Sdr. F.X. Indrapradja, OFS *)
Gereja kecil di Ars, negeri Perancis, begitu panas pada musim panas dan sangat dingin pada musim dingin. Namun orang-orang selalu berduyun-duyun datang ke desa itu, seakan-akan tanpa henti. Seringkali mereka menunggu berhari-hari lamanya dengan penuh kesabaran. Untuk apa? Untuk mendapat giliran masuk ke dalam kamar pengakuan. Pastor parokinya bernama Jean-Marie Baptiste Vianney. Imam praja ini biasanya sampai di gereja itu sekitar jam 1 atau 2 di pagi hari dengan membawa sebatang lilin bernyala, dan hal ini dilakukannya setiap hari. Setelah berdoa di depan altar, dia langsung mengambil tempatnya di kamar pengakuan dan mulai mendengarkan pengakuan dosa umat Katolik yang datang. Untuk pastor desa itu, kegiatannya pada suatu hari tertentu akan berlanjut dengan cara yang sama – sampai larut malam, dan dimulai lagi pada dinihari keesokan harinya. Para peziarah terus berdatangan, dan mereka semua ingin mengakukan dosa mereka masing-masing kepada sang Curé d’Ars (Pastor paroki dari Ars). Pada suatu hari Abbè Vianney pernah berkata, bahwa pada tahun bersangkutan saja telah bertobat 700 orang ‘pendosa kelas berat’.
Karena kemasyhuran pastor sederhana ini, maka sejak tahun 1827-1859 paroki desa Ars tidak pernah sepi atau kosong. Pada tahun 1859 tercatat ada 80.000 peziarah yang datang mengunjungi Ars dengan menggunakan transportasi umum. Kalau memperhitungkan para peziarah yang datang dengan kendaraan sendiri, maka jumlahnya diperkirakan berkisar antara 100.000-120.000 orang.
Siapa Abbè Vianney ini, siapa dia sebenarnya? Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan dirinya mampu menarik orang datang ke Ars untuk mengaku dosa? Berikut ini adalah ceritanya.
Seorang imam yang suci. Jarang sekali kehidupan seorang imam begitu sucinya, begitu penuh dengan pengorbanan diri, begitu berbuah dengan hal-hal yang baik untuk keselamatan jiwa-jiwa, seperti kehidupan dari Santo Yohanes Maria Vianney yang meninggal dunia pada tanggal 4 Agustus 1859. Memang tidak banyak orang yang mengetahui bahwa imam praja ini adalah seorang anggota Ordo Ketiga Santo Fransiskus (sekular). Namun kenyataan ini merupakan kehormatan tersendiri bagi keluarga besar Fransiskan pada umumnya dan Ordo Fransiskan Sekular khususnya.
Iblis dan roh-roh jahat pengikutnya tentunya tidak senang dengan orang yang hidup suci. Oleh karena itu tidak mengherankanlah apabila kita membaca cerita mengenai pertempuran spiritual berkesinambungan orang kudus ini untuk melawan serangan-serangan dari Iblis dan roh-roh jahat. Santo Yohanes Maria Vianney seringkali mengalami kehadiran Iblis secara fisik. Dia diganggu si Jahat sedemikian rupa agar tidak dapat atau sukar tidur, lewat suara bising-keras-menakutkan yang menyerang dirinya disertai kata-kata mengancam. Seperti kita akan lihat dalam uraian tentang ‘pertempuran spiritual’ dalam tulisan ini, pastor paroki desa ini mengalami kunjungan tidak bersahabat dari si Jahat dan antek-anteknya untuk masa lebih dari 30 tahun lamanya.
Masa mudanya sampai beranjak dewasa. Yohanes Maria Vianney dilahirkan pada tanggal 8 Mei 1786 di Dardilly, 8 km dari Lyons, Perancis. Orangtuanya, Matthieu dan Marie Vianney, mempunyai enam orang anak. Yohanes adalah adalah anak keempat. Matthieu dan Marie adalah petani. Dengan demikian anak-anak mereka sejak masih kecil sudah dibiasakan untuk membantu pekerjaan orangtua mereka di ladang pertanian. Keluarga Vianney ini adalah keluarga Katolik yang setia. Marie mendidik anak-anaknya untuk menjadi pribadi-pribadi yang mengasihi Allah. Yohanes sendiri adalah seorang anak yang lincah dan bersemangat, namun dalam hal yang menyangkut agama, dia adalah seorang yang terlalu cepat menjadi dewasa.
Sejak berusia sekitar tujuh tahun Yohanes bertugas untuk menggembalakan domba dan hewan peliharaan lainnya. Dalam melaksanakan tugasnya ini, Yohanes biasanya dibantu oleh adik perempuannya. Sementara duduk mengawasi kawanan domba dan hewan-hewan lainnya, mereka merajut kaus kaki dari bahan wool. Kadang-kadang Yohanes minta kepada adiknya untuk merajut kaus kaki yang merupakan bagian tugasnya, agar dia dapat berdoa atau membangun gua untuk menaruh patung Maria kecil yang dibuatnya dari kayu, atau membuat patung-patung miniatur orang kudus dari tanah liat. Manakala anak-anak gembala yang lain datang untuk melihat apakah yang dilakukan oleh Vianney bersaudara, maka Yohanes akan berbicara tentang topik agama dengan mereka. Jadi sebenarnya Yohanes menjadi seorang ‘katekis’ bagi teman-temannya. Pada waktu itu memang banyak anak-anak tidak menerima pendidikan agama dalam rumah mereka masing-masing secara semestinya.
Pada masa itu berkecamuk Revolusi Perancis dengan segala dampak buruknya. Yohanes menghadiri Misa Kudus dengan keluarganya secara rahasia karena gereja-gereja telah ditutup, sebuah konsekuensi tragis dari Revolusi Perancis. Para rohaniwan banyak yang terpaksa melarikan diri dan kemudian bersembunyi. Keluarga Vianney seringkali memberikan tumpangan atau tempat persembunyian bagi para ‘pelarian-suci’ itu. Keluarga Vianney ini juga dikenal suka memberikan derma kepada orang-orang miskin. Meskipun berani menanggung risiko seperti baru diceritakan tadi, keluarga Vianney ini tidak pernah dikhianati.
Yohanes mulai bersekolah pada waktu dia berumur sembilan tahun. Gurunya sangat menyayangi Yohanes karena tingkah laku dan pelaksanaan tugas-tugasnya dinilai sempurna. Yohanes bukanlah seorang anak yang bodoh, akan tetapi memang dia mengalami kesulitan besar dalam mata-mata pelajaran di luar katekismus. Ketika berusia sebelas tahun, yaitu pada tahun 1797, Yohanes untuk pertama kalinya menerima sakramen pengakuan dari seorang imam-misionaris yang sedang berada dalam suatu tempat persembunyian. Untuk waktu yang singkat Yohanes tinggal di rumah seorang bibinya agar dapat dekat dengan para suster yang secara diam-diam mempersiapkan anak ini untuk menyambut Komuni Kudus yang Pertama, yang berhasil terlaksana ketika dia berusia 13 tahun.
