Peringatan: 7 Maret
Pada tanggal 7 Maret, para Fransiskan Sekular seyogianya memperingati orang kudus ini, meskipun namanya praktis tidak dikenal di Indonesia. Margaret Lekeux yang dikenal juga dengan nama Maggie oleh orang-orang miskin di Liége, dilahirkan di Arlon, Belgia, pada tanggal 2 Agustus 1892. Ayahnya menjadi invalid, cacat permanen, dua tahun setelah perkawinannya, dan ibundanya mencari nafkah untuk keluarga sebagai sebagai seorang guru. Keluarga ini pindah ke Liége ketika Maggie berumur 17 tahun. Pada waktu itu dia sedang bersekolah di sebuah kolese; dan di Liége dia melanjutkan sekolahnya selama dua tahun lagi. Salah seorang saudara laki-lakinya dan penulis riwayat hidupnya bernama Pater Martial yang masuk Ordo Fransiskan. Sebelum meninggalkan rumahnya Maggie mohon nasihat dari saudaranya ini. Dia tahu bahwa kedua orang tuanya mengharapkan Maggie bekerja sebagai seorang guru dalam sekolah tatabahasa (terjemahan saya dari grammar school dalam bahasa Inggris), namun dia hanya menginginkan satu hal, yaitu melanjutkan studinya. Pater Martial menganjurkan kepada Maggie agar menjalani suatu kehidupan pengorbanan diri dan penolakan akan hal-hal duniawi.
Maggie membuat pengorbanan seturut nasihat saudara laki-lakinya itu, dan dia menemukan kekuatan dalam doa. Ia memilih motto: “Aku ingin untuk hidup di dalam dunia untuk melakukan kebaikan.” Ia kemudian memilih menjadi guru sekolah untuk sisa hidupnya yang pendek itu, pertama-tama di sebuah sekolah yang dijalankan oleh para suster Puteri Kasih (Para Puteri S. Vincentius de Paul) di sebuah suburb yang dinamakan “the Congo of Seraing”, lalu di sebuah sekolah yang dijalankan oleh Suster-suster Santa Maria tidak jauh dari rumahnya, dan akhirnya di sebuah sekolah yang dijalankan oleh para suster Benediktin. Selama hari-hari libur dan setelah jam sekolah, Maggie mengabdikan diri pada karya-karya kasih dengan penuh semangat dan penuh kesabaran. Maggie seringkali disalahpahami oleh orang-orang, namun dia terus bertekun dalam tugas yang ditetapkannya sendiri. Dalam menjalankan karya-karya karitatifnya, Maggie dibantu oleh seorang perempuan yang bernama Joan. Berdua mereka mengunjungi rumah-rumah orang miskin, menolong orang-orang yang mempunyai berbagai kebutuhan dan juga orang-orang sakit dengan segala sarana yang dimiliknya. Selama melakukan pekerjaan karitatif itu banyak orang bertobat. Bagi keluarga-keluarga miskin di Flemings, yang adalah para buruh tambang, pabrik dan pegawai perusahaan kereta api, Maggie menjadi seorang “malaikat penolong”.
Maggie hidup tinggal bersama kedua orangtuanya di Jalan Hesbaye yang terletak di depan biara Fransiskan, dan salah seorang saudara dina dari biara itu yang juga berkarya di bidang kerasulan dan pekerjaan sosial di tengah-tengah orang-orang Flemings menjadi pembimbing rohaninya. Maggie kemudian bergabung dengan Ordo Ketiga Sekular Santo Fransiskus pada tahun 1913, dan secara bertahap dia melepaskan jiwanya dari segala macam cinta-diri, merangkul suatu kehidupan yang secara total-lengkap menolak nilai-nilai keduniawian, mengabdikan diri sepenuhnya (tanpa reserve) pada kasih kepada Allah dan sesama.
Sementara itu pecahlah Perang Dunia I. Pada tanggal 7 Agustus 1914, tentara Jerman telah merebut benteng pertahanan di Liége. Maggie belajar ilmu perawatan pada Palang Merah beberapa saat sebelum perang pecah, dan dia pun melibatkan diri merawat para tentara yang terluka di rumah-rumah sakit sederhana dan miskin yang dijalankan oleh para Yesuit dan Fransiskan. Setelah situasi kelihatan sudah kembali normal, Maggie melanjutkan karya sosial dan apostoliknya di tengah-tengah orang-orang Flemings.
Pada saat perang pecah, tiga orang saudaranya laki-laki (dua diantaranya adalah Fransiskan), dipanggil untuk terlibat dalam perang. Kedua orangtuanya yang sudah tua hampir tidak bisa lagi dihibur. Namun berulang-ulang kali Maggie meyakinkan mereka bahwa ketiga anak laki-laki mereka akan kembali pulang dengan selamat. Ia begitu yakin akan hal itu, karena secara rahasia dia telah menyerahkan dirinya sebagai kurban persembahan kepada Allah, supaya Allah boleh menyelamatkan tiga orang saudaranya dari perang yang begitu kejam. Allah menerima kurban persembahannya pada hari Rabu Abu tanggal 8 Maret 1916, pada waktu dia berusia 23 tahun dan 7 bulan. Sebenarnya dia telah meramalkan kematiannya ini beberapa bulan sebelumnya. Maggie meninggal karena menderita satu penyakit yang misterius. Ketiga orang saudaranya semua selamat ketika PD I usai pada tahun 1918, padahal mereka semua berkali-kali sudah berada di depan pintu maut. Bahaya yang mereka hadapi begitu besar dan nyata, sehingga keluarnya mereka dari ancaman maut sungguh merupakan keajaiban.
Kehidupan Maggie menunjukkan dengan jelas bahwa kebesaran atau keagungan yang sejati dan kebahagiaan yang asli tidaklah berasal dari upaya mati-matian untuk mencari pemuasan diri dan mencari kehormatan diri sendiri, melainkan dari penyangkalan diri dan pengorbanan diri. Contoh yang diberikan oleh Maggie ini menunjukkan bahwa di tengah-tengah dunia yang dipenuhi dengan berbagai kegiatan, seorang insan dapat menjalani kehidupan yang bersatu dengan Allah, tidak mampu terhalangi oleh hal-hal duniawi. Hidup dan karyanya adalah sebuah contoh praktis dari tindakan Katolik yang heroik. Banyak orang yang mempunyai berbagai kebutuhan kemudian memperolehnya karena doa syafaat dari Hamba Allah Margaret Lekeux. Demikian cerita singkat dari Maggie, seorang Fransiskan sekular teladan.
[Sumber penulisan: Marion A. Habig OFM, THE FRANCISCAN BOOK OF SAINTS]
Cilandak, 7 Maret 2011
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS