Di awal pengajarannya, Yesus dengan berhati-hati memberi penghargaan terhadap otoritas mengajar yang legitim dari para ahli Taurat dan orang-orang Farisi (lihat Mat 23:2-3), namun Ia memperingatkan orang banyak dan murid-murid-Nya akan contoh buruk yang dipertontonkan para pemimpin agama Yahudi tersebut.
SEBUAH PERINGATAN KERAS
(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan II Prapaskah – Selasa, 26 Februari 2013)
Lalu berkatalah Yesus kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya, “Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya. Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksudkan untuk dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang; mereka suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terbaik di rumah ibadat; mereka suka menerima penghormatan di pasar dan suka dipanggil orang ‘Rabi.’ Tetapi kamu, janganlah kamu disebut ‘Rabi’; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. Janganlah kamu menyebut siapa pun ‘bapak’ di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di surga. Janganlah kamu disebut pemimpin, karena hanya satu pemimpinmu, yaitu Mesias. Siapa saja yang terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Siapa saja yang meninggikan diri, ia akan direndahkan dan siapa saja yang merendahkan diri, ia akan ditinggikan. (Mat 23:1-12)
Bacaan Pertama: Yes 1:10,16-20; Mazmur Tanggapan: Mzm 50:8-9,16-17,21,23
Klimaks dari kontroversi-kontroversi yang dimulai di Mat 21 tercapai di Mat 23 ini. Bahasa keras dari bab 23 Injil Matius ini dapat ditelurusi tidak hanya kepada oposisi Yesus terhadap beberapa ekses ajaran kaum Farisi, melainkan dapat juga mencerminkan konflik yang semakin bertumbuh antara Gereja Kristiani yang masih muda dan sinagoga-sinagoga Yahudi pada paruhan kedua abad pertama Masehi (Donald Senior CP, READ AND PRAY, Chicago, Ill.: Franciscan Herald Press, hal. 76). Di awal pengajarannya, Yesus dengan berhati-hati memberi penghargaan terhadap otoritas mengajar yang legitim dari para ahli Taurat dan orang-orang Farisi (lihat Mat 23:2-3), namun Ia memperingatkan orang banyak dan murid-murid-Nya akan contoh buruk yang dipertontonkan para pemimpin agama Yahudi tersebut.
Para pemimpin agama Yahudi itu menjadi eksponen-eksponen negatif dari tema-tema yang dipaparkan Yesus sepanjang Injil-Nya: “ketiadaan tindakan vs. perbuatan-perbuatan baik” (Mat 23:4); “kesombongan dan kepura-puraan vs. ketulusan dan sikap tanpa pamrih” (Mat 23:5); “ambisi vs. pelayanan” (Mat 23: 6 dsj.); “ketiadaan bela-rasa vs. keprihatinan persaudaraan terhadap beban-beban yang dipikul oleh orang-orang lain” (Mat 23:4); dst. Pada dasarnya bacaan Mat 23:1-28 merupakan sebuah versi negatif dari “Khotbah di Bukit” (Mat 5-7).
Jadi, kritik mendasar Yesus terhadap para ahli Taurat dan kaum Farisi pada umumnya adalah, bahwa sebagai para pemimpin mereka telah gagal menjadi contoh/model dari praktek nilai-nilai sejati hukum Allah. Kata-kata keras Yesus dimasukkan ke dalam Injil bukanlah untuk mencambuk kepemimpinan agama dari generasi yang sudah lewat, melainkan untuk menggoyang pundak orang-orang Kristiani yang harus menyampaikan Injil kepada orang-orang lain seturut “amanat agung” yang diberikan Yesus Kristus sendiri (lihat Mat 28:19-20).
Ada pertentangan mencolok antara kata-kata dan perbuatan-perbuatan nyata para ahli Taurat dan kaum Farisi itu. Mereka berbicara lantang tentang beban Allah, tentang tuntutan hukum, tentang pentingnya disiplin religius, tentang ketaatan terhadap sabda Allah dlsb., malah mengulang-ulanginya, namun semua itu hanya dimaksudkan/ berlaku untuk orang lain, bukan diri mereka sendiri. Mereka sendiri akan mencari jalan yang mudah dan malah menyingkir/menghindar dari tuntutan Allah. Dengan demikian, ibadat mereka hanyalah teori saja, kekuatan semu, kesungguhan yang dipenuhi kepura-puraan dan askese palsu pula. Lebih celaka lagi, karena mereka menduduki tempat-tempat terkemuka: mereka menduduki kursi Musa. Mereka mengaku mewartakan sabda Allah dan ajaran-ajaran-Nya, dan karenanya menuntut agar ditaati, namun sekaligus mereka menyalahgunakan kekuasaan mengajar serta kedudukan mereka sebagai pemimpin-pemimpin keagamaan. Mereka adalah garam yang tawar, terang yang menyesatkan dalam kegelapan malam (lihat Mat 5:13-16). Semua ini harus dihindari oleh setiap murid Kristus yang sejati. Dan di segala zaman tetap ada banyak orang “munafik” semacam itu, yang berkeliaran di tengah masyarakat di mana saja di dunia ini!
Para ahli Taurat dan kaum Farisi pada umumnya memiliki semangat mencari diri sendiri. Egoisme adalah semangat mereka, sedangkan semangat Kristiani ialah kesediaan untuk mengabdi. Salah satu ciri pribadi lainnya dari para pemimpin/pemuka agama Yahudi adalah kesombongan, sebaliknya salah satu ciri pribadi para murid Kristus adalah kerendahan-hati. Yesus Kristus bagi mereka adalah Allah yang merendahkan diri-Nya (lihat Flp 2:5-11), dan mereka bertekad untuk mengikuti jejak-Nya. Dalam diri para ahli Taurat dan kaum Farisi ada perlawanan antara “rupa dan isi” (Inggris: form and substance; antara “forma dan substansi”. Apakah artinya sebuah botol anggur merah dengan merek terkenal (misalnya Dolcetto & Syrah dari Victoria, Australia) jika hanya diisi dengan air putih biasa? Apa artinya jubah putih seorang ulama atau rohaniwan apabila hanya untuk menutupi kemunafikannya? Bila rupa yang suci berisikan kemunafikan, maka orang itu menyalahgunakan yang ilahi untuk menyelubungi yang terlalu manusiawi dengan kesemarakan palsu. Semangat Kristiani yang sejati menghancurkan khayalan kesombongan itu dengan cintanya akan kerendahan-hati. Bagi seorang Kristiani sejati, memerintah berarti mengabdi, memimpin berarti melayani. Dalam padangan Allah, kecillah seseorang yang menganggap dirinya besar dan besarlah dia yang menyadari kekecilan dirinya sendiri. Pengetahuan akan kekecilan diri sendiri adalah awal dari pengangkatan oleh rahmat ilahi. Sebab mati adalah jalan kepada kehidupan, sedangkan mati terhadap kenikmatan /kepentingan diri sendiri adalah supaya dapat hidup kembali.
Dengan demikian peringatan Yesus terhadap “jalan sesat” para ahli Taurat dan kaum Farisi berlaku sebagai pelajaran penting bagi murid Yesus segala zaman. Yang menentukan adalah arah pandangan. Bagi para ahli Taurat dan kaum Farisi pandangan itu diarahkan pada diri sendiri dan karenanya dipalingkan dari Allah. Sebaliknya, bagi seorang Kristiani sejati pandangannya senantiasa terarah pada Allah. Hanya ada satu bapak, yaitu “Bapa di surga”, hanya ada satu rabi, yaitu “Sabda yang menjadi daging” atau “Firman yang menjadi manusia” (lihat Yoh 1:14); hanya ada satu pemimpin, yaitu Mesias. Apabila pandangan diarahkan kepada-Nya saja, maka segalanya akan beres. Mengapa? Karena semua gelar dan pangkat, semua kata dan karya diabdikan hanya kepada-Nya. Sebaliknya apabila pandangan itu berputar-putar pada diri sendiri saja, maka tata-susunan yang benar diputar-balikkan. Apa yang seharusnya mengabdi Allah, digunakan untuk mengabdi manusia. Agama disalahgunakan untuk mengabdi manusia; mengabdi politik praktis demi kekuasaan. Hal-ikhwal mencari Allah menjadi hal-ikhwal mencari diri sendiri, dan semuanya itu di bawah kedok keagamaan. Maka di sinilah peringatan keras kepada semua orang Kristiani pada segala zaman, terlebih-lebih mereka yang memegang jabatan religius. Mereka harus sungguh-sungguh meneliti suara hati masing-masing.
DOA: Ya Tuhanku dan Allahku, semoga apa yang kukatakan dan kulakukan sungguh memproklamasikan Injil-Mu. Amin.
Cilandak, 25 Februari 2013
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan II Prapaskah – Selasa, 26 Februari 2013)
Lalu berkatalah Yesus kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya, “Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya. Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksudkan untuk dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang; mereka suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terbaik di rumah ibadat; mereka suka menerima penghormatan di pasar dan suka dipanggil orang ‘Rabi.’ Tetapi kamu, janganlah kamu disebut ‘Rabi’; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. Janganlah kamu menyebut siapa pun ‘bapak’ di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di surga. Janganlah kamu disebut pemimpin, karena hanya satu pemimpinmu, yaitu Mesias. Siapa saja yang terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Siapa saja yang meninggikan diri, ia akan direndahkan dan siapa saja yang merendahkan diri, ia akan ditinggikan. (Mat 23:1-12)
Bacaan Pertama: Yes 1:10,16-20; Mazmur Tanggapan: Mzm 50:8-9,16-17,21,23
Klimaks dari kontroversi-kontroversi yang dimulai di Mat 21 tercapai di Mat 23 ini. Bahasa keras dari bab 23 Injil Matius ini dapat ditelurusi tidak hanya kepada oposisi Yesus terhadap beberapa ekses ajaran kaum Farisi, melainkan dapat juga mencerminkan konflik yang semakin bertumbuh antara Gereja Kristiani yang masih muda dan sinagoga-sinagoga Yahudi pada paruhan kedua abad pertama Masehi (Donald Senior CP, READ AND PRAY, Chicago, Ill.: Franciscan Herald Press, hal. 76). Di awal pengajarannya, Yesus dengan berhati-hati memberi penghargaan terhadap otoritas mengajar yang legitim dari para ahli Taurat dan orang-orang Farisi (lihat Mat 23:2-3), namun Ia memperingatkan orang banyak dan murid-murid-Nya akan contoh buruk yang dipertontonkan para pemimpin agama Yahudi tersebut.
Para pemimpin agama Yahudi itu menjadi eksponen-eksponen negatif dari tema-tema yang dipaparkan Yesus sepanjang Injil-Nya: “ketiadaan tindakan vs. perbuatan-perbuatan baik” (Mat 23:4); “kesombongan dan kepura-puraan vs. ketulusan dan sikap tanpa pamrih” (Mat 23:5); “ambisi vs. pelayanan” (Mat 23: 6 dsj.); “ketiadaan bela-rasa vs. keprihatinan persaudaraan terhadap beban-beban yang dipikul oleh orang-orang lain” (Mat 23:4); dst. Pada dasarnya bacaan Mat 23:1-28 merupakan sebuah versi negatif dari “Khotbah di Bukit” (Mat 5-7).
Jadi, kritik mendasar Yesus terhadap para ahli Taurat dan kaum Farisi pada umumnya adalah, bahwa sebagai para pemimpin mereka telah gagal menjadi contoh/model dari praktek nilai-nilai sejati hukum Allah. Kata-kata keras Yesus dimasukkan ke dalam Injil bukanlah untuk mencambuk kepemimpinan agama dari generasi yang sudah lewat, melainkan untuk menggoyang pundak orang-orang Kristiani yang harus menyampaikan Injil kepada orang-orang lain seturut “amanat agung” yang diberikan Yesus Kristus sendiri (lihat Mat 28:19-20).
Ada pertentangan mencolok antara kata-kata dan perbuatan-perbuatan nyata para ahli Taurat dan kaum Farisi itu. Mereka berbicara lantang tentang beban Allah, tentang tuntutan hukum, tentang pentingnya disiplin religius, tentang ketaatan terhadap sabda Allah dlsb., malah mengulang-ulanginya, namun semua itu hanya dimaksudkan/ berlaku untuk orang lain, bukan diri mereka sendiri. Mereka sendiri akan mencari jalan yang mudah dan malah menyingkir/menghindar dari tuntutan Allah. Dengan demikian, ibadat mereka hanyalah teori saja, kekuatan semu, kesungguhan yang dipenuhi kepura-puraan dan askese palsu pula. Lebih celaka lagi, karena mereka menduduki tempat-tempat terkemuka: mereka menduduki kursi Musa. Mereka mengaku mewartakan sabda Allah dan ajaran-ajaran-Nya, dan karenanya menuntut agar ditaati, namun sekaligus mereka menyalahgunakan kekuasaan mengajar serta kedudukan mereka sebagai pemimpin-pemimpin keagamaan. Mereka adalah garam yang tawar, terang yang menyesatkan dalam kegelapan malam (lihat Mat 5:13-16). Semua ini harus dihindari oleh setiap murid Kristus yang sejati. Dan di segala zaman tetap ada banyak orang “munafik” semacam itu, yang berkeliaran di tengah masyarakat di mana saja di dunia ini!