Setelah masa anak-anaknya berakhir, Yohanes bekerja di ladang sebagai petani. Kesalehannya, hidup doanya yang konstan, keterus-terangannya sebagai seorang pribadi dan sikapnya yang selalu santun, membuat dirinya disayangi oleh semua orang yang sempat mengenalnya. Benih-benih panggilannya untuk menjadi seorang imam sudah terasa agak nyata pada masa itu. Pada suatu hari dia berkata: “Jika aku seorang imam, aku harus memenangkan banyak jiwa untuk Allah.” Ketika dia berumur 16 tahun, Yohanes memberitahukan keluarganya bahwa dia berniat menjadi seorang imam. Namun sang ayah tidak setuju kalau anak muda ini pergi belajar menjadi imam, karena di matanya Yohanes adalah seorang pekerja ladang yang baik dan diperlukan dalam keluarga Vianney. Satu faktor penting lagi yang ada dalam pikiran sang ayah adalah, bahwa keluarga Vianney tidak mempunyai cukup uang untuk membiayai pendidikan yang diperlukan. Pergumulan atau perjuangan ini berlangsung terus untuk beberapa tahun lamanya. Akhirnya sebuah sekolah imam dibuka oleh Abbé Balley di Ecully tidak jauh dari tempat kediaman mereka, dan ayahnya pun memberikan persetujuan atas permohonan anaknya untuk sekolah imam. Yohanes yang pada waktu itu sudah berusia 19 tahun meninggalkan rumahnya dengan hati yang berbahagia.
Di sekolah imam. Di sekolah itu, Yohanes berusaha belajar sekeras mungkin, namun dia ‘nggak mudeng’ kalau berhadapan dengan pelajaran tata-bahasa Latin. Bertahun-tahun lamanya dia menekuni pekerjaan sebagai seorang petani ladang, bukan belajar di bangku sekolah. Siswa-siswa yang lain melihat hidup doa Yohanes, puasanya dan kerajinannya. Mereka mencoba menolong Yohanes – si murid ‘bodoh’ tapi suci ini! Teman-teman Yohanes di sekolah itu rata-rata berumur 12 tahun. Tapi anak-anak yang berusia semuda itu tidaklah sabar seperti orang yang sudah jauh lebih dewasa. Salah satunya adalah Mathias Loras, yang pada suatu hari, di hadapan teman-teman yang lain, meninju Yohanes di kupingnya karena kehilangan kesabarannya pada waktu menolong Yohanes yang begitu ‘bebal’ dalam hal belajar. Apa yang terjadi selanjutnya? Yohanes malah berlutut dan dengan rendah-hati memohon pengampunan atas Mathias yang telah memperlakukannya dengan kasar dan menyakitkan hati. Pada saat itu juga Mathias yang memiliki hati emas dan sifat penuh kasih, tiba-tiba ditimpa rasa sedih yang luarbiasa. Dengan wajah yang masih dipenuhi linangan airmata dia menjatuhkan dirinya ke tangan-tangan Yohanes yang pada saat itu masih dalam posisi berlutut. Saat itu merupakan awal dari suatu persahabatan yang lama antara dua orang insan ini. Mathias Loras kelak menjadi seorang uskup-misionaris yang diutus ke Amerika Serikat dan akhirnya menjadi Uskup di Dubuque, Iowa. Dia berusaha menyamai kesucian temannya dengan begitu baiknya sehingga banyak orang menilai dirinya juga pantas untuk dikanonisasikan menjadi seorang santo.
Untuk beberapa saat selama masa pendidikannya Yohanes merasa tidak sanggup dan hampir menyerah. Dia memberitahukan gurunya yang baik hati itu, Abbé Balley, bahwa dia ingin pulang ke rumahnya. Mendengar apa yang disampaikan Yohanes, Abbè Balley mengingatkan kembali kepada Yohanes akan makna imamat dan bekerja untuk keselamatan jiwa-jiwa. Dia membujuk muridnya untuk bertahan. Kemudian Yohanes berziarah ke tempat penghormatan kepada Santo Fransiskus Regis agar mendapat rahmat Allah yang diperlukan untuk dapat belajar bahasa Latin secukupnya, supaya dia mampu menyelesaikan teologinya. Sepulangnya dari ziarah itu, dia mengalami kemajuan dalam studinya – dengan tempo yang lambat namun memang lebih baik. Ketika berumur 21 tahun Yohanes akhirnya menerima Sakramen Penguatan/Krisma.
Penyelenggaran Ilahi sebagai realitas: Panggilan wajib militer yang gagal dipenuhi. Pada tahun 1809 Yohanes mendapat panggilan militer angkatan darat. Hal ini disebabkan adanya kekeliruan administratif, yaitu namanya tidak tercantum sebagai seorang siswa calon imam yang bebas wajib militer. Dia harus melaporkan diri ke markas militer di Lyons pada tanggal 26 Oktober 1809, namun dua hari kemudian Yohanes jatuh sakit dan harus masuk rumah sakit dan ditinggalkan oleh detasemennya. Pada tanggal 5 Januari 1810, ketika dia belum pulih benar, Yohanes diperintahkan untuk melaporkan diri ke markas militer di Roanne pada keesokan hari. Karena dia pergi berdoa di gereja terlebih dahulu, maka Yohanes datang terlambat. Sekali lagi dia ditinggalkan, namun Yohanes berupaya untuk mendaftar di Renaison. Dia belum sempat mengenakan atribut militer apapun, kecuali tas-ranselnya.
Dalam perjalanannya, ketika beristirahat dekat pegunungan La Forez, tiba-tiba muncul seorang asing. Dia mengambil tas-ransel milik Yohanes dan memberi perintah kepada Yohanes untuk mengikutinya. Mereka sampai ke sebuah gubuk yang terletak di desa pegunungan Les Noёs. Pada saat itu sadarlah Yohanes bahwa orang itu adalah seorang desersi angkatan darat. Ternyata banyak lagi desersi militer yang bersembunyi di kawasan hutan di sekitar situ. Sebagai seorang yang lugu-jujur, Yohanes melihat bahwa situasi seperti itu tidak benar. Maka dia melaporkan diri kepada Bapak Wali Komune di situ, M. Fayot. Pejabat ini ternyata seorang yang berperikemanusiaan dan berakal-sehat. Pak Fayot mengatakan kepada Yohanes bahwa dia secara teknis sudah merupakan seorang disersi yang merupakan suatu kejahatan melawan negara. Dari dua kejahatan di mata negara, maka harus dipilih kejahatan yang lebih ringan sifatnya, yaitu tetap berada dalam persembunyian. Pak Fayot malah membantu Yohanes memperoleh tempat tinggal, yaitu di rumah sepupunya sendiri (dalam kandang yang ditutupi dengan jerami). Yohanes tinggal di sana untuk 14 bulan lamanya. Beberapa kali dia nyaris tertangkap dan satu kali hampir terkena oleh sebilah pedang yang ditusukkan ke tumpukan jerami oleh polisi (gendarmes). Di bulan Maret 1810 Kaisar, berkaitan dengan pernikahannya dengan Marie-Louise, memproklamasikan suatu amnesti umum atas para desersi. Di awal tahun 1811 Yohanes kembali menjadi seorang bebas karena seorang saudaranya menggantikan dirinya secara sukarela, dengan mendaftarkan diri sebagai tentara, padahal belum waktunya untuk itu.
Pada waktu itu dia sudah berumur 24 tahun. Di sekolah dia bertemu kembali dengan gurunya yang baik, Abbé Balley. Beginilah bunyi ‘Rapor’ Yohanes: “Aplikasi, kelakuan dan karakter … Baik. Pengetahuan umum … Sangat lemah.”
Jalan menuju tahbisan yang tidak rata. Pada tahun 1811 Yohanes menerima tonsura dan pada akhir tahun 1812 dia dikirim ke petit séminaire di Verrières untuk studi filsafat selama satu tahun. Dalam studi ini Yohanes lamban menangkap, namun semua dijalaninya dengan sikap seorang penurut dan rendah hati. Pada musim gugur tahun 1813 Yohanes dikirim ke grand séminaire di Lyons. Di sekolah ini studi Yohanes menjadi macet-total. Pada akhir term pertama sekolah memutuskan untuk mengeluarkannya, suatu peristiwa yang bagi dirinya merupakan satu dari sekian kesedihan-kesedihan dalam hidupnya. Dia harus belajar secara privat di bawah bimbingan Abbé Balley di Ecully. Kerendahan hati Yohanes membuatnya tetap berdiam diri, dan imannya menghindarkan dirinya dari kekalahan. Namun pada titik tertentu Yohanes begitu yakin bahwa dirinya tidak pernah dapat menjadi seorang imam, karena bahasa Latinnya yang buruk. Maka dia sempat berbicara kepada seorang teman tentang kemungkinan menjadi seorang bruder saja. Akan tetapi justru gurunyalah, Abbé Balley, yang pantang mundur. Dia membujuk Yohanes untuk mencoba lagi agar dapat menerima sakramen tahbisan kelak. Pada tanggal 2 Juli 1814, Yohanes menjadi sub-diakon. Dia kembali lagi ke Ecully untuk melanjutkan studinya di bawah bimbingan Abbé Balley, dan dalam bulan Juni 1815 dia menjadi diakon, hanya lima hari setelah kekalahan Napoleon Bonaparte di Waterloo.
Beberapa saat kemudian Yohanes diuji di hadapan sekelompok ahli. Mereka tahu reputasi Abbé Balley dan sadar bahwa guru ini tentunya mempunyai alasan kuat mengapa merekomendasikan siswa yang kelihatan begitu tolol. Apakah mereka harus menolak calon imam yang penuh aspirasi ini, yang begitu penuh dengan kehendak baik, atau tetap membiarkannya menunggu? Mereka memutuskan bahwa kalau seandainya Yohanes Vianney dapat menemukan seorang uskup yang mau menerimanya, maka dia bebas untuk mencari kesempatan di keuskupan lain. Inilah cara mereka melepaskan tanggung-jawab dalam kasus yang kelihatan susah-susah gampang ini. Akan tetapi Abbé Balley sadar akan bahaya dalam keputusan ini. Guru yang bijaksana ini membujuk para penguji untuk datang dan melihat sendiri sang aspiran yang berada dalam kondisi tidak happy itu di tempat dia sendiri. Di situ dia mampu memberikan jawaban-jawaban yang baik dan memuaskan para penanya. Romo Vikaris Jendral, Abbé Courbon, seorang imam yang sederhana dan tidak berpikiran rumit, mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini: “Apakah Abbé Vianney seorang yang saleh? Apakah dia melakukan devosi kepada Bunda Maria? Apakah dia dapat berdoa rosario? … Baiklah, saya akan memanggilnya untuk tahbisan. Rahmat Allah akan melakukan selebihnya.”
Tahbisan imam dan penugasannya. Akhirnya pada tanggal 12 Agustus 1815, pada usianya yang ke 29, Yohanes Vianney ditahbiskan imam. Untuk dua setengah tahun lamanya Abbé Vianney menjadi asisten Abbé Balley di Ecully. Namun ketika gurunya yang baik hati ini meninggal dunia pada tahun 1818, seorang imam lain yang ditunjuk pimpinan Gereja sebagai pastor di Ecully. Abbé Vianney sendiri ditugaskan di paroki Ars sebagai pastor paroki. Romo Vikaris Jendral mengatakan kepadanya, bahwa kurang ada cintakasih kepada Allah dalam paroki di Ars. Abbé Vianney-lah yang harus mengemban misi membawa kasih ke dalam paroki itu.
Desa Ars berpenduduk sebanyak 200-an orang saja, tetapi memiliki empat tempat untuk orang minum-minum miras. Seperti desa-desa lain di Perancis pada waktu itu, Ars merasakan dampak jahat dari Revolusi Perancis: miras, dansa-dansi bercampur dosa di sana-sini, profanisasi hari Minggu, pengabaian kewajiban-kewajiban keagamaan yang tersebar luas, iman-kepercayaan yang lemah dan rasa masa bodoh terhadap hal-ikhwal yang menyangkut keagamaan sudah menjadi hal yang biasa. Abbé Vianney bertekad untuk ‘memerangi’ semua hal buruk ini dan memenangkan kembali jiwa-jiwa di desa Ars bagi Allah. Inilah desa Ars pada waktu imam berumur 31 tahun itu mulai berkarya sebagai pastor paroki di sana.
Doa dan puasa mengawali proses perubahan. Setiap hari, pagi-pagi sekali Abbé Vianney pergi ke gereja yang sudah rusak itu. Dia bersimpuh di depan altar berjam-jam lamanya dengan berlinangan airmata, memohon kepada Allah untuk mempertobatkan parokinya. Selama hidupnya, doa pertobatan ini tidak pernah meninggalkannya. Doa sedemikian memenuhi dirinya. Semangatnya untuk memenangkan jiwa-jiwa menentukan sikap dan perilakunya. Dia siap untuk menanggung penderitaan apa saja, seandainya hal tersebut menolong lebih banyak orang kembali kepada Kristus. Doa-doa syafaat yang terus-menerus dipanjatkan oleh pastor desa ini dikombinasikan dengan ulah tobat yang ekstrim – puasa berhari-hari setiap kali dan tidur di atas lantai yang keras tanpa penghangat ruangan. Untuk enam tahun lamanya dia hidup dengan satu kali makan saja setiap harinya, terdiri dari kentang rebus saja.
Cintakasih kepada Allah dan jiwa-jiwa sesama memberikan kekuatan motivasi bagi pastor desa ini. Hidup pertobatannya yang keras dan penyangkalan-dirinya, pada satu titik dalam kehidupannya, memang telah melemahkan kesehatannya. Dia juga sekali-sekali menderita demam yang diduga disebabkan oleh iklim yang tidak sehat. Namun demikian, Abbé Vianney tidak pernah berhenti dalam melakukan kebaikan, paling-paling diselang-seling dengan waktu singkat untuk sejenak beristirahat. Semangatnya yang berapi-apilah yang mendorongnya untuk bertindak dalam kepenuhan hasrat untuk menyelamatkan jiwa-jiwa.
Pada awalnya, umat di paroki Ars bersikap masa bodoh terhadap khotbah-khotbah gembala mereka yang baru ini. Akan tetapi kemudian kata-kata sang pastor sungguh sulit untuk diabaikan oleh mereka. Mengapa? Karena contoh hidup yang diberikan oleh Abbé Vianney sendiri. Doa-doanya konstan, hidupnya didedikasikan sepenuhnya kepada Allah, perhatiannya pada umat sungguh asli tanpa kepura-puraan. Umat yang bersalah ditegurnya dan dinasihatinya, yang lapar diberinya makan. Dia mendirikan sekolah dan rumah bagi anak-anak yatim-piatu dan/atau miskin; menata-laksana Sakramen-sakramen, melakukan katekese dan last but not least, mengasihi semua umat paroki. Cintakasih sang pastor ini dirasakan, dan perlahan-lahan umat paroki Ars menanggapinya. Sikapnya yang tegas terhadap dosa membuatnya tak dapat menerima segala bentuk kompromi. Maka ketika pastor ini menasihati umat paroki untuk menjauhi tempat-tempat miras dan bermabok-mabokan, memilih untuk datang ke gereja, untuk tidak bekerja pada hari Minggu, menghentikan dansa-dansi yang bersifat liar, maka mereka pun mulai mendengarkan dia.
Ziarah-ziarah ke tempat-tempat peziarahan lokal dipimpin sendiri oleh Abbé Vianney. Setahun sekali – pada Hari Raya Corpus Christi (Tubuh Kristus) – paroki Ars menyelenggarakan prosesi besar-besaran, guna mengingatkan umat secara konkrit bahwa Allah selalu hadir di tengah-tengah mereka. Abbè Vianney juga percaya bahwa seorang petani sekali pun – yang sehari-harinya bekerja mengelola lahan pertanian – dapat dekat dengan Allah. Dengan penuh takjub umat juga melihat bagaimana devosi Abbè Vianney begitu mendalam selama merayakan Misa Kudus. Dia adalah pengurban dan pada saat sama adalah korban, dalam arti sesungguhnya. Kehidupannya yang penuh dengan puasa dan mati-raga, dipersembahkan olehnya bagi orang-orang lain. Hal ini memberi kesan sangat mendalam dalam hati umat.
Dia mengundang umat untuk merayakan Misa Kudus di pagi hari dan pada sore hari untuk berdoa rosario. Dia mendorong devosi kepada Sakramen yang Mahakudus dan mengajar umat untuk melakukan pemeriksaan batin dan berdoa. Katanya kepada mereka: “Allah yang baik tidak memandang doa-doa yang panjang-panjang atau indah-indah, melainkan pada doa-doa yang datang dari kedalaman hati.” Di malam hari lonceng gereja dibunyikan dan umat pun berkumpul untuk doa-doa malam (penutup). Doa komunal (berjemaah) ini mengubah keseluruhan suasana desa Ars. Pertobatan-pertobatan menjadi kenyataan. Seorang warga Ars berkata: “Rahmat Allah begitu kuat, sehingga sedikit saja orang yang dapat menolaknya.”
Abbè Vianney memiliki keprihatinan istimewa atas orang-orang miskin dan dia sendiri selalu tampil di depan umum dengan jubah yang kumal dan bertambal-sulam, karena apa-apa yang lain sudah diberikannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Dia memang menghayati hidup kemiskinan dalam arti sesungguhnya. Pada tahun 1824 dia mendirikan sebuah sekolah gratis untuk anak-anak perempuan, yang beberapa tahun kemudian dikembangkannya menjadi sebuah panti asuhan yang dinamakan La Providence. Panti asuhan ini diurus oleh beberapa orang perempuan muda dari desa Ars, antara lain Catharine Lassagne dan Benedicta Lardet. Panti asuhan ini menjadi tempat berteduh baginya – sebuah tempat di mana Pater Vianney dapat ‘melarikan diri’ dari orang banyak untuk waktu yang singkat. Di sinilah dia makan. Dalam lima belas tahun terakhir dari kehidupannya di dunia, pada pagi hari Abbé Vianney mengambil waktu untuk mengajar katekismus di tempat ini. Begitu banyak pengunjung juga mau mendengar pengajaran-pengajaran yang diberikan sang pastor desa, sehingga akhirnya kelas katekismus itu dipindahkan ke gereja.
Boleh saya katakan di sini, bahwa gaya kepemimpinan Abbè Vianney adalah leadership by example yang pada intinya adalah servant leadership, kepemimpinan sebagai seorang pelayan. Dia memang seorang gembala yang baik (pastor bonum) seperti sang Guru, yang hidup untuk melayani dan bukan untuk dilayani [bdk. Mat 20:28; Mrk 10:45]. Lagipula kalau kita membaca bacaan dalam ‘Ibadat Bacaan’ (dalam Ofisi Ilahi) hari ini, yaitu 1Ptr 5:1-11, maka kita akan menyadari betapa Abbé Vianney patut menjadi contoh dari seorang imam (panatua) yang sungguh melaksanakan dengan sempurna apa yang ditulis oleh Santo Petrus itu. Abbé Vianney memang sungguh seorang servant-leader; a man for others.
Karunia-karunia Roh. Selama tahun-tahun pertamanya di Ars, menyusul doa-doa dan mati-raganya yang intens, Allah menganugerahkan berbagai karunia Roh kepada Abbé Vianney, antara lain ‘karunia sabda pengetahuan’ dan ‘karunia berkata-kata dengan hikmat’. Karunia-karunia Roh ini, dikombinasikan dengan berbagai karunia natural/alami seperti kemampuannya untuk mendorong orang agar bertobat dan mencari kerahiman Allah, dengan cepat membuat Abbé Vianney menjadi seorang bapak pengakuan yang dicari-cari umat yang berkehendak baik.
Semakin harum nama pastor desa ini, semakin banyak pula jumlah peziarah yang datang ke Ars. Orang-orang ini mau melihat – dengan mata mereka sendiri – pastor paroki desa yang bersahaja dan efek yang telah ditularkan serta disebar-luaskannya ke seluruh penjuru desa Ars, yang pada waktu itu mulai dikenal sebagai ‘pulau kekudusan’. Kita pun tahu, bahwa kemudian ketenaran pastor desa ini menyebar sampai ke seluruh negeri Perancis. Mula-mula hanya ada sekitar 20 orang pengunjung yang datang ke Ars setiap harinya, namun 30 tahun kemudian jumlah pengunjung meningkat menjadi ribuan. Seperti dicatat pada awal tulisan ini, menjelang akhir hayat pastor desa yang suci ini, diperkirakan ada 80.000 peziarah yang berkunjung ke Ars setiap tahunnya.
Di bawah kuasa dan inspirasi Roh Kudus, Abbé Vianney dapat membaca hati mereka yang datang kepadanya. Misalnya, pada suatu hari seorang perempuan dari Paris sedang berjalan di alun-alun desa dan Abbé Vianney berpapasan dengan dia. Abbé Vianney berkata kepada perempuan itu: “Engkau, Ibu, ikutlah aku.” Selagi mereka berjalan bersama, Abbé Vianney mengungkapkan kepada perempuan itu betapa penuh kedosaan hidupnya. Tidak lama kemudian perempuan itu pun bertobat. Ada pula seorang ilmuwan yang berbangga-diri bahwa akal-budi sajalah yang membimbing dirinya. Dia datang ke Ars karena keinginan tahu belaka. Abbé Vianney memberi isyarat kepadanya untuk masuk ke kamar pengakuan. Dia masuk ke dalam kamar pengakuan. Tiba-tiba orang itu menangis tersedu-sedu. Dengan berlinangan airmata dia berkata kepada Abbé Vianney, “Pater, saya tidak percaya kepada apapun. Tolonglah saya.” Setelah tinggal sembilan hari lamanya tinggal bersama pastor desa itu, orang itu akhirnya menjadi seorang Katolik yang memiliki iman-kepercayaan kuat. Di bulan Juli 1859 Nyonya Pauze dari St. Etienne, baru saja mengakukan dosanya di gereja Ars. Nyonya itu berpikir: “Pasti ini kesempatan terakhir bagiku menerima berkatnya.” Namun Abbé Vianney dapat membaca pikiran Nyonya Pauze, lalu berkata: “Bukan begitu, anakku, tiga minggu lagi kita akan bertemu kembali.” Nyonya Pauze pulang ke rumahnya, namun pikirannya dipenuhi tanda tanya. Dia menceritakan ‘ramalan’ pastor desa itu kepada teman-temannya. Tepat tiga minggu kemudian, nyonya Pauze meninggal dunia, pada hari yang sama dengan hari kematian Abbé Vianney, yaitu tanggal 4 Agustus 1859. Mereka memang bertemu lagi …… bukan di dunia, melainkan di surga.
Selagi orang-orang melakukan pengakuan atas dosa-dosa mereka, Abbé Vianney seringkali menangis tersedu-sedu untuk mereka, hal mana sungguh menggerakkan orang-orang itu kepada pertobatan yang mendalam. Sementara orang sedang mengaku dosa, pastor desa ini suka berkata: “Alangkah sayangnya”. Seorang imam yang telah masuk kamar pengakuan Abbé Vianney berkata: “Kata sederhana ‘alangkah sayangnya’ dalam seluruh keindahannya menunjukkan kerusakan jiwa yang diakibatkan oleh dosa.” Abbé Vianney malah dikenal sebagai seorang bapak pengakuan yang suka mengingatkan orang yang sedang mengaku dosa akan dosa-dosa yang lupa disebutkannya.
Orang-orang muda berduyun-duyun datang kepada Abbé Vianney untuk melakukan discernment apakah mereka mendapat panggilan untuk menjadi rohaniwan/biarawan. Banyak peziarah yang datang ke Ars menderita sakit, baik sakit fisik maupun sakit yang bersifat spiritual. Banyak pula yang disembuhkan langsung di Ars, hal mana menimbulkan semacam kegemparan. Abbé Vianney tidak menginginkan kesembuhan-kesembuhan itu seakan-akan merupakan hasil karyanya sendiri. Maka setiap kali ada orang datang mohon kesembuhan, Abbé Vianney minta kepadanya untuk berdoa kepada Santa Filomena yang sangat dikasihinya, seorang martir umat Kristiani awal, yang melakukan syafaat bagi para penderita sakit-penyakit.
Pertempuran spiritual. Tidak semua orang menyetujui apa yang dilakukan oleh Abbé Vianney, terutama pada masa awal tugas pelayanannya di Ars. Ada imam-imam di sekitar Ars yang bersikap skeptis, iri hati atau keduanya. Akan tetapi lawan Abbé Vianney yang paling serius adalah si Jahat alias Iblis dan begundal-begundalnya (roh-roh jahat). Pastor desa yang suci ini melakukan pertempuran spiritual (spiritual battle), atau katakanlah berperang-roh (spiritual warfare) dengan Iblis dan roh-roh jahat untuk lebih dari 30 tahun lamanya.
Iblis dan/atau roh-roh jahat memang merupakan realitas yang tidak dapat dipungkiri. Mereka bukanlah hasil khayalan para penulis Kitab Suci. Mereka selalu menggoda jiwa-jiwa yang berjalan di jalan Tuhan. Ingatlah bacaan singkat dalam ‘Ibadat Penutup’ setiap hari Selasa malam: “Waspadalah dan berjagalah! Sebab setan, musuhmu, berkeliling seperti singa yang mengaum-ngaum mencari mangsanya. Lawanlah dia, teguh dalam iman” [1Ptr 5:8-9]. Dalam kasus Abbé Vianney yang suci, kehadiran Iblis dan roh-roh jahatnya diungkapkan oleh manifestasi-manifestasi yang sungguh menakutkan pada malam hari, di pastorannya. Imam ini mendengar suara-suara teriakan keras, pintu yang gubrak-gabruk, obyek-obyek yang bergerak kesana-kemari dan kemudian bertabrakan satu sama lain sehingga pecah berantakan, kadang-kadang diselingi serangan fisik terhadap dirinya, dan gangguan-gangguan lainnya lagi. Fenomena ini menjadi bagian hidupnya sehari-hari untuk waktu yang lama, sampai-sampai dia memberi julukan grappin (Inggris: griffin) kepada si Jahat itu.
Ketika bapak pengakuannya bertanya kepada Abbé Vianney bagaimana caranya dia melawan serangan-serangan Iblis, maka dia menjawab: “Saya berpaling kepada Allah; saya membuat Tanda Salib; saya mengucapkan beberapa patah kata yang bernada penghinaan terhadap Iblis itu. Lagipula saya mencatat bahwa keributan itu makin besar dan serangan-serangan makin sering, kalau pada keesokan harinya ada pendosa kelas berat yang mau datang berkunjung.” “Pada mulanya saya merasa takut. Pada waktu itu saya tidak tahu apakah semua itu, namun sekarang saya cukup bahagia. Itu adalah suatu tanda baik: selalu ada hasil tangkapan ikan yang baik pada keesokan harinya.”
Kadang-kadang Abbé Vianney berkata: “Iblis mengobok-obok aku dengan baik malam tadi, maka kita akan mendapat banyak orang (yang bertobat)…… Si grappin itu sangat tolol; dia sendirilah yang memberitahukan kepadaku tentang kedatangan pendosa-pendosa kelas berat ……” Pengetahuan Abbé Vianney atas kedengkian Iblis dan kesenangan Allah inilah yang memberikan stamina kepadanya untuk melaksanakan tugas superhuman berjam-jam lamanya setiap hari di dalam kamar pengakuan dan berjam-jam tanpa-tidur di malam hari. Bagi Abbé Vianney, menyelamatkan jiwa-jiwa selalu berarti menyelamatkan jiwa-jiwa. Pastor desa ini tidak pernah memperkenankan tipu-daya Iblis mengacaukan misinya yang mulia itu. Meskipun malamnya dijalani olehnya tanpa tidur, tugas pelayanannya di kamar pengakuan keesokan paginya tetap dijalankannya lagi …… untuk berjam-jam lagi lamanya. Orang-orang akan tetap menunggu gilirannya, walaupun untuk berjam-jam lamanya. Misalnya, ada orang yang menunggu dari jam 5 pagi dan baru memperoleh giliran pada jam 5 sore.
Harga mahal yang harus dibayar. Status ‘selebriti’ yang disandang Abbé Vianney ternyata berbiaya mahal. Karena begitu banyak orang yang datang untuk mengaku dosa, maka pastor desa ini praktis menjadi seorang ‘tawanan’ dalam kamar pengakuannya. Belasan jam berada dalam kamar pengakuan setiap harinya bukanlah sesuatu perkara yang main-main, dan kesehatan imam ini juga secara perlahan-namun-pasti harus menanggung akibat dari hidup yang ‘tidak normal’ ini.
Pastor desa ini memiliki hasrat besar akan kehidupan doa, namun kenyataan hidup sehari-harinya tidak memungkinkan hal itu terjadi. Belasan jam mendengarkan pengakuan dosa setiap harinya, menghibur orang-orang yang menderita, mengunjungi orang-orang sakit, menguatkan orang-orang yang sedang bimbang dan ragu dan melaksanakan fungsi imam yang lain-lain, semua ini hampir tidak menyisakan waktu khusus untuk berdoa dalam artian yang kita kenal dalam situasi ‘normal’. Ketika seorang teman bertanya kepada Abbé Vianney tentang doa batin (mental prayer), maka jawabannya adalah: “Saya tidak lagi mempunyai waktu untuk doa yang regular (teratur), namun pada saat paling awal dari setiap hari saya berupaya untuk menyatukan diriku secara erat dengan Yesus Kristus, kemudian saya melaksanakan tugasku dengan gagasan tentang persatuan itu dalam pikiranku.” Temannya menyimpulkan bahwa, meskipun Abbé Vianney sedih karena tidak dapat memenuhi hasrat akan kehidupan doa tersebut, seluruh hidupnya merupakan sebuah doa yang panjang. Hal ini mengingatkan kita kepada catatan beberapa penulis riwayat hidup Fransiskus dari Assisi yang mengatakan bahwa hidup Fransiskus adalah doa itu sendiri.
Abbé Vianney juga mempunyai kerinduan mendalam akan keheningan. Salah satu hasratnya yang paling besar pada hari tuanya adalah untuk diperkenankan ‘pensiun’ dan tinggal di biara para rahib (monastery), Khartusian atau Sistersian (Trapis) di mana dia dapat mempunyai waktu untuk berdoa dan melakukan pertobatan sebelum dipanggil Tuhan. Dia mengajukan permohonan ‘pembebasan tugas’ ini kepada pejabat atasannya sebanyak tiga kali, namun selalu ditolak. Beberapa kali pastor desa ini mencoba melarikan diri dari Ars. Pada setiap peristiwa tersebut, dengan cepat dia disadarkan bahwa Allah memanggil dia untuk tetap tinggal di Ars dan dia pun kembali ke Ars. Pada suatu hari Abbé Vianney bahkan pergi ke rumah saudara lelakinya di Dardilly, namun para peziarah malah mengikutinya ke tempat kelahiran pastor desa itu. Peristiwa ‘melarikan diri’ pada tahun 1843 terjadi setelah Abbé Vianney menderita sakit yang cukup serius. Hanya diplomasi Bapa Uskup yang mampu membuat Abbé Vianney kembali ke Ars. Pada tahun 1853 Abbé Vianney mencoba melarikan diri dari Ars untuk terakhir kalinya. Pada waktu itu pastor desa yang sudah lansia itu berhasil dibujuk pulang demi banyak sekali para pendosa yang tak mampu melakukan apa-apa tanpa dia.
Abbé Vianney memang ditakdirkan untuk wafat sebagai seorang pastor paroki. Meskipun dia seorang korban kelelahan karena kerja terlalu berat, menderita sakit dan sudah tua dalam usia, pastor desa ini terus melaksanakan tugas pelayanannya bagi jiwa-jiwa yang dipercayakan kepadanya. Seperti ditulis di atas, dia adalah a man for others. Orang-orang mengetahui bahwa dia adalah seorang kudus, maka semasa hidupnya saja orang-orang sudah ‘mengoleksi’ potongan-potongan jubahnya, potongan-potongan rambutnya, malah sobekan-sobekan lembaran buku brevier-nya …… sebagai relikui. Publikasi-publikasi yang memuji pastor desa ini pun mulai bermunculan secara tak terkontrol. Pada suatu kesempatan Abbé Vianney menyampaikan keluhannya kepada seorang penulis, “Tidak lama lagi kamu semua akan mengobral saya di pasar raya.”
Miskin seperti Yesus yang miskin. Uraian-uraian di atas memberi berbagai indikasi bagaimana Abbé Vianney menghayati hidup kemiskinannya. Hidup kemiskinannya ini dipertahankannya dengan gigih sampai akhir hayatnya. Pada tahun 1852, Mgr. Chalandon – Uskup Belley – mengangkat Abbé Vianney menjadi kanon kehormatan di wilayahnya. Segala jubah dan pernak-pernik tanda kehormatannya dikenakan pada dirinya hampir-hampir dengan cara paksa. Malah mozzetta untuk dirinya kemudian dijual seharga 50 francs dan uangnya digunakan untuk derma. Tiga tahun kemudian dia diangkat menjadi seorang ksatria kekaisaran (Imperial Order of the Legion of Honour). Kali ini pastor desa ini sungguh-sungguh menolak. Tidak ada seorang pun dapat membujuknya untuk mengenakan jubah dan segala pernak-pernik tanda kehormatan lainnya, meski untuk sekejab saja.
Akhir hidup sang imam di dunia. Menjelang akhir hayatnya, Abbé Vianney pingsan tak-sadarkan-diri sebanyak empat kali pada satu hari yang sama, yaitu dalam perjalanannya menuju gereja. Hanya dengan susah payah sajalah pada waktu itu dia dapat bangkit kembali. Ketika seorang teman mengatakan kepadanya bahwa dia kelihatan sangat lelah, maka dia menjawab sambil tersenyum: “Oh, para pendosa akan berakhir dengan membunuh pendosa yang patut dikasihani ini.”
Pada tahun 1859 Abbé Pierre masih melayani dengan penuh keikhlasan dan cintakasih semua orang yang datang berdujun-dujun kepada ke Ars. Pada waktu itu dia sudah berumur 73 tahun dan keadaan kesehatannya pun jauh dari sempurna. Pada bulan Juli 1859 pastor desa ini jatuh sakit, akan tetapi tugas pelayanannya untuk keselamatan jiwa-jiwa masih dijalankannya. Kata-kata yang diucapkannya dalam pengajaran di kelas katekismus mulai sulit dimengerti. Pada tangga 18 Juli dia tahu bahwa ajalnya akan tiba dan pada malam tanggal 29 dia berbaring di atas ranjangnya untuk terakhir kali. Dia mengetuk dinding kamarnya dan berbisik: “Inilah akhir hidupku yang patut dikasihani.” Dia mohon agar dapat mengaku dosa kepada bapak pengakuannya. Ketika diberitahukan kepadanya bahwa seorang dokter akan datang memeriksanya, maka dia menjawab bahwa seorang dokter tidak dapat berbuat apa-apa – namun untuk pertama kali inilah dalam hidupnya dia tidak menolak untuk dilayani oleh seorang dokter. Satu-satunya penolakan yang dilakukan olehnya pada akhir hidupnya adalah ketika seorang suster tarekat Santo Yoseph yang merawat dia mulai mengusir lalat-lalat yang hinggap di wajah pastor tua itu. Abbé Vianney memberi isyarat kepada suster itu lalu berbisik, “Biarkan aku bersama lalat-lalat yang patut dikasihani ini …… satu-satunya hal yang menjengkelkan adalah dosa.”
Dengan berlinang air mata, umat paroki mohon agar dapat mengunjungi pastor mereka untuk terakhir kalinya, untuk boleh berlutut di depan pintu kamarnya. Para peziarah yang berdatangan juga mohon untuk dapat sekadar menjenguk sang pastor desa, namun mereka diminta untuk berlutut di luar. Pada saat-saat tertentu sebuah lonceng kecil dibunyikan, menandakan bahwa sang pastor suci itu memberkati mereka dari atas ranjangnya. Abbé Vianney sendiri seakan-akan sudah tidak ada di dunia karena dia sudah hanyut dalam kontemplasi … dan dia hanya mengucapkan beberapa patah kata saja. Pada tanggal 2 Agustus Abbé Vianney menerima sakramen perminyakan. Dia berkata perlahan: “Begitu baik Allah kita. Ketika kita tidak mampu lagi datang kepada-Nya, maka Dia sendirilah yang datang kepada kita.” Ada catatan bahwa Uskup Belley sampai di Ars pada tanggal 3 Agustus. Pada jam 2 pagi hari tanggal 4 Agustus 1859 menghembuskan nafasnya yang terakhir, dipangkuan Bruder Hieronimus. Dia meninggal dunia dengan tenang, seakan-akan sedang tidur, seperti seorang pekerja yang baru melaksanakan tugasnya dengan baik. Di luar terjadi angin badai yang disertai guruh, guntur, halilintar yang sabung-menyabung, petir yang sambar-menyambar.
Menjadi warga Gereja yang Berjaya. Proses kanonisasi Abbé Vianney dimulai pada tahun 1862. Pada tahun 1904 dilakukan rituale penggalian kuburnya dalam rangka beatifikasinya. Ternyata tubuh orang kudus ini dalam keadaan kering dan menggelap, namun masih utuh. Wajahnya masih dapat dikenali, akan tetapi kelihatannya seperti terkena efek kematian. Jantungnya masih dalam keadaan utuh. Jubah baru dikenakan pada jenazah orang kudus itu dan topeng dari lilin dibuat untuk relikui. Sekarang relikui itu masih terpelihara di tempatnya yang indah di atas altar basilika yang berhubungan dengan gereja paroki tua Ars.
Jean-Marie Baptiste Vianney dikanonisasikan oleh Paus Pius XI pada hari Minggu Pentakosta, 31 Mei 1925 dan diangkat menjadi orang kudus ‘Pelindung para Pastor Paroki’ oleh Paus yang sama dalam tahun 1929.
Paus Benedictus XVI menghendaki agar TAHUN IMAM diadakan antara tanggal 19 Juni tahun ini sampai tanggal 19 Juni 2010. Pesta Hati Yesus yang Mahakudus tahun 2009 (19 Juni) dipilih sebagai tanggal pembukaan TAHUN IMAM, karena hari itu ditetapkan menjadi Hari Doa sedunia untuk kesucian para imam. TAHUN IMAM dipilih tahun ini, karena bertepatan dengan 150 tahun wafat Santo Jean-Marie Baptiste Vianney. Sri Paus akan meresmikannya menjadi pelindung bagi semua imam seluruh dunia. Acara pembukaan di Roma dilaksanakan dengan Ibadat Sore Agung, dipimpin sendiri oleh Paus Benedictus XVI. Dalam vespers tersebut relikui Santo Jean-Marie Baptiste Vianney dihadirkan di altar. TAHUN IMAM akan ditutup pada tanggal 19 Juni 2010 oleh Paus Bendictus XVI dengan menghadirkan para imam, wakil dari seluruh dunia.
Catatan Penutup. Kehidupan Pastor dari Ars dapat dirangkum dengan menggunakan kata-katanya sendiri: “Untuk dikasihi oleh Allah, untuk dipersatukan dengan Allah, untuk hidup di hadirat Allah, untuk hidup bagi Allah. Oh! Betapa indah kehidupan dan betapa indahnya kematian!”
Seorang yang memiliki visi mampu mengatasi halangan-halangan dan melaksanakan pekerjaan yang kelihatannya tidak mungkin untuk dikerjakan. Jean-Marie Vianney adalah seorang insan dengan visi. Dia bercita-cita menjadi seorang imam dan untuk mencapai cita-cita itu dia mampu mengatasi begitu banyak halangan yang dihadapinya, termasuk keterbatasannya dalam hal inteligensi. Semoga dari cerita orang kudus ini kita menyadari bahwa inteligensi bukanlah merupakan segalanya dalam kehidupan seorang imam. Selalu ada Allah yang mau dan mampu membagi-bagikan karunia Roh-Nya kepada siapa saja yang memiliki hati terbuka bagi-Nya!
Hanya seseorang yang memiliki visi yang dapat bertahan berkarya sampai akhir hayatnya. Dalam menjalankan fungsi-fungsinya sebagai seorang imam, pastor desa itu patut menjadi teladan; baik sebagai pelayan Sabda Allah, sebagai gembala umat maupun sebagai pelayan Sakramen-sakramen [lihat Dekrit Presbyterorum Ordinis, 4-6.13]. Itulah Santo Jean-Marie Vianney yang memang pantas menjadi orang kudus pelindung bagi semua imam.
Untuk direnungkan secara pribadi:
1. Pastor dari Ars adalah seorang gembala sejati seturut sabda Yesus sendiri: “Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya …” [Yoh 10:11]. Dia melindungi domba-domba yang dipercayakan kepadanya (umat) dari cengkeraman serigala (Iblis). Tidak demikian halnya dengan seorang upahan yang bukan gembala; dia akan serta-merta meninggalkan domba-domba dan lari tunggang langgang. Abbè Vianney tidak lari menghadapi ancaman Iblis, melainkan membuat dirinya menjadi sarana keselamatan bagi jiwa-jiwa yang selama itu terjebak dalam kedosaan. Dia berdoa, dia memberi nasihat, dia mengorbankan diri demi umat, dan dia berhasil sebagai sarana keselamatan Allah bagi umat dan banyak lagi orang-orang yang dengan kehendak baik mengungjungi Ars. Seorang imam (terutama pastor paroki) ‘kudu’ jadi gembala yang baik, seturut teladan yang diberikan oleh sang ‘Imam Besar Agung’ sendiri. Namun tidak hanya imam tertahbis saja yang harus berfungsi sebagai gembala. Seorang ayah dalam keluarga, seorang guru di sekolah dan lain sebagainya, semua harus menjadi gembala yang baik. Apakah anda seorang gembala yang baik?
2. Pekerjaan seorang gembala/pastor (uskup; pastor paroki dsb.) dapat dikatakan berbuah dan membawa berkat kalau umat mengikuti kepemimpinannya. Ketika umat di paroki Ars menyadari cintakasih dan niat baik sang pastor, dengan sukarela mereka mengikuti sang pastor dan tidak mau lagi memberikan telinga mereka kepada orang asing atau orang-orang yang suka membujuk. Sang Gembala Ilahi memberikan ilustrasi tentang ‘gembala yang baik’ sebagai berikut: “… ia berjalan di depan mereka dan domba-domba itu mengikuti dia, karena mereka mengenal suaranya. Tetapi seorang asing pasti tidak mereka ikuti, malah mereka akan lari dari orang itu, karena suara orang-orang asing tidak mereka kenal” [Yoh 10:4-5]. Umat juga harus mendoakan gembala mereka: “Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu” [Ibr 13:7], agar Allah memberikan kepada mereka terang dan kekuatan untuk memimpin kawanan mereka mencapai tujuan. Berdoalah dengan intensi ini untuk gembala kita di Vatikan, yaitu Paus Benedictus XVI dan semua gembala yang lain.
Sebuah doa: Allah yang mahakuasa dan penuh belaskasihan, oleh rahmat-Mu Santo Yohanes Maria Vianney menjadi termasyhur karena kegiatannya sebagai iman dan pastor di Ars. Semoga berkat doa-doa dan teladannya kami Kautolong untuk membawa sesama kami kepada Kristus dengan cintakasih, dan memperoleh kemuliaan abadi bersama mereka. Demi Yesus Kristus, Putera-mu dan pengantara kami, yang hidup ………
BEBERAPA PETIKAN DARI TULISAN-TULISAN SANTO JEAN-MARIE BAPTISTE VIANNEY
DOA adalah percakapan antara seorang anak dengan Bapaknya; antara seorang warga dengan Rajanya; antara seorang hamba/pelayan dengan Tuannya; antara seorang teman dengan Teman kepada siapa dia menceritakan segala rahasianya berkenan dengan kesukaran serta kesulitannya. – PRAKTEK DEVOSI.
Ada dua cara untuk mempersatukan diri kita dengan Tuhan kita …… doa dan Sakramen-sakramen. – TENTANG SUKACITA HIDUP BATIN.
Tidak ada hal yang lebih mudah daripada berdoa kepada Allah dan tidak ada hal lainnya yang lebih menghibur. – CATATAN-CATATAN KATEKISMUS
Oh anakku, gunakan suaramu selalu untuk kemuliaan Allah dan keselamatan jiwa-jiwa. – TENTANG KARUNIA UNTUK BERBICARA.
Allah mengasihi kita lebih daripada ayah-ayah yang terbaik, dan lebih lemah-lembut daripada ibu-ibu yang paling berbakti. Kita tinggal menyerahkan diri kita kepada kehendak-Nya dengan hati seorang anak. – PRECEPT.
Oh betapa indah dan dalam inspirasi yang diberikan oleh Salib! Siapa yang dapat mengalami betapa berat bertekun di hadapan Allah yang tidak pernah memberikan perintah kepada kita untuk melakukan apa saja yang Dia belum pernah mempraktekkannya sendiri? – KATEKISMUS TENTANG KEHIDUPAN DI RUMAH.
Jika hati itu murni, maka hati itu mau tidak mau akan mengasihi, karena hati itu telah menemukan sumber kasih, yang adalah Allah sendiri. – KATEKISMUS TENTANG KEMURNIAN.
Kehidupan diberikan kepada kita agar kita dapat belajar untuk mati dengan baik, dan kita tidak pernah memikirkan hal itu! Untuk mati baik kita harus hidup baik. – TENTANG KEMATIAN.
Aduh! Oh Allahku, kalau cuma sedikit saja orang yang memanggul Salib, maka hanya sedikit sajalah yang akan menyembah Engkau dalam keabadian. – KHOTBAH TENTANG SALIB.
Yesus Kristus menemukan suatu cara dengan mana Dia dapat naik ke Surga, namun tetap berada di atas bumi. Dia menetapkan Sakramen Ekaristi yang pantas kita sembah-bakti, agar Dia dapat tetap bersama kita, dan menjadi Santapan/Makanan bagi jiwa kita; agar Dia dapat menghibur kita dan menjadi Teman kita. – KHOTBAH MENGENAI KOMUNI.
Seorang petani tua selalu mengunjungi gereja setiap hari sebelum dan sesudah bekerja di ladangnya. Abbé Vianney bertanya kepadanya: “Pak Chaffangeon, apakah yang kaukatakan kepada Tuhan kita selama kunjungan-kunjunganmu?” Petani tua itu menjawab: “Saya tidak mengatakan apa-apa kepada-Nya, Pastor. Saya cuma memandang Dia, dan Dia memandang saya.” – PAROKI ARS.
Pada waktu kita berjalan di jalanan, marilah kita memancangkan mata kita pada Tuhan kita yang sedang memanggul salib di depan kita; pada Santa Perawan Maria yang sedang memperhatikan kita; pada Malaikat Pelindung kita yang berada di samping kita. – KATEKISMUS TENTANG PENGENDALIAN DIRI.
Abbé Vianney sangat menganjurkan dilakukan doa-doa liturgis. Dia berkata: “Doa pribadi adalah seperti potongan-potongan jerami yang berceceran di sana-sini: Kalau anda menaruh potongan-potongan jerami di api yang menyala, maka hasilnya adalah banyak percikan api yang kecil-kecil. Akan tetapi kalau anda menggabungkan potongan-potongan jerami itu dan mengikatnya menjadi satu berkas, dan menyulutkan api ke berkas jerami itu, maka hasilnya adalah kobaran api yang besar, seperti kolom yang naik menuju langit; doa publik (liturgi) adalah seperti itu.”
Cilandak, 4 Agustus 2009
Peringatan Santo Yohanes Maria Vianney
DAFTAR PUSTAKA
1. Ann Ball, MODERN SAINTS: THEIR LIVES AND FACES – BOOK TWO, Rockford, Illinois: Tan Books and Publishers, Inc., 1990, hal. 60-72.
2. Matthew Benson, OUR SUNDAY VISITOR’S ENCYCLOPEDIA OF CATHOLIC CHURCH, Huntington, Indiana: Our Sunday Visitor, hal. 891.
3. W.M.B., THOUGHTS OF THE CURE D’ARS, Rockford, Illinois: Tan Books and Publishers, Inc., 1984.
4. Julius Kardinal Darmaatmadja SJ (Uskup Agung Jakarta), SURAT GEMBALA MENGHANTAR TAHUN IMAM, dibacakan pada setiap Misa hari Sabtu/Minggu, 13/14 Juni 2009.
5. Leonard Foley OFM (Editor), SAINT OF THE DAY – LIVES AND LESSONS FOR SAINTS AND FEASTS OF THE NEW MISSAL, Cincinnati, Ohio: St. Anthony Messenger Press, 1990, hal. 185-186.
6. Marion A. Habig OFM, THE FRANCISCAN BOOK OF SAINTS, Chicago, Illinois: Franciscan Herald Press, 1979, hal. 575-578.
7. A. Heuken SJ dan staf, ENSIKLOPEDI ORANG KUDUS, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, hal. 324-326.
8. Patricia Mitchell, THE VILLAGE PRIEST – THE STORY OF ST. JEAN-MARIE VIANNEY, THE CURÉ OF ARS, dalam ‘The WORD among us’ – Lent 2001 – Volume 20, Number 4, hal. 69-73.
9. Michael Walsh (Editor), BUTLER’S LIVES OF THE SAINTS – NEW CONCISE EDITION, North Blackburn, Victoria, Australia: Dove/HarperCollins, hal. 236-238.
*) Seorang Fransiskan sekular, tinggal di Cilandak, Jakarta Selatan.