Bayangkanlah sekarang sebuah dunia di mana semua orang Kristiani bersatu dalam satu tujuan di bawah Kristus – di mana mendengarkan dan doa mengawali setiap pekerjaan baik, di mana semua berdiam bersama dalam kesatuan, dan Yesus dimanifestasikan dalam cinta kasih agung kita satu sama lain. Sedikit orang yang akan mengatakan bahwa Maria dan Marta bukan merupakan orang-orang beriman yang bersatu. Namun, pada saat Yesus mengajar, hanya seorang dari mereka yang tahu pentingnya menerima dari Yesus terlebih dahulu.
[BAHAN PERTEMUAN OFS PERSAUDARAAN S. ELISABET DARI HUNGARIA, DEPOK-CINERE, tanggal 18 Juli 2010]
Catatan: Pertemuan OFS Persaudaraan S. Elisabet dari Hungaria, Depok-Cinere pada hari ketiga dalam bulan selalu mengambil tema bacaan Kitab Suci dalam Misa Kudus hari itu, lalu dikaitkan dengan spiritualitas Fransiskan atau Fransiskanisme.
I. BACAAN INJIL HARI MINGGU BIASA XVI TAHUN C, 18 JULI 2010
Ketika Yesus dan murid-murid-Nya dalam perjalanan, tibalah Ia di sebuah desa. Seorang perempuan yang bernama Marta menerima Dia di rumahnya. Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya, sedangkan Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata, “Tuhan, tidakkah Engkau peduli bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku.” Tetapi Tuhan menjawabnya, “Marta, Marta, engkau khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak hal, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian terbaik yang tidak akan diambil dari dia.” (Luk 10:38-42)
Betapa penuh sukacita saat-saat seperti ini bagi Maria, ketika dia dapat bersimpuh dekat kaki Tuhan Yesus sambil mendengarkan sabda-sabda-Nya yang menyejukkan. Yesus hanya menghendaki agar Maria dapat diam-hening di hadirat-Nya, dengan penuh perhatian mendengarkan-Nya, selagi Dia mengajar tentang Bapa dan Kerajaan-Nya. Di lain pihak, Marta tidak mampu ke luar dari kesibukan mempersiapkan hal-hal yang diperlukan pada saat itu, dengan demikian kehilangan kesempatan untuk menerima sesuatu dari Tuhan Yesus.
Bayangkanlah sekarang sebuah dunia di mana semua orang Kristiani bersatu dalam satu tujuan di bawah Kristus – di mana mendengarkan dan doa mengawali setiap pekerjaan baik, di mana semua berdiam bersama dalam kesatuan, dan Yesus dimanifestasikan dalam cinta kasih agung kita satu sama lain. Sedikit orang yang akan mengatakan bahwa Maria dan Marta bukan merupakan orang-orang beriman yang bersatu. Namun, pada saat Yesus mengajar, hanya seorang dari mereka yang tahu pentingnya menerima dari Yesus terlebih dahulu.
Pada hari Tuhan ini, pertimbangkanlah hal-hal berikut ini: Apakah Saudari/saudara mengenal Yesus sebagai Juruselamat dan sahabatmu, atau sekadar seseorang yang perintah-perintah-Nya anda harus taati? Apakah Saudari/saudara sungguh percaya bahwa Dia telah memerdekakan anda dari takut akan kematian dan kuasa dosa, ataukah anda mengharapkan bahwa perbuatan-perbuatan baikmu akan dapat mengalahkan dan mengatasi dosa-dosamu?
Setiap hari, marilah kita mencoba membuat diri kita diam-hening tanpa ada pelanturan-pelanturan, meski untuk beberapa saat saja. Sediakanlah sedikit waktu setiap harinya untuk membaca dan merenungkan sabda Allah – saat di mana TV dan radio dimatikan. Sesungguhnya ada banyak langkah yang dapat kita ambil dalam rangka kita mewujudkan tekad untuk “mendengarkan” Yesus dengan lebih penuh perhatian lagi. Tanyakanlah kepada Allah langkah-langkah apa yang mau diberikan-Nya kepada anda. Saudari/saudara akan melihat bahwa Dia tidak hanya memberikan kepada anda jawaban atas pertanyaan anda tadi, tetapi juga rahmat yang anda butuhkan untuk melakukan apa yang dikehendaki-Nya.
DOA: Roh Kudus, bukalah kedua telingaku agar dapat mendengar suara-Mu hari ini. Ampunilah aku untuk saat-saat di mana aku melakukan pekerjaan tanpa mendengarkan bisikan suara-Mu. Berikanlah kepadaku rahmat untuk membuat tindakan “mendengarkan” menjadi prioritas pertamaku. Roh Kudus, jadikanlah aku seorang “pendengar yang baik”. Amin.
Beberapa Catatan:
· Maria dan Marta adalah saudara-saudara perempuan dari Lazarus. Kelihatannya keluarga ini adalah sahabat-sahabat dekat Yesus. Akan tetapi, kita tidak boleh menyamakan Maria ini dengan Maria dari Magdala, yaitu salah seorang sahabat dekat (dan murid) Yesus dan yang adalah orang pertama yang bertemu dengan Yesus yang sudah bangkit.
· Meskipun bacaan Injil tidak menyebut satu pun nama rasul/murid Yesus, namun Yesus mengunjungi rumah Maria dan Marta ini paling sedikit bersama beberapa murid-Nya.
· Kita tidak pernah tahu apa yang diperbincangkan oleh Yesus dan Maria. Mungkin juga Yesus mengungkapkan rahasia mengenai kematian dan kebangkitan-Nya. Bukankah perjalanan-Nya ke Yerusalem adalah menuju kematian-Nya?
· Sekarang kita sudah tahu, bahwa Yesus adalah Allah. Tidak demikian halnya pada waktu itu, karena Yesus hidup sehari-hari sebagai seorang manusia sungguhan. Karena para pengikut Yesus baru menyadari bahwa Dia adalah Allah setelah kebangkitan-Nya, maka kita pun tidak perlu kaget membaca “celotehan” yang keluar dari mulut Marta. Bukankah hal seperti itu juga biasa terjadi di antara sahabat dekat?
· Yang memprihatinkan adalah sikap Marta terhadap Yesus yang tersirat dalam kata-kata yang diucapkannya. Dia tentu sudah akrab dengan Yesus dan biasa menjamu-Nya, maka dia berani begitu berterus-terang kepada Yesus. Maria ingin agar Yesus tahu apa sebenarnya yang menyusahkan hatinya. Kerja di dapur itu berat, dst., maka adiknya harus tahu diri.
· Marta itu merasa cemas. Yesus tidak senang apabila manusia cemas, walaupun Ia tahu benar betapa sulitnya mengatasi kecemasan. Apa yang dicemaskan Marta? Macam-macam pelayanan dan “banyak hal”, memang tidak jelas. Kata “banyak” di sini diperlawankan dengan “satu”. Orang yang biasa cemas, semakin tenggelam ke dalam kecemasannya. Dia tidak mampu menghentikannya. Kecemasan adalah kanker kehidupan spiritual, dia semakin menjalar menggerogoti jiwa-raga seorang pribadi. Yesus memberikan obatnya, yaitu “Carilah dahulu Kerajaan Allah!” (lihat Mat 6:25-34).
· Jawaban Yesus kepada Marta kiranya seperti begini: “Hanya sedikit saja yang diperlukan (untuk makan)”, yang mengindikasikan sebuah pesan seperti ini: “Jangan repot-repot amat mempersiapkan jamuan makan. Sederhana saja. Mari duduk di sini dan bicara dengan-Ku seperti yang dilakukan saudarimu Maria, karena itulah yang Kukehendaki!” “Sahabat-Ku Marta, jangan lupa yang hakiki!”
· Yesus tidak memarahi Marta karena ucapan perempuan ini. Kita mesti membaca kata-kata Yesus, “Marta, Marta” bukan seperti diucapkan seseorang pada saat menegur orang lain yang melakukan kesalahan, melainkan ucapan seseorang kepada sahabatnya, tentunya dengan nada yang bersahabat.
· Komentar Yesus tidak ditujukan pada kerja Marta, bukan juga pada penyambutan hangat yang diberikannya kepada Yesus, melainkan pada kegugupannya, kecemasannya, kegelisahannya (lihat catatan di atas). Ketegangan akan membuat seseorang mundur ke dalam dirinya sendiri. Kita suka begitu sibuk ke sana ke mari, padahal sesungguhnya kita membutuhkan waktu ‘santai’ dalam arti sebenar-benarnya. Oleh karena itu seharusnyalah kita menerima undangan Tuhan kepada kita untuk slow down sedikit. Jangan sampai kesibukan kita menyebabkan kita lupa akan apa yang hakiki!
· Mendengarkan Yesus merupakan tugas pertama setiap insan Kristiani, bahkan sebuah tugas yang bersifat mutlak (lihat Luk 6:47-49). Kebahagiaan Maria sesungguhnya bukan karena dia dipilih menjadi bunda Yesus, melainkan “mendengarkan firman Allah dan memeliharanya” (Luk 11:27-28). Tidak seperti para penulis Injil lainnya, Lukas secara eksplisit mengidentifikasikan sabda Yesus sebagai Sabda Allah (lihat Luk 5:1; 8:11.21; 11:28).
· Sampai berapa dalam kecintaan kita untuk mendengarkan sabda Allah lewat bacaan dan renungan Kitab Suci? Apakah hal itu merupakan bagian terbaik dari hari kita? Apa saja prioritas-prioritas kita? Mana yang hakiki?
· Ada banyak tafsir atas perikop “Maria dan Marta” ini, mungkin sebanyak jumlah penafsir yang ada. Salah satu yang klasik adalah yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan Maria mewakili “hidup kontemplatif” dan apa yang dilakukan Marta adalah “hidup aktif”, pembedaan mana teristimewa penting bagi hidup para biarawati-biarawan. Tafsir yang ujung-ujungnya berbicara mengenai kedua bentuk kehidupan itu sah-sah saja; tidak salah sama sekali. Namun yang salah adalah tafsir kemudian yang bertumpu pada pembedaan ini, yaitu bahwa hidup doa adalah “spesialisasi” kaum perempuan dan hidup aktif adalah urusan laki-laki. Sebenarnya kedua hal itu tidak perlu dan tidak boleh dipertentangkan satu sama lain. Sebagaimana kita dapat melihatnya dalam uraian selanjutnya, seturut teladan Bapak Fransiskus, setiap Fransiskan harus melakukan dua-duanya, baik hidup aktif maupun kontemplatif.
II. HIDUP KONTEMPLATIF SEORANG FRANSISKAN
Apa yang ditulis dalam AD OFS tentang kontemplasi cukup jelas dan gamblang: “Sebagaimana Yesus menjadi penyembah sejati bagi Bapa, demikian pula mereka hendaknya membuat doa dan kontemplasi menjadi jiwa bagi kehidupan dan tingkah laku mereka. Hendaklah mereka ambil bagian dalam kehidupan sakramental Gereja, terutama Sakramen Ekaristi, dan menggabungkan diri dengan doa-doa liturgis dalam salah satu bentuk yang dianjurkan Gereja, supaya dengan demikian mereka menghidupkan kembali misteri-misteri kehidupan Kristus (AD OFS Fasal II Artikel 8).
Ada beberapa tulisan saya yang sebaiknya dipegang sebagai bahan acuan pribadi dalam hal topik kehidupan doa seorang Fransiskan Sekular:
1. DOA-DOA PRIBADI DALAM KEHIDUPAN SEORANG FRANSISKAN SEKULAR – Pembinaan di persaudaraan OFS S. Thomas More, Jakarta Selatan, tanggal 15 Februari 2009.
2. IBADAT HARIAN DALAM KEHIDUPAN SEORANG FRANSISKAN SEKULAR – Pembinaan di persaudaraan OFS S. Thomas More, Jakarta Selatan, tanggal 26 April 2009.
Kedua tulisan ini terdapat dalam situs/blog PAX ET BONUM ini; kategori: DOA-DOA.
Kehidupan kontemplatif dari Fransiskus dan para saudaranya.[1] Kalau kita mau bertanya kepada diri kita sendiri, apakah yang merupakan unsur dan sumber pemersatu dari vitalitas luarbiasa dari Keluarga Fransiskan, teristimewa di masa awal-awal (masa tanpa kemapanan), maka kita akan sangat terkesan melihat keserupaannya atau kemiripannya dengan komunitas rasuli (apostolic community). ‘Kisah Para Rasul’ menggambarkannya seperti ini: “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa” (Kis 2:42). Komunitas Rasuli menarik vitalitasnya dari 4 sumber yang disebutkan di atas dan berhasil mewujudkan hidup bersama yang guyub itu, yang telah menjadi impian dan utopia manusia dari segala abad, bukan hanya orang-orang Kristiani. Inilah sumber dari daya dorong untuk kegiatan misioner yang membawakan Kabar Baik Yesus Kristus ke ujung-ujung dunia. Hanya dalam waktu yang relatif singkat para rasul sudah pergi ke mana-mana dan jumlah umat Kristiani berkembang dengan pesatnya. Para pemimpin dalam ‘petualangan’ ini adalah Petrus, Paulus, Yohanes, Barnabas, Lukas, Stefanus dll. Mereka semua adalah pendoa-pendoa, dan komunitas-komunitas (jemaat-jemaat) yang mereka dirikan dan gerakan sesungguhnya adalah komunitas-komunitas doa.
