HOMILI P. AMANUEL MESGUN, OFM PADA PERAYAAN EKARISTI – BRAZIL, 27 OKTOBER 2011
Bacaan Pertama: Rm 8:31b-39; Mazmur Tanggapan: Mzm 109:21-22,26-27,30-31; Bacaan Injil: Luk 13:31-35
Bacaan Pertama: Rm 8:31b-39; Mazmur Tanggapan: Mzm 109:21-22,26-27,30-31; Bacaan Injil: Luk 13:31-35
Bacaan Pertama
Pada bacaan hari ini Santo Paulus mendorong kita agar menjadi kudus, dengan mengatakan: “kita lebih daripada orang-orang yang menang, melalui Dia yang telah mengasihi kita…. Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita? Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimana mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia? Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah yang membenarkan mereka!” (Rm 8:37, 31-33). Bukankah kekudusan berarti persatuan dengan Allah? Dan persatuan dengan Allah ini dimulai dengan iman, yang adalah anugerah dari Allah dan berakhir dalam kehidupan kekal: suatu persatuan dengan Allah yang stabil dan tidak dapat dibalikkan kembali. Hal ini tidak berarti kehidupan yang suci tidak membutuhkan perjuangan, karena kehidupan akan selalu mengambil bagian dalam “penindasan atau kesengsaraan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang” (lihat Rm 8:35). Kita harus percaya akan kasih Allah, baik kasih-Nya kepada kita dan kasih yang ditanam oleh-Nya dalam hati kita. Apapun yang melawan/bertentangan dengan kekudusan kita harus dipandang dalam suatu terang yang positif, sebagai sebuah instrumen yang digunakan Allah untuk memperdalam persatuan/kesatuan dan kasih yang seharusnya ada antara kita dan Dia. Kristus menggunakan salib, karena hanya melalui kematianlah Kristus menyelamatkan kita dan mencapai kemuliaan kebangkitan.
Dalam perjuangan demi memelihara diri kita agar tetap suci, jika kita membandingkan apa yang harus kita lakukan dengan peranan Allah dalam pengudusan kita, maka kita hanya mempunyai satu peran yang kecil untuk dimainkan. Yang kita butuhkan hanyalah membuka diri kita sendiri terhadap tindakan pengudusan Allah: membuka diri kita bagi kasih yang selalu lebih kuat daripada apa saja yang ada. Kasih itu lebih kuat daripada “maut, maupun hidup, baik malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang”. “Kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain” tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah (lihat Rm 8:38-39). Apabila pernyataan bahwa: “Allah yang membenarkan!” (Rm 8:33) itu benar, maka urusan kita satu-satunya adalah keharusan untuk melakukan kehendak Bapa.
Bacaan Injil
Dalam Injil hari ini kita melihat bahwa oposisi dari pihak Herodus tidak mampu menghilangkan rasa dahaga kasih Yesus bagi misi-Nya. Di bagian lain Injil kita membaca bahwa Herodus ingin bertemu dengan Yesus karena dia ingin menyaksikan mukjizat-mukjizat-Nya (lihat Luk 9:9). Dalam bacaan hari ini kita melihat bahwa “pada waktu itu datanglah beberapa orang Farisi dan berkata kepada Yesus, ‘Pergilah, tinggalkanlah tempat ini, karena Herodes hendak membunuh Engkau’.” (Luk 13:31). Mungkinkah bukan Herodus yang ingin membunuh Yesus, melainkan orang-orang Farisi itu sendiri yang memang mempunyai alasan-alasan yang berbeda-beda karena tidak menginginkan Yesus berada di Yerusalem? Barangkali. Satu hal yang pasti: Yesus tidak takut terhadap siapa pun, tidak Herodes atau pun mereka yang menginginkan diri-Nya tidak berada di Yerusalem. Yesus mendeklarasikan kebenaran, tentang Herodus dan tentang diri-Nya sendiri, ketika Dia berkata:“Pergilah dan katakanlah kepada si rubah itu: Aku mengusir setan dan menyembuhkan orang, pada hari ini dan besok, dan pada hari yang ketiga Aku akan selesai. Tetapi hari ini dan besok dan lusa aku harus meneruskan perjalanan-Ku, sebab tidak semestinya seorang nabi dibunuh di luar Yerusalem”(Luk 13:32-33). Kita juga membutuhkan keberanian dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan masalah-masalah, apakah semua itu bersifat alamiah atau disebabkan oleh orang-orang lain. Kita membutuhkan keberanian Yesus, untuk mampu berkata “hari ini, besok dan pada hari berikutnya” aku akan melakukan tugasku. Aku akan memberikan kesaksian bagi Kristus, bahkan ketika hal itu berarti kemartiran.
Semangat Assisi (The Spirit of Assisi)
Pada hari ini, seluruh Gereja Katolik, dan teristimewa kita para Fransiskan, merayakan “Spirit of Assisi”. The Spirit of Assisi, yang dimulai oleh Beato Yohanes Paulus II, berusia genap 25 tahun hari ini. Hari ini kita merayakan peristiwa itu karena, seperti diingatkan oleh Sri Paus sendiri 25 tahun lalu: “apa yang pada suatu ketika menjadi program Fransiskus menjadi suatu program untuk hari ini … Sebagaimana halnya pada masa Fransiskus, Injil adalah kuasa Allah untuk keselamatan semua orang yang percaya. Sungguh betapa besar kebutuhan dunia kita pada hari ini akan kuasa penyelamatan ini”.
Semangat Assisi adalah tanggapan Fransiskan bagi laki-laki dan perempuan hari ini.
Semangat Assisi:
Diterjemahkan dari terjemahan bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia oleh: Sdr. F.X. Indrapradja, OFS.
Pada bacaan hari ini Santo Paulus mendorong kita agar menjadi kudus, dengan mengatakan: “kita lebih daripada orang-orang yang menang, melalui Dia yang telah mengasihi kita…. Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita? Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimana mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia? Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah yang membenarkan mereka!” (Rm 8:37, 31-33). Bukankah kekudusan berarti persatuan dengan Allah? Dan persatuan dengan Allah ini dimulai dengan iman, yang adalah anugerah dari Allah dan berakhir dalam kehidupan kekal: suatu persatuan dengan Allah yang stabil dan tidak dapat dibalikkan kembali. Hal ini tidak berarti kehidupan yang suci tidak membutuhkan perjuangan, karena kehidupan akan selalu mengambil bagian dalam “penindasan atau kesengsaraan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang” (lihat Rm 8:35). Kita harus percaya akan kasih Allah, baik kasih-Nya kepada kita dan kasih yang ditanam oleh-Nya dalam hati kita. Apapun yang melawan/bertentangan dengan kekudusan kita harus dipandang dalam suatu terang yang positif, sebagai sebuah instrumen yang digunakan Allah untuk memperdalam persatuan/kesatuan dan kasih yang seharusnya ada antara kita dan Dia. Kristus menggunakan salib, karena hanya melalui kematianlah Kristus menyelamatkan kita dan mencapai kemuliaan kebangkitan.
Dalam perjuangan demi memelihara diri kita agar tetap suci, jika kita membandingkan apa yang harus kita lakukan dengan peranan Allah dalam pengudusan kita, maka kita hanya mempunyai satu peran yang kecil untuk dimainkan. Yang kita butuhkan hanyalah membuka diri kita sendiri terhadap tindakan pengudusan Allah: membuka diri kita bagi kasih yang selalu lebih kuat daripada apa saja yang ada. Kasih itu lebih kuat daripada “maut, maupun hidup, baik malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang”. “Kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain” tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah (lihat Rm 8:38-39). Apabila pernyataan bahwa: “Allah yang membenarkan!” (Rm 8:33) itu benar, maka urusan kita satu-satunya adalah keharusan untuk melakukan kehendak Bapa.
Bacaan Injil
Dalam Injil hari ini kita melihat bahwa oposisi dari pihak Herodus tidak mampu menghilangkan rasa dahaga kasih Yesus bagi misi-Nya. Di bagian lain Injil kita membaca bahwa Herodus ingin bertemu dengan Yesus karena dia ingin menyaksikan mukjizat-mukjizat-Nya (lihat Luk 9:9). Dalam bacaan hari ini kita melihat bahwa “pada waktu itu datanglah beberapa orang Farisi dan berkata kepada Yesus, ‘Pergilah, tinggalkanlah tempat ini, karena Herodes hendak membunuh Engkau’.” (Luk 13:31). Mungkinkah bukan Herodus yang ingin membunuh Yesus, melainkan orang-orang Farisi itu sendiri yang memang mempunyai alasan-alasan yang berbeda-beda karena tidak menginginkan Yesus berada di Yerusalem? Barangkali. Satu hal yang pasti: Yesus tidak takut terhadap siapa pun, tidak Herodes atau pun mereka yang menginginkan diri-Nya tidak berada di Yerusalem. Yesus mendeklarasikan kebenaran, tentang Herodus dan tentang diri-Nya sendiri, ketika Dia berkata:“Pergilah dan katakanlah kepada si rubah itu: Aku mengusir setan dan menyembuhkan orang, pada hari ini dan besok, dan pada hari yang ketiga Aku akan selesai. Tetapi hari ini dan besok dan lusa aku harus meneruskan perjalanan-Ku, sebab tidak semestinya seorang nabi dibunuh di luar Yerusalem”(Luk 13:32-33). Kita juga membutuhkan keberanian dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan masalah-masalah, apakah semua itu bersifat alamiah atau disebabkan oleh orang-orang lain. Kita membutuhkan keberanian Yesus, untuk mampu berkata “hari ini, besok dan pada hari berikutnya” aku akan melakukan tugasku. Aku akan memberikan kesaksian bagi Kristus, bahkan ketika hal itu berarti kemartiran.
Semangat Assisi (The Spirit of Assisi)
Pada hari ini, seluruh Gereja Katolik, dan teristimewa kita para Fransiskan, merayakan “Spirit of Assisi”. The Spirit of Assisi, yang dimulai oleh Beato Yohanes Paulus II, berusia genap 25 tahun hari ini. Hari ini kita merayakan peristiwa itu karena, seperti diingatkan oleh Sri Paus sendiri 25 tahun lalu: “apa yang pada suatu ketika menjadi program Fransiskus menjadi suatu program untuk hari ini … Sebagaimana halnya pada masa Fransiskus, Injil adalah kuasa Allah untuk keselamatan semua orang yang percaya. Sungguh betapa besar kebutuhan dunia kita pada hari ini akan kuasa penyelamatan ini”.
Semangat Assisi adalah tanggapan Fransiskan bagi laki-laki dan perempuan hari ini.
Semangat Assisi:
- adalah suatu sikap ekumenis yang mengundang “semua orang, semua bangsa, semua ras dan bahasa, semua negara dan pribadi di seluruh muka bumi”, di mana saja mereka berada dalam dunia, untuk mengakui bahwa “setiap hal yang baik adalah milik Tuhan Allah, yang Mahatinggi”. Suatu pencarian penuh semangat berapi-api akan perdamaian, pertama-tama antara agama-agama yang ada di dunia.
- adalah suatu praktek doa yang tetap dan berkesinambungan agar dapat memperoleh karunia perdamaian dari Allah, dan praktek kontemplasi, agar dapat melakukan discernment atas kehadiran dan tindakan Sabda Allah yang kreatif dan dari Roh-Nya dalam setiap inisiatif – siapa pun yang mempromosikannya – bagi tercapainya perdamaian, rekonsiliasi dan persaudaraan.
- mengumpulkan bersama semua agama, dan menghadirkan Gereja Katolik sebagai pelayan untuk terciptanya dialog, membuat terang kenyataan bahwa agama-agama memiliki kuasa dalam kelemahan mereka: kuasa yang bukan datang dari kekuasaan yang kejam dan kasar tanpa perikemanusiaan, melainkan datang dari doa dan persuasi spiritual.
- menentang kekerasan, menentang penyalahgunaan agama sebagai suatu alasan untuk melakukan kekerasan. Hal ini menunjukkan bahwa kesetiaan seseorang pada keyakinan agamanya sendiri, di atas segalanya kesetiaan pada Kristus yang tersalib dan bangkit, tidak diungkapkan dalam kekerasan dan intoleransi, melainkan dalam rasa hormat yang tulus terhadap orang lain, dalam dialog, dalam suatu proklamasi yang menarik bagi terciptanya kebebasan/kemerdekaan, pemikiran dan komitmen pada perdamaian dan rekonsiliasi.
- Semangat Assisi dirayakan dengan empat pengalaman yang sama-sama dimiliki oleh semua agama:
- Doa = Semua orang diundang untuk melakukan sesuatu demi tercapainya perdamaian. Kontribusi spesifik dari orang-orang Kristiani dan umat beriman adalah doa.
- Keheningan = Keheningan adalah mendengarkan antara kita dan Allah, suatu dialog antara kita sendiri.
- Berpuasa = Suatu puasa untuk menjamin bahwa surplus negara-negara kaya mengisi kelangkaan yang ada dalam negara-negara miskin.
- Ziarah = Suatu perjalanan maju dalam dialog, karena manusia pada dirinya adalah seorang peziarah dalam dunia yang tercipta, memuji-muji Penciptanya.
- Pelangi = sebuah panggilan kepada persaudaraan.
- Angin = Roh yang berbicara kepada semua orang.
- Terang = terang yang diberikan kepada orang-orang muda, yang akan mereka bawa di seluruh dunia.
- Pohon zaitun = lambang perdamaian.
Diterjemahkan dari terjemahan bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia oleh: Sdr. F.X. Indrapradja, OFS.