Para ahli Taurat dan kaum Farisi pada umumnya memiliki semangat mencari diri sendiri. Egoisme adalah semangat mereka, sedangkan semangat Kristiani ialah kesediaan untuk mengabdi. Salah satu ciri pribadi lainnya dari para pemimpin/pemuka agama Yahudi adalah kesombongan, sebaliknya salah satu ciri pribadi para murid Kristus adalah kerendahan-hati. Yesus Kristus bagi mereka adalah Allah yang merendahkan diri-Nya (lihat Flp 2:5-11), dan mereka bertekad untuk mengikuti jejak-Nya. Dalam diri para ahli Taurat dan kaum Farisi ada perlawanan antara “rupa dan isi” (Inggris: form and substance; antara “forma dan substansi”. Apakah artinya sebuah botol anggur merah dengan merek terkenal (misalnya Dolcetto & Syrah dari Victoria, Australia) jika hanya diisi dengan air putih biasa? Apa artinya jubah putih seorang ulama atau rohaniwan apabila hanya untuk menutupi kemunafikannya? Bila rupa yang suci berisikan kemunafikan, maka orang itu menyalahgunakan yang ilahi untuk menyelubungi yang terlalu manusiawi dengan kesemarakan palsu. Semangat Kristiani yang sejati menghancurkan khayalan kesombongan itu dengan cintanya akan kerendahan-hati. Bagi seorang Kristiani sejati, memerintah berarti mengabdi, memimpin berarti melayani. Dalam padangan Allah, kecillah seseorang yang menganggap dirinya besar dan besarlah dia yang menyadari kekecilan dirinya sendiri. Pengetahuan akan kekecilan diri sendiri adalah awal dari pengangkatan oleh rahmat ilahi. Sebab mati adalah jalan kepada kehidupan, sedangkan mati terhadap kenikmatan /kepentingan diri sendiri adalah supaya dapat hidup kembali.
Dengan demikian peringatan Yesus terhadap “jalan sesat” para ahli Taurat dan kaum Farisi berlaku sebagai pelajaran penting bagi murid Yesus segala zaman. Yang menentukan adalah arah pandangan. Bagi para ahli Taurat dan kaum Farisi pandangan itu diarahkan pada diri sendiri dan karenanya dipalingkan dari Allah. Sebaliknya, bagi seorang Kristiani sejati pandangannya senantiasa terarah pada Allah. Hanya ada satu bapak, yaitu “Bapa di surga”, hanya ada satu rabi, yaitu “Sabda yang menjadi daging” atau “Firman yang menjadi manusia” (lihat Yoh 1:14); hanya ada satu pemimpin, yaitu Mesias. Apabila pandangan diarahkan kepada-Nya saja, maka segalanya akan beres. Mengapa? Karena semua gelar dan pangkat, semua kata dan karya diabdikan hanya kepada-Nya. Sebaliknya apabila pandangan itu berputar-putar pada diri sendiri saja, maka tata-susunan yang benar diputar-balikkan. Apa yang seharusnya mengabdi Allah, digunakan untuk mengabdi manusia. Agama disalahgunakan untuk mengabdi manusia; mengabdi politik praktis demi kekuasaan. Hal-ikhwal mencari Allah menjadi hal-ikhwal mencari diri sendiri, dan semuanya itu di bawah kedok keagamaan. Maka di sinilah peringatan keras kepada semua orang Kristiani pada segala zaman, terlebih-lebih mereka yang memegang jabatan religius. Mereka harus sungguh-sungguh meneliti suara hati masing-masing.
DOA: Ya Tuhanku dan Allahku, semoga apa yang kukatakan dan kulakukan sungguh memproklamasikan Injil-Mu. Amin.
Cilandak, 25 Februari 2013
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS