (AngTBul XVII:5-6).
13. AngTBul XVII dan Anggaran Dasar dengan Bulla [AngBul] IX berisikan peraturan-peraturan hidup yang menyangkut para saudara yang bertugas sebagai pengkhotbah.
14. Karya evangelisasi atau misi/perutusan apa pun juga harus didasarkan oleh inspirasi Roh Kudus. “Karena itu setiap saudara yang atas ilham Ilahi mau pergi ke tengah kaum Muslimin dan orang tak beriman .....” (AngTBul XVI:3).
15. Dengan demikian, evangelisasi Fransiskan harus berlandaskan hidup doa dan penyembahan kepada Allah yang mendalam. Seperti telah dicontohkan oleh Fransiskus sendiri dan para kudus Fransiskan lainnya, kontemplasi dan misi sebenarnya adalah seperti sisi yang berbeda dari sepotong mata uang yang sama. Untuk memproklamasikan Injil dengan penuh entusiasme, kita sendiri harus sungguh-sungguh tertarik dengan pribadi Yesus Kristus dan pesan keselamatan-Nya dan malah mengalami sendiri Yesus ini. Fransiskus mengalami Allah sebagai “kebaikan” (lihat AngTBul XXIII:9). “Seluruh jiwanya haus akan Kristus dan dia mendedikasikan tidak hanya seluruh hatinya, tetapi juga seluruh tubuhnya kepada-Nya” (2Cel 94). Thomas Celano mengatakan Fransiskus tidak saja seorang pendoa, tetapi dia sendiri menjadi doa itu sendiri (2Cel 95). Ketika Thomas Celano mengatakan ini tentang Fransiskus, dia telah mengatakan semuanya. Doa Fransiskus kembali kepada dirinya; dia menjadi apa yang dilakukannya. Kemauan berdaya tahan Fransiskus untuk berdoa dan untuk mengikut-sertakan tubuhnya mengambil peran dalam doa itu, membuat manusia Fransiskus ini menjadi doa itu sendiri. Sigmatisasinyua di bukit La Verna merupakan bukti yang jelas akan hal ini. Dalam bukunya tentang “Riwayat Hidup Santo Fransiskus”, Santo Bonaventura menceritakan dengan baik sekali hidup doa orang kudus ini yang patut kita renungkan terus-menerus dan gunakan sebagai contoh dan cermin bagi hidup doa kita masing-masing (lihat LegMaj X).
16. Seperti yang dilakukan Fransiskus dulu, evangelisasi Fransiskan seharusnya juga berisikan undangan kepada semua orang untuk terus-menerus melakukan pertobatan (lihat butir 3 di atas). Para pengikut Fransiskus pada awalnya disebut ‘para pentobat dari Assisi’ (lihat Kisah Tiga Sahabat [L3S], 37). Dalam surat pertamanya kepada para kustos, Fransiskus mengatakan, “Dan dalam setiap khotbah yang kamu bawakan, hendaknya kamu menasihati umat bahwa mereka mesti bertobat” (1SurKus 6). Sangat relevan berkaitan dalam hal ini adalah peringatan yang diberikan oleh Paus Yohanes Paulus II: “Kita tidak dapat mewartakan pertobatan jika kita sendiri tidak bertobat terus menerus setiap hari” (RM, 47; lihat juga AD OFS Pasal 2 Artikel 7).
17. Bagi Fransiskus, pelayanan sabda oleh para pengkhotbah dan teolog adalah ‘pelayanan roh dan kehidupan’ bagi kita semua (Wasiat Santo Fransiskus [Was], 13).
18. Pelaku evangelisasi Fransiskan menunjukkan kesederhanaan orang kecil. “Kami tidak terpelajar dan menjadi bawahan semua orang” (Was 19; bdk. AngTBul XVI:6). Mereka seharusnya sungguh dina yang tunduk kepada sekalian orang dan selalu mencari tempat kerja yang dipandang hina dan melakukan tugas yang hina (lihat 1Cel 38).
19. Seperti Fransiskus, seorang Fransiskan jika berbuat salah dalam salah satu hal, mengakui kesalahannya di dalam khotbah di depan seluruh rakyat. Dia segera datang dengan rendah hati kepada orang, terhadap siapa dia berpikir dan berkata tidak baik, dan minta maaf kepadanya (lihat 1Cel 54).
20. Seperti yang telah dicontohkan oleh Fransiskus, pendekatan evangelisasi seorang Fransiskan seharusnya bersifat ‘pribadi yang satu kepada pribadi yang lain’ (person-to-person), meskipun misalnya dia sedang berkhotbah dengan umat yang berjumlah banyak. Thomas Celano menulis, “Bilamana dia seringkali mewartakan sabda Allah di tengah-tengah ribuan orang, ia begitu pastinya seperti kalau dia berbicara dengan teman akrabnya saja. Jumlah orang yang amat besar dipandangnya seperti satu orang; dan kepada satu orang ia berkhotbah dengan penuh semangat seperti kepada orang banyak” (1Cel 72).
21. Dengan meneladani Fransiskus, kemurnian jiwa harus menyertai para Fransiskan dalam ber-evangelisasi. Mengenai Fransiskus, Thomas Celano menulis, “Kemurnian jiwalah yang memberi kepastian dalam menyampaikan khotbahnya; dan tanpa berpikir-pikir sebelumnya dia mengatakan hal-hal yang menakjubkan dan yang belum pernah terdengar. Dan jika ada kalanya dia menyiapkan khotbah dengan renungan sebelumnya, maka di depan rakyat yang berkumpul ia kadang-kadang tidak ingat lagi akan apa yang telah direnungkannya, dan ia tidak tahu mengatakan sesuatu lainnya juga. Dengan tidak malu-malu diakuinya di depan umum, bahwa dia betul telah merenungkan banyak-banyak sebelumnya, tetapi dia sekali-kali tidak ingat lagi akan apa-apa. Lalu tiba-tiba dia dipenuhi dengan kemahiran bicara sedemikian, hingga dia membuat hati para pendengar menjadi takjub. Tetapi kalau dia sesekali tidak tahu mengatakan apa-apa lagi, dia lalu memberikan berkatnya kepada mereka dan melepas mereka untuk pergi, dan itu pun sudah merupakah khotbah bagi mereka” (1Cel 72).
22. Seorang Fransiskan, religius atau awam adalah anggota sebuah persaudaraan. Dunia yang penuh dengan perpecahan sungguh rindu untuk mendengar bahwa persaudaraan itu memang mungkin, bahwa persaudaraan itu bukan sekadar utopia tetapi adalah kenyataan hidup, bahwa pengampunan dan rekonsiliasi memang dimungkinkan, kalau saja kita mamu memulainya dengan diri kita sendiri. Hidup Fransiskan dalam persaudaraan sejati adalah tugas pelayanan kita masing-masing, yang pertama dan utama. Kita diutus sebagai saudara untuk menjadi saudara bagi siapa saja yang kita temui.
23. Dengan demikian, seperti Fransiskus, para Fransiskan seharusnya menjadi duta-duta damai. Dalam setiap khotbahnya, sebelum Fransiskus menyampaikan sabda Allah kepada orang-orang yang berkumpul, ia menyampaikan salam damai, katanya, “Semoga Tuhan memberikan damai kepada kalian.” Damai itu disampaikannya dengan amat khidmat kepada pria dan wanita, kepada yang dijumpainya dan kepada yang berpapasan dengannya. Karena itulah banyak orang yang tadinya membenci damai dan keselamatan, lalu dengan bantuan Tuhan memeluk damai dengan segenap hati dan malah menjadi anak-anak damai dan pengejar keselamatan (1Cel 23). Para Fransiskas sekular, “sebagai Pembawa damai yang sadar bahwa damai itu adalah sesuatu yang harus diusahakan terus menerus, hendaklah mereka merintis jalan menuju persatuan dan kerukunan persaudaraan lewat dialog, sambil tetap percaya bahwa ada benih ilahi dalam diri manusia, dan bahwa kasih serta pengampunan mampu menghasilkan perubahan” (AD OFS Pasal 2 Artikel 18).
24. Fokus dari evangelisasi Fransiskan biasanya diarahkan kepada saudara-saudari yang miskin dan papa serta mereka yang termarginalisasikan dalam masyarakat, katakanlah orang-orang kusta pada zaman kita ini. Semasa hidupnya Fransiskus menyentuh, mencium dan kemudian merawat orang-orang kusta. Fransiskus malah melihat saat mulai pertobatannya berkaitan dengan saat dia memeluk seorang kusta; kemudian dia mendefininisikan kembali apa yang ‘memuakkan’ dan apa yang menjadi ‘kemanisan jiwa dan badan’ (lihat Was 1-3). Atas perintah Yohanes Pembaptis para muridnya menemui Yesus dan menanyakan apakah Yesus sungguh Mesias yang dinanti-nantikan itu. Yesus tidak menanggapi pertanyaan para murid Yohanes itu dengan misalnya menunjukkan KTP-Nya di mana tertulis pekerjaan-Nya adalah sebagai “Mesias”. Di tengah-tengah kesibukan karya kasih-Nya Yesus cuma menjawab dengan begitu lugu dan lugas, “Pergilah, dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu lihat dan kamu dengar: Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi sembuh, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik” (Luk 7:22). Dengan demikian memang preferential option for the poor wajar untuk menjadi satu unsur yang hakiki dalam segala macam bentuk evangelisasi Fransiskan, termasuk yang dilakukan oleh para awam Fransiskan. Tidak mengherankanlah apabila dalam ensikliknya yang berjudul “Centesimus Annus” [Ulang Tahun ke Seratus]” (1 Mei 1991), Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “Evangelisasi Baru, yang dewasa ini sangat dibutuhkan oleh dunia dan yang seringkali kami tekankan, di antara unsur-unsurnya yang paling cocok harus mencakup pewartaan ajaran sosial Gereja” (Centesimus Annus, 5). Sebelumnya Sri Paus juga berkata, “Roh Kudus memimpin kita kepada pemahaman hari ini bahwa kekudusan tidak dapat dicapai tanpa suatu komitmen terhadap keadilan” (Sinode Para Uskup 1987).
25. Integritas ciptaan tidak boleh luput dari proses evangelisasi yang dilakukan oleh setiap Fransiskan. ‘Kidung Saudara Matahari’ hendaknya kita hayati atau nyanyikan tidak hanya pada upacara misa requiem kematian saudara atau saudari kita saja. Khusus bagi para Fransiskan sekular, “..... mereka hendaknya memiliki rasa hormat terhadap ciptaan-ciptaan lain, yang berjiwa atau bukan, yang menjadi lambang Yang Mahatinggi; dan hendaklah mereka sungguh-sungguh berusaha menghindar dari godaan menyalah-gunakan ciptaan, menuju kepada wawasan Fransikan perihal persaudaraan universal” (AD OFS Pasal 2 Artikel 18; lihat juga 1Cel 80).
Catatan penutup
Secara sederhana tujuan evangelisasi sebenarnya adalah membuat Yesus Kristus hadir bagi orang lain. Pelbagai contoh dari kehidupan Fransiskus dan tulisan-tulisannya menunjukkan bahwa teknik evangelisasi yang digunakan adalah dengan memberikan alternatif positif kepada orang-orang yang sedang mengalami situasi yang negatif bagi keselamatan jiwa mereka. Banyak sekali contoh yang menunjukkan bahwa evangelisasi yang telah dilakukan oleh Fransiskus biasanya membawa dampak yang positif bagi martabat orang yang diinjili olehnya, harapan-harpan orang itu, dan kepercayaan dirinya.
Seperti juga para awam lainnya, setiap Fransiskan sekular dipanggil untuk memberitakan Kabar Baik ke semua strata kemanusiaan lewat apa yang dikatakannya dan diperbuatnya, sehingga membuat jelas sabda Tuhan Yesus, “Lihatlah, aku menjadikan segala sesuatu baru!” (Why 21:5). Semua orang yang melakukan evangelisasi juga harus mampu berkata bersama Rasul Yohanes: “Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup – itulah yang kami tuliskan (umumkan) kepada kamu” (1Yoh 1:1).
Evangelisasi berasal dari pengalaman mendalam akan Allah. Evangelisasi adalah buah dari sebuah pertemuan pribadi dan mendalam dari seseorang dengan Sang Juru Selamat (Konstitusi Dogmatik Dei Verbum tentang Wahyu Ilahi, 2). Dengan demikian kita dapat mensyeringkan Tuhan Yesus Kristus kepada orang lain kalau kita tidak mengenal dan mengalami-Nya sendiri dan kita tidak dapat memberitakan Kabar Baik, apabila hati kita sendiri belum siap untuk menerima Kabar Baik itu.
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
Catatan: Tulisan ini diambil dari majalah PeranTau XII, No.5-6, September-Desember 1999. Untuk kenyamanan para pembaca situs OFS INDONESIA ini, tulisan aslinya dibagi-bagi menjadi beberapa bagian bacaan bersambung.
11. “..... semua saudara hendaknya berkhotbah dengan perbuatan” (AngTBul XVII:3).
12. Fransiskus memohon kepada para saudara “agar mereka berusaha merendahkan diri dalam segalanya; tidak memegahkan diri, tidak berpuas-puas diri, dan tidak meninggikan diri dalam batin atas perkataan dan perbuatan baik, bahkan atas kebaikan mana pun juga yang dikerjakan atau dikatakan dan dilaksanakan oleh Allah sewaktu-waktu dalam diri mereka atau melalui diri mereka” (AngTBul XVII:5-6).
13. AngTBul XVII dan Anggaran Dasar dengan Bulla [AngBul] IX berisikan peraturan-peraturan hidup yang menyangkut para saudara yang bertugas sebagai pengkhotbah.
14. Karya evangelisasi atau misi/perutusan apa pun juga harus didasarkan oleh inspirasi Roh Kudus. “Karena itu setiap saudara yang atas ilham Ilahi mau pergi ke tengah kaum Muslimin dan orang tak beriman .....” (AngTBul XVI:3).
15. Dengan demikian, evangelisasi Fransiskan harus berlandaskan hidup doa dan penyembahan kepada Allah yang mendalam. Seperti telah dicontohkan oleh Fransiskus sendiri dan para kudus Fransiskan lainnya, kontemplasi dan misi sebenarnya adalah seperti sisi yang berbeda dari sepotong mata uang yang sama. Untuk memproklamasikan Injil dengan penuh entusiasme, kita sendiri harus sungguh-sungguh tertarik dengan pribadi Yesus Kristus dan pesan keselamatan-Nya dan malah mengalami sendiri Yesus ini. Fransiskus mengalami Allah sebagai “kebaikan” (lihat AngTBul XXIII:9). “Seluruh jiwanya haus akan Kristus dan dia mendedikasikan tidak hanya seluruh hatinya, tetapi juga seluruh tubuhnya kepada-Nya” (2Cel 94). Thomas Celano mengatakan Fransiskus tidak saja seorang pendoa, tetapi dia sendiri menjadi doa itu sendiri (2Cel 95). Ketika Thomas Celano mengatakan ini tentang Fransiskus, dia telah mengatakan semuanya. Doa Fransiskus kembali kepada dirinya; dia menjadi apa yang dilakukannya. Kemauan berdaya tahan Fransiskus untuk berdoa dan untuk mengikut-sertakan tubuhnya mengambil peran dalam doa itu, membuat manusia Fransiskus ini menjadi doa itu sendiri. Sigmatisasinyua di bukit La Verna merupakan bukti yang jelas akan hal ini. Dalam bukunya tentang “Riwayat Hidup Santo Fransiskus”, Santo Bonaventura menceritakan dengan baik sekali hidup doa orang kudus ini yang patut kita renungkan terus-menerus dan gunakan sebagai contoh dan cermin bagi hidup doa kita masing-masing (lihat LegMaj X).
16. Seperti yang dilakukan Fransiskus dulu, evangelisasi Fransiskan seharusnya juga berisikan undangan kepada semua orang untuk terus-menerus melakukan pertobatan (lihat butir 3 di atas). Para pengikut Fransiskus pada awalnya disebut ‘para pentobat dari Assisi’ (lihat Kisah Tiga Sahabat [L3S], 37). Dalam surat pertamanya kepada para kustos, Fransiskus mengatakan, “Dan dalam setiap khotbah yang kamu bawakan, hendaknya kamu menasihati umat bahwa mereka mesti bertobat” (1SurKus 6). Sangat relevan berkaitan dalam hal ini adalah peringatan yang diberikan oleh Paus Yohanes Paulus II: “Kita tidak dapat mewartakan pertobatan jika kita sendiri tidak bertobat terus menerus setiap hari” (RM, 47; lihat juga AD OFS Pasal 2 Artikel 7).
17. Bagi Fransiskus, pelayanan sabda oleh para pengkhotbah dan teolog adalah ‘pelayanan roh dan kehidupan’ bagi kita semua (Wasiat Santo Fransiskus [Was], 13).
18. Pelaku evangelisasi Fransiskan menunjukkan kesederhanaan orang kecil. “Kami tidak terpelajar dan menjadi bawahan semua orang” (Was 19; bdk. AngTBul XVI:6). Mereka seharusnya sungguh dina yang tunduk kepada sekalian orang dan selalu mencari tempat kerja yang dipandang hina dan melakukan tugas yang hina (lihat 1Cel 38).
19. Seperti Fransiskus, seorang Fransiskan jika berbuat salah dalam salah satu hal, mengakui kesalahannya di dalam khotbah di depan seluruh rakyat. Dia segera datang dengan rendah hati kepada orang, terhadap siapa dia berpikir dan berkata tidak baik, dan minta maaf kepadanya (lihat 1Cel 54).
20. Seperti yang telah dicontohkan oleh Fransiskus, pendekatan evangelisasi seorang Fransiskan seharusnya bersifat ‘pribadi yang satu kepada pribadi yang lain’ (person-to-person), meskipun misalnya dia sedang berkhotbah dengan umat yang berjumlah banyak. Thomas Celano menulis, “Bilamana dia seringkali mewartakan sabda Allah di tengah-tengah ribuan orang, ia begitu pastinya seperti kalau dia berbicara dengan teman akrabnya saja. Jumlah orang yang amat besar dipandangnya seperti satu orang; dan kepada satu orang ia berkhotbah dengan penuh semangat seperti kepada orang banyak” (1Cel 72).
21. Dengan meneladani Fransiskus, kemurnian jiwa harus menyertai para Fransiskan dalam ber-evangelisasi. Mengenai Fransiskus, Thomas Celano menulis, “Kemurnian jiwalah yang memberi kepastian dalam menyampaikan khotbahnya; dan tanpa berpikir-pikir sebelumnya dia mengatakan hal-hal yang menakjubkan dan yang belum pernah terdengar. Dan jika ada kalanya dia menyiapkan khotbah dengan renungan sebelumnya, maka di depan rakyat yang berkumpul ia kadang-kadang tidak ingat lagi akan apa yang telah direnungkannya, dan ia tidak tahu mengatakan sesuatu lainnya juga. Dengan tidak malu-malu diakuinya di depan umum, bahwa dia betul telah merenungkan banyak-banyak sebelumnya, tetapi dia sekali-kali tidak ingat lagi akan apa-apa. Lalu tiba-tiba dia dipenuhi dengan kemahiran bicara sedemikian, hingga dia membuat hati para pendengar menjadi takjub. Tetapi kalau dia sesekali tidak tahu mengatakan apa-apa lagi, dia lalu memberikan berkatnya kepada mereka dan melepas mereka untuk pergi, dan itu pun sudah merupakah khotbah bagi mereka” (1Cel 72).
22. Seorang Fransiskan, religius atau awam adalah anggota sebuah persaudaraan. Dunia yang penuh dengan perpecahan sungguh rindu untuk mendengar bahwa persaudaraan itu memang mungkin, bahwa persaudaraan itu bukan sekadar utopia tetapi adalah kenyataan hidup, bahwa pengampunan dan rekonsiliasi memang dimungkinkan, kalau saja kita mamu memulainya dengan diri kita sendiri. Hidup Fransiskan dalam persaudaraan sejati adalah tugas pelayanan kita masing-masing, yang pertama dan utama. Kita diutus sebagai saudara untuk menjadi saudara bagi siapa saja yang kita temui.
23. Dengan demikian, seperti Fransiskus, para Fransiskan seharusnya menjadi duta-duta damai. Dalam setiap khotbahnya, sebelum Fransiskus menyampaikan sabda Allah kepada orang-orang yang berkumpul, ia menyampaikan salam damai, katanya, “Semoga Tuhan memberikan damai kepada kalian.” Damai itu disampaikannya dengan amat khidmat kepada pria dan wanita, kepada yang dijumpainya dan kepada yang berpapasan dengannya. Karena itulah banyak orang yang tadinya membenci damai dan keselamatan, lalu dengan bantuan Tuhan memeluk damai dengan segenap hati dan malah menjadi anak-anak damai dan pengejar keselamatan (1Cel 23). Para Fransiskas sekular, “sebagai Pembawa damai yang sadar bahwa damai itu adalah sesuatu yang harus diusahakan terus menerus, hendaklah mereka merintis jalan menuju persatuan dan kerukunan persaudaraan lewat dialog, sambil tetap percaya bahwa ada benih ilahi dalam diri manusia, dan bahwa kasih serta pengampunan mampu menghasilkan perubahan” (AD OFS Pasal 2 Artikel 18).
