ALLAH ADALAH KASIH (2) *)
Dalam tulisan yang berjudul “Allah adalah kasih (1)”, kita bersama-sama telah mempelajari dan merenungkan arti pernyataan ‘Allah adalah kasih’ sebagai sesuatu yang sangat hakiki dalam spiritualitas Fransiskan. Dalam tulisan ini saya mencoba melanjutkan tema ‘cintakasih dan kebaikan Allah’ dengan pengharapan agar kita semua dapat lebih mendalaminya lagi sebagai anak-anak Bapak Fransiskus.
Dalam tulisan yang berjudul “Allah adalah kasih (1)”, kita bersama-sama telah mempelajari dan merenungkan arti pernyataan ‘Allah adalah kasih’ sebagai sesuatu yang sangat hakiki dalam spiritualitas Fransiskan. Dalam tulisan ini saya mencoba melanjutkan tema ‘cintakasih dan kebaikan Allah’ dengan pengharapan agar kita semua dapat lebih mendalaminya lagi sebagai anak-anak Bapak Fransiskus.
ALLAH ADALAH KEBAIKAN, KASIH DAN YANG PALING BAIK
Dari perspektif ini Allah dikontemplasikan dalam terang kebaikan-Nya yang hakiki. Alexander dari Hales[1], Santo Bonaventura[2], Beato Yohanes Duns Scotus[3]; mereka semua membangun dan mengembangkan teori-teori mereka berdasarkan ide ini. Sebelumnya, Santo Fransiskus dalam tulisan-tulisannya sendiri dan dalam sikap-sikapnya pada waktu berdoa seperti digambarkan oleh para penulis riwayat hidupnya, telah mengungkapkan konsep yang sama perihal Allah dalam ‘Pujian bagi Allah Yang Mahaluhur’, dengan kata-kata seperti berikut:
“Engkaulah Tuhan Yang Kudus, Allah satu-satunya, yang melakukan keajaiban-keajaiban. Engkau kuat, Engkau besar, Engkau mahaluhur, Engkaulah Raja Yang Mahakuasa, Engkaulah Bapa Yang Kudus, Raja langit dan bumi, Engkau Tuhan Yang Tiga dan Esa Allah segala allah, Engkau baik,seluruhnya baik, paling baik, Tuhan Allah yang hidup dan benar. Engkaulah cintakasih ………” (PujAllah 1-4).
Kebaikan ilahi yang pada hekekatnya bersifat menyebarkan diri itu memberikan kepada kita alasan akan proses Triniter (Tritunggal) di dalam kehidupan intim Allah dan menjelaskan tentang karya kreatif-Nya di luar diri-Nya sendiri. Visi tentang Allah seperti ini, Allah yang dikontemplasikan sebagai Yang Teramat Baik, Yang Mahaluhur itu dalam keluarga Fransiskan diwujudkan dalam relasi konkret yang mengungkapkan diri di atas segalanya dalam penghargaan akan Allah sebagai Bapa (martabat kebapaan Allah). Allah sebagai Bapa kita yang baik.
Masih ingatkah Saudari/saudara akan adegan berikut ini? Fransiskus menanggalkan pakaiannya di hadapan Uskup Guido dari Assisi, lalu melemparkan semuanya ke tanah dan mengembalikannya kepada ayah kandungnya sendiri. Dia bertelanjang bulat, lalu berkata kepada ayahnya itu: “Hingga sekarang di dunia ini ayah kusebut bapak, tetapi mulai sekarang aku dapat berkata dengan leluasa: Bapa kami yang ada di surga; dan pada-Nya kuletakkan segala hartaku dan segala kepercayaan serta harapanku” (LegMaj II:4; bdk 1Cel 15). Dalam riwayat hidupnya yang lain dicatat Fransiskus berucap seperti ini: “Semenjak saat ini aku akan berkata dengan leluasa: ‘Bapa kami yang ada di surga’, dan bukan lagi Bapak Pietro Bernardone, yang tidak hanya kuberi uangnya kembali – lihat saja! – tetapi juga kukirim kembali segala pakaianku. Demikianlah aku hendak dengan telanjang pergi kepada Tuhan” (2Cel 12).
Belakangan Fransiskus juga menulis ‘Uraian Doa Bapa Kami (Pater Noster); sebuah uraian yang paling orijinal dan mengharukan. Saya petik sedikit saja, yaitu bagian awalnya:
Ya Bapa kami Yang Mahakudus:
Pencipta, Penebus, Penghibur dan Penyelamat kami.
Yang ada di surga,
di dalam para malaikat dan para kudus;
Engkau menerangi mereka untuk mengenal-Mu
karena Engkau adalah terang, ya Tuhan;
Engkau mengobarkan mereka untuk mengasihi,
karena Engkau adalah kasih, ya Tuhan.
Engkau tinggal di dalam mereka
dan memenuhi mereka untuk berbahagia,
karena Engkaulah yang paling baik, ya Tuhan,
Engkau baik untuk selamanya,
Engkaulah asal segala yang baik,
tanpa Engkau tidak ada yang baik satu pun (UrBap 1-2).
KESAKSIAN PATER JACK WINTZ OFM MENGENAI RAHASIA SANTO FRANSISKUS
Pater Jack Wintz menuliskan pengalamannya sebagai seorang novis, yaitu ketika seorang Saudara Dina berasal dari Jerman yang sudah tua dan berambut putih berbagi (sharing) dengan para novis dalam bahasa Inggris yang terpatah-patah, bahwa ‘kebaikan Allah yang melimpah-limpah’ (the overflowing goodness of God) adalah rahasia sesungguhnya di belakang spiritualitas Santo Fransiskus.
Kata-kata ‘kebaikan Allah yang melimpah-limpah’ yang sering diulang-ulang oleh Saudara Fransiskan dari Jerman itu ternyata menjadi sumber pencerahan istimewa bagi Pater Wintz. Sejak saat itu, dengan penuh kepastian intuisi Pater Wintz terus-menerus mengatakan kepada dirinya: “Ya, benarlah ini, untukku inilah rahasia dari Santo Fransiskus.” Setelah bertahun-tahun menguji intuisi ini dengan pengalaman-pengalaman Fransiskanisme di berbagai negara dan budaya, Pater Wintz tetap kembali kepada keyakinan yang sama.
Bagi Pater Wintz, perasaan yang berkobar-kobar dari Fransiskus akan kebaikan Allah yang berlimpah merupakan sumber dari spiritualitasnya dan petunjuk pada hampir segalanya dari sang Santo: kegembiraannya dalam kemiskinan, rasa hormatnya kepada alam, cintakasihnya kepada orang-orang miskin, kemurahan-hatinya, optimismenya, puisi dan kegembiraannya yang meluap-luap, gaya doanya yang penuh kasih-sayang, cintakasihnya yang berkobar-kobar pada Yesus yang tersalib.
Selanjutnya, menurut Pater Wintz ide ‘kebaikan Allah yang melimpah-limpah’ bukanlah sesuatu yang baru secara khusus karena ide itu sesungguhnya berada pada jantung perwahyuan Kristiani. Apa yang orijinal dengan Santo Fransiskus barangkali adalah intensitas dan emosi dengan mana dia mengalami perwahyuan itu.
PENCURAHAN KEBAIKAN ALLAH DARI SALIB
Tidak lama setelah pertobatannya, artinya sesudah dia meninggalkan kehidupan duniawinya dan mengabdikan dirinya secara total kepada Allah dan kepada pelayanan para penderita kusta yang miskin, Fransiskus berdoa dengan penuh emosi di sebuah tempat berpohon-pohon yang sunyi terpencil. Fransiskus kemudian mendapat penglihatan (visi), di dalam penglihatan mana Kristus mulai memandang dirinya dari atas kayu salib dengan penuh cintakasih sehingga Fransiskus pun ‘luluh jiwanya’.
Sejak saat itu, Fransiskus seringkali menangis seakan-akan pengalaman akan cintakasih dan kebaikan Allah yang luarbiasa itu tertera pada jiwanya untuk selamanya. Allah yang dialami Fransiskus adalah Allah yang memilih untuk menjadi miskin – Allah yang mencurahkan semuanya – keluar dari cintakasih-Nya kepada umat manusia secara total. Secara mutlak Allah tidak menahan sesuatu apa pun. Inilah yang membuat Fransiskus berjalan ke mana-mana sambil menangis tersedu-sedu dan menyerukan berulang-ulang, “Kasih tidak dikasihi” – bahwa Allah begitu mengasihi manusia tetapi tidak ditanggapi. Cintakasih Allah yang begitu ‘boros’ dan tanpa syarat ini merupakan perwahyuan besar yang dilihat Fransiskus memancar keluar dari ‘Sang Sabda yang menjadi daging’ dan sesungguhnya melalui segenap ciptaan.
‘Ketergila-gilaan (Inggris: infatuation) Fransiskus kepada kebaikan Allah tercermin dalam doa-doanya yang penuh dengan kegembiraan sejati. Dalam satu doanya, Fransiskus tiba-tiba mulai mengulang-ulang kata ‘baik’ seakan-akan ‘teracuni’ oleh kata itu. Dalam ‘Pujian yang diucapkan pada semua waktu Ibadat’, Fransiskus berdoa:
Allah Yang Mahakuasa, Mahakudus, Mahatinggi dan Mahaluhur, Engkaulah segala kebaikan, paling baik, seluruhnya baik, hanya Engkau sendiri yang baik; kepada-Mu kami kembalikan segala pujian, segala kemuliaan, segala rahmat, segala kehormatan, segala berkat serta segalanya yang baik. Semoga, semoga, ya amin (PujIb 11).
Orang atheis memandang bagian belakang dari wajah realitas dan di sana dilihatnya suatu kehampaan yang gelap. Orang agnostik memandang yang sama dan melihat tanda tanya yang besar. Kebanyakan dari kita yang menilai diri kita sebagai orang yang percaya Allah, mencoba melihat sesuatu yang baik dan berpengharapan di belakang kedok realitas itu, akan tetapi visi kita seringkali dibuat suram oleh keragu-raguan. Santo Fransiskus dari Assisi melihat juga apa yang berada di belakang topeng itu, tetapi yang dilihatnya adalah rahmat yang menakjubkan, rahmat orang kudus yang juga adalah penyair luarbiasa ini melihat, mengalami, ‘berkomunikasi’ dan ‘berinteraksi’ dengan ciptaan dengan penuh kegembiraan seperti seorang pemusik abad pertengahan yang menyanyikan madah-madah pujian bagi Allah.
BAGAIMANA SAYA DAPAT MENGETAHUI BAHWA ALLAH MENGASIHIKU?
Setelah membaca uraian di atas dapat saja kita berkata: “Itu kan Fransiskus, saya kan orang biasa-biasa saja?” Memang untuk sungguh menyadari dan menghayati bahwa “Allah itu mengasihi diri saya dan selalu memancarkan kebaikan-Nya yang berlimpah ruah kepada saya”, tidaklah akan sama antara orang yang satu dan yang lain. Ada yang cepat, ada pula yang membutuhkan waktu puluhan tahun untuk sadar dan percaya akan cintakasih Allah bagi dirinya, meskipun orang itu sudah Kristen-Katolik sejak waktu kecil. Bagi Saudara/saudari di antara kita semua yang tidak dapat memahami cintakasih Allah, belas kasih dan kebaikan-Nya dalam jatuh-bangun kehidupan kita masing-masing, mengapa kita tidak mulai melihatnya di dalam Kitab Suci? Kitab Suci atau Alkitab mewahyukan kodrat dan keberadaan Allah di dalam pengalaman-pengalaman orang Yahudi dan umat Kristiani perdana. Isi Kitab Suci sebenaranya adalah love story. Dalam Kitab Suci Allah mau berkata kepada kita, “Aku cinta padamu!” Saya pernah menulis sebelum ini, bahwa “Fransiskus menemukan kembali Kristus dan Bapa-Nya di dalam Injil.”
Kita juga dapat mengetahui tentang kasih Allah kepada kita dari kesaksian iman anak-anak-Nya di dunia, mereka yang dipenuhi dengan Roh-Nya. Ada sebuah contoh dari Perang Dunia II yang terjadi dalam kamp konsentrasi di Auschwitz, Austria pada tahun 1941. Seorang tawanan melarikan diri dari kamp dan sebagai hukuman atas para tawanan lain, komandan kamp memerintahkan mereka untuk berdiri berbaris rapih dalam beberapa kolom. Sang komandan memilih 10 sepuluh untuk mati kelaparan dalam sel di bawah tanah. Salah seorang tawanan yang menggantikan orang yang terpilih berteriak, Oh istriku, anak-anakku yang malang!” Lalu seseorang tampil dengan sukarela menggantikan orang yang sudah kena vonis mati itu. Nama orang yang tampil itu adalah Maria Maximillian Kolbe, seorang imam Fransiskan Conventual – putera Bapak Serafik kita Santo Fransiskus. Hari lepas hari, satu per satu dari sepuluh orang terhukum itupun mati. Beberapa hari kemudian para penjaga membuka bunker di bawah tanah itu dan menemukan bahwa sembilan orang telah mati. Pater Maximillian Kolbe didapati masih menyanyikan Mazmur kepada Allah dengan tangan terentang. Dia pun diinjeksi, lalu mati. Kesaksian iman yang luarbiasa, seperti yang disabdakan Yesus: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada ini, yakni seseorang memberikan nyawanya demi sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13). Cintakasih yang ditunjukkan oleh Pater Maximillian Kolbe adalah maksimum bagi seorang manusia, namun cintakasih ilahi, yaitu kasih Allah jauh melebihi itu, jauh melampaui.
Ada pula sebuah peristiwa nyata yang diceritakan oleh ibuku pada waktu saya masih sekolah di Sekolah Rakyat (SD) Bruderan ‘Budi Mulia’ dulu. Ibu bercerita mengenai pengalaman seorang paman saya yang menjadi interniran di kota Cimahi pada masa pendudukan Jepang. Pada suatu hari salah seorang interniran menderita sakit dan memerlukan obat tertentu. Pihak penguasa Jepang di kamp interniran tidak memberikan obat itu, namun ada seorang pendeta yang juga interniran di situ ternyat mempunyai ‘koleksi’ obat-obatan, termasuk obat yang dibutuhkan si sakit. Namun ketika diminta, walaupun dengan sangat dan berkali-kali oleh para interniran, dia tetap tidak mau memberikan obatnya, dia tidak mau menolong. Ternyata ‘cintakasih’ bagi sang pendeta itu hanyalah sekadar sebagai topik khotbah yang menarik bagi jemaatnya, belum sampai menjadi penghayatan hidup sehari-harinya sebagai seorang ‘hamba Allah’. Walau pun ada beberapa kesamaan latar belakang cerita ini dengan cerita tentang Pater Maximillian Kolbe, akhir cerita menjadi sama sekali berlainan antara yang satu dengan yang lain.
Sebelum ini saya pernah menulis: “Secara sederhana kehidupan Injili adalah mengasihi seperti Yesus (sebagai manusia) mengasihi, mengetahui bahwa cintakasih Allah-lah yang berdenyut/berdebar dalam diri kita masing-masing. Hidup Injili adalah mengasihi orang-orang, teristimewa orang-orang yang kita temui, orang-orang yang hidup dengan kita.”
G.K. Chesterton, seorang penulis Inggris kondang yang juga pernah menulis buku tentang Santo Fransiskus dari Assisi, pada suatu kesempatan berkata: “Mudahlah bagiku untuk mengasihi orang-orang Eskimo karena aku tidak pernah melihat seorang Eskimo pun (secara langsung muka ketemu muka). Akan tetapi sulitlah bagiku untuk mengasihi tetanggaku yang bermain piano di atas kepalaku (catatan: dia tinggal di rumah bertingkat) di larut malam.” Juga mudahlah bagi sang pendeta tadi untuk berkhotbah dengan berkobar-kobar mengenai ‘mengasihi sesama’, tetapi dia gagal pada waktu menghadapi suatu moment of truth, yaitu pada saat dia diberikan kesempatan untuk mempraktekkan sendiri apa yang dikhotbahkannya itu; berbuat kasih bukan kepada orang yang tidak dilihatnya, melainkan kepada orang menderita yang dikenalnya sebagai sesama interniran.
Saya juga melanjutkan apa yang saya tulis dulu dengan kalimat berikut ini: “Nah, OFS memberikan kepada kita semua suatu komunitas khusus, yaitu sebuah persaudaraan di mana kita masing-masing dapat dibantu mengalami dan memberi kesaksian tentang cintakasih seperti-Fransiskus-Kristus ini.”
Apa maksudnya? Kita tidak dilarang (malah harus paling sedikit membawakan dalam doa-doa kita) untuk berbelaskasihan kepada mereka yang menderita di Bosnia, Rwanda, Burundi, Sudan, Tasikmalaya dan banyak tempat lagi, tetapi kepada kita telah disediakan wadah setempat, wadah lokal untuk mempraktekkan cintakasih kita, misalnya dalam hidup keluarga, Persaudaraan OFS kita, dll. Terus terang, misalnya lebih mudahlah bagi seseorang untuk tergerak hatinya pada penderitaan seorang anak yang diasuh oleh para suster dari Kongregasi Suster Santo Yosef (KSSY) di tempat jauh terpencil seperti Tapanuli Utara (lalu membantu dengan mengirimkan uang bantuan secara tetap) daripada melayani dengan penuh perhatian ocehan ngalor-ngidul seorang anggota persaudaraan kita sendiri yang kehadirannya terlihat begitu nyata. Ini adalah pengalaman saya sendiri. Pasti Saudari/saudara mempunyai pengalaman yang sama atau mirip.
Nah, kita semua harus berjuang terus untuk menjadi seperti Pater Maximilian Kolbe OFMConv., bukan seperti sang pendeta di kamp interniran Cimahi itu. Teringat saya sekarang pada sabda Yesus sendiri: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh 13:34-35).
Santo Fransiskus dari Assisi, Santa Klara dari Assisi, Santo Maria Maximillian Kolbe, Santa Francesca Romana dan banyak para kudus lainnya telah berhasil memberi kesaksian sehingga orang-orang dapat mengetahui dan kemudian mengalami bahwa Allah sungguh mengasihi diri mereka masing-masing; bahwa Dia selalu memancarkan/memancarkan ‘kebaikan-Nya yang melimpah-limpah’.
Inilah tantangan halus bagi kita, tantangan yang harus kita tanggapi. Kita dapat mulai menjadi saksi Kristus di tempat-tempat dan kesempatan-kesempatan yang tidak perlu spektakuler sehingga pantas dimasukkan ke dalam majalah ‘HIDUP’ atau majalah-majalah terkemuka/terkenal lainnya. Mulailah menjadi saksi Kristus (yang baik) dalam lingkup hidup keluarga, lingkungan kerja, dalam hidup paroki dan kegiatan gerejani lainnya dan tidak kalah pentingnya di dalam ‘Persaudaraan OFS Lokal’ kita khususnya dan persaudaraan Fransiskan pada umumnya. Mulailah dengan hal-hal kecil yang tidak perlu dilihat orang. Bukankah ini semangat Fransiskan?
SEBUAH DOA: Allah yang segalanya baik dan sangar ramah, berikanlah kepada kami visi Santo Fransiskus dari Assisi agar supaya kami dengan lebih baik dapat melihat kebaikan-Mu dan perbuatan baik-Mu pada pusat realitas. Dengan percaya akan cintakasih-Mu yang berlimpah ruah tanpa reserve bagi kami, perkenankanlah kami jatuh cinta kepada-Mu secara lebih mendalam lagi dan melayani Engkau dengan kegembiraan dan puja-pujian yang lebih besar lagi. Amin.
Cilandak, 9 April 2010
BAHAN BACAAN:
- Mgr. Leo Laba Ladjar OFM (Penerjemah, Pemberi Pengantar dan Catatan), KARYA-KARYA FRANSISKUS DARI ASISI, Jakarta: Sekafi, 2001.
- P. Lombardi OFM, INTRODUCTION TO THE STUDY OF FRANCISCANISM (terjemahan P. Joseph Nacua OFMCap.), Manila, Philipines: 1993.
- P. Michael Sitaram, HOW DO I KNOW GOD LOVES ME?, Singapore: The Catholic News edisi 9 Februari 1997.
- P. Jack Wintz OFM, LIGHTS: REVELATIONS OF GOD’S GOODNESS, Cincinnati, Ohio: St. Anthony Messenger Press, 1995.
*) Tulisan ini mengambil alih isi utama dari Memorandum Minister Persaudaraan OFS Santo Ludovikus IX (Sdr. Frans Indrapradja, OFS) No. Min/04/97 tanggal 22 Februari 1997 dengan judul yang sama. Bahan ini adalah bacaan umum untuk semua anggota OFS, namun dapat digunakan untuk para aspiran juga, apabila kepada mereka telah diperkenalkan riwayat hidup Santo Fransiskus dari Assisi. Sedikit perbaikan dilakukan pada tanggal 9-2-13.
[1] Orang Inggris (+1245), gurubesar Fransiskan pertama di Universitas Paris.
[2] Orang Italia (+1274), guru besar Fransiskan yang pada tahun 1257 dipilih menjadi Minister Jenderal, dikenal sebagai pendiri kedua dari Ordo Saudara Dina dan kemudian diangkat menjadi Kardinal Uskup Albano (1273), dikanonisasikan oleh Paus Sixtus IV pada tahun 1482 dan diangkat menjadi Doktor Gereja (Pujangga Gereja) dan diberi gelar Doctor Seraphicus oleh Paus Sixtus V pada tahun 1588.
[3] Orang Skotlandia (+1308), guru besar Fransiskan di Universitas Paris dan Oxford yang dijuluki Doctor Subtilis (Doktor yang pemikirannya sangat halus). Dibeatifikasikan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1993.