Perjumpaan dan dialog dengan Allah dalam komunitas Fransiskan yang primitif juga meningkatkan kecenderungan kepada suatu kehidupan Injili, menariknya untuk semakin dekat kepada Kristus, akhirnya ke dalam konformitas/keserupaan dengan Dia. Persekutuan dengan Allah melahirkan “kehidupan rasuli” dan juga “hidup persaudaraan”. Pada saat yang bersamaan terdapat juga kecenderungan kepada kehidupan kontemplatif dan ketertarikan khusus kepada keheningan. Riwayat hidup Fransiskus yang awal menunjukkan, bahwa sejak awal mula sudah ada kemungkinan untuk menghayati secara selang-seling, kegiatan apostolik dengan suatu kehidupan kontemplatif. Setelah seharian bekerja, para saudara dina akan mengundurkan diri ke pertapaan dan padang gurun untuk mendedikasikan diri mereka kepada meditasi, seturut teladan yang diberikan Fransiskus sendiri. Fransiskus mengganti kehidupan apostolik sebagai pengkhotbah-keliling dengan retret dalam keheningan untuk waktu yang cukup lama. Setelah itu dia akan kembali muncul di jalan-jalan untuk mewartakan Kabar Baik Yesus Kristus. Apa yang ditulis oleh Thomas dari Celano?
Hamba Allah (Fransiskus) sudah menginsyafi, untuk tidak mencari diri sendiri, melainkan untuk melakukan apa yang dalam pandangannya terutama menguntungkan bagi keselamatan orang-orang lain. …… Karena itu dia sering memilih tempat-tempat yang sepi, agar dia dapat mengarahkan seluruh perhatiannya kepada Allah; tetapi dia tidak segan-segan, bila saatnya dipandangnya cocok, untuk menerjunkan diri ke dalam kegiatan-kegiatan dan untuk dengan sukarela mengusahakan keselamatan sesama orang……. Sering semalam-malaman dia pergi berdoa seorang diri di gereja-gereja yang telah ditinggalkan dan sunyi sepi letaknya ……” (1Cel 71).
Ketertarikan tak tertahankan terhadap suatu kehidupan yang sepenuhnya terserap dalam Allah (kontemplatif) menjadi semakin akut dalam tahun-tahun selanjutnya. Namun kesulitan yang dirasakan oleh Fransiskus dan para pengikutnya yang pertama dalam merekonsiliasikan hidup kontemplatif dengan hidup apostolik (aktif) supaya seimbang, akan muncul dan muncul lagi dalam sejarah Ordo Fransiskan dan akan ditanggapi secara berbeda-beda (lihat 1Cel 34-35). ‘Aturan untuk Hidup di Pertapaan’ (AtPert, KARYA-KARYA, hal. 187-188) yang didiktekan oleh Fransiskus merupakan suatu konfirmasi akan hal yang baru disebutkan di atas. Singkatnya, para Fransiskan yang menjalani hidup apostolik, semuanya adalah pendoa-pendoa: Antonius dari Padua, Bonaventura, Yohanes dari Parma, Bernardin dari Siena, Yakobus dari Marka, Yohanes Capistrano, Matius dari Agrigento, Petrus dari Alcantara, Leonardus dari Port Maurice dst. Akan tetapi doa Kristiani yang dibuat dalam nama Yesus dan digerakkan oleh Roh Kudus pada dirinya menggerakkan si pendoa untuk hidup berkomunitas. Jadi Ibadat Harian, Perayaan Ekaristi sebagai bentuk doa-doa komunal tidak dapat dilepaskan dari hidup kontemplatif seorang Fransiskan.
Ronald M. Mrozinski OFMConv. [RMM][2] mengatakan, bahwa Fransiskus tidak dihadapkan dengan dilema untuk memilih salah satu bentuk kehidupan dari kedua opsi, yaitu kehidupan aktif atau kehidupan kontemplatif. Sebaliknya, dia menghadapi tugas untuk mengintegrasikan baik dimensi aktif maupun kontemplatif dari kehidupannya sendiri … suatu keunikan dari gaya hidup seturut panggilan Fransiskan. Ia menghasrati persekutuan mendalam dengan Allah [dimensi kontemplatif] karena Dia sajalah yang dapat memuaskan hasratnya, namun Fransiskus juga memiliki hasrat keras untuk meng-komunikasikan kepada orang-orang lain pengalamannya akan kasih dan belaskasihan Allah [dimensi aktif]. Oleh karena itu di bawah inspirasi Roh Kudus, Fransiskus mencampur kedua modus kehidupannya menjadi satu sarana yang mantap untuk menjalani kharisma yang diterimanya dari Allah dalam Gereja. Dengan demikian, kharisma Fransiskan bukan saja unik, tetapi sarana yang diinspirasikan Tuhan dan dirumuskan oleh Fransiskus untuk menghayati kharisma ini juga sama uniknya [RMM, hal. 31].
Berikut ini adalah beberapa pokok lainnya yang menyangkut kehidupan doa Fransiskus dan para pengikutnya:
· Kenyataan bahwa Fransiskus mencampur hidup kontemplatif dengan kehidupan aktif kurang penting ketimbang bagaimana dia mencapainya, karena pada analisis terakhir orang hanya dapat memahami dan menafsirkan spiritualitas Fransiskus dari Assisi secara benar, apabila dia menelaah segala sesuatu dalam kehidupannya dari sudut pandangnya, yaitu kehidupannya dengan Allah, kehidupan doanya [RMM, hal. 33].
· Doa adalah kehidupan bagi Fransiskus, dan kehidupannya adalah sebuah doa. Thomas dari Celano menulis, bahwa “Dia (Fransiskus) bukan sekadar seorang pendoa, akan tetapi juga doa yang mempribadi (2Cel 95).
· Doa adalah mata rantai, jalan hidupnya dengan Bapa surgawi. Fransiskus menyadari bahwa kehadiran Allah mencakup setiap aspek kehidupannya, sekali dia pasrah-diri sepenuhnya kepada Allah [RMM, hal. 33].
· Pengalaman Fransiskus akan Allah begitu mendalam dan menyeluruh. Bahkan ketika dia berusaha mencapai kesatuan dengan Allah dalam doa, dia dapat mengalami persekutuan (dengan Allah) dalam bentuk yang berbeda-beda (unity in diversity) [RMM, hal. 34].
· Dalam kehidupan Fransiskus, Allah bukanlah suatu konsep yang bersifat statis, tetapi realitas yang dinamis. Baris pertama dalam ‘Nyanyian Saudara Matahari’ [NyaMat; KARYA-KARYA, hal. 324-326] menunjukkan SIAPA Allah itu baginya: “Yang Mahaluhur, Mahakuasa, Tuhan yang baik.” Bagi Fransiskus, Allah bukanlah bersifat konseptual, melainkan Dia adalah aktual. Allah bukanlah sarana untuk menjelaskan pengalaman religius – Dia adalah pengalaman religius itu! (RMM, hal. 34].
· Bagi Fransiskus, Allah adalah transenden, namun pribadi. Hal ini dapat dilihat kalau kita membaca ‘NyaMat’ secara keseluruhan. Dengan demikian, Allah adalah seorang PRIBADI. Hanya pribadi-pribadilah yang dapat masuk ke dalam relasi cintakasih, jadi doa menjadi faktor penopang dalam relasi Fransiskus dengan Allah.
· Hal-hal eksternal dari kehidupan doa Fransiskus hanyalah bayangan dari persekutuannya yang bersifat batiniah dengan Allah, seperti yang ditulis oleh Thomas dari Celano: “Seringkali dia akan berdoa sepenuhnya dari dalam dirinya sendiri tanpa menggerakkan bibirnya; dan menarik dalam dirinya segala inderanya yang kelihatan, dia akan mengangkat rohnya kepada hal-hal yang di atas sana. Jadi, seluruh pikiran dan hatinya tertuju pada satu hal yang telah dimintanya dari Tuhan, karena keseluruhan orang ini bukan berdoa akan tetapi membuat dirinya doa itu sendiri (2Cel 95).
Jadi, Fransiskus sungguh seorang pendoa kontemplasi juