Pada zaman modern ini, terutama dalam kota besar seperti Jakarta ini, terasa ada begitu banyak hal yang harus kita lakukan, sedangkan waktu yang tersedia terasa terlalu sedikit. Hal ini dirasakan teristimewa oleh orangtua yang dua-duanya harus bekerja mencari nafkah dan sekaligus mempunyai anak (-anak) yang masih kecil-kecil. Begitu sedikit waktu yang dapat mereka sediakan untuk berkumpul dengan anak-anak mereka, sehingga tidak jarang anak-anak itu sesungguhnya menjadi anak-anak oma atau opa, malah bisa jadi anak dari si baby sitter yang merawat. Kalaupun ada waktu yang tersedia, kedua orangtua sudah nyaris kehabisan energi. Dalam situasi hangar-bingar kota metropolitan (atau megapolitan?) sangat mudahlah bagi kita menjadi luput mendengar suara Yesus yang lemah lembut, yang memanggil kita setiap hari.
BERBICARALAH, TUHAN, SEBAB HAMBA-MU MENDENGARKAN
Pada zaman modern ini, terutama dalam kota besar seperti Jakarta ini, terasa ada begitu banyak hal yang harus kita lakukan, sedangkan waktu yang tersedia terasa terlalu sedikit. Hal ini dirasakan teristimewa oleh orangtua yang dua-duanya harus bekerja mencari nafkah dan sekaligus mempunyai anak (-anak) yang masih kecil-kecil. Begitu sedikit waktu yang dapat mereka sediakan untuk berkumpul dengan anak-anak mereka, sehingga tidak jarang anak-anak itu sesungguhnya menjadi anak-anak oma atau opa, malah bisa jadi anak dari si baby sitter yang merawat. Kalaupun ada waktu yang tersedia, kedua orangtua sudah nyaris kehabisan energi. Dalam situasi hangar-bingar kota metropolitan (atau megapolitan?) sangat mudahlah bagi kita menjadi luput mendengar suara Yesus yang lemah lembut, yang memanggil kita setiap hari.
Cerita tentang Samuel muda
Masih ingatkah anda akan cerita tentang Samuel muda yang melayani TUHAN (YHWH) di bawah asuhan/pengawasan imam Eli? Malam itu Samuel telah tidur di dalam Bait Suci YHWH, tempat tabut Allah. Sampai tiga kali YHWH memanggil Samuel, dan anak muda itu mengira yang memanggilnya adalah imam Eli. Setelah panggilan untuk ketiga kalinya itu mengertilah imam Eli bahwa yang memanggil Samuel adalah YHWH sendiri. Sebab itu berkatalah Eli kepada Samuel: “Pergilah tidur dan apabila Ia memanggil engkau, katakanlah: Berbicaralah, YHWH, sebab hamba-Mu ini mendengar.” Maka pergilah Samuel dan tidurlah ia di tempat tidurnya. Kemudian YHWH memang memanggil Samuel seperti yang sudah-sudah: “Samuel!, Samuel!” Dan Samuel menjawab: “Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar” (1Sam 3:1-10). Untuk cerita selanjutnya, baiklah anda membaca dan merenungkannya sendiri. Renungkanlah apa yang dikatakan oleh imam Eli kepada Samuel setelah Samuel menceritakan kepadanya apa yang disampaikan YHWH kepadanya: “Dia YHWH, biarlah diperbuat-Nya apa yang dipandang-Nya baik.” (1Sam 3:18).
Dari cerita ini kita dapat melihat bahwa tidak mudahlah bagi kita untuk mengenal(i) suara Allah (Bapa, Yesus, atau Roh Kudus).
Cara Allah berbicara kepada kita – nabi Elia di Gunung Horeb
Bagaimana Allah berbicara kepada kita? Tentunya lebih sering Bapa surgawi akan memimpin kita tidak dengan cara-cara yang dramatis, melainkan dengan cara-cara yang biasa-biasa saja (tidak luarbiasa), sesuai dengan irama sehari-hari kehidupan kita. Allah mungkin saja berbicara melalui pasangan hidup kita, sebuah buku yang sedang kita baca, seorang sahabat, sebuah homili pada Misa hari Minggu, matahari yang sedang terbit, bahkan bisa juga melalui sebuah program televisi. Atau, kita dapat mendengar suara-Nya selagi kita mencari Dia dalam keheningan doa, selagi kita ikut merayakan Ekaristi dan menerima Komuni Kudus, atau ketika kita sedang membaca dan merenungkan sabda-Nya dalam Kitab Suci. Sekarang, marilah kita kembali melihat Kitab Suci. Kali ini cerita mengenai nabi Elia (1Raj 19:1-18).
Melarikan diri dari niat Ratu Izebel untuk membunuhnya, nabi Elia sampai di Bersyeba, yang termasuk wilayah Yehuda, dan meninggalkan bujangnya di sana. Kemudian ia masuk ke padang gurun sehari perjalanan jauhnya. Nabi Elia sudah berada dalam kondisi yang melelahkan dan tertekan nyaris depresi, siap untuk menyerah secara total kepada keadaan yang dihadapinya. Dia ingin mati saja karena memandang dirinya tak berguna: “Sekarang, ya YHWH, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik daripada nenek moyangku” (1Raj 19:4). Sesudah itu dia berbaring dan tidur di bawah pohon arar. Setelah diberi makan berupa roti bakar dan juga minum air oleh ‘seorang’ malaikat YHWH, nabi Elia pun makan dan minum dan berbaring lagi. Sang malaikat datang untuk kedua kalinya dan menyuruh sang nabi untuk makan lagi sebagai persiapan untuk sebuah perjalanan sangat jauh yang harus dilakukan sang nabi, yaitu ke gunung Horeb. Lalu nabi Elia berjalan menuju gunung Horeb selama 40 hari 40 malam. Disuruh keluar dari gua dan berdiri diatas gunung di hadapan YHWH, nabi Elia tidak menemukan TUHAN dalam angin besar dan kuat, tidak ada pula TUHAN dalam gempa, juga tidak ada TUHAN dalam api yang datang, melainkan TUHAN ada dalam angin sepoi-sepoi basa, dan segera sesudah Elia mendengarnya, dia menyelubungi mukanya dan berdiri di pintu gua itu. Maka datanglah suara kepadanya yang berbunyi: Apa kerjamu di sini, hai Elia?” (1Raj 19:13).
Apakah suara yang lemah lembut ini didengar oleh Elia dengan telinganya, atau sesuatu yang dirasakan oleh Elia dalam hatinya? Kita tidak pernah akan sungguh-sungguh mengetahuinya, dan dalam artian tertentu hal ini memang tidak sangat penting. Yang penting adalah bahwa Elia mengenali suara itu sebagai suara Allah. Sang nabi mampu untuk merasakan kehadiran Allah, “mendengar” suara-Nya, dan memberi tanggapan terhadap sabda Allah yang didengarnya itu.
Perumpamaan tentang Gembala yang Baik
Salah satu perumpamaan Yesus yang paling menyentuh hati adalah perumpamaan tentang gembala yang baik. Domba-domba bukanlah jenis hewan yang paling cerdik, dan para gembala seringkali dipandang rendah dalam masa Yesus hidup di dunia. Namun demikian, seekor domba
mengenal suara gembalanya. Apabila kawanan-kawanan domba yang berbeda dicampur dalam satu kandang, maka masing-masing domba itu akan mengikuti suara gembalanya ketika pintu kandang itu dibuka. Ketika si gembala pergi ke luar, maka “domba-domba itu mengikuti dia, karena mereka mengenal suaranya” (Yoh 10:4).
Seperti seekor domba yang mendengarkan dengan penuh perhatian suara gembalanya, kita masing-masing juga harus mengenal(i) suara Allah. Kita mungkin saja adalah pribadi yang paling pintar, penuh bakat, atau orang kaya dalam RT kita. Atau kita adalah orang yang lambat memahami sesuatu, tidak cukup dalam talenta atau miskin secara materiil. Semua itu tidak ada bedanya di mata Yesus. Yang penting bagi Yesus adalah, bahwa kita mengenal suara-Nya dan mengikuti-Nya. Seperti seekor domba muda yang membutuhkan waktu untuk dapat mengenal suara gembalanya, demikian pula kita membutuhkan waktu untuk mempelajari suara sang Gembala Baik. Semakin banyak kita berupaya mendengarkan suara-Nya, semakin familiar pula jadinya.
Allah berbicara kepada para kudus
Sebagai Fransiskan, kita tentunya tidak pernah akan melupakan bagaimana Fransiskus mendengar suara Yesus yang tersalib yang ditujukan kepada dirinya di gereja San Damiano. Baiklah saya kutip seluruhnya dari “Legenda Maior” tulisan Santo Bonaventura (terjemahan Pater Wahyo OFM):
Karena hamba Allah yang mahatinggi tidak mempunyai guru selain Kristus, maka dalam kemurahan hati-Nya Tuhan mau membuat dia mengalami betapa manisnya rahmat itu. Nah, ketika Fransiskus pada suatu hari ke luar hendak berenung di padang dan berjalan di dekat gereja San Damiano, yang terancam keruntuhan karena amat tuanya, maka ia merasa terdorong dari dalam untuk masuk ke dalam dan untuk berdoa. Ia bersujud di depan gambar Yang Tersalib dan sementara ia berdoa, ia diliputi dengan hiburan rohani yang berlimpah-limpah. Ketika ia dengan mata berlinang-linang memandang kepada salib Tuhan, maka didengarnya dengan telinganya sendiri suara dari atas salib itu, yang sampai tiga kali berkata: “Fransiskus, pergilah dan perbaikilah rumah-Ku, yang seperti kaulihat bobrok seluruhnya ini!” Fransiskus gemetar, karena ia seorang diri di dalam gereja, dan terperanjat mendengar suara yang amat ajaib itu. Dan karena di dalam hatinya ia merasai kekuatan ucapan Ilahi itu, maka ia kena pesona. Akhirnya ia sadar lagi dan segera ia menyiapkan diri untuk mentaati perintah itu; dan ia menyingsingkan lengannya untuk memenuhi perintah itu sepenuhnya, yaitu memperbaiki gereja jasmaniah. Padahal maksud yang utama ucapan itu lebih menyangkut Gereja, yang diperoleh Kristus dengan darah-Nya, sebagaimana kemudian dinyatakan Roh Kudus kepadanya dan sesudah itu diberitahukannya kepada saudara-saudara. Maka ia bangkit dan memperkuat dirinya dengan tanda salib, lalu dengan membawa gulungan kain lenan ia bergegas-gegas pergi ke kota yang bernama Foligno. Di sana dijualnya barang dagangannya dan kuda yang ditungganginya; dan selaku pedagang yang mujur ia mendapat harga yang layak. Lalu ia pulang ke Assisi dan masuk dengan hormat ke dalam gereja, yang seturut perintah yang diterimanya harus diperbaikinya itu. Di situ didapatinya imam yang miskin. Maka ia memberikan hormat sepantasnya kepadanya dan menawarkan uang itu kepadanya untuk perbaikan gereja dan untuk dapat memberikan sedekah kepada orang-orang miskin. Dimohonnya pula dengan, apa ia untuk sementara boleh tinggal sertanya di situ. Imam itu menyetujui ia tinggal di situ, tetapi karena takut akan orang tuanya maka uang itu ditolaknya. Namun sebagai penghina uang yang sejati Fransiskus melemparkan uang itu ke jendela; uang dipandangnya tidak berharga seperti debu yang terhempas saja” (LegMaj II:1).
Kemampuan untuk mendengar suara Allah (Bapa, Putera atau Roh Kudus) bukanlah monopoli Santo Fransiskus dari Assisi (Bapak Serafik kita). Dalam Perjanjian Lama kita melihat, bahwa di samping Samuel dan nabi Elia yang diceritakan di atas, kita dapat membaca bahwa Allah berbicara kepada Abraham (Kej 12:1-3), Musa (Kel 3:4-5 dsj.), dlsb. Dalam Perjanjian Baru, kita dapat melihat pengalaman Maria (Luk 1:26-38), Paulus dalam perjalanan ke Damsyik (Kis 9:1-9 dsj.) dll. Dalam sejarah Gereja para kudus juga mengalaminya. Beberapa contoh yang sering dibahas: Santo Antonius Pertapa [251-356] mendengar suara Allah, demikian pula dengan Santo Augustinus dari Hippo [354-430] dan Santa Teresa dari Lisieux [1873-1897]. Untuk ini semua bacalah tulisan saya yang berjudul: “MENDENGARKAN SABDA ALLAH” yang biasa saya pakai untuk membimbing kelompok-kelompok yang ingin mendalami Kitab Suci (kunjungilah situs/blog SANG SABDA http://sangsabda.wordpress.com). Saya akan memberi satu gambaran lagi, bagaimana Bapak Serafik kita mendengarkan suara/sabda Allah. Saya ambil sepenuhnya dari tulisan yang sebutkan di atas dengan sedikit perbaikan:
Pengalaman Santo Fransiskus dari Assisi (c.1181-1226). Dalam beberapa riwayat hidup Santo Fransiskus dari Assisi yang klasik, antara lain yang ditulis oleh Beato Thomas dari Celano dan Santo Bonaventura, maka kita dapat membaca cerita berikut ini. Pada suatu hari – pada hari pesta Rasul Matias, 24 Februari 1209 atau 1208 – ketika di gereja dibacakan Injil perihal bagaimana Tuhan Yesus mengutus murid-murid-Nya untuk mewartakan Kabar Baik, Fransiskus hadir di situ. Ayat-ayat Injil itu (Mat 10:7-12; Mrk 6:7-12 dan Luk 10:1-16) hanya ditangkap olehnya sekadarnya saja; maka sehabis perayaan Misa Kudus dia mohon dengan rendah hati kepada imam untuk menerangkan Injil itu. Maka imam menerangkan semuanya secara teratur kepadanya. Ketika Fransiskus mendengar, bahwa murid-murid Kristus tidak boleh membawa pundi-pundi, bekal atau roti atau tongkat, dan tidak boleh memakai kasut dan dua baju, tetapi harus mewartakan kerajaan Allah dan pertobatan, maka dia langsung berseru dengan gembira dalam roh Allah: “Inilah yang kukehendaki.” Katanya: “Inilah yang kucari, inilah yang ingin kulakukan dengan segenap hatiku.” Dengan dilimpahi sukacita Fransiskus lalu bergegas-gegas melaksanakan nasihat yang bermanfaat itu. Dengan tidak menangguhkan sedetik pun ia mulai mengerjakan bakti apa yang telah didengarnya. Serta-merta sepatu dilepaskan dari kakinya, tongkat dilepaskannya, dan ia puas dengan satu jubah; ikat pinggang dari kulit ditukarnya dengan seutas tali. Selanjutnya dia mengadakan jubah yang mempunyai bentuk salib , supaya segala bujukan setan dicegah. Jubah itu dibuatnya dari kain kasar, agar dengan itu daging dengan cacat-cacat dan nafsu-nafsunya disalibkan; dibuatnya pula amat miskin dan tanpa hiasan, sehingga sama sekali tidak diinginkan dunia. Thomas dari Celano[4] juga menulis: “Adapun lain-lainnya, yang telah didengarnya, hendak dilakukannya dengan sesaksama-saksamanya dan sepatut-patutnya. Sebab ia bukan pendengar yang tuli, melainkan segala apa yang didengarnya, disimpan dalam ingatannya yang mulia; dan ia pun berusaha menepatinya dengan cermat secara harfiah” (1Cel 22; bdk. Leg Maj III:1).
Santo Bonaventura juga bercerita, bahwa pada waktu Fransiskus sudah mempunyai seorang pengikut yaitu Bernardus dari Quintavalle, mereka pergi ke gereja Santo Nikolaus untuk memohon petunjuk kepada Tuhan Allah. Setelah memanjatkan doa, maka selaku pemuja Allah Tritunggal, Fransiskus membuka kita Injil sampai tiga kali dan memohon kepada Allah, agar Dia sudi memperkuat niat suci Bernardus dengan tiga kali pernyataan. Ketika kitab Injil dibuka untuk pertama kali, dijumpai ayat ini: “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin …..” (Mat 19:21). Pada waktu membuka untuk kedua kalinya: “Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan …..” (Luk 9:3). Pada ketiga kalinya: “Jika seseorang mau mengikut Aku, dia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat 16:24). Maka kata Fransiskus: “Inilah cara hidup dan anggaran dasar kita serta sekalian orang, yang hendak bergabung dengan persekutuan kita. Jadi, jika engkau hendak sempurna, pergilah dan laksanakanlah apa yang telah kaudengar” (Leg Maj III:3).
Orang kudus ini (Fransiskus) bukanlah seorang imam namun dia adalah seorang pribadi yang sungguh luar biasa, dan semua itu oleh karena dia mau mendengarkan Allah yang bersabda lewat nas-nas Kitab Suci. Ernest Renan [1823-1892] – seorang filsuf, sejarawan dan cendekiawan Perancis – menyebutnya sebagai orang Kristiani terakhir. Lenin [1870-1924] – pemimpin Bolsjewik di Rusia – sebelum meninggal dunia mengatakan bahwa seandainya Rusia memiliki 10 orang Fransiskus Assisi, maka tidak diperlukanlah revolusi Bolsjewik. Mahatma Gandhi [1869-1948] – Bapak bangsa India – mencintainya dan mencontoh peri kehidupannya. Orang-orang dari segala macam agama dan aliran kepercayaan berkumpul bersama di kota Assisi, guna mendoakan perdamaian dunia. Para pengikutnya terdiri dari orang-orang yang memiliki latar belakang yang beraneka ragam, yang kemudian banyak sekali (ratusan orang, termasuk lebih dari seratus orang awam Fransiskan) yang juga diangkat Gereja menjadi santo-santa dan beato-beata: ada ratu, ada raja; ada akademisi, ada pedagang; ada perdana menteri, ada seniman; ada miskin, ada kaya; ada bangsawan, ada rakyat jelata; ada imam, ada awam; ada suster ada bruder.
Para Fransiskan adalah keluarga rohani paling besar dalam Gereja Katolik. Franciscans International, sebuah LSM/NGO yang terdiri dari para religius dan awam Fransiskan, sampai saat penulisan ini adalah NGO Katolik satu-satunya di PBB yang para wakilnya mempunyai hak interupsi dalam sidang-sidang Unesco dll. seperti layaknya wakil negara anggota PBB. Cita-cita para Fransiskan (pengikut Fransiskus) sederhana saja, yaitu hidup Injili. Fransiskus juga mengatakan bahwa pimpinan (minister jenderal) sesungguhnya dari keluarga rohaninya adalah Roh Kudus sendiri. Banyak devosi Gereja (misalnya jalan salib, kandang natal, doa malaikat Tuhan dll.) berasal dari Fransiskus dan keluarganya. Banyak juga karya besar orang-orang kudus Gereja diinspirasikan oleh orang kudus yang bernama Fransiskus ini. Dalam abad ke 20 Tarekat OFM saja telah mempersembahkan 400 orang martir bagi Allah dan Gereja. Semua hal yang disebutkan ini menjadi realitas hanya disebabkan, bahwa pada satu titik dalam sejarah manusia seorang insan mau menjadi sederhana dan rendah hati di hadapan Allah, sehingga dengan demikian dimampukan oleh Roh-Nya untuk mendengarkan sabda/suara-Nya lewat ayat-ayat Kitab Suci, kemudian mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Janji Injil
Janji Injil adalah, bahwa karena Roh Kudus hidup dalam diri kita, maka kita semua dapat belajar untuk menjadi peka seperti Elia. Artinya, kita dapat mendengar suara-Nya!
Karena kita diciptakan Allah seturut gambar dan rupa-Nya, maka kita mempunyai kemampuan untuk memahami hal-hal pada suatu tingkatan yang manusiawi dan juga pada tingkatan yang rohani/spiritual. Kita memiliki suatu kapasitas spiritual yang memampukan kita untuk merasakan adanya suara dan gerakan-gerakan Allah dalam kehidupan kita. Kita dianugerahi kemampuan untuk menjadi intuitif, kemampuan untuk membayangkan, untuk berpikir, untuk mengingat, dan untuk membuat pilihan-pilihan. Setiap kemampuan ini mempunyai dimensi spiritual dan dimensi natural/alami. Dimensi spiritual ini menjadi hidup pada saat kita dibaptis, dan terus bertumbuh selagi kita semakin dekat dengan Yesus melalui doa-doa.
Idealnya, dimensi alami dan spiritual yang disebutkan di atas tadi harus bekerja sama guna menolong kita menghayati hidup yang penuh damai dan berbuah. Akan tetapi, pengalaman menunjukkan kepada kita bahwa kecenderungan kita adalah untuk membiarkan dimensi alamiah itu mendominir pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan kita sampai kepada suatu titik di mana kita menjadi tidak sadar akan keberadaan dimensi spiritual itu. Sebagai akibatnya, ujung-ujungnya kita menjadi lebih percaya kepada diri kita sendiri dan kurang percaya kepada Allah.
Santo Thomas Aquinas [1224/5-1274] – teolog Ordo Dominikan dari Italia yang ternama – mengatakan bahwa sulitlah untuk mengatakan apakah suatu pemikiran atau suatu intuisi berasal dari Roh Kudus atau dari pikiran kita sendiri. Teristimewa apabila kita baru saja mulai mengindahkan hal-hal yang spiritual, sungguh tidak mudah untuk membedakan antara dimensi yang alami dan dimensi spiritual. Hal ini membutuhkan praktek, pengujian dan peninjauan kembali.
Sementara hal ini terdengar cukup mengandung intimidasi, juga benar untuk mengatakan bahwa dengan sedikit praktek kita dapat mulai mengenakan pikiran Kristus, seperti dikatakan Santo Paulus: “Kami memiliki pikiran Kristus” (1Kor 2:16). Paus Yohanes XXIII [1881-1963; seorang anggota Fransiskan sekular] seringkali berbicara tentang bagaimana dirinya merasa diinspirasikan oleh Roh Kudus untuk menginisiasi Konsili Vatikan II. Apakah inspirasi ini sebuah pesan yang jelas dari Allah, suatu perasaan yang ada dalam hati Paus Yohanes XXIII, atau suatu ide bagus yang datang dari pemikirannya sendiri? Sekali lagi, semua ini memang susah untuk dikatakan, namun dari peninjauan atas hal-hal yang telah terjadi, kita mengetahui bahwa Konsili Vatikan II sungguh merupakan salah satu karya Allah yang paling penting di abad ke-20.
Ibu Teresa dari Kalkuta [1910-1997] juga merasa suka untuk mengatakan bahwa adalah Allah yang menggerakkan dia ketika berusia 38 tahun untuk meninggalkan pekerjaan sebagai biarawati pengajar dan juga komunitasnya, agar dapat membentuk sebuah kongregasi religius yang baru. Menurut Ibu Teresa, Allah menempatkan dalam hatinya suatu panggilan untuk melayani orang-orang yang sangat/paling miskin (the poorest of the poor). Apakah Ibu Teresa menerima panggilan Allah ini dalam doa? Melalui sebuah visi/penglihatan atau dalam mimpi? Melalui kata-kata yang diucapkan orang lain, atau selagi dia merefleksikan pengalaman-pengalamannya sebelum itu? Siapa yang tahu? Namun dari peninjauan atas hal-hal yang telah terjadi kita mengetahui bahwa sebagai seorang hamba Allah yang taat, pengaruh Ibu Teresa di seluruh dunia sungguh besar. Biarawati India asal Albania dianugerahi hadiah Nobel untuk perdamaian pada tahun 1979.
Seperti yang telah dilakukan-Nya pada Abraham, Musa, Samuel, Elia, Santo Augustinus, Santo Fransiskus dari Assisi, Santa Teresa dari Lisieux, Beato Paus Yohanes XXIII, Beata Ibu Teresa dari Kalkuta dan banyak sekali para kudus lainnya, Yesus juga berdiri di muka pintu hati kita. Dia berjanji bahwa apabila kita membuka pintu bagi-Nya, maka Dia akan masuk ke dalam dan makan bersama dengan kita (lihat Why 3:20). Yesus akan memampukan kita untuk merasakan kasih-Nya dan bela-rasa-Nya. Dia akan memenuhi hati dan pikiran kita dengan kebenaran-Nya, dan Ia akan membantu menunjukkan arah dan tujuan hidup kita. Siapa yang tahu? Kita dapat membuat dampak sekuat orang-orang kudus yang paling hebat – atau kita dapat menemukan rahmat untuk membawa damai-sejahtera yang sangat diperlukan dalam keluarga/rumah-tangga kita, komunitas kita, paroki kita dll.
Dipanggil untuk turut membangun Kerajaan Allah
Suara lembah lembut yang didengar Elia memimpin dirinya untuk mengurapi Elisa sebagai penerusnya. Coba pikirkan bagaimana jadinya kalau Elia tidak mendengar suara Allah atau memilih untuk tidak mentaati perintah-Nya? Bagaimana jadinya dengan rencana Allah bagi Elisa dan cara yang diinginkan-Nya bagi Elisa untuk melayani umat Israel?
Dari bacaan Kitab Suci kita juga melihat bagaimana Petrus, Yakobus dan Yohanes – tiga murid terdekat dari Yesus – seringkali menjadi sombong, berpikiran sempit dan lemah dalam pemahaman mereka tentang kehendak Allah. Namun dengan berjalannya waktu dan dengan pertolongan Roh Kudus, mereka belajar bagaimana untuk mengembangkan “dimensi spiritual” seperti diuraikan di atas tadi dan mendengar suara Allah. Baik dimensi alami maupun spiritual mulai bekerja sama secara lebih erat, dan mereka pun menjadi penginjil-penginjil yang besar dan pembangun-pembangun gereja awal. Bayangkan apa yang akan terjadi, apabila tiga pilar Gereja ini memilih untuk tidak bertekun mengembangkan dimensi spiritual itu. Di mana Gereja sekarang?
Cerita-cerita ini menunjukkan kepada kita bahwa Allah ingin berbicara kepada kita tidak hanya untuk memenuhi hati kita dengan kasih-Nya, melainkan untuk menunjukkan kepada kita bagian yang Ia inginkan untuk kita mainkan dalam membangun Kerajaan-Nya di atas muka bumi ini. Apabila anda mulai mencari Yesus secara teratur – membuka pintu hati anda – maka anda akan menemukan Roh Kudus sedang memperkuat indra spiritual dengan iman yang lebih mendalam dan suatu kemampuan yang lebih besar untuk mendengar suara Allah. Dia akan mencurahkan kepada anda pernyataan diri-Nya tentang hikmat dan kasih Allah (1Kor 2:9-10).
Sebagai akibatnya, anda akan bertumbuh dalam kemampuan untuk memahami panggilan Allah untuk hidup anda. Anda pun akan berpikir lebih lagi seperti Yesus dan mengambil keputusan-keputusan dalam terang cara dengan mana Roh Kudus memimpin anda. Anda akan belajar bagaimana dimensi alami dan spiritual bekerja sama dan anda akan melihat Allah memimpin anda untuk memenuhi tujuan-tujuan-Nya bagi hidup anda.
Catatan Penutup
Banyak orang Kristiani sudah kehilangan perasaan bahwa Allah ingin berbicara kepada mereka secara harian. Sementara banyak orang Kristiani tahu bahwa mereka harus berdoa, mereka dapat kehilangan keyakinan bahwa mereka sebenarnya dapat mendengar suara Allah. Inilah sebabnya mengapa Yesus memberikan kepada kita Roh Kudus-Nya – agar supaya kita dapat mendengar suara-Nya. Pada kenyataannya Yesus acap kali berbicara kepada kita selama berjalannya hari – melalui para sahabat, melalui homili dalam perayaan Ekaristi, melalui pembacaan dan permenungan sabda-Nya dalam Kitab Suci, ketika menerima Komuni Kudus, atau pun melalui suara orang-orang miskin/wong cilik. Yesus senantiasa berbicara kepada kita; yang penting kita harus senantiasa membuka telinga-hati kita untuk mendengar-Nya.
Namun demikian, janganlah anda takut untuk mendengarkan suara Tuhan! Apabila anda berpikir bahwa Dia sedang berbicara kepada anda, test/ujilah apa yang anda dengar. Apakah cocok dengan nurani anda, apakah cocok dengan Kitab Suci, apakah cocok dengan ajaran Gereja sepanjang sejarah Gereja? Apakah hal itu menghasilkan buah dalam kehidupan anda? Seperti dikatakan Yesus, anda dapat mengenal sebatang pohon dari buahnya (lihat Mat 7:16). Mendengarkan suara Tuhan dan bertumbuh dalam kepatuhan terhadap Roh-Nya akan “memaksa” diri kita untuk hidup seperti Yesus sendiri hidup, dan untuk mengasihi setiap orang dengan kasih Kristus.
Sebagai penutup, baiklah kita masing-masing merenungkan secara pribadi apa yang ditulis oleh Santo Fransiskus dari Assisi dalam Wasiatnya: “Beginilah Tuhan menganugerahkan kepadaku, Saudara Fransiskus, untuk mulai melakukan pertobatan. Ketika aku dalam dosa, aku merasa amat muak melihat orang kusta. Akan tetapi Tuhan sendiri menghantar aku ke tengah mereka dan aku merawat mereka penuh kasihan. Setelah aku meninggalkan mereka, apa yang tadinya terasa memuakkan, berubah bagiku menjadi kemanisan jiwa dan badan; dan sesudahnya aku sebentar menetap, lalu aku meninggalkan dunia” (Was 1-3). Sekiranya Santo Fransiskus dari Assisi mengabaikan suara Allah yang ditujukan kepadanya, apakah dia dapat menulis dalam Wasiatnya seperti di atas?
Cilandak, 27 Oktober 2012
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
Catatan: Tulisan ini adalah bahan pengajaran untuk persaudaraan OFS Santo Ludovikus IX, Jakarta Pusat yang diberikan pada hari Minggu tanggal 4 November 2012.
Pada zaman modern ini, terutama dalam kota besar seperti Jakarta ini, terasa ada begitu banyak hal yang harus kita lakukan, sedangkan waktu yang tersedia terasa terlalu sedikit. Hal ini dirasakan teristimewa oleh orangtua yang dua-duanya harus bekerja mencari nafkah dan sekaligus mempunyai anak (-anak) yang masih kecil-kecil. Begitu sedikit waktu yang dapat mereka sediakan untuk berkumpul dengan anak-anak mereka, sehingga tidak jarang anak-anak itu sesungguhnya menjadi anak-anak oma atau opa, malah bisa jadi anak dari si baby sitter yang merawat. Kalaupun ada waktu yang tersedia, kedua orangtua sudah nyaris kehabisan energi. Dalam situasi hangar-bingar kota metropolitan (atau megapolitan?) sangat mudahlah bagi kita menjadi luput mendengar suara Yesus yang lemah lembut, yang memanggil kita setiap hari.
Cerita tentang Samuel muda
Masih ingatkah anda akan cerita tentang Samuel muda yang melayani TUHAN (YHWH) di bawah asuhan/pengawasan imam Eli? Malam itu Samuel telah tidur di dalam Bait Suci YHWH, tempat tabut Allah. Sampai tiga kali YHWH memanggil Samuel, dan anak muda itu mengira yang memanggilnya adalah imam Eli. Setelah panggilan untuk ketiga kalinya itu mengertilah imam Eli bahwa yang memanggil Samuel adalah YHWH sendiri. Sebab itu berkatalah Eli kepada Samuel: “Pergilah tidur dan apabila Ia memanggil engkau, katakanlah: Berbicaralah, YHWH, sebab hamba-Mu ini mendengar.” Maka pergilah Samuel dan tidurlah ia di tempat tidurnya. Kemudian YHWH memang memanggil Samuel seperti yang sudah-sudah: “Samuel!, Samuel!” Dan Samuel menjawab: “Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar” (1Sam 3:1-10). Untuk cerita selanjutnya, baiklah anda membaca dan merenungkannya sendiri. Renungkanlah apa yang dikatakan oleh imam Eli kepada Samuel setelah Samuel menceritakan kepadanya apa yang disampaikan YHWH kepadanya: “Dia YHWH, biarlah diperbuat-Nya apa yang dipandang-Nya baik.” (1Sam 3:18).
Dari cerita ini kita dapat melihat bahwa tidak mudahlah bagi kita untuk mengenal(i) suara Allah (Bapa, Yesus, atau Roh Kudus).
Cara Allah berbicara kepada kita – nabi Elia di Gunung Horeb
Bagaimana Allah berbicara kepada kita? Tentunya lebih sering Bapa surgawi akan memimpin kita tidak dengan cara-cara yang dramatis, melainkan dengan cara-cara yang biasa-biasa saja (tidak luarbiasa), sesuai dengan irama sehari-hari kehidupan kita. Allah mungkin saja berbicara melalui pasangan hidup kita, sebuah buku yang sedang kita baca, seorang sahabat, sebuah homili pada Misa hari Minggu, matahari yang sedang terbit, bahkan bisa juga melalui sebuah program televisi. Atau, kita dapat mendengar suara-Nya selagi kita mencari Dia dalam keheningan doa, selagi kita ikut merayakan Ekaristi dan menerima Komuni Kudus, atau ketika kita sedang membaca dan merenungkan sabda-Nya dalam Kitab Suci. Sekarang, marilah kita kembali melihat Kitab Suci. Kali ini cerita mengenai nabi Elia (1Raj 19:1-18).
Melarikan diri dari niat Ratu Izebel untuk membunuhnya, nabi Elia sampai di Bersyeba, yang termasuk wilayah Yehuda, dan meninggalkan bujangnya di sana. Kemudian ia masuk ke padang gurun sehari perjalanan jauhnya. Nabi Elia sudah berada dalam kondisi yang melelahkan dan tertekan nyaris depresi, siap untuk menyerah secara total kepada keadaan yang dihadapinya. Dia ingin mati saja karena memandang dirinya tak berguna: “Sekarang, ya YHWH, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik daripada nenek moyangku” (1Raj 19:4). Sesudah itu dia berbaring dan tidur di bawah pohon arar. Setelah diberi makan berupa roti bakar dan juga minum air oleh ‘seorang’ malaikat YHWH, nabi Elia pun makan dan minum dan berbaring lagi. Sang malaikat datang untuk kedua kalinya dan menyuruh sang nabi untuk makan lagi sebagai persiapan untuk sebuah perjalanan sangat jauh yang harus dilakukan sang nabi, yaitu ke gunung Horeb. Lalu nabi Elia berjalan menuju gunung Horeb selama 40 hari 40 malam. Disuruh keluar dari gua dan berdiri diatas gunung di hadapan YHWH, nabi Elia tidak menemukan TUHAN dalam angin besar dan kuat, tidak ada pula TUHAN dalam gempa, juga tidak ada TUHAN dalam api yang datang, melainkan TUHAN ada dalam angin sepoi-sepoi basa, dan segera sesudah Elia mendengarnya, dia menyelubungi mukanya dan berdiri di pintu gua itu. Maka datanglah suara kepadanya yang berbunyi: Apa kerjamu di sini, hai Elia?” (1Raj 19:13).
Apakah suara yang lemah lembut ini didengar oleh Elia dengan telinganya, atau sesuatu yang dirasakan oleh Elia dalam hatinya? Kita tidak pernah akan sungguh-sungguh mengetahuinya, dan dalam artian tertentu hal ini memang tidak sangat penting. Yang penting adalah bahwa Elia mengenali suara itu sebagai suara Allah. Sang nabi mampu untuk merasakan kehadiran Allah, “mendengar” suara-Nya, dan memberi tanggapan terhadap sabda Allah yang didengarnya itu.
Perumpamaan tentang Gembala yang Baik
Salah satu perumpamaan Yesus yang paling menyentuh hati adalah perumpamaan tentang gembala yang baik. Domba-domba bukanlah jenis hewan yang paling cerdik, dan para gembala seringkali dipandang rendah dalam masa Yesus hidup di dunia. Namun demikian, seekor domba
mengenal suara gembalanya. Apabila kawanan-kawanan domba yang berbeda dicampur dalam satu kandang, maka masing-masing domba itu akan mengikuti suara gembalanya ketika pintu kandang itu dibuka. Ketika si gembala pergi ke luar, maka “domba-domba itu mengikuti dia, karena mereka mengenal suaranya” (Yoh 10:4).
Seperti seekor domba yang mendengarkan dengan penuh perhatian suara gembalanya, kita masing-masing juga harus mengenal(i) suara Allah. Kita mungkin saja adalah pribadi yang paling pintar, penuh bakat, atau orang kaya dalam RT kita. Atau kita adalah orang yang lambat memahami sesuatu, tidak cukup dalam talenta atau miskin secara materiil. Semua itu tidak ada bedanya di mata Yesus. Yang penting bagi Yesus adalah, bahwa kita mengenal suara-Nya dan mengikuti-Nya. Seperti seekor domba muda yang membutuhkan waktu untuk dapat mengenal suara gembalanya, demikian pula kita membutuhkan waktu untuk mempelajari suara sang Gembala Baik. Semakin banyak kita berupaya mendengarkan suara-Nya, semakin familiar pula jadinya.
Allah berbicara kepada para kudus
Sebagai Fransiskan, kita tentunya tidak pernah akan melupakan bagaimana Fransiskus mendengar suara Yesus yang tersalib yang ditujukan kepada dirinya di gereja San Damiano. Baiklah saya kutip seluruhnya dari “Legenda Maior” tulisan Santo Bonaventura (terjemahan Pater Wahyo OFM):
Karena hamba Allah yang mahatinggi tidak mempunyai guru selain Kristus, maka dalam kemurahan hati-Nya Tuhan mau membuat dia mengalami betapa manisnya rahmat itu. Nah, ketika Fransiskus pada suatu hari ke luar hendak berenung di padang dan berjalan di dekat gereja San Damiano, yang terancam keruntuhan karena amat tuanya, maka ia merasa terdorong dari dalam untuk masuk ke dalam dan untuk berdoa. Ia bersujud di depan gambar Yang Tersalib dan sementara ia berdoa, ia diliputi dengan hiburan rohani yang berlimpah-limpah. Ketika ia dengan mata berlinang-linang memandang kepada salib Tuhan, maka didengarnya dengan telinganya sendiri suara dari atas salib itu, yang sampai tiga kali berkata: “Fransiskus, pergilah dan perbaikilah rumah-Ku, yang seperti kaulihat bobrok seluruhnya ini!” Fransiskus gemetar, karena ia seorang diri di dalam gereja, dan terperanjat mendengar suara yang amat ajaib itu. Dan karena di dalam hatinya ia merasai kekuatan ucapan Ilahi itu, maka ia kena pesona. Akhirnya ia sadar lagi dan segera ia menyiapkan diri untuk mentaati perintah itu; dan ia menyingsingkan lengannya untuk memenuhi perintah itu sepenuhnya, yaitu memperbaiki gereja jasmaniah. Padahal maksud yang utama ucapan itu lebih menyangkut Gereja, yang diperoleh Kristus dengan darah-Nya, sebagaimana kemudian dinyatakan Roh Kudus kepadanya dan sesudah itu diberitahukannya kepada saudara-saudara. Maka ia bangkit dan memperkuat dirinya dengan tanda salib, lalu dengan membawa gulungan kain lenan ia bergegas-gegas pergi ke kota yang bernama Foligno. Di sana dijualnya barang dagangannya dan kuda yang ditungganginya; dan selaku pedagang yang mujur ia mendapat harga yang layak. Lalu ia pulang ke Assisi dan masuk dengan hormat ke dalam gereja, yang seturut perintah yang diterimanya harus diperbaikinya itu. Di situ didapatinya imam yang miskin. Maka ia memberikan hormat sepantasnya kepadanya dan menawarkan uang itu kepadanya untuk perbaikan gereja dan untuk dapat memberikan sedekah kepada orang-orang miskin. Dimohonnya pula dengan, apa ia untuk sementara boleh tinggal sertanya di situ. Imam itu menyetujui ia tinggal di situ, tetapi karena takut akan orang tuanya maka uang itu ditolaknya. Namun sebagai penghina uang yang sejati Fransiskus melemparkan uang itu ke jendela; uang dipandangnya tidak berharga seperti debu yang terhempas saja” (LegMaj II:1).
Kemampuan untuk mendengar suara Allah (Bapa, Putera atau Roh Kudus) bukanlah monopoli Santo Fransiskus dari Assisi (Bapak Serafik kita). Dalam Perjanjian Lama kita melihat, bahwa di samping Samuel dan nabi Elia yang diceritakan di atas, kita dapat membaca bahwa Allah berbicara kepada Abraham (Kej 12:1-3), Musa (Kel 3:4-5 dsj.), dlsb. Dalam Perjanjian Baru, kita dapat melihat pengalaman Maria (Luk 1:26-38), Paulus dalam perjalanan ke Damsyik (Kis 9:1-9 dsj.) dll. Dalam sejarah Gereja para kudus juga mengalaminya. Beberapa contoh yang sering dibahas: Santo Antonius Pertapa [251-356] mendengar suara Allah, demikian pula dengan Santo Augustinus dari Hippo [354-430] dan Santa Teresa dari Lisieux [1873-1897]. Untuk ini semua bacalah tulisan saya yang berjudul: “MENDENGARKAN SABDA ALLAH” yang biasa saya pakai untuk membimbing kelompok-kelompok yang ingin mendalami Kitab Suci (kunjungilah situs/blog SANG SABDA http://sangsabda.wordpress.com). Saya akan memberi satu gambaran lagi, bagaimana Bapak Serafik kita mendengarkan suara/sabda Allah. Saya ambil sepenuhnya dari tulisan yang sebutkan di atas dengan sedikit perbaikan:
Pengalaman Santo Fransiskus dari Assisi (c.1181-1226). Dalam beberapa riwayat hidup Santo Fransiskus dari Assisi yang klasik, antara lain yang ditulis oleh Beato Thomas dari Celano dan Santo Bonaventura, maka kita dapat membaca cerita berikut ini. Pada suatu hari – pada hari pesta Rasul Matias, 24 Februari 1209 atau 1208 – ketika di gereja dibacakan Injil perihal bagaimana Tuhan Yesus mengutus murid-murid-Nya untuk mewartakan Kabar Baik, Fransiskus hadir di situ. Ayat-ayat Injil itu (Mat 10:7-12; Mrk 6:7-12 dan Luk 10:1-16) hanya ditangkap olehnya sekadarnya saja; maka sehabis perayaan Misa Kudus dia mohon dengan rendah hati kepada imam untuk menerangkan Injil itu. Maka imam menerangkan semuanya secara teratur kepadanya. Ketika Fransiskus mendengar, bahwa murid-murid Kristus tidak boleh membawa pundi-pundi, bekal atau roti atau tongkat, dan tidak boleh memakai kasut dan dua baju, tetapi harus mewartakan kerajaan Allah dan pertobatan, maka dia langsung berseru dengan gembira dalam roh Allah: “Inilah yang kukehendaki.” Katanya: “Inilah yang kucari, inilah yang ingin kulakukan dengan segenap hatiku.” Dengan dilimpahi sukacita Fransiskus lalu bergegas-gegas melaksanakan nasihat yang bermanfaat itu. Dengan tidak menangguhkan sedetik pun ia mulai mengerjakan bakti apa yang telah didengarnya. Serta-merta sepatu dilepaskan dari kakinya, tongkat dilepaskannya, dan ia puas dengan satu jubah; ikat pinggang dari kulit ditukarnya dengan seutas tali. Selanjutnya dia mengadakan jubah yang mempunyai bentuk salib , supaya segala bujukan setan dicegah. Jubah itu dibuatnya dari kain kasar, agar dengan itu daging dengan cacat-cacat dan nafsu-nafsunya disalibkan; dibuatnya pula amat miskin dan tanpa hiasan, sehingga sama sekali tidak diinginkan dunia. Thomas dari Celano[4] juga menulis: “Adapun lain-lainnya, yang telah didengarnya, hendak dilakukannya dengan sesaksama-saksamanya dan sepatut-patutnya. Sebab ia bukan pendengar yang tuli, melainkan segala apa yang didengarnya, disimpan dalam ingatannya yang mulia; dan ia pun berusaha menepatinya dengan cermat secara harfiah” (1Cel 22; bdk. Leg Maj III:1).
Santo Bonaventura juga bercerita, bahwa pada waktu Fransiskus sudah mempunyai seorang pengikut yaitu Bernardus dari Quintavalle, mereka pergi ke gereja Santo Nikolaus untuk memohon petunjuk kepada Tuhan Allah. Setelah memanjatkan doa, maka selaku pemuja Allah Tritunggal, Fransiskus membuka kita Injil sampai tiga kali dan memohon kepada Allah, agar Dia sudi memperkuat niat suci Bernardus dengan tiga kali pernyataan. Ketika kitab Injil dibuka untuk pertama kali, dijumpai ayat ini: “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin …..” (Mat 19:21). Pada waktu membuka untuk kedua kalinya: “Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan …..” (Luk 9:3). Pada ketiga kalinya: “Jika seseorang mau mengikut Aku, dia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat 16:24). Maka kata Fransiskus: “Inilah cara hidup dan anggaran dasar kita serta sekalian orang, yang hendak bergabung dengan persekutuan kita. Jadi, jika engkau hendak sempurna, pergilah dan laksanakanlah apa yang telah kaudengar” (Leg Maj III:3).
Orang kudus ini (Fransiskus) bukanlah seorang imam namun dia adalah seorang pribadi yang sungguh luar biasa, dan semua itu oleh karena dia mau mendengarkan Allah yang bersabda lewat nas-nas Kitab Suci. Ernest Renan [1823-1892] – seorang filsuf, sejarawan dan cendekiawan Perancis – menyebutnya sebagai orang Kristiani terakhir. Lenin [1870-1924] – pemimpin Bolsjewik di Rusia – sebelum meninggal dunia mengatakan bahwa seandainya Rusia memiliki 10 orang Fransiskus Assisi, maka tidak diperlukanlah revolusi Bolsjewik. Mahatma Gandhi [1869-1948] – Bapak bangsa India – mencintainya dan mencontoh peri kehidupannya. Orang-orang dari segala macam agama dan aliran kepercayaan berkumpul bersama di kota Assisi, guna mendoakan perdamaian dunia. Para pengikutnya terdiri dari orang-orang yang memiliki latar belakang yang beraneka ragam, yang kemudian banyak sekali (ratusan orang, termasuk lebih dari seratus orang awam Fransiskan) yang juga diangkat Gereja menjadi santo-santa dan beato-beata: ada ratu, ada raja; ada akademisi, ada pedagang; ada perdana menteri, ada seniman; ada miskin, ada kaya; ada bangsawan, ada rakyat jelata; ada imam, ada awam; ada suster ada bruder.
Para Fransiskan adalah keluarga rohani paling besar dalam Gereja Katolik. Franciscans International, sebuah LSM/NGO yang terdiri dari para religius dan awam Fransiskan, sampai saat penulisan ini adalah NGO Katolik satu-satunya di PBB yang para wakilnya mempunyai hak interupsi dalam sidang-sidang Unesco dll. seperti layaknya wakil negara anggota PBB. Cita-cita para Fransiskan (pengikut Fransiskus) sederhana saja, yaitu hidup Injili. Fransiskus juga mengatakan bahwa pimpinan (minister jenderal) sesungguhnya dari keluarga rohaninya adalah Roh Kudus sendiri. Banyak devosi Gereja (misalnya jalan salib, kandang natal, doa malaikat Tuhan dll.) berasal dari Fransiskus dan keluarganya. Banyak juga karya besar orang-orang kudus Gereja diinspirasikan oleh orang kudus yang bernama Fransiskus ini. Dalam abad ke 20 Tarekat OFM saja telah mempersembahkan 400 orang martir bagi Allah dan Gereja. Semua hal yang disebutkan ini menjadi realitas hanya disebabkan, bahwa pada satu titik dalam sejarah manusia seorang insan mau menjadi sederhana dan rendah hati di hadapan Allah, sehingga dengan demikian dimampukan oleh Roh-Nya untuk mendengarkan sabda/suara-Nya lewat ayat-ayat Kitab Suci, kemudian mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Janji Injil
Janji Injil adalah, bahwa karena Roh Kudus hidup dalam diri kita, maka kita semua dapat belajar untuk menjadi peka seperti Elia. Artinya, kita dapat mendengar suara-Nya!
Karena kita diciptakan Allah seturut gambar dan rupa-Nya, maka kita mempunyai kemampuan untuk memahami hal-hal pada suatu tingkatan yang manusiawi dan juga pada tingkatan yang rohani/spiritual. Kita memiliki suatu kapasitas spiritual yang memampukan kita untuk merasakan adanya suara dan gerakan-gerakan Allah dalam kehidupan kita. Kita dianugerahi kemampuan untuk menjadi intuitif, kemampuan untuk membayangkan, untuk berpikir, untuk mengingat, dan untuk membuat pilihan-pilihan. Setiap kemampuan ini mempunyai dimensi spiritual dan dimensi natural/alami. Dimensi spiritual ini menjadi hidup pada saat kita dibaptis, dan terus bertumbuh selagi kita semakin dekat dengan Yesus melalui doa-doa.
Idealnya, dimensi alami dan spiritual yang disebutkan di atas tadi harus bekerja sama guna menolong kita menghayati hidup yang penuh damai dan berbuah. Akan tetapi, pengalaman menunjukkan kepada kita bahwa kecenderungan kita adalah untuk membiarkan dimensi alamiah itu mendominir pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan kita sampai kepada suatu titik di mana kita menjadi tidak sadar akan keberadaan dimensi spiritual itu. Sebagai akibatnya, ujung-ujungnya kita menjadi lebih percaya kepada diri kita sendiri dan kurang percaya kepada Allah.
Santo Thomas Aquinas [1224/5-1274] – teolog Ordo Dominikan dari Italia yang ternama – mengatakan bahwa sulitlah untuk mengatakan apakah suatu pemikiran atau suatu intuisi berasal dari Roh Kudus atau dari pikiran kita sendiri. Teristimewa apabila kita baru saja mulai mengindahkan hal-hal yang spiritual, sungguh tidak mudah untuk membedakan antara dimensi yang alami dan dimensi spiritual. Hal ini membutuhkan praktek, pengujian dan peninjauan kembali.
Sementara hal ini terdengar cukup mengandung intimidasi, juga benar untuk mengatakan bahwa dengan sedikit praktek kita dapat mulai mengenakan pikiran Kristus, seperti dikatakan Santo Paulus: “Kami memiliki pikiran Kristus” (1Kor 2:16). Paus Yohanes XXIII [1881-1963; seorang anggota Fransiskan sekular] seringkali berbicara tentang bagaimana dirinya merasa diinspirasikan oleh Roh Kudus untuk menginisiasi Konsili Vatikan II. Apakah inspirasi ini sebuah pesan yang jelas dari Allah, suatu perasaan yang ada dalam hati Paus Yohanes XXIII, atau suatu ide bagus yang datang dari pemikirannya sendiri? Sekali lagi, semua ini memang susah untuk dikatakan, namun dari peninjauan atas hal-hal yang telah terjadi, kita mengetahui bahwa Konsili Vatikan II sungguh merupakan salah satu karya Allah yang paling penting di abad ke-20.
Ibu Teresa dari Kalkuta [1910-1997] juga merasa suka untuk mengatakan bahwa adalah Allah yang menggerakkan dia ketika berusia 38 tahun untuk meninggalkan pekerjaan sebagai biarawati pengajar dan juga komunitasnya, agar dapat membentuk sebuah kongregasi religius yang baru. Menurut Ibu Teresa, Allah menempatkan dalam hatinya suatu panggilan untuk melayani orang-orang yang sangat/paling miskin (the poorest of the poor). Apakah Ibu Teresa menerima panggilan Allah ini dalam doa? Melalui sebuah visi/penglihatan atau dalam mimpi? Melalui kata-kata yang diucapkan orang lain, atau selagi dia merefleksikan pengalaman-pengalamannya sebelum itu? Siapa yang tahu? Namun dari peninjauan atas hal-hal yang telah terjadi kita mengetahui bahwa sebagai seorang hamba Allah yang taat, pengaruh Ibu Teresa di seluruh dunia sungguh besar. Biarawati India asal Albania dianugerahi hadiah Nobel untuk perdamaian pada tahun 1979.
Seperti yang telah dilakukan-Nya pada Abraham, Musa, Samuel, Elia, Santo Augustinus, Santo Fransiskus dari Assisi, Santa Teresa dari Lisieux, Beato Paus Yohanes XXIII, Beata Ibu Teresa dari Kalkuta dan banyak sekali para kudus lainnya, Yesus juga berdiri di muka pintu hati kita. Dia berjanji bahwa apabila kita membuka pintu bagi-Nya, maka Dia akan masuk ke dalam dan makan bersama dengan kita (lihat Why 3:20). Yesus akan memampukan kita untuk merasakan kasih-Nya dan bela-rasa-Nya. Dia akan memenuhi hati dan pikiran kita dengan kebenaran-Nya, dan Ia akan membantu menunjukkan arah dan tujuan hidup kita. Siapa yang tahu? Kita dapat membuat dampak sekuat orang-orang kudus yang paling hebat – atau kita dapat menemukan rahmat untuk membawa damai-sejahtera yang sangat diperlukan dalam keluarga/rumah-tangga kita, komunitas kita, paroki kita dll.
Dipanggil untuk turut membangun Kerajaan Allah
Suara lembah lembut yang didengar Elia memimpin dirinya untuk mengurapi Elisa sebagai penerusnya. Coba pikirkan bagaimana jadinya kalau Elia tidak mendengar suara Allah atau memilih untuk tidak mentaati perintah-Nya? Bagaimana jadinya dengan rencana Allah bagi Elisa dan cara yang diinginkan-Nya bagi Elisa untuk melayani umat Israel?
Dari bacaan Kitab Suci kita juga melihat bagaimana Petrus, Yakobus dan Yohanes – tiga murid terdekat dari Yesus – seringkali menjadi sombong, berpikiran sempit dan lemah dalam pemahaman mereka tentang kehendak Allah. Namun dengan berjalannya waktu dan dengan pertolongan Roh Kudus, mereka belajar bagaimana untuk mengembangkan “dimensi spiritual” seperti diuraikan di atas tadi dan mendengar suara Allah. Baik dimensi alami maupun spiritual mulai bekerja sama secara lebih erat, dan mereka pun menjadi penginjil-penginjil yang besar dan pembangun-pembangun gereja awal. Bayangkan apa yang akan terjadi, apabila tiga pilar Gereja ini memilih untuk tidak bertekun mengembangkan dimensi spiritual itu. Di mana Gereja sekarang?
Cerita-cerita ini menunjukkan kepada kita bahwa Allah ingin berbicara kepada kita tidak hanya untuk memenuhi hati kita dengan kasih-Nya, melainkan untuk menunjukkan kepada kita bagian yang Ia inginkan untuk kita mainkan dalam membangun Kerajaan-Nya di atas muka bumi ini. Apabila anda mulai mencari Yesus secara teratur – membuka pintu hati anda – maka anda akan menemukan Roh Kudus sedang memperkuat indra spiritual dengan iman yang lebih mendalam dan suatu kemampuan yang lebih besar untuk mendengar suara Allah. Dia akan mencurahkan kepada anda pernyataan diri-Nya tentang hikmat dan kasih Allah (1Kor 2:9-10).
Sebagai akibatnya, anda akan bertumbuh dalam kemampuan untuk memahami panggilan Allah untuk hidup anda. Anda pun akan berpikir lebih lagi seperti Yesus dan mengambil keputusan-keputusan dalam terang cara dengan mana Roh Kudus memimpin anda. Anda akan belajar bagaimana dimensi alami dan spiritual bekerja sama dan anda akan melihat Allah memimpin anda untuk memenuhi tujuan-tujuan-Nya bagi hidup anda.
Catatan Penutup
Banyak orang Kristiani sudah kehilangan perasaan bahwa Allah ingin berbicara kepada mereka secara harian. Sementara banyak orang Kristiani tahu bahwa mereka harus berdoa, mereka dapat kehilangan keyakinan bahwa mereka sebenarnya dapat mendengar suara Allah. Inilah sebabnya mengapa Yesus memberikan kepada kita Roh Kudus-Nya – agar supaya kita dapat mendengar suara-Nya. Pada kenyataannya Yesus acap kali berbicara kepada kita selama berjalannya hari – melalui para sahabat, melalui homili dalam perayaan Ekaristi, melalui pembacaan dan permenungan sabda-Nya dalam Kitab Suci, ketika menerima Komuni Kudus, atau pun melalui suara orang-orang miskin/wong cilik. Yesus senantiasa berbicara kepada kita; yang penting kita harus senantiasa membuka telinga-hati kita untuk mendengar-Nya.
Namun demikian, janganlah anda takut untuk mendengarkan suara Tuhan! Apabila anda berpikir bahwa Dia sedang berbicara kepada anda, test/ujilah apa yang anda dengar. Apakah cocok dengan nurani anda, apakah cocok dengan Kitab Suci, apakah cocok dengan ajaran Gereja sepanjang sejarah Gereja? Apakah hal itu menghasilkan buah dalam kehidupan anda? Seperti dikatakan Yesus, anda dapat mengenal sebatang pohon dari buahnya (lihat Mat 7:16). Mendengarkan suara Tuhan dan bertumbuh dalam kepatuhan terhadap Roh-Nya akan “memaksa” diri kita untuk hidup seperti Yesus sendiri hidup, dan untuk mengasihi setiap orang dengan kasih Kristus.
Sebagai penutup, baiklah kita masing-masing merenungkan secara pribadi apa yang ditulis oleh Santo Fransiskus dari Assisi dalam Wasiatnya: “Beginilah Tuhan menganugerahkan kepadaku, Saudara Fransiskus, untuk mulai melakukan pertobatan. Ketika aku dalam dosa, aku merasa amat muak melihat orang kusta. Akan tetapi Tuhan sendiri menghantar aku ke tengah mereka dan aku merawat mereka penuh kasihan. Setelah aku meninggalkan mereka, apa yang tadinya terasa memuakkan, berubah bagiku menjadi kemanisan jiwa dan badan; dan sesudahnya aku sebentar menetap, lalu aku meninggalkan dunia” (Was 1-3). Sekiranya Santo Fransiskus dari Assisi mengabaikan suara Allah yang ditujukan kepadanya, apakah dia dapat menulis dalam Wasiatnya seperti di atas?
Cilandak, 27 Oktober 2012
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
Catatan: Tulisan ini adalah bahan pengajaran untuk persaudaraan OFS Santo Ludovikus IX, Jakarta Pusat yang diberikan pada hari Minggu tanggal 4 November 2012.