Memang, kalau kita hendak membicarakan tentang ‘kebangkitan’, maka kita harus paling sedikit menyinggung ‘kematian’ terlebih dahulu. Bukankah tidak ada ‘kebangkitan’ tanpa didahului oleh ‘kematian’? Sesungguhnya kematian selalu merupakan sebuah pokok pembahasan yang populer, bersifat universal dan tidak dapat dihindari. Umat Katolik mendoakan orang-orang yang telah meninggal dunia. Para penulis ternama menulis buku-buku tentang kematian. Pada akar dari semua ini sebenarnya ada pertanyaan mendasar tentang ‘kehidupan setelah kematian’. Ingatlah, bahwa tradisi Kristiani mengatakan bahwa dengan kematian, kehidupan itu tidaklah berakhir, cuma diubah. Baiklah kita sekarang menyoroti masalah kebangkitan badan itu, karena hal-ikhwal kehidupan kekal akan dibahas dalam sebuah tulisan lain.
AKU PERCAYA AKAN KEBANGKITAN BADAN *)
Aku percaya akan Allah, Bapa yang mahakuasa, pencipta langit dan bumi; dan akan Yesus Kristus, Putera-Nya yang tunggal, Tuhan kita, yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria; yang menderita sengsara dalam pemerintahan Pontius Pilatus disalibkan, wafat, dan dimakamkan; yang turun ketempat penantian pada hari ketiga bangkit dari antara orang mati; yang naik ke surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa yang mahakuasa; dari situ Ia akan datang mengadili orang yang hidup dan yang mati. Aku percaya akan Roh Kudus, Gereja katolik yang kudus, persekutuan para kudus, pengampunan dosa, kebangkitan badan, kehidupan kekal [Pengakuan Iman – Syahadat Para Rasul].
Syahadat Kristiani – pengakuan iman kita akan Bapa, Putera dan Roh Kudus, serta karya-karya-Nya yang menciptakan, menebus dan menguduskan – berpuncak pada pewartaan bahwa orang-orang yang mati akan bangkit pada akhir zaman dan bahwa ada kehidupan abadi. [Katekismus Gereja Katolik (KGK), 988].
Seperti roti yang berasal dari bumi, kalau ia menerima panggilan Allah, bukan lagi roti biasa, melainkan Ekaristi, yang terdiri dari dua unsur, unsur duniawi dan unsur surgawi, demikian juga tubuh kita, kalau menerima Ekaristi, tidak lagi takluk kepada kehancuran, tetapi memiliki harapan akan kebangkitan.”
(Santo Irenaeus [c.130-c.200], Adversus omnes Haereses, Melawan semua bid’ah).
Yesus bangkit dari antara orang mati. Ini adalah doktrin sentral Kristianitas. Baiklah di awal tulisan ini kita – sebagai umat Kristiani – berpegang pada tulisan Santo Paulus yang mengatakan: “Andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu” (1Kor 15:14).
Memang, kalau kita hendak membicarakan tentang ‘kebangkitan’, maka kita harus paling sedikit menyinggung ‘kematian’ terlebih dahulu. Bukankah tidak ada ‘kebangkitan’ tanpa didahului oleh ‘kematian’? Sesungguhnya kematian selalu merupakan sebuah pokok pembahasan yang populer, bersifat universal dan tidak dapat dihindari. Umat Katolik mendoakan orang-orang yang telah meninggal dunia. Para penulis ternama menulis buku-buku tentang kematian. Pada akar dari semua ini sebenarnya ada pertanyaan mendasar tentang ‘kehidupan setelah kematian’. Ingatlah, bahwa tradisi Kristiani mengatakan bahwa dengan kematian, kehidupan itu tidaklah berakhir, cuma diubah. Baiklah kita sekarang menyoroti masalah kebangkitan badan itu, karena hal-ikhwal kehidupan kekal akan dibahas dalam sebuah tulisan lain.
Keragu-raguan dan ketidakpercayaan atas kebangkitan Yesus. Sejak hari-hari pertama sejarah Gereja sampai pada zaman kita, memang selalu ada saja orang-orang yang meragukan tentang kebangkitan Yesus. Ada yang mengatakan, bahwa kebangkitan Yesus sekadar suatu kebangkitan spiritual, bukan kebangkitan fisik. Ada pula yang mengatakan bahwa kebangkitan Yesus merupakan suatu kebohongan besar. Pada waktu bekerja dan tinggal di New York City di tahun 1970-an, saya membeli sebuah buku cukup tebal karangan Dr. Hugh Schonfield (seorang keturunan Yahudi) yang pada tahun 1960’an memang menjadi sebuah best seller, judulnya: The Passover Plot. Sang pengarang buku berargumentasi bahwa Yesus ‘mengatur’ segala sesuatu agar dapat survive dari penyaliban (dalam keyakinan-Nya bahwa hal ini adalah demi menggenapi nubuat-nubuat Mesianis), namun Dia gagal dan mati serta dikuburkan. Jenazah-Nya kemudian dipindahkan oleh seseorang yang bukan rasul-Nya. Dengan demikian, para pengikut terdekat Yesus adalah korban-korban penipuan, dan hal ini menjelaskan tentang ketulusan suatu kepercayaan. Bacalah Mat 28:11-15 yang mirip-mirip (tetapi tidak sama) dengan tulisan Dr. Schonfield ini. Teori-teori yang hampir sama juga bermunculan di masa lampau, namun semua itu didasarkan terlebih-lebih pada dugaan dan imajinasi-kreatif, bukan berdasarkan bukti kuat.
Kematian dan kebangkitan Kristus adalah puncak Peristiwa Yesus. Tidak ada kebenaran iman Kristiani yang diajarkan secara begitu jelas oleh para Bapa Gereja dan Konsili-konsili, daripada hal-ikhwal kebangkitan Yesus.[1] Katekismus Gereja Katolik (KGK) menyatakan, bahwa iman akan kebangkitan orang-orang mati sejak awal merupakan satu bagian hakiki dari iman Kristiani, sambil mengutip ucapan Tertulianus (c.160-c.222)[2]: “Kebangkitan orang-orang mati adalah harapan orang Kristiani; dalam iman akan kebangkitan itu kami hidup” (KGK, 991).
Kematian dan kebangkitan-Nya adalah ‘puncak Peristiwa Yesus’. Kebangkitan Yesus sesungguhnya tetap merupakan dasar dari Iman Kristiani, dan umat Kristiani menerima kebangkitan-Nya sebagai suatu kenyataan berdasarkan apa yang tertulis dalam Perjanjian Baru. Memang tidak dapat kita pernah pungkiri, bahwa tanpa kebangkitan, sia-sialah iman kita, seperti ditulis oleh Santo Paulus dengan begitu jelas-gamblang: “Jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu” (1Kor 15:17).
Sekilas tentang kebangkitan Kristus dan kebangkitan kita. Sekarang baiklah kita memusatkan perhatian kita pada ‘kebangkitan badan’ kita semua, manusia. Hal ini juga merupakan suatu keniscayaan, “sebab jika benar orang mati tidak dibangkitkan, maka Kristus juga tidak dibangkitkan” (1Kor 15:16). Jadi, kalau kita percaya bahwa Yesus telah dibangkitkan, maka kita juga seharusnya percaya akan kebangkitan badan orang-orang yang mati.
Kepercayaan orang-orang Yahudi mengenai hidup kekal dan kebangkitan badan memakan waktu berabad-abad lamanya untuk berkembang dan menjadi matang. Hal ini disebut sebagai ‘Wahyu bertahap tentang kebangkitan’ dan dibahas secara singkat dalam KGK, 992. Perkembangan ini dapat dibaca dalam Perjanjian Lama.[3]
Pada masa kehidupan dan pelayanan Yesus di tengah-tengah publik, ada beberapa kepercayaan berbeda-beda tentang kebangkitan badan ini. Orang-orang Saduki, sekelompok ulama elit yang kaya dan konservatif, tidak percaya akan kebangkitan atau kekekalan hidup (Mrk 12:18; Mat 22:23; Luk 20:27; Kis 23:8). Tanggapan Yesus terhadap ketidakpercayaan orang-orang Saduki: “Kamu sesat, justru karena kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun Kuasa Allah” (Mrk 12:24); “Kamu benar-benar sesat!” (Mrk 12:27). Orang-orang Farisi, sebuah kelompok yang lebih besar lebih populer, percaya akan kebangkitan badan dan kehidupan kekal. Dalam hal ini ajaran Yesus tidak bertentangan dengan kaum Farisi (lihat Mrk 12:18-27). Lihat juga cerita tenang ‘Orang kaya dan Lazarus yang miskin (Luk 16:19-31). Iman akan kebangkitan orang-orang yang telah meninggal berdasar atas iman, bahwa “Allah bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup” (Mrk 12:27; bacalah keseluruhan KGK, 993).
Yesus membangkitkan orang dari kematian. Sebagai suatu tanda Kerajaan Allah, Yesus membangkitkan beberapa orang dari kematian: (1) puteri Yairus (Mrk 5:21-24.35-43 dan paralelnya); (2) anak muda di Nain (Luk 7:11-17); Lazarus (Yoh 11:1-44). ‘Kebangkitan-kebangkitan’ ini (kecuali kebangkitan Lazarus) berkaitan dengan pertanyaan mengenai kebangkitan umum. Membaca apa yang ditulis dalam Yoh 20:30, secara pribadi saya percaya bahwa Yesus melakukan mukjizat kebangkitan orang mati lebih daripada yang disebutkan di atas. Dalam Perjanjian Lama, disebutkan juga kebangkitan-kebangkitan serupa (1Raj 17:17-24; 2Raj 4:18-37; 13:20-21). Dalam Injil Yohanes, Yesus beberapa kali menyebutkan kebangkitan umum dari orang-orang mati (Yoh 5:21.25.28-29; 6:39.44.54). Kebangkitan Lazarus dimaksudkan sebagai sebuah tanda mengenai kuasa Yesus untuk memberikan kehidupan. Ia mengatakan kepada Marta bahwa Lazarus akan bangkit lagi. Marta menjawab bahwa dia tahu Lazarus akan bangkit lagi, yaitu pada akhir zaman. Jawab Yesus kepadanya, “Akulah kebangkitan dan hidup; siapa saja yang percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya (Yoh 11:25-26).
Kebangkitan Lazarus dan kebangkitan-kebangkitan lainnya merupakan ‘pengantar’, sebagai foretaste (dalam hal makan: seperti icip-icip dulu sebelum perjamuan sebenarnya) dari kebangkitan sesungguhnya kelak. Lazarus dan orang-orang lain yang telah dibangkitkan kembali kepada kehidupan sehari-hari mereka, dan mereka akan mati lagi pada waktu yang telah ditentukan bagi mereka masing-masing. Pengharapan Kristiani sehubungan dengan kebangkitan tidak dapat lepas dari Kebangkitan Yesus. Tema ini dapat dibaca pada surat-surat Santo Paulus. Hal ini ada dalam jantung pewartaan Kabar Baik sang Rasul. Menurut Santo Paulus, dalam pembaptisan orang-orang Kristiani mengalami suatu ‘kematian yang memberikan-hidup’, suatu penghancuran atas hidup yang lama sehingga hidup baru dapat bertumbuh-kembang dengan subur. Santo Paulus menulis:
“… jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya. Karena kita tahu bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa” (Rm 6:5-6).
Yesus sendiri menghubungkan iman akan kebangkitan itu dengan diri-Nya (lihat KGK, 994). Ia bersabda: “Akulah kebangkitan dan hidup; siapa saja yang percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya” (Yoh 11:25-26). Pada akhir zaman Yesus sendiri akan membangkitkan mereka yang percaya kepada-Nya (lihat Yoh 5:24-25; 6:40), yang telah makan daging/tubuh-Nya dan minum darah-Nya (lihat Yoh 6:54). Dalam kehidupan-Nya di dunia ini Yesus telah memberikan tanda dan jaminan untuk itu, waktu Ia membangkitkan beberapa orang mati seperti telah diceritakan di atas dan dengan demikian mengumumkan kebangkitan-Nya sendiri, tetapi yang termasuk dalam tatanan yang lain. Kejadian yang sangat khusus ini Ia bicarakan sebagai ‘tanda Nabi Yunus’ (Mat 12:39), tanda kanisah/Bait Suci (lihat Yoh 2:19-22). Ia mengumumkan bahwa Dia akan dibunuh, tetapi akan bangkit lagi pada hari ketiga (lihat Mrk 10:34).
Karya Allah Tritunggal. Katekismus Gereja Katolik mengatakan:
Kita percaya dengan pasti dan berharap dengan penuh kepercayaan: seperti Kristus telah bangkit dengan sesungguhnya dari antara orang mati dan hidup selama-lamanya, demikianlah orang-orang benar, sesudah kematiannya akan hidup untuk selama-lamanya, demikianlah orang-orang benar, sesudah kematiannya akan hidup untuk selama-lamanya bersama Kristus yang telah bangkit kembali dan Ia akan membangkitkan mereka pada akhir zaman (bdk. Yoh 6:39-40). Seperti kebangkitan-Nya, demikian pula kebangkitan kita adalah karya Tritunggal Mahakudus (KGK, 989).
Santo Paulus memang menggambarkan kebangkitan orang mati sebagai karya Allah Tritunggal. Signifikansi dari pembaptisan dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus adalah:
“… kamu tidak hidup dalam daging, melainkan dalam Roh, jika memang Roh Allah tinggal di dalam kamu. Tetapi jika orang tidak memiliki Roh Kristus, ia bukan milik Kristus. Tetapi jika Kristus ada di dalam kamu, maka tubuh memang mati karena dosa, tetapi roh adalah kehidupan oleh karena pembenaran. Jika Roh Dia, yang membangkitkan Yesus dari antara orang mati, tinggal di dalam kamu, maka Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya yang tinggal di dalam kamu” (Rm 8:9-11).
Santo Paulus juga menulis bahwa Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat, “yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya” (Flp 3:21). Ada banyak lagi acuan kepada kebangkitan yang dapat kita temukan dalam surat-surat Santo Paulus dan khotbah-khotbahnya yang terdapat dalam ‘Kisah Para Rasul’.
Kitab Wahyu menyebutkan dua macam kebangkitan: (1) suatu kebangkitan para martir yang akan memerintah di atas muka bumi bersama Kristus untuk masa selama seribu tahun (Why 20:4-6), dan (2) suatu kebangkitan umum (Why 20:11-15). Pemahaman Gereja Katolik dalam hal ini adalah untuk tidak menafsirkan ayat-ayat ini secara harfiah, khususnya juga tentang pemerintahan seribu tahun. Sejumlah orang (tokoh) dalam Gereja perdana – dan juga para anggota Kristen fundamentalis pada zaman kita ini – terjerumus dalam kesalahan ini. Kitab Wahyu penuh dengan lambang-lambang, dan sulitlah untuk memahami Kitab Wahyu ini tanpa memanfaatkan buku tafsir yang baik dan mutakhir tentang Kitab Wahyu ini. Cukuplah untuk dikatakan di sini, bahwa Kristus sebenarnya memproklamasikan kemenangan berjaya Kristus dan Gereja-Nya, dan kebenaran tentang kebangkitan orang mati. Kitab Wahyu tidak dapat dipahami sebagai sebuah bukan ramalan tentang masa depan dan akhir zaman.
Bagi umat Kristiani, puncak pemahaman tentang kebangkitan dapat ditemukan dalam Kebangkitan Yesus. Dalam narasi-narasi Injil yang berkaitan dengan kebangkitan-Nya, kita dapat memperoleh petunjuk-petunjuk bagaimana kiranya kebangkitan kita sendiri. Sekadar petunjuk, karena banyak sekali pertanyaan tentang kebangkitan tidak dapat dijawab dalam hidup ini. “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: Semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia” (1Kor 2:9; bdk. Yes 64:4). Walaupun melampaui gambaran dan pemahaman kita, kita masih dapat menerima ‘kebangkitan badan’ dalam iman. Seperti dalam sebuah petikan kata-kata Santo Iraeneus di awal tulisan ini, penyambutan Ekaristi ke dalam diri kita sudah memberi kepada kita sebuah gambaran terlebih dahulu (Inggris: foretaste) mengenai perubahan rupa badan (transfigurasi) kita oleh Kristus (lihat Flp 3:21; KGK, 1000).
Ajaran Resmi Gereja. Gereja telah memelihara serta menjaga kebenaran tentang kebangkitan orang mati yang tercatat dalam Kitab Suci dalam banyak Credo-nya, pernyataan-pernyataan Konsili dan surat-surat Ensiklik para Paus dari zaman ke zaman.
Sebuah dokumen Konsili Vatikan II, adalah ‘Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium tentang Gereja (21 November 1964)’, khususnya butir 48, membahas masalah ‘kebangkitan badan’ ini dengan cukup komprehensif sebagai ‘pendahuluan’ dari bab tujuh (butir 48-51) dokumen itu dengan judul ‘Sifat Eskatologi Gereja Musafir dan Persatuannya dengan Gereja di Surga’.
Sebuah dokumen Konsili Vatikan II lainnya, ‘Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini (7 Desember 1965)’, mengatakan seperti berikut:
“Kita tidak mengetahui, bilamana dunia dan umat manusia akan mencapai kesudahannya (lihat Kis 1:7); tidak tahu pula, bagaimana alam semesta akan diubah. Dunia seperti yang yang kita kenal sekarang, dan telah rusak akibat dosa, akan berlalu (lihat 1Kor 7:31, Santo Iraeneus). Tetapi kita terima ajaran, bahwa Allah menyiapkan tempat tinggal baru dan bumi yang baru, kediaman keadilan (lihat 2Kor 5:2; 2Ptr 3:13)” [Gaudium et Spes, 39].
Walaupun Gereja perdana dengan jelas mengajar tentang kebangkitan orang mati, pengajaran itu tidak disertai dengan penjelasan terinci. Kata-kata seperti ‘daging’ dan ‘tubuh’ digunakan untuk menyampaikan suatu ide, namun dipahami bahwa dalam kebangkitan itu badan/tubuh orang akan dimuliakan seperti tubuh Yesus sendiri. Akan tetapi, dalam artian tertentu tubuh ini akan sama dengan tubuh yang kita miliki sekarang. Ini adalah ajaran resmi Gereja sejak semula. Dalam Konsili Lateran IV (1215), digarisbawahi bahwa “semua orang akan bangkit … dengan tubuhnya sendiri, yang sekarang mereka miliki. Tetapi tubuh mereka akan diubah “sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia’ (Flp 3:21), ke dalam “tubuh rohaniah” (1Kor 15:44) [lihat KGK, 999].
Bangkit bersama Kristus (KGK 1002, 1003 dan 1004). Kita akan dibangkitkan oleh Kristus pada akhir zaman, namun sebenarnya kita telah bangkit bersama Dia dalam artian tertentu. Oleh Roh Kudus, kehidupan Kristiani di dunia ini sudah merupakan partisipasi pada kematian dan kebangkitan Kristus:
… karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga melalui kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati. … Karena itu, apabila kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah hal-hal yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah” (Kol 2:12; 3:1).
Umat beriman telah disatukan dengan Kristus melalui Pembaptisan dan karena itu sekarang juga telah mengambil bagian dalam kehidupan surgawi Kristus yang telah dibangkitkan (lihat Flp 3:20). Tetapi kehidupan ini “tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah” (Kol 3:3). “… di dalam Kristus Yesus Ia ttelah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di surga” (Ef 2:6). Sebagai orang yang telah dipuaskan dengan tubuh-Nya di dalam Ekaristi, kita sudah termasuk Tubuh Kristus. Kalau kita dibangkitkan pada akhir zaman, kita pun akan menyatakan diri bersama dengan Dia dalam kemuliaan. Santo Paulus menulis: “Apabila Kristus, yang adalah hidup kita, tampak kelak, kamu pun akan tampak bersama dengan Dia dalam kemuliaan” (Kol 3:4).
Sambil merindukan hari itu (akhir zaman), jiwa dan badan umat beriman sudah mengambil bagian dalam ‘martabat Kristus’. Karena itu kita harus memelihara tubuh kita dengan hormat, tetapi juga tubuh orang lain, terlebih mereka yang menderita: “… tubuh bukanlah untuk percabulan, melainkan untuk Tuhan, dan Tuhan untuk tubuh. Allah, yang membangkitkan Tuhan, akan membangkitkan kita juga oleh kuasa-Nya. Tidak tahukah kamu bahwa tubuh kamu semua adalah anggota Kristus? Atau tidak tahukah kamu bahwa tubuh kamu semua adalah bait Roh Kudus yang tinggal di dalam kamu, roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah – dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri … Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1Kor 6:13-15.19-20).
Catatan penutup. Seperti halnya dengan Kebangkitan Yesus, iman Kristiani akan kebangkitan badan sejak awal bertemu dengan salah paham dan perlawanan. Santo Augustinus (354-430) mengatakan: “Tidak ada satu topik pun dalam iman Kristiani yang mengalami lebih banyak perlawanan daripada yang berhubungan dengan kebangkitan daging” (KGK, 996).
Pada saat kematian, di mana jiwa berpisah dari badan, tubuh manusia mengalami kehancuran, sedangkan jiwanya melangkah menuju Allah dan menunggu saat, di mana jiwa itu sekali kelak akan disatukan kembali dengan tubuhnya. Dalam kemahakuasaan-Nya, Allah akan menganugerahkan kepada tubuh kita secara definitif kehidupan yang abadi, waktu Dia menyatukannya lagi dengan jiwa kita berkat kebangkitan Yesus (KGK, 997). Kebangkitan orang-orang yang telah meninggal ini berkaitan dengan akhir zaman, pada waktu Yesus Kristus datang kembali (lihat Yoh 6:39-40.44.54; 11:24; Lumen Gentium 48; KGK, 1001):
Sebab pada waktu aba-aba diberi pada waktu pemimpin malaikat berseru dan sangkakala Allah berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari surga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit” (1Tes 4:16).
Kebangkitan Yesus adalah dasar (keystone) dari iman-kepercayaan Gereja perdana. Para pengarang Perjanjian Baru menangkap bagi kita dalam tulisan-tulisan mereka pengalaman iman komunitas Kristiani pada masa itu. Secara eksplisit Paulus mengatakan: “… yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci; bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci” (1Kor 15:3-4). Ketika Paulus menulis ini (circa tahun 56), cerita tentang Kebangkitan telah disusun dalam berbagai credo atau pengakuan iman.
Dalam Perjanjian Baru, Kebangkitan Yesus dilihat sebagai Pengangkatan-Nya, pemulian-Nya dan kembali-Nya Dia kepada Bapa surgawi. Kebangkitan adalah konfirmasi akhir dari misi Yesus. Mula-mula para murid belajar dari kubur yang kosong, setelah itu Yesus menampakkan diri kepada mereka dalam keadaan-Nya yaang sudah dimuliakan. Ia bukan hantu atau suatu kehadiran spiritual. Oleh kebangkitan-Nya, Yesus menggenapi pengharapan Mesianis orang-orang Yahudi dan memberi suatu efek perubahan yang besar terhadap para murid-Nya. Sejak saat itu mereka tidak takut lagi, mereka siapa untuk mewartakan Kabar Baik kepada dunia. Tinggal diberdayakan saja oleh Roh-Nya pada hari Pentakosta.
Kebangkitan Yesus memungkinkan suatu kehadiran-Nya yang lebih mendalam dalam diri para murid-Nya, melalui Roh-Nya. Sekarang para murid-Nya melihat kehidupan-Nya di atas muka bumi dalam terang Kebangkitan-Nya, dan inilah pendekatan yang digunakan oleh para pengarang Injil. Akhirnya, Kebangkitan-Nya digabungkan dengan kebangkitan para pengikut-Nya: “… jikalau kita percaya bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa dengan perantaraan Yesus, Allah akan mengumpulkan bersama-sama dengan Dia mereka yang telah meninggal” (1Tes 4:14).
Kebangkitan Yesus memberi jaminan kepada orang-orang Kristiani survival dari manusia secara utuh, artinya tubuh dan jiwa. Sekali lagi hal ini merupakan konfirmasi untuk sekali dan selamanya bahwa harapan-harapan dan impian-impian akan kehidupan kekal bukanlah omong-kosong. Sepanjang sejarah, orang-orang telah mengharapkan dan merencanakan segala sesuatu untuk kehidupan setelah kematian. Walaupun terkadang timbul rasa ragu, Allah Bapa menjawab keragu-raguan kita itu dengan Kebangkitan Putera-Nya. Dengan jaminan seperti ini, dengan penuh sukacita kita dapat menantikan kebangkitan kita sendiri.
Adalah suatu keniscayaan bagi semua orang yang telah meninggal untuk kelak bangkit: “… saatnya akan tiba bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya, dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum” (Yoh 5:28-29; bdk. Dan 12:2; lihat KGK, 998).
Pendalaman:
1. Mengapa Kebangkitan Yesus bersifat sentral dalam iman Kristiani?
2. Bacalah 1Kor 15 dan diskusikanlah konsep kebangkitan orang mati yang termuat dalam surat pertama Santo Paulus kepada Jemaat di Korintus ini dengan saudara-saudarimu sekomunitas!
3. Bacalah dari Injil salah satu cerita tentang penampakan-penampakan Yesus yang sudah bangkit, misalnya ‘Yesus menampakkan diri di jalan ke Emaus’ (Luk 24: 13-35), kemudian ceritakanlah kembali kepada teman diskusimu apa yang baru anda baca tadi disertai kesan-kesan anda sendiri!
Cilandak, 23 November 2009
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
*) Disusun khusus atas permintaan seorang saudari Fransiskanes.
[1] Berbagai narasi sekitar kebangkitan Yesus dapat dibaca dalam keempat kitab Injil.
[2] Nama lengkapnya adalah Quintus Septimius Florens Tertullian. Dia lahir di Karthago, Afrika Utara. Seorang apologis, teolog dan kontroversialis kelas wahid. Putera seorang perwira Romawi. Dibesarkan sebagai seorang kafir, dia belajar ilmu hukum dan sastra Latin serta Yunani. Dia juga menjadi pengacara terkenal di Roma. Merasa kesal dengan kemerosotan sosial, dia menjadi seorang Kristiani (tahun 195/196), barangkali karena terpengaruh oleh kesetiaan-iman para martir Kristiani. Dia kembali ke Karthago. Di sana dia menjadi pembela agama Kristiani yang ulung dan juga mengajar. Menurut Santo Hieronimus, Tertulianus ditahbiskan sebagai seorang imam di sekitar tahun 200. Namun karena tidak tahan melihat Gereja Afrika yang mengalami kekacauan, pada tahun 211 Tertulianus ikut gerakan bid’ah Montanist yang menekankan suatu moralitas yang ketat dan gaya hidup yang keras. Namun, baginya gerakan Montanist pun belum cukup keras. Oleh karena itu dia keluar dan mendirikan kelompoknya sendiri yang dinamakan Tertullianist. Meskipun ketika menjadi anggota gerakan Montanist dia menulis ajaran yang melawan Gereja Katolik, Tertulianus tetap memegang beberapa ajaran ortodoks Gereja. Tulisan-tulisannya yang melawan Gereja tidak dapat digunakan, hanya tulisan-tulisannya yang ortodoks saja yang boleh digunakan dalam Gereja. Tulisan-tulisannya sebagian besar ditulis dalam bahasa Latin. Sumber: Matthew Bunson, Our Sunday Visitor’s ENCYCLOPEDIA OF CATHOLIC HISTORY, Huntington, Indiana: Our Sunday Visitor, Inc., 1995, hal. 818-819.
[3] Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas perkembangan pemikiran dan kepercayaan akan kebangkitan badan dalam Perjanjian Lama.
Aku percaya akan Allah, Bapa yang mahakuasa, pencipta langit dan bumi; dan akan Yesus Kristus, Putera-Nya yang tunggal, Tuhan kita, yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria; yang menderita sengsara dalam pemerintahan Pontius Pilatus disalibkan, wafat, dan dimakamkan; yang turun ketempat penantian pada hari ketiga bangkit dari antara orang mati; yang naik ke surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa yang mahakuasa; dari situ Ia akan datang mengadili orang yang hidup dan yang mati. Aku percaya akan Roh Kudus, Gereja katolik yang kudus, persekutuan para kudus, pengampunan dosa, kebangkitan badan, kehidupan kekal [Pengakuan Iman – Syahadat Para Rasul].
Syahadat Kristiani – pengakuan iman kita akan Bapa, Putera dan Roh Kudus, serta karya-karya-Nya yang menciptakan, menebus dan menguduskan – berpuncak pada pewartaan bahwa orang-orang yang mati akan bangkit pada akhir zaman dan bahwa ada kehidupan abadi. [Katekismus Gereja Katolik (KGK), 988].
Seperti roti yang berasal dari bumi, kalau ia menerima panggilan Allah, bukan lagi roti biasa, melainkan Ekaristi, yang terdiri dari dua unsur, unsur duniawi dan unsur surgawi, demikian juga tubuh kita, kalau menerima Ekaristi, tidak lagi takluk kepada kehancuran, tetapi memiliki harapan akan kebangkitan.”
(Santo Irenaeus [c.130-c.200], Adversus omnes Haereses, Melawan semua bid’ah).
Yesus bangkit dari antara orang mati. Ini adalah doktrin sentral Kristianitas. Baiklah di awal tulisan ini kita – sebagai umat Kristiani – berpegang pada tulisan Santo Paulus yang mengatakan: “Andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu” (1Kor 15:14).
Memang, kalau kita hendak membicarakan tentang ‘kebangkitan’, maka kita harus paling sedikit menyinggung ‘kematian’ terlebih dahulu. Bukankah tidak ada ‘kebangkitan’ tanpa didahului oleh ‘kematian’? Sesungguhnya kematian selalu merupakan sebuah pokok pembahasan yang populer, bersifat universal dan tidak dapat dihindari. Umat Katolik mendoakan orang-orang yang telah meninggal dunia. Para penulis ternama menulis buku-buku tentang kematian. Pada akar dari semua ini sebenarnya ada pertanyaan mendasar tentang ‘kehidupan setelah kematian’. Ingatlah, bahwa tradisi Kristiani mengatakan bahwa dengan kematian, kehidupan itu tidaklah berakhir, cuma diubah. Baiklah kita sekarang menyoroti masalah kebangkitan badan itu, karena hal-ikhwal kehidupan kekal akan dibahas dalam sebuah tulisan lain.
Keragu-raguan dan ketidakpercayaan atas kebangkitan Yesus. Sejak hari-hari pertama sejarah Gereja sampai pada zaman kita, memang selalu ada saja orang-orang yang meragukan tentang kebangkitan Yesus. Ada yang mengatakan, bahwa kebangkitan Yesus sekadar suatu kebangkitan spiritual, bukan kebangkitan fisik. Ada pula yang mengatakan bahwa kebangkitan Yesus merupakan suatu kebohongan besar. Pada waktu bekerja dan tinggal di New York City di tahun 1970-an, saya membeli sebuah buku cukup tebal karangan Dr. Hugh Schonfield (seorang keturunan Yahudi) yang pada tahun 1960’an memang menjadi sebuah best seller, judulnya: The Passover Plot. Sang pengarang buku berargumentasi bahwa Yesus ‘mengatur’ segala sesuatu agar dapat survive dari penyaliban (dalam keyakinan-Nya bahwa hal ini adalah demi menggenapi nubuat-nubuat Mesianis), namun Dia gagal dan mati serta dikuburkan. Jenazah-Nya kemudian dipindahkan oleh seseorang yang bukan rasul-Nya. Dengan demikian, para pengikut terdekat Yesus adalah korban-korban penipuan, dan hal ini menjelaskan tentang ketulusan suatu kepercayaan. Bacalah Mat 28:11-15 yang mirip-mirip (tetapi tidak sama) dengan tulisan Dr. Schonfield ini. Teori-teori yang hampir sama juga bermunculan di masa lampau, namun semua itu didasarkan terlebih-lebih pada dugaan dan imajinasi-kreatif, bukan berdasarkan bukti kuat.
Kematian dan kebangkitan Kristus adalah puncak Peristiwa Yesus. Tidak ada kebenaran iman Kristiani yang diajarkan secara begitu jelas oleh para Bapa Gereja dan Konsili-konsili, daripada hal-ikhwal kebangkitan Yesus.[1] Katekismus Gereja Katolik (KGK) menyatakan, bahwa iman akan kebangkitan orang-orang mati sejak awal merupakan satu bagian hakiki dari iman Kristiani, sambil mengutip ucapan Tertulianus (c.160-c.222)[2]: “Kebangkitan orang-orang mati adalah harapan orang Kristiani; dalam iman akan kebangkitan itu kami hidup” (KGK, 991).
Kematian dan kebangkitan-Nya adalah ‘puncak Peristiwa Yesus’. Kebangkitan Yesus sesungguhnya tetap merupakan dasar dari Iman Kristiani, dan umat Kristiani menerima kebangkitan-Nya sebagai suatu kenyataan berdasarkan apa yang tertulis dalam Perjanjian Baru. Memang tidak dapat kita pernah pungkiri, bahwa tanpa kebangkitan, sia-sialah iman kita, seperti ditulis oleh Santo Paulus dengan begitu jelas-gamblang: “Jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu” (1Kor 15:17).
Sekilas tentang kebangkitan Kristus dan kebangkitan kita. Sekarang baiklah kita memusatkan perhatian kita pada ‘kebangkitan badan’ kita semua, manusia. Hal ini juga merupakan suatu keniscayaan, “sebab jika benar orang mati tidak dibangkitkan, maka Kristus juga tidak dibangkitkan” (1Kor 15:16). Jadi, kalau kita percaya bahwa Yesus telah dibangkitkan, maka kita juga seharusnya percaya akan kebangkitan badan orang-orang yang mati.
Kepercayaan orang-orang Yahudi mengenai hidup kekal dan kebangkitan badan memakan waktu berabad-abad lamanya untuk berkembang dan menjadi matang. Hal ini disebut sebagai ‘Wahyu bertahap tentang kebangkitan’ dan dibahas secara singkat dalam KGK, 992. Perkembangan ini dapat dibaca dalam Perjanjian Lama.[3]
Pada masa kehidupan dan pelayanan Yesus di tengah-tengah publik, ada beberapa kepercayaan berbeda-beda tentang kebangkitan badan ini. Orang-orang Saduki, sekelompok ulama elit yang kaya dan konservatif, tidak percaya akan kebangkitan atau kekekalan hidup (Mrk 12:18; Mat 22:23; Luk 20:27; Kis 23:8). Tanggapan Yesus terhadap ketidakpercayaan orang-orang Saduki: “Kamu sesat, justru karena kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun Kuasa Allah” (Mrk 12:24); “Kamu benar-benar sesat!” (Mrk 12:27). Orang-orang Farisi, sebuah kelompok yang lebih besar lebih populer, percaya akan kebangkitan badan dan kehidupan kekal. Dalam hal ini ajaran Yesus tidak bertentangan dengan kaum Farisi (lihat Mrk 12:18-27). Lihat juga cerita tenang ‘Orang kaya dan Lazarus yang miskin (Luk 16:19-31). Iman akan kebangkitan orang-orang yang telah meninggal berdasar atas iman, bahwa “Allah bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup” (Mrk 12:27; bacalah keseluruhan KGK, 993).
Yesus membangkitkan orang dari kematian. Sebagai suatu tanda Kerajaan Allah, Yesus membangkitkan beberapa orang dari kematian: (1) puteri Yairus (Mrk 5:21-24.35-43 dan paralelnya); (2) anak muda di Nain (Luk 7:11-17); Lazarus (Yoh 11:1-44). ‘Kebangkitan-kebangkitan’ ini (kecuali kebangkitan Lazarus) berkaitan dengan pertanyaan mengenai kebangkitan umum. Membaca apa yang ditulis dalam Yoh 20:30, secara pribadi saya percaya bahwa Yesus melakukan mukjizat kebangkitan orang mati lebih daripada yang disebutkan di atas. Dalam Perjanjian Lama, disebutkan juga kebangkitan-kebangkitan serupa (1Raj 17:17-24; 2Raj 4:18-37; 13:20-21). Dalam Injil Yohanes, Yesus beberapa kali menyebutkan kebangkitan umum dari orang-orang mati (Yoh 5:21.25.28-29; 6:39.44.54). Kebangkitan Lazarus dimaksudkan sebagai sebuah tanda mengenai kuasa Yesus untuk memberikan kehidupan. Ia mengatakan kepada Marta bahwa Lazarus akan bangkit lagi. Marta menjawab bahwa dia tahu Lazarus akan bangkit lagi, yaitu pada akhir zaman. Jawab Yesus kepadanya, “Akulah kebangkitan dan hidup; siapa saja yang percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya (Yoh 11:25-26).
Kebangkitan Lazarus dan kebangkitan-kebangkitan lainnya merupakan ‘pengantar’, sebagai foretaste (dalam hal makan: seperti icip-icip dulu sebelum perjamuan sebenarnya) dari kebangkitan sesungguhnya kelak. Lazarus dan orang-orang lain yang telah dibangkitkan kembali kepada kehidupan sehari-hari mereka, dan mereka akan mati lagi pada waktu yang telah ditentukan bagi mereka masing-masing. Pengharapan Kristiani sehubungan dengan kebangkitan tidak dapat lepas dari Kebangkitan Yesus. Tema ini dapat dibaca pada surat-surat Santo Paulus. Hal ini ada dalam jantung pewartaan Kabar Baik sang Rasul. Menurut Santo Paulus, dalam pembaptisan orang-orang Kristiani mengalami suatu ‘kematian yang memberikan-hidup’, suatu penghancuran atas hidup yang lama sehingga hidup baru dapat bertumbuh-kembang dengan subur. Santo Paulus menulis:
“… jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya. Karena kita tahu bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa” (Rm 6:5-6).
Yesus sendiri menghubungkan iman akan kebangkitan itu dengan diri-Nya (lihat KGK, 994). Ia bersabda: “Akulah kebangkitan dan hidup; siapa saja yang percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya” (Yoh 11:25-26). Pada akhir zaman Yesus sendiri akan membangkitkan mereka yang percaya kepada-Nya (lihat Yoh 5:24-25; 6:40), yang telah makan daging/tubuh-Nya dan minum darah-Nya (lihat Yoh 6:54). Dalam kehidupan-Nya di dunia ini Yesus telah memberikan tanda dan jaminan untuk itu, waktu Ia membangkitkan beberapa orang mati seperti telah diceritakan di atas dan dengan demikian mengumumkan kebangkitan-Nya sendiri, tetapi yang termasuk dalam tatanan yang lain. Kejadian yang sangat khusus ini Ia bicarakan sebagai ‘tanda Nabi Yunus’ (Mat 12:39), tanda kanisah/Bait Suci (lihat Yoh 2:19-22). Ia mengumumkan bahwa Dia akan dibunuh, tetapi akan bangkit lagi pada hari ketiga (lihat Mrk 10:34).
Karya Allah Tritunggal. Katekismus Gereja Katolik mengatakan:
Kita percaya dengan pasti dan berharap dengan penuh kepercayaan: seperti Kristus telah bangkit dengan sesungguhnya dari antara orang mati dan hidup selama-lamanya, demikianlah orang-orang benar, sesudah kematiannya akan hidup untuk selama-lamanya, demikianlah orang-orang benar, sesudah kematiannya akan hidup untuk selama-lamanya bersama Kristus yang telah bangkit kembali dan Ia akan membangkitkan mereka pada akhir zaman (bdk. Yoh 6:39-40). Seperti kebangkitan-Nya, demikian pula kebangkitan kita adalah karya Tritunggal Mahakudus (KGK, 989).
Santo Paulus memang menggambarkan kebangkitan orang mati sebagai karya Allah Tritunggal. Signifikansi dari pembaptisan dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus adalah:
“… kamu tidak hidup dalam daging, melainkan dalam Roh, jika memang Roh Allah tinggal di dalam kamu. Tetapi jika orang tidak memiliki Roh Kristus, ia bukan milik Kristus. Tetapi jika Kristus ada di dalam kamu, maka tubuh memang mati karena dosa, tetapi roh adalah kehidupan oleh karena pembenaran. Jika Roh Dia, yang membangkitkan Yesus dari antara orang mati, tinggal di dalam kamu, maka Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya yang tinggal di dalam kamu” (Rm 8:9-11).
Santo Paulus juga menulis bahwa Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat, “yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya” (Flp 3:21). Ada banyak lagi acuan kepada kebangkitan yang dapat kita temukan dalam surat-surat Santo Paulus dan khotbah-khotbahnya yang terdapat dalam ‘Kisah Para Rasul’.
Kitab Wahyu menyebutkan dua macam kebangkitan: (1) suatu kebangkitan para martir yang akan memerintah di atas muka bumi bersama Kristus untuk masa selama seribu tahun (Why 20:4-6), dan (2) suatu kebangkitan umum (Why 20:11-15). Pemahaman Gereja Katolik dalam hal ini adalah untuk tidak menafsirkan ayat-ayat ini secara harfiah, khususnya juga tentang pemerintahan seribu tahun. Sejumlah orang (tokoh) dalam Gereja perdana – dan juga para anggota Kristen fundamentalis pada zaman kita ini – terjerumus dalam kesalahan ini. Kitab Wahyu penuh dengan lambang-lambang, dan sulitlah untuk memahami Kitab Wahyu ini tanpa memanfaatkan buku tafsir yang baik dan mutakhir tentang Kitab Wahyu ini. Cukuplah untuk dikatakan di sini, bahwa Kristus sebenarnya memproklamasikan kemenangan berjaya Kristus dan Gereja-Nya, dan kebenaran tentang kebangkitan orang mati. Kitab Wahyu tidak dapat dipahami sebagai sebuah bukan ramalan tentang masa depan dan akhir zaman.
Bagi umat Kristiani, puncak pemahaman tentang kebangkitan dapat ditemukan dalam Kebangkitan Yesus. Dalam narasi-narasi Injil yang berkaitan dengan kebangkitan-Nya, kita dapat memperoleh petunjuk-petunjuk bagaimana kiranya kebangkitan kita sendiri. Sekadar petunjuk, karena banyak sekali pertanyaan tentang kebangkitan tidak dapat dijawab dalam hidup ini. “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: Semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia” (1Kor 2:9; bdk. Yes 64:4). Walaupun melampaui gambaran dan pemahaman kita, kita masih dapat menerima ‘kebangkitan badan’ dalam iman. Seperti dalam sebuah petikan kata-kata Santo Iraeneus di awal tulisan ini, penyambutan Ekaristi ke dalam diri kita sudah memberi kepada kita sebuah gambaran terlebih dahulu (Inggris: foretaste) mengenai perubahan rupa badan (transfigurasi) kita oleh Kristus (lihat Flp 3:21; KGK, 1000).
Ajaran Resmi Gereja. Gereja telah memelihara serta menjaga kebenaran tentang kebangkitan orang mati yang tercatat dalam Kitab Suci dalam banyak Credo-nya, pernyataan-pernyataan Konsili dan surat-surat Ensiklik para Paus dari zaman ke zaman.
Sebuah dokumen Konsili Vatikan II, adalah ‘Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium tentang Gereja (21 November 1964)’, khususnya butir 48, membahas masalah ‘kebangkitan badan’ ini dengan cukup komprehensif sebagai ‘pendahuluan’ dari bab tujuh (butir 48-51) dokumen itu dengan judul ‘Sifat Eskatologi Gereja Musafir dan Persatuannya dengan Gereja di Surga’.
Sebuah dokumen Konsili Vatikan II lainnya, ‘Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini (7 Desember 1965)’, mengatakan seperti berikut:
“Kita tidak mengetahui, bilamana dunia dan umat manusia akan mencapai kesudahannya (lihat Kis 1:7); tidak tahu pula, bagaimana alam semesta akan diubah. Dunia seperti yang yang kita kenal sekarang, dan telah rusak akibat dosa, akan berlalu (lihat 1Kor 7:31, Santo Iraeneus). Tetapi kita terima ajaran, bahwa Allah menyiapkan tempat tinggal baru dan bumi yang baru, kediaman keadilan (lihat 2Kor 5:2; 2Ptr 3:13)” [Gaudium et Spes, 39].
Walaupun Gereja perdana dengan jelas mengajar tentang kebangkitan orang mati, pengajaran itu tidak disertai dengan penjelasan terinci. Kata-kata seperti ‘daging’ dan ‘tubuh’ digunakan untuk menyampaikan suatu ide, namun dipahami bahwa dalam kebangkitan itu badan/tubuh orang akan dimuliakan seperti tubuh Yesus sendiri. Akan tetapi, dalam artian tertentu tubuh ini akan sama dengan tubuh yang kita miliki sekarang. Ini adalah ajaran resmi Gereja sejak semula. Dalam Konsili Lateran IV (1215), digarisbawahi bahwa “semua orang akan bangkit … dengan tubuhnya sendiri, yang sekarang mereka miliki. Tetapi tubuh mereka akan diubah “sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia’ (Flp 3:21), ke dalam “tubuh rohaniah” (1Kor 15:44) [lihat KGK, 999].
Bangkit bersama Kristus (KGK 1002, 1003 dan 1004). Kita akan dibangkitkan oleh Kristus pada akhir zaman, namun sebenarnya kita telah bangkit bersama Dia dalam artian tertentu. Oleh Roh Kudus, kehidupan Kristiani di dunia ini sudah merupakan partisipasi pada kematian dan kebangkitan Kristus:
… karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga melalui kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati. … Karena itu, apabila kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah hal-hal yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah” (Kol 2:12; 3:1).
Umat beriman telah disatukan dengan Kristus melalui Pembaptisan dan karena itu sekarang juga telah mengambil bagian dalam kehidupan surgawi Kristus yang telah dibangkitkan (lihat Flp 3:20). Tetapi kehidupan ini “tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah” (Kol 3:3). “… di dalam Kristus Yesus Ia ttelah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di surga” (Ef 2:6). Sebagai orang yang telah dipuaskan dengan tubuh-Nya di dalam Ekaristi, kita sudah termasuk Tubuh Kristus. Kalau kita dibangkitkan pada akhir zaman, kita pun akan menyatakan diri bersama dengan Dia dalam kemuliaan. Santo Paulus menulis: “Apabila Kristus, yang adalah hidup kita, tampak kelak, kamu pun akan tampak bersama dengan Dia dalam kemuliaan” (Kol 3:4).
Sambil merindukan hari itu (akhir zaman), jiwa dan badan umat beriman sudah mengambil bagian dalam ‘martabat Kristus’. Karena itu kita harus memelihara tubuh kita dengan hormat, tetapi juga tubuh orang lain, terlebih mereka yang menderita: “… tubuh bukanlah untuk percabulan, melainkan untuk Tuhan, dan Tuhan untuk tubuh. Allah, yang membangkitkan Tuhan, akan membangkitkan kita juga oleh kuasa-Nya. Tidak tahukah kamu bahwa tubuh kamu semua adalah anggota Kristus? Atau tidak tahukah kamu bahwa tubuh kamu semua adalah bait Roh Kudus yang tinggal di dalam kamu, roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah – dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri … Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1Kor 6:13-15.19-20).
Catatan penutup. Seperti halnya dengan Kebangkitan Yesus, iman Kristiani akan kebangkitan badan sejak awal bertemu dengan salah paham dan perlawanan. Santo Augustinus (354-430) mengatakan: “Tidak ada satu topik pun dalam iman Kristiani yang mengalami lebih banyak perlawanan daripada yang berhubungan dengan kebangkitan daging” (KGK, 996).
Pada saat kematian, di mana jiwa berpisah dari badan, tubuh manusia mengalami kehancuran, sedangkan jiwanya melangkah menuju Allah dan menunggu saat, di mana jiwa itu sekali kelak akan disatukan kembali dengan tubuhnya. Dalam kemahakuasaan-Nya, Allah akan menganugerahkan kepada tubuh kita secara definitif kehidupan yang abadi, waktu Dia menyatukannya lagi dengan jiwa kita berkat kebangkitan Yesus (KGK, 997). Kebangkitan orang-orang yang telah meninggal ini berkaitan dengan akhir zaman, pada waktu Yesus Kristus datang kembali (lihat Yoh 6:39-40.44.54; 11:24; Lumen Gentium 48; KGK, 1001):
Sebab pada waktu aba-aba diberi pada waktu pemimpin malaikat berseru dan sangkakala Allah berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari surga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit” (1Tes 4:16).
Kebangkitan Yesus adalah dasar (keystone) dari iman-kepercayaan Gereja perdana. Para pengarang Perjanjian Baru menangkap bagi kita dalam tulisan-tulisan mereka pengalaman iman komunitas Kristiani pada masa itu. Secara eksplisit Paulus mengatakan: “… yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci; bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci” (1Kor 15:3-4). Ketika Paulus menulis ini (circa tahun 56), cerita tentang Kebangkitan telah disusun dalam berbagai credo atau pengakuan iman.
Dalam Perjanjian Baru, Kebangkitan Yesus dilihat sebagai Pengangkatan-Nya, pemulian-Nya dan kembali-Nya Dia kepada Bapa surgawi. Kebangkitan adalah konfirmasi akhir dari misi Yesus. Mula-mula para murid belajar dari kubur yang kosong, setelah itu Yesus menampakkan diri kepada mereka dalam keadaan-Nya yaang sudah dimuliakan. Ia bukan hantu atau suatu kehadiran spiritual. Oleh kebangkitan-Nya, Yesus menggenapi pengharapan Mesianis orang-orang Yahudi dan memberi suatu efek perubahan yang besar terhadap para murid-Nya. Sejak saat itu mereka tidak takut lagi, mereka siapa untuk mewartakan Kabar Baik kepada dunia. Tinggal diberdayakan saja oleh Roh-Nya pada hari Pentakosta.
Kebangkitan Yesus memungkinkan suatu kehadiran-Nya yang lebih mendalam dalam diri para murid-Nya, melalui Roh-Nya. Sekarang para murid-Nya melihat kehidupan-Nya di atas muka bumi dalam terang Kebangkitan-Nya, dan inilah pendekatan yang digunakan oleh para pengarang Injil. Akhirnya, Kebangkitan-Nya digabungkan dengan kebangkitan para pengikut-Nya: “… jikalau kita percaya bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa dengan perantaraan Yesus, Allah akan mengumpulkan bersama-sama dengan Dia mereka yang telah meninggal” (1Tes 4:14).
Kebangkitan Yesus memberi jaminan kepada orang-orang Kristiani survival dari manusia secara utuh, artinya tubuh dan jiwa. Sekali lagi hal ini merupakan konfirmasi untuk sekali dan selamanya bahwa harapan-harapan dan impian-impian akan kehidupan kekal bukanlah omong-kosong. Sepanjang sejarah, orang-orang telah mengharapkan dan merencanakan segala sesuatu untuk kehidupan setelah kematian. Walaupun terkadang timbul rasa ragu, Allah Bapa menjawab keragu-raguan kita itu dengan Kebangkitan Putera-Nya. Dengan jaminan seperti ini, dengan penuh sukacita kita dapat menantikan kebangkitan kita sendiri.
Adalah suatu keniscayaan bagi semua orang yang telah meninggal untuk kelak bangkit: “… saatnya akan tiba bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya, dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum” (Yoh 5:28-29; bdk. Dan 12:2; lihat KGK, 998).
Pendalaman:
1. Mengapa Kebangkitan Yesus bersifat sentral dalam iman Kristiani?
2. Bacalah 1Kor 15 dan diskusikanlah konsep kebangkitan orang mati yang termuat dalam surat pertama Santo Paulus kepada Jemaat di Korintus ini dengan saudara-saudarimu sekomunitas!
3. Bacalah dari Injil salah satu cerita tentang penampakan-penampakan Yesus yang sudah bangkit, misalnya ‘Yesus menampakkan diri di jalan ke Emaus’ (Luk 24: 13-35), kemudian ceritakanlah kembali kepada teman diskusimu apa yang baru anda baca tadi disertai kesan-kesan anda sendiri!
Cilandak, 23 November 2009
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
*) Disusun khusus atas permintaan seorang saudari Fransiskanes.
[1] Berbagai narasi sekitar kebangkitan Yesus dapat dibaca dalam keempat kitab Injil.
[2] Nama lengkapnya adalah Quintus Septimius Florens Tertullian. Dia lahir di Karthago, Afrika Utara. Seorang apologis, teolog dan kontroversialis kelas wahid. Putera seorang perwira Romawi. Dibesarkan sebagai seorang kafir, dia belajar ilmu hukum dan sastra Latin serta Yunani. Dia juga menjadi pengacara terkenal di Roma. Merasa kesal dengan kemerosotan sosial, dia menjadi seorang Kristiani (tahun 195/196), barangkali karena terpengaruh oleh kesetiaan-iman para martir Kristiani. Dia kembali ke Karthago. Di sana dia menjadi pembela agama Kristiani yang ulung dan juga mengajar. Menurut Santo Hieronimus, Tertulianus ditahbiskan sebagai seorang imam di sekitar tahun 200. Namun karena tidak tahan melihat Gereja Afrika yang mengalami kekacauan, pada tahun 211 Tertulianus ikut gerakan bid’ah Montanist yang menekankan suatu moralitas yang ketat dan gaya hidup yang keras. Namun, baginya gerakan Montanist pun belum cukup keras. Oleh karena itu dia keluar dan mendirikan kelompoknya sendiri yang dinamakan Tertullianist. Meskipun ketika menjadi anggota gerakan Montanist dia menulis ajaran yang melawan Gereja Katolik, Tertulianus tetap memegang beberapa ajaran ortodoks Gereja. Tulisan-tulisannya yang melawan Gereja tidak dapat digunakan, hanya tulisan-tulisannya yang ortodoks saja yang boleh digunakan dalam Gereja. Tulisan-tulisannya sebagian besar ditulis dalam bahasa Latin. Sumber: Matthew Bunson, Our Sunday Visitor’s ENCYCLOPEDIA OF CATHOLIC HISTORY, Huntington, Indiana: Our Sunday Visitor, Inc., 1995, hal. 818-819.
[3] Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas perkembangan pemikiran dan kepercayaan akan kebangkitan badan dalam Perjanjian Lama.