24. Fokus dari evangelisasi Fransiskan biasanya diarahkan kepada saudara-saudari yang miskin dan papa serta mereka yang termarginalisasikan dalam masyarakat, katakanlah orang-orang kusta pada zaman kita ini. Semasa hidupnya Fransiskus menyentuh, mencium dan kemudian merawat orang-orang kusta. Fransiskus malah melihat saat mulai pertobatannya berkaitan dengan saat dia memeluk seorang kusta; kemudian dia mendefininisikan kembali apa yang ‘memuakkan’ dan apa yang menjadi ‘kemanisan jiwa dan badan’ (lihat Was 1-3). Atas perintah Yohanes Pembaptis para muridnya menemui Yesus dan menanyakan apakah Yesus sungguh Mesias yang dinanti-nantikan itu. Yesus tidak menanggapi pertanyaan para murid Yohanes itu dengan misalnya menunjukkan KTP-Nya di mana tertulis pekerjaan-Nya adalah sebagai “Mesias”. Di tengah-tengah kesibukan karya kasih-Nya Yesus cuma menjawab dengan begitu lugu dan lugas, “Pergilah, dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu lihat dan kamu dengar: Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi sembuh, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik” (Luk 7:22). Dengan demikian memang preferential option for the poor wajar untuk menjadi satu unsur yang hakiki dalam segala macam bentuk evangelisasi Fransiskan, termasuk yang dilakukan oleh para awam Fransiskan. Tidak mengherankanlah apabila dalam ensikliknya yang berjudul “Centesimus Annus” [Ulang Tahun ke Seratus]” (1 Mei 1991), Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “Evangelisasi Baru, yang dewasa ini sangat dibutuhkan oleh dunia dan yang seringkali kami tekankan, di antara unsur-unsurnya yang paling cocok harus mencakup pewartaan ajaran sosial Gereja” (Centesimus Annus, 5). Sebelumnya Sri Paus juga berkata, “Roh Kudus memimpin kita kepada pemahaman hari ini bahwa kekudusan tidak dapat dicapai tanpa suatu komitmen terhadap keadilan” (Sinode Para Uskup 1987).
25. Integritas ciptaan tidak boleh luput dari proses evangelisasi yang dilakukan oleh setiap Fransiskan. ‘Kidung Saudara Matahari’ hendaknya kita hayati atau nyanyikan tidak hanya pada upacara misa requiem kematian saudara atau saudari kita saja. Khusus bagi para Fransiskan sekular, “..... mereka hendaknya memiliki rasa hormat terhadap ciptaan-ciptaan lain, yang berjiwa atau bukan, yang menjadi lambang Yang Mahatinggi; dan hendaklah mereka sungguh-sungguh berusaha menghindar dari godaan menyalah-gunakan ciptaan, menuju kepada wawasan Fransikan perihal persaudaraan universal” (AD OFS Pasal 2 Artikel 18; lihat juga 1Cel 80).
Catatan penutup
Secara sederhana tujuan evangelisasi sebenarnya adalah membuat Yesus Kristus hadir bagi orang lain. Pelbagai contoh dari kehidupan Fransiskus dan tulisan-tulisannya menunjukkan bahwa teknik evangelisasi yang digunakan adalah dengan memberikan alternatif positif kepada orang-orang yang sedang mengalami situasi yang negatif bagi keselamatan jiwa mereka. Banyak sekali contoh yang menunjukkan bahwa evangelisasi yang telah dilakukan oleh Fransiskus biasanya membawa dampak yang positif bagi martabat orang yang diinjili olehnya, harapan-harpan orang itu, dan kepercayaan dirinya.
Seperti juga para awam lainnya, setiap Fransiskan sekular dipanggil untuk memberitakan Kabar Baik ke semua strata kemanusiaan lewat apa yang dikatakannya dan diperbuatnya, sehingga membuat jelas sabda Tuhan Yesus, “Lihatlah, aku menjadikan segala sesuatu baru!” (Why 21:5). Semua orang yang melakukan evangelisasi juga harus mampu berkata bersama Rasul Yohanes: “Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup – itulah yang kami tuliskan (umumkan) kepada kamu” (1Yoh 1:1).
Evangelisasi berasal dari pengalaman mendalam akan Allah. Evangelisasi adalah buah dari sebuah pertemuan pribadi dan mendalam dari seseorang dengan Sang Juru Selamat (Konstitusi Dogmatik Dei Verbum tentang Wahyu Ilahi, 2). Dengan demikian kita dapat mensyeringkan Tuhan Yesus Kristus kepada orang lain kalau kita tidak mengenal dan mengalami-Nya sendiri dan kita tidak dapat memberitakan Kabar Baik, apabila hati kita sendiri belum siap untuk menerima Kabar Baik itu.