Pesta: 11 Agustus
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS **)
Pax et Bonum!
Pada hari Pesta Santa Klara ini saya mau mengajak saudara-saudari untuk secara singkat bersama-sama mengenang dan merenungkan siapa Santa Klara ini dan sumbangan apa saja yang telah diberikan olehnya kepada gerakan Fransiskan dalam Gereja. Untuk itu saya akan sharing dengan saudara-saudari sekalian apa yang baru saya simak dan renungkan dari buku karangan Pater Murray Bodo OFM yang berjudul “The Way of St. Francis: The Challenge of Franciscan Spirituality for Everyone”, khususnya bab 8 yang berjudul ‘St. Clare’.
Siapa Santa Klara dari Assisi?
Dari semua orang kudus Fransiskan yang besar, demikian tulis Sdr. Bodo, Klara adalah yang paling terbungkus dalam misteri. Barangkali ini disebabkan oleh fakta bahwa dia adalah seorang kontemplatif yang hidup batinnya tersembunyi dari kita, kecuali yang secara tidak langsung diungkapkan dalam tulisan-tulisannya. Banyak sekali cerita-cerita tentang Fransiskus, namun sedikit saja cerita mengenai Klara, perempuan pertama yang bergabung dengan Fransiskus dan para saudaranya.
Hubungan antara Klara dan Fransiskus
Pada mulanya hubungan antara Klara dan Fransiskus adalah hubungan antara seorang anak rohani dan bapak rohaninya; dan meskipun dia selalu memanggil/menyapa Fransiskus sebagai ‘Bapak suci kita Fransiskus’, Klara menjadi lebih daripada sekadar seorang anak rohani. Klara akhirnya tampil sebagai teman Fransiskus yang paling setia, perwujudan yang paling lengkap dari impian dan cara hidup yang diterima Fransiskus dari Tuhan, Klara menjadi mitranya, sisi feminin yang melengkapi laki-laki Injili yang secara radikal mengikuti jejak Kristus.
Hampir sejak dari awalnya hidup Fransiskan telah dimasuki dengan unsur-unsur maskulin maupun feminin. Kehidupan Fransiskan semacam ini mengedepankan kekayaan hidup Injili atau kehidupan apa saja, ketika dia menolak untuk sekadar memiliki sifat maskulin, atau sekadar memiliki sifat feminin. Sdr. Bodo merasakan San Damiano dan kehidupan yang dihayati para penghuni di dalamnya itu seperti rahim seorang perempuan. Di lain pihak dia mempunyai adanya sesuatu yang sangat maskulin dalam hal ‘penggerebekan’ para saudara dina yang terus-menerus ke dalam dunia untuk mewartakan dan memberikan kesaksian Injili. Sdr. Bodo kemudian mengatakan bahwa sisi yang satu tidak akan berhasil tanpa yang lain. Hidup jalanan para saudara dina memperkaya hidup kontemplatif para suster Klaris. Pada gilirannya, hidup para saudari miskin ini memungkinkan terwujudnya keefektifan hidup kerasulan dan pewartaan para saudara dina.
Hubungan antara Fransiskus dan Klara serta hubungan antara para saudara dina dan para saudari miskin tidaklah romantis seperti hubungan antara para ksatria dengan puteri-puteri dalam cerita-cerita cinta para bangsawan, namun mereka sungguh dipersatukan dengan suatu ikatan persahabatan rohani mendalam yang disebabkan oleh cintakasih yang intens kepada Yesus Kristus serta perjuangan bersama untuk mempertahankan cita-cita Injili mengenai kemiskinan sukarela.
Fransiskus dan Klara tidak sering bertemu satu sama lain, tetapi Fransiskus mengetahui pergumulan-pergumulan dan penderitaan-penderitaan yang dialami Klara dan sebaliknya. Mereka mengikuti perjalanan suci masing-masing secara independen, namun digabung menjadi sehati dan sejiwa oleh panggilan dari Kristus yang miskin, yang menarik mereka.
Fransiskus dan Klara adalah seperti Adam dan Hawa baru, yang melakukan pemugaran ‘Taman Kekristenan Barat’ yang sedang mengalami kerusakan; meskipun mereka bekerja secara terpisah, mereka masing-masing tahu bahwa mereka sesungguhnya tak terpisah. Kesatuan hati dan jiwa mereka ini dicerminkan dalam seni dan literatur populer abad pertengahan sampai zaman modern ini. Cerita mengenai Santo Fransiskus tidak pernah lengkap tanpa Santa Klara; demikian pula cerita tentang Santa Klara tidak pernah lengkap tanpa Santo Fransiskus. Pada kenyataannya, seperti juga dalam pemikiran orang-orang biasa, hidup Fransiskan mengandung dua unsur tadi, yaitu baik maskulin maupun feminin. Dan ……lambang-lambangnya adalah Fransiskus dan Klara sendiri.
Ada cerita rakyat abad pertengahan yang tidak hanya mengungkapkan bagaimana orang-orang sezaman memandang Fransiskus dan Klara, akan tetapi juga melambangkan perpaduan mendalam antara aspek maskulin dan aspek feminin dalam cara Fransiskus bersatu dengan Allah dan segenap ciptaan. Cerita ini terdapat dalam karangan Arnaldo Fortini yang berjudul “Vita Nuova di San Francesco d’Assisi” yang terbit di Milan pada tahun 1926:
Pada suatu hari Fransiskus dan Klara berada dalam perjalanan bersama dari Spello menuju Assisi. Di tengah perjalanan mereka berhenti dan mengetuk pintu sebuah rumah untuk mohon diberikan sedikit roti dan air. Keluarga di rumah itu mengundang mereka masuk, akan tetapi disertai pandangan curiga. Mereka menyindir Fransiskus dan Klara sehubungan dengan perjalanan mereka yang hanya berdua-duaan itu.
Kedua orang kudus itu kemudian melanjutkan perjalanan mereka melalui dataran di luar perkotaan yang dipenuhi salju, karena memang pada waktu itu musim dingin. Ketika hari mulai senja, tiba-tiba Fransiskus berkata, “Tuan Puteri Klara, apakah engkau mengerti apa yang disindirkan oleh orang-orang tadi?” Akan tetapi Klara terlalu sukar untuk menjawab karena takut kata-kata itu menyangkut di tenggorokannya.
Lalu Fransiskus berkata lebih lanjut. “Sekarang tiba saatnya kita berpisah. Engkau akan sampai di San Damiano di malam hari dan akau akan pergi berjalan sendiri ke mana saja Allah memimpinku.”
Lalu Klara berlutut di tengah-tengah jalan. Dia berdoa dalam keheningan dan berjalan pergi tanpa menoleh balik. Klara berjalan sampai dia memasuki tempat yang lebat penuh pepohonan, lalu dia berhenti, tak mampu melanjutkan perjalanannya tanpa kata-kata hiburan atau perpisahan dari Fransiskus. Dengan demikian dia menunggu Fransiskus di sana. Ketika Fransiskus sampai di hutan itu, Klara berkata, “Bapak, kapan kita berdua dapat bertemu lagi?” Jawab Fransiskus, “Apabila musim panas kembali dan bunga-bunga mawar berkembang.”
Lalu terjadilah sebuah mukjizat: Semua semak-semak intan saru (juniper) dan pagar tanam-tanaman di sekeliling mereka yang membeku menjadi penuh dengan bunga mawar. Setelah sadar dari rasa kekagumannya, Klara berjalan menuju semak-semak itu dan mengambil segenggam bunga mawar dan memberikan bunga-bunga itu kepada Fransiskus.
Dengan demikian, kata legenda itu, sejak saat itu Fransiskus dan Klara tidak pernah sungguh-sungguh berpisah lagi.
Berikut ini adalah catatan yang dibuat oleh Sdr. Leonard Foley, OFM dalam bukunya “Saint of the Day”:
Kehidupan religius Klara selama 41 tahun merupakan bahan yang jelek untuk pembuatan film, namun merupakan sebuah skenario kesucian: suatu ketetapan hati atau keputusan yang gigih dan sukar dikekang untuk menjalani hidup Injili yang sederhana dan literal seperti diajarkan Fransiskus kepadanya; perlawanan yang berani terhadap tekanan yang terus ada untuk ‘mengobok-obok’ cita-cita; suatu semangat untuk kemiskinan dan kerendahan hati; suatu kehidupan doa yang penuh gairah; dan suatu keprihatinan penuh kemurahan-hati terhadap para saudarinya.
Pada saat-saat ajalnya, di atas pembaringannya, terdengar Klara berbicara dengan dirinya sendiri: “Pergilah dalam damai karena engkau telah mengikuti jalan yang baik. Pergilah tanpa takut karena Dia yang menciptakan engkau telah membuatmu kudus, telah selalu melindungimu dan mengasihimu sebagai seorang ibu. Terpujilah Engkau Allah-ku karena telah menciptakan daku.”
Seperti Santo Fransiskus dari Assisi, Santa Klara dari Assisi bukanlah seorang Pujangga Gereja. Akan tetapi, seperti juga Fransiskus, Klara adalah seorang kudus luarbiasa yang patut kita teladani perikehidupannya. Santa Klara dari Assisi, doakanlah kami!
DEUS MEUS ET OMNIA
*) Dikutip dengan perbaikan-perbaikan kecil dari Memorandum Minister (Persaudaraan OFS Santo Ludovikus IX, Jakarta) No. Min/09/99 tanggal 11 Agustus 1999 dengan judul “SANTA KLARA”.
**) Seorang Fransiskan sekular, tinggal di Cilandak, Jakarta Selatan.