Pada saat Yesus mengulurkan tangan-Nya dan menyentuh orang itu, maka tindakan-Nya tersebut tentunya sangat mengejutkan si penderita kusta. Mengapa? Karena dengan begitu Yesus menjadi tercemar di mata hukum Taurat, dengan demikian secara otomatis Ia tidak diperkenankan untuk berpartisipasi dalam fungsi-fungsi keagamaan Yahudi. Namun demikian, apakah yang terjadi? Bukan Yesus yang terinfeksi sakit kusta, melainkan si penderita kusta sendirilah yang terinfeksi oleh kemurnian Yesus, dengan demikian dirinya pun disembuhkan.
TIGA ORANG KUSTA DARI SANTO FRANSISKUS ASSISI
Seseorang yang sakit kusta datang kepada Yesus, dan sambil berlutut di hadapan-Nya ia memohon bantuan-Nya, katanya, “Kalau Engkau mau, Engkau dapat menyembuhkan aku.” Lalu tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan. Ia mengulurkan tangan-Nya, menyentuh orang itu dan berkata kepadanya, “Aku mau, jadilah engkau tahir.” Seketika itu juga lenyaplah penyakit kusta orang itu dan ia sembuh. (Mrk 1:40-42)
Bacaan Injil di atas adalah sebagian dari bacaan Injil untuk Misa Kudus pada Hari Minggu Biasa VI [Tahun B], yaitu Mrk 1:40-45 – hari ini tanggal 12 Februari 2012. Hari ini adalah suatu hari yang istimewa bagi keluarga kami, karena ini adalah hari ulang tahun ke-61 dari istri dan saudari saya yang kami kasihi: Sdri. Maria Esther OFS, dan tulisan singkat ini adalah hadiah ulang tahun saya baginya, yang dengan bahagia ingin saya syeringkan juga dengan para pembaca tulisan singkat ini. Tulisan ini sendiri diinspirasikan oleh sebuah tulisan karangan Sdr. Silvester O’Flynn OFMCap. dalam bukunya yang berjudul “The Good News of Mark’s Year” [Dublin, Ireland: The Columbia Press, 1990/reprinted 1993].
Pada saat Yesus mengulurkan tangan-Nya dan menyentuh orang itu, maka tindakan-Nya tersebut tentunya sangat mengejutkan si penderita kusta. Mengapa? Karena dengan begitu Yesus menjadi tercemar di mata hukum Taurat, dengan demikian secara otomatis Ia tidak diperkenankan untuk berpartisipasi dalam fungsi-fungsi keagamaan Yahudi. Namun demikian, apakah yang terjadi? Bukan Yesus yang terinfeksi sakit kusta, melainkan si penderita kusta sendirilah yang terinfeksi oleh kemurnian Yesus, dengan demikian dirinya pun disembuhkan.
Peristiwa dalam Injil hari ini menggambarkan bela rasa tak terhingga dari Yesus yang mengalir keluar dari diri-Nya dan menyentuh seorang kusta. Peristiwa perjumpaan dengan orang kusta terulang kembali dalam kehidupan Santo Fransiskus dari Assisi [1181-1226]. Ternyata peristiwa tersebut merupakan hari yang paling penting dalam pertobatannya kepada Tuhan yang tersalib.
Peristiwa itu terjadi pada awal “karir”-nya sebagai seorang bentara Kristus. Fransiskus telah mulai menggunakan banyak waktu untuk berdoa namun dia masih hidup dalam keluarganya yang bukan tergolong miskin. Ia adalah anak laki-laki Bapak Pietro Bernardone, seorang pedagang kain di kota Assisi. Pada suatu hari, ketika Fransiskus menunggang kuda di lembah yang memanjang di bawah kota Assisi, dia berjumpa dengan seorang kusta: sebuah perjumpaan mendadak yang mengerikan baginya. Fransiskus memang sangat sensitif dalam hal penciuman berbagai bebauan dan citarasa. Dia sangat merasa muak apabila melihat dan mencium “aroma” yang keluar dari luka-luka tubuh seorang kusta. Dia memacu kudanya agar dapat menjauh secepatnya dari si penderita kusta. Akan tetapi hati nuraninya – yang baru dicerahkan oleh doa-doanya – sekarang mengingatkan dan menantang dirinya. Fransiskus ingat bahwa dia harus pertama-tama mengalahkan dirinya sendiri apabila dia mau menjadi seorang ksatria yang melayani Yesus Kristus. Ia pun berbalik kembali ke orang kusta itu yang sedang mengulurkan tangannya meminta sedekah. Pertama-tama Fransiskus memberikan uang yang ada padanya, lalu dia mencium orang kusta itu.
Penulis riwayat hidup resminya, Santo Bonaventura, menceritakan bahwa segera Fransiskus naik ke atas kudanya lagi dan melihat berkeliling. Walaupun lembah itu terbuka bebas sejauh mata memandang, orang kusta itu tidak kelihatan (lihat Legenda Maior I:5). Orang kusta tidak berada dalam satu tempat karena dalam artian tertentu dia ada di mana-mana. Di tengah jalanan itu Fransiskus merangkul tiga orang kusta.
Orang kusta pertama adalah si kusta yang dijumpainya secara fisik di lembah itu, yang telah membuatnya sangat merasa muak.
Orang kusta kedua adalah sisi gelap dari kepribadiannya sendiri. Anak muda yang berasal dari sebuah keluarga kaya dan sangat menyenangi kenikmatan duniawi ini tidak merasa nyaman apabila harus menghadapi orang lain yang berpenampilan buruk, wajah yang jelek, bau amis, dan juga orang yang menderita cacat fisik. Sekarang, untuk pertama kalinya Fransiskus menghadapi kenyataan yang selama itu ditakutinya. Namun ia menerima tanggung jawab atas reaksinya yang tidak Kristiani; dia merangkul “orang kusta” kedosaannya sendiri.
Orang kusta ketiga adalah Yesus Kristus yang tersalib. Hari itu merupakan hari yang paling penting bagi Fransiskus dalam “perjalanan kemuridan” (Inggris: journey of discipleship)-nya menuju Yesus Kristus. Peristiwa hari itu mempersiapkan Fransiskus untuk suatu pengalaman mistik yang akan dialaminya tidak lama kemudian di gereja San Damiano, di mana Fransiskus mendengar suara Yesus dari salib yang minta kepadanya untuk memperbaiki Gereja-Nya. Jadi, perjalanannya menuju ke perjumpaan mistik dimulai dengan perjumpaannya dengan seorang kusta di tengah jalan. Bertahun-tahun setelah peristiwa itu dan menjelang wafatnya, Fransiskus menyuruh tulis wasiatnya, bahwa Tuhan lah yang memimpinnya kepada orang kusta itu. Dia menggambarkan pertobatannya seperti berikut: “Beginilah Tuhan menganugerahkan kepadaku, Saudara Fransiskus, untuk mulai melakukan pertobatan. Ketika aku dalam dosa, aku merasa amat muak melihat orang kusta. Akan tetapi Tuhan sendiri menghantar aku ke tengah mereka dan aku merawat mereka penuh kasihan. Setelah aku meninggalkan mereka, apa yang tadinya terasa memuakkan, berubah bagiku menjadi kemanisan jiwa dan badan; dan sesudahnya aku sebentar menetap, lalu aku meninggalkan dunia” (Wasiat 1-3).
Peristiwa perjumpaan Fransiskus dengan orang kusta itu seharusnya menantang kita untuk menghadapi ciri-ciri pribadi kita sendiri yang tidak Kristiani, “sisi kusta” dari jiwa (diri) kita. Apabila ada orang lain seperti orang kusta … sampah masyarakat – para untouchables dalam masyarakat, maka seperti Fransiskus, kita pun seharusnya tertantang untuk turun dari kuda yang kita tunggangi dan bertanggung jawab atas ke-kusta-an dalam diri kita juga. Kita harus bertanya kepada diri kita masing-masing: Apakah ada semacam superiority complex atau kesombongan dalam diriku yang membuat aku merasa lebih baik daripada orang-orang lain … baik dari sudut karakter, budaya maupun spiritual? Ataukah ada masalah inferiority yang membangun sebuah tembok pemisah ketakutan dan rasa malu antara diriku dan orang-orang lain? Apakah ketidaksediaan diriku untuk mengampuni yang membuat aku hanya mempunyai ingatan singkat dan tidak mampu melihat seorang pribadi manusia secara total? Ataukah dalam diriku masih ada prasangka yang diwariskan terhadap orang-orang tertentu – yang tidak mempunyai pekerjaan … berbeda latar belakang agama dan budaya … berbeda dalam ras dan etnisitas – berbeda bahasa?
Janganlah pernah mengatakan, “tidak ada orang kusta dalam perjalanan hidupku”, karena ada satu orang kusta yang Tuhan sungguh ingin kita sentuh. Orang kusta itu adalah seorang pribadi yang terinfeksi yang hidup dalam kedosaan kita. Oleh karena itu marilah kita turun dari kuda yang kita tunggangi dan kembali ke jalan memori. Sekarang, kita sentuh, kita rangkul dan kita cium orang kusta itu … bagian dari diri kita yang selalu kita sangkal atau benci. Marilah kita terima tanggung jawab atas perasaan-perasaan kita … prasangka-prasangka kita … luka-luka kita … dan blind spots kita. Kita harus menjadi pemilik dari kisah perjalanan hidup kita sendiri dan membawanya kepada Yesus untuk dibersihkan dan disembuhkan. Maka, seperti halnya dengan Bapak Fransiskus, berkat rahmat Allah, “apa yang tadinya terasa memuakkan akan diubah menjadi kemanisan jiwa dan badan”.
Cilandak, 12 Februari 2012 [HARI MINGGU BIASA V]
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
Seseorang yang sakit kusta datang kepada Yesus, dan sambil berlutut di hadapan-Nya ia memohon bantuan-Nya, katanya, “Kalau Engkau mau, Engkau dapat menyembuhkan aku.” Lalu tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan. Ia mengulurkan tangan-Nya, menyentuh orang itu dan berkata kepadanya, “Aku mau, jadilah engkau tahir.” Seketika itu juga lenyaplah penyakit kusta orang itu dan ia sembuh. (Mrk 1:40-42)
Bacaan Injil di atas adalah sebagian dari bacaan Injil untuk Misa Kudus pada Hari Minggu Biasa VI [Tahun B], yaitu Mrk 1:40-45 – hari ini tanggal 12 Februari 2012. Hari ini adalah suatu hari yang istimewa bagi keluarga kami, karena ini adalah hari ulang tahun ke-61 dari istri dan saudari saya yang kami kasihi: Sdri. Maria Esther OFS, dan tulisan singkat ini adalah hadiah ulang tahun saya baginya, yang dengan bahagia ingin saya syeringkan juga dengan para pembaca tulisan singkat ini. Tulisan ini sendiri diinspirasikan oleh sebuah tulisan karangan Sdr. Silvester O’Flynn OFMCap. dalam bukunya yang berjudul “The Good News of Mark’s Year” [Dublin, Ireland: The Columbia Press, 1990/reprinted 1993].
Pada saat Yesus mengulurkan tangan-Nya dan menyentuh orang itu, maka tindakan-Nya tersebut tentunya sangat mengejutkan si penderita kusta. Mengapa? Karena dengan begitu Yesus menjadi tercemar di mata hukum Taurat, dengan demikian secara otomatis Ia tidak diperkenankan untuk berpartisipasi dalam fungsi-fungsi keagamaan Yahudi. Namun demikian, apakah yang terjadi? Bukan Yesus yang terinfeksi sakit kusta, melainkan si penderita kusta sendirilah yang terinfeksi oleh kemurnian Yesus, dengan demikian dirinya pun disembuhkan.
Peristiwa dalam Injil hari ini menggambarkan bela rasa tak terhingga dari Yesus yang mengalir keluar dari diri-Nya dan menyentuh seorang kusta. Peristiwa perjumpaan dengan orang kusta terulang kembali dalam kehidupan Santo Fransiskus dari Assisi [1181-1226]. Ternyata peristiwa tersebut merupakan hari yang paling penting dalam pertobatannya kepada Tuhan yang tersalib.
Peristiwa itu terjadi pada awal “karir”-nya sebagai seorang bentara Kristus. Fransiskus telah mulai menggunakan banyak waktu untuk berdoa namun dia masih hidup dalam keluarganya yang bukan tergolong miskin. Ia adalah anak laki-laki Bapak Pietro Bernardone, seorang pedagang kain di kota Assisi. Pada suatu hari, ketika Fransiskus menunggang kuda di lembah yang memanjang di bawah kota Assisi, dia berjumpa dengan seorang kusta: sebuah perjumpaan mendadak yang mengerikan baginya. Fransiskus memang sangat sensitif dalam hal penciuman berbagai bebauan dan citarasa. Dia sangat merasa muak apabila melihat dan mencium “aroma” yang keluar dari luka-luka tubuh seorang kusta. Dia memacu kudanya agar dapat menjauh secepatnya dari si penderita kusta. Akan tetapi hati nuraninya – yang baru dicerahkan oleh doa-doanya – sekarang mengingatkan dan menantang dirinya. Fransiskus ingat bahwa dia harus pertama-tama mengalahkan dirinya sendiri apabila dia mau menjadi seorang ksatria yang melayani Yesus Kristus. Ia pun berbalik kembali ke orang kusta itu yang sedang mengulurkan tangannya meminta sedekah. Pertama-tama Fransiskus memberikan uang yang ada padanya, lalu dia mencium orang kusta itu.
Penulis riwayat hidup resminya, Santo Bonaventura, menceritakan bahwa segera Fransiskus naik ke atas kudanya lagi dan melihat berkeliling. Walaupun lembah itu terbuka bebas sejauh mata memandang, orang kusta itu tidak kelihatan (lihat Legenda Maior I:5). Orang kusta tidak berada dalam satu tempat karena dalam artian tertentu dia ada di mana-mana. Di tengah jalanan itu Fransiskus merangkul tiga orang kusta.
Orang kusta pertama adalah si kusta yang dijumpainya secara fisik di lembah itu, yang telah membuatnya sangat merasa muak.
Orang kusta kedua adalah sisi gelap dari kepribadiannya sendiri. Anak muda yang berasal dari sebuah keluarga kaya dan sangat menyenangi kenikmatan duniawi ini tidak merasa nyaman apabila harus menghadapi orang lain yang berpenampilan buruk, wajah yang jelek, bau amis, dan juga orang yang menderita cacat fisik. Sekarang, untuk pertama kalinya Fransiskus menghadapi kenyataan yang selama itu ditakutinya. Namun ia menerima tanggung jawab atas reaksinya yang tidak Kristiani; dia merangkul “orang kusta” kedosaannya sendiri.
Orang kusta ketiga adalah Yesus Kristus yang tersalib. Hari itu merupakan hari yang paling penting bagi Fransiskus dalam “perjalanan kemuridan” (Inggris: journey of discipleship)-nya menuju Yesus Kristus. Peristiwa hari itu mempersiapkan Fransiskus untuk suatu pengalaman mistik yang akan dialaminya tidak lama kemudian di gereja San Damiano, di mana Fransiskus mendengar suara Yesus dari salib yang minta kepadanya untuk memperbaiki Gereja-Nya. Jadi, perjalanannya menuju ke perjumpaan mistik dimulai dengan perjumpaannya dengan seorang kusta di tengah jalan. Bertahun-tahun setelah peristiwa itu dan menjelang wafatnya, Fransiskus menyuruh tulis wasiatnya, bahwa Tuhan lah yang memimpinnya kepada orang kusta itu. Dia menggambarkan pertobatannya seperti berikut: “Beginilah Tuhan menganugerahkan kepadaku, Saudara Fransiskus, untuk mulai melakukan pertobatan. Ketika aku dalam dosa, aku merasa amat muak melihat orang kusta. Akan tetapi Tuhan sendiri menghantar aku ke tengah mereka dan aku merawat mereka penuh kasihan. Setelah aku meninggalkan mereka, apa yang tadinya terasa memuakkan, berubah bagiku menjadi kemanisan jiwa dan badan; dan sesudahnya aku sebentar menetap, lalu aku meninggalkan dunia” (Wasiat 1-3).
Peristiwa perjumpaan Fransiskus dengan orang kusta itu seharusnya menantang kita untuk menghadapi ciri-ciri pribadi kita sendiri yang tidak Kristiani, “sisi kusta” dari jiwa (diri) kita. Apabila ada orang lain seperti orang kusta … sampah masyarakat – para untouchables dalam masyarakat, maka seperti Fransiskus, kita pun seharusnya tertantang untuk turun dari kuda yang kita tunggangi dan bertanggung jawab atas ke-kusta-an dalam diri kita juga. Kita harus bertanya kepada diri kita masing-masing: Apakah ada semacam superiority complex atau kesombongan dalam diriku yang membuat aku merasa lebih baik daripada orang-orang lain … baik dari sudut karakter, budaya maupun spiritual? Ataukah ada masalah inferiority yang membangun sebuah tembok pemisah ketakutan dan rasa malu antara diriku dan orang-orang lain? Apakah ketidaksediaan diriku untuk mengampuni yang membuat aku hanya mempunyai ingatan singkat dan tidak mampu melihat seorang pribadi manusia secara total? Ataukah dalam diriku masih ada prasangka yang diwariskan terhadap orang-orang tertentu – yang tidak mempunyai pekerjaan … berbeda latar belakang agama dan budaya … berbeda dalam ras dan etnisitas – berbeda bahasa?
Janganlah pernah mengatakan, “tidak ada orang kusta dalam perjalanan hidupku”, karena ada satu orang kusta yang Tuhan sungguh ingin kita sentuh. Orang kusta itu adalah seorang pribadi yang terinfeksi yang hidup dalam kedosaan kita. Oleh karena itu marilah kita turun dari kuda yang kita tunggangi dan kembali ke jalan memori. Sekarang, kita sentuh, kita rangkul dan kita cium orang kusta itu … bagian dari diri kita yang selalu kita sangkal atau benci. Marilah kita terima tanggung jawab atas perasaan-perasaan kita … prasangka-prasangka kita … luka-luka kita … dan blind spots kita. Kita harus menjadi pemilik dari kisah perjalanan hidup kita sendiri dan membawanya kepada Yesus untuk dibersihkan dan disembuhkan. Maka, seperti halnya dengan Bapak Fransiskus, berkat rahmat Allah, “apa yang tadinya terasa memuakkan akan diubah menjadi kemanisan jiwa dan badan”.
Cilandak, 12 Februari 2012 [HARI MINGGU BIASA V]
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS