Pada tanggal 22 Juni, Gereja memperingati seorang kudus luar biasa, yaitu Santo Thomas More [1478-1535] bersama Uskup John Fisher, dua orang martir Gereja di negeri Inggris pada zaman pemerintahan raja Henry VIII. Kematian mereka hanya selang satu minggu saja. Seyogianya keluarga besar Fransiskan – teristimewa Ordo Fransiskan Sekular – merayakan hari ini sebagai hari pesta yang istimewa, namun sayang luput tercatat dalam penanggalan (kalendarium) liturgi.
Nama Thomas More untuk pertama kali saya dengar pada waktu belajar ilmu ekonomi dari Pater Mr. Ingenhouz SJ (asal Breda, Belanda) di SMA Kanisius dahulu (1959-1962) ketika membahas buku karangan Thomas More yang terkenal, yaitu UTOPIA. Entah bagaimana dengan anak-anak SMU (sosial) zaman sekarang. Thomas More adalah lulusan Universitas Oxford, seorang ahli hukum (pengacara), seorang teolog (dalam artian tertentu), seorang filsuf dan seorang penulis. Ia pernah menjabat beberapa posisi penting dalam pemerintahan kerajaan pada masanya, misalnya sebagai anggota parlemen (House of Common), Sheriff of London, anggota “King’s council”, dan yang tertinggi adalah sebagai “Lord Chancellor of England” di bawah raja Henry VIII. Harus diakui bahwa di Indonesia nama orang kudus ini memang kurang dikenal ketimbang nama-nama hebat seperti Fransiskus Xaverius, Ignatius dari Loyola dan Teresa dari Lisieux dll.
Dikenang untuk integritasnya. Siapa pun dia ini, St. Thomas More dikenang – teristimewa di dunia barat – untuk integritasnya. Dalam buku karangan Pater Lawrence G. Lovasik SVD, BEST-LOVED SAINTS dengan baik sekali diceritakan riwayat hidup 50 orang kudus yang paling dicintai dalam Gereja Katolik. Ada 11 (sebelas) nama anggota keluarga Fransiskan yang tercantum dalam daftar para kudus itu, 6 (enam) di antaranya adalah anggota ordo III sekular, salah satunya adalah Santo Thomas More. Di samping kesebelas orang itu, ada juga seorang yang dikategorikan sebagai “pemakai tali pengikat pinggang St. Fransiskus” (“cord-bearer of St. Francis”), yaitu St. Fransiskus de Sales.
Kehidupan St. Thomas More dan teristimewa kematiannya adalah cerminan kehidupan dan kematian seorang negarawan sejati yang penuh integritas. Ia menolak menandatangani Act of Succession yang menyatakan bahwa anak-anak raja Henry VIII dari istri keduanya (Anna Boleyn) adalah pewaris-pewaris sah dari takhta kerajaan. Ia juga menolak bersumpah Oath of Supremacy (mengakui Raja sebagai kepala Gereja Inggris). Karena itulah raja Henry VIII menjebloskan sang “perdana menteri”, mengadilinya dalam pengadilan dagelan dan akhirnya kepalanya pun dipenggal. St. Thomas More mengetahui bahwa apabile dia menolak mengucapkan sumpah itu, maka dia dapat kehilangan nyawa. Tetapi dia berkata: “Aku mati sebagai hamba raja yang baik, tetapi pertama-tama sebagai hamba Allah”. Karena St. Thomas More adalah seorang ahli hukum dan tokoh politik, tentunya dia mampu mencari lobang-lobang dalam hukum yang berlaku, namun ketidakmauannya untuk melawan suara hatinya merupakan contoh integritasnya yang luarbiasa sebagai seorang pribadi.
Berbicara dalam lingkup negara dan bangsa kita dewasa ini, teristimewa di tingkat elit pemerintahan, jelas kelihatan dan sangat terasa bahwa nilai-nilai kejujuran dan integritas semakin menyusut dan bahkan dapat dikatakan sudah menghilang. Setiap hari yang kita lihat di TV dan surat kabar adalah skandal-skandal dan kebohongan-kebohongan berskala besar yang semakin marak, malah sudah berhasil menyusup ke dunia pendidikan paling bawah, yaitu di tingkat SD. Semua hal ini pun lalu diiringi dengan adegan-adegan kekerasan di mana-mana, dari lapangan-lapangan bola, desa-desa, arena pemilukada sampai di jalan-jalan penting di kota Metropolitan Jakarta. Rasa keadilan rakyat biasa seperti kita terasa seperti ditusuk-tusuk, apalagi apabila kita sedang berada dalam ketidakberdayaan. Tidak sedikit orang malah berpikir apa masih perlu bagi kita untuk bersikap dan berperilaku jujur. Di sinilah St. Thomas More menjadi relevan sebagai “model” bagi para pemimpin negara dan bangsa kita, termasuk para pemimpin Gereja di segala tingkat.
Dalam kesempatan ini baiklah saya kutip sebagian tulisan P. Paulinus Yan Olla MSF dalam harian KOMPAS, yang berbunyi sebagai berikut: Teladan sikap etis sosial harus dimulai dari pemimpin bangsa. Saat dilanda krisis etis, sosial, keagamaan oleh sikap Raja Henry VIII yang menuntut ketaatan mutlak dari semua warga Inggris, melahirkan tokoh seperti Thomas More yang rela dihukum mati demi keyakinan etisnya. Pikirannya diarahkan untuk mewujudkan masyarakat adil, sejahtera (Utopia, 1516), dan tidak ingin menjual nuraninya demi menyenangkan atau membenarkan raja yang salah langkah. Kepada anak mantunya yang meminta bantuan, ia pernah menulis, “Jika aku harus mengadili sebuah perkara dan pihak pertama adalah ayahku, sedang pihak kedua adalah iblis, dan ternyata iblis berada pada pihak yang benar, maka keputusanku harus membenarkan iblis.” Di tengah situasi bangsa yang seakan terbelenggu oleh cinta diri narsistis dan penuh kekerasan politik sektarian, diperlukan para pemimpin yang berjuang demi rakyat dan masyarakat yang demokratis, berprinsip nilai-nilai etis seperti kebenaran, keadilan, dan kejujuran nurani. Kriteria etis sosial dan mendasar seperti itulah yang kini harus diiklankan untuk diketahui rakyat Indonesia (KOMPAS, Senin 23 Februari 2009).
Catatan penutup. Kehidupan St. Thomas More menunjukkan kepada kita semua, bahwa integritas bukanlah sesuatu yang bersifat situasional, yang dapat dipakai dan dilepas “semau gue”. Integritas adalah suatu keutamaan (kebajikan) untuk segala musim…… Integrity is a virtue for all seasons. Tidak salahlah ketika pada akhir abad lalu Robert Bolt memberi judul drama teaternya (kemudian dibuat film) yang sangat sukses itu, A MAN FOR ALL SEASONS. Saya pernah melihat film itu dan banyak belajar dari film itu.
Pada tahun 1888 Thomas More dibeatifikasikan oleh Paus Leo XIII [1878-1903] dan kemudian dikanonisasikan pada tanggal 19 Mei 1935 oleh Paus Pius XI [1922-1939].
Sumber: (1) Woodeene Koenig-Bricker, 365 SAINTS – YOUR DAILY GUIDE TO THE WISDOM AND WONDER OF THEIR LIVES; (2) Matthew Bunson, OUR SUNDAY VISITOR’S ENCYCLOPEDIA OF CATHOLIC HISTORY; (3) John J. Delaney (Editor), SAINTS FOR ALL SEASONS; (4) P. Marion A. Habig OFM, THE FRANCISCAN BOOK OF SAINTS; (5) Rev. Lawrence G. Lovasik SVD, BEST-LOVED SAINTS – Inspiring Biographies of Popular Saints for Young Catholics and Adults; (6) P. Paulinus Yan Olla MSF, MENGGUGAT DEMOKRASI KITA (KOMPAS, Senin 23 Februari 2009).
Catatan: Bacalah juga tulisan tentang St. Thomas More tahun lalu dalam situs/blog PAX ET BONUM ini; kategori: ORANG-ORANG KUDUS FRANSISKAN.
Cilandak, 22 Juni 2011
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS [Anggota Persaudaraan OFS St. Thomas More, Jakarta Selatan]