HARI RAYA BAPA SANTO FRANSISKUS DARI ASSISI: 4 OKTOBER
Seluruh pesan kehidupan Fransiskus dan khotbah-khotbahnya adalah DAMAI-SEJAHTERA, kedamaian, perdamaian. Cerita berikut ini hanyalah salah satu episode dalam kehidupan sang PEMBAWA DAMAI.
Fransiskus, Klara dan semua gerakan Fransiskan bukanlah bagian dari orang-orang yang memegang kekuasaan, baik di bidang politik maupun keagamaan. Mengapa begitu? Karena mereka memang tidak menginginkannya. Sebagai orang-orang yang sederhana, mereka mampu dan ingin terbuka bagi orang-orang lain. Pada tahun 1215 Konsili Lateran IV menginisiasi Perang Salib (Inggris: Crusade) yang baru melawan orang-orang Muslim. Kali ini Perang Salib ke-5 (dari 8), yang berlangsung dari tahun 1218-1221.
Ketika Fransiskus memberitahukan niatnya itu, komandan pasukan Perang Salib tertawa tergelak-gelak. “Oh, Poverello (Orang kecil miskin)! Engkau memang seorang badut! Tidak ada kesempatan sedikit pun bagimu untuk melewati garis pertahanan mereka!” Fransiskus menjawab, “Akan tetapi, apabila mereka melihat diriku tanpa membawa senjata, dan bahwa niatku satu-satunya adalah bertemu dengan Pak Sultan, pastilah para serdadunya memperkenankan aku melewati garis pertahanan mereka.” “Aku harap bahwa aku mempunyai rasa percaya diri seperti yang anda miliki”, gumam sang komandan. Namun langsung dia menyambung: “Aku tidak akan pernah memaafkan diriku apabila terjadi apa-apa atas dirimu.” Kemudian sambil tertawa Fransiskus berkata: “Kalau hal itu yang meresahkan dirimu, aku akan memaafkan dirimu sekarang juga. Percayalah kepadaku, adalah niatku yang paling dalam untuk mati bagi Tuhanku.” “Kalau begitu ……”, kata sang komandan sambil mengusap-usap dahinya dengan penuh keraguan.
Memang Fransiskus sudah berketetapan hati untuk masuk ke dalam sarang musuh, dan tidak ada seorang pun yang dapat menghentikannya. Sambil tersenyum Fransiskus memandang sang komandan dan sukacita yang memancar dari matanya pun mencairkan hati sang komandan. “Oh, pergilah kalau engkau harus melakukannya, tetapi ingatlah bahwa sebenarnya aku tidak memberikan izin kepadamu! Aku akan memerintahkan orang untuk mengawalmu.” Fransiskus: “Saudara Illuminato dan aku akan mempercayakan diri kami pada perlindungan Allah.” Komandan: “Kalau begitu aku memerintahkan mempersiapkan kuda-kuda untukmu.” Fransiskus: “Terima kasih, Saudara Illuminato dan aku akan berjalan kaki.” Sang komandan menggaruk-garukkan kepalanya tanpa habis mengerti sementara para pengemis yang berpakaian compang-camping itu meninggalkan kamp pasukan Perang Salib, dan mereka berjalan sambil bernyanyi memuji-muji Allah.
Serdadu-serdadu Sarasin (Islam) tidak kalah kagetnya menyaksikan keberanian Fransiskus dan saudaranya itu. Langsung saja mereka menarik kesimpulan bahwa mereka adalah orang-orang gila, oleh karena itu berada di bawah perhatian istimewa dari Allah. Para serdadu itu mengawal mereka ke tempat kediaman Sultan Malek el-Kamil. Dengan demikian, di Damietta Fransiskus melakukan dua hal yang mengejutkan: Pertama-tama dia berhasil meninggalkan kamp serdadu Perang Salib, hal mana dapat dipandang sebagai suatu tindakan pengkhianatan. Kedua, dia berhasil menghadap Sultan Malek al-Kamil dalam keadaan hidup, pada masa di mana orang-orang Muslim akan diberi hadiah sekeping uang logam emas untuk setiap kepala orang Kristiani. Gambarannya adalah seperti Daud berhadap-hadapan dengan Goliat – Fransiskus yang tidak bersenjata datang menghadap Sultan yang sangat berkuasa.
Seorang saksi independen, Yakobus dari Vitry, Uskup Acre di Palestina, pada tahun 1220 menulis yang berikut ini: “Pemimpin dari ordo yang baru ini, ketika datang ke pasukan kita, dibakar oleh semangat iman, pergi menyeberang ke pasukan Sarasin, dan mereka membawa dia ke hadapan Sultan, yang untuk beberapa hari lamanya mendengarkan dengan penuh perhatian khotbah-khotbahnya, dan kemudian karena merasa takut kalau-kalau ada anggota pasukannya yang kemudian menjadi beriman kepada Kristus, mengirim dia kembali kepada kita dengan segala kehormatan, sambil berkata: “Doakanlah aku, agar Allah mewahyukan kepadaku iman yang paling menyenangkan bagi diri-Nya”
Dari dokumen-dokumen pada masa itu, dapat kita katakan bahwa Fransiskus berada dalam lingkungan markas orang Muslim untuk beberapa hari lamanya. Fransiskus berhasil membangun komunikasi dengan sang Sultan, sebuah komunikasi dua arah. Kelihatannya tidak ada upaya dari masing-masing pihak untuk “mempertobatkan” pihak yang lain. Sang Sultan terkesan pada Fransiskus, sebaliknya Fransiskus terkesan pada iman sang Sultan. Ada sikap saling menghargai, sebuah syarat mutlak terciptanya perdamaian antara pihak-pihak yang berkonflik.
Seandainya para pemimpin tentara Perang Salib tidak bersikeras dalam pendirian mereka, maka suatu persetujuan damai dapat saja menjadi kenyataan. Akan tetapi para serdadu yang memakai tanda salib itu memang ingin berperang. Pada saat perpisahan, sang Sultan dengan penuh kehangatan merangkul kedua saudara dina itu, lalu berkata kepada Fransiskus, “Doakanlah aku agar Allah menunjukkan kepadaku iman yang paling menyenangkan-diri-Nya.”
Perjumpaan Fransiskus dengan Sultan Malek el Kamil merupakan sebuah pertemuan terkenal. Salah satu buah pertemuan itu adalah diperbolehkan masuknya pada saudara dina ke dalam daerah-daerah yang dikuasai Sultan, sebagai para penjaga tempat-tempat suci di Palestina – suatu tugas para saudara dina yang masih diemban dengan baik sampai hari ini.
Fransiskus adalah sungguh seorang insan pembawa damai (a man of peace). Hampir tidak apa pun dalam hatinya yang lebih up-to-date daripada komitmennya pada perdamaian. Dan komitmen pada terciptanya perdamaian (tanpa kekerasan) ini adalah salah satu warisan terpenting Bapak Fransiskus bagi kita, para Fransiskan.
Sumber: (1) Francis de Beer, ‘WE SAW BROTHER FRANCIS”, hal. 98-112; (2) Jean Francois Godet-Calogeras, WHEN “PEACE” MEETS “SALAAM”, TAU – A JOURNAL OF SEARCH INTO THE VISION OF FRANCIS, Volume XX Number: 4, December 1995, hal.118-120; (3) Shelagh Halley, FRANCIS OF ASSISI, hal. 10-11; (4) P. Ambrose Ryan, OFM, STD, ST. FRANCIS OF ASSISI & HIS FRIARS, hal. 11-12; (5) Franciscan Institute of Spirituality in India, WE ARE SENT – A PROGRAM OF STUDY ON THE FRANCISCAN MISSIONARY CHARISM, hal. 185-195.
Cilandak, 4 Oktober 2011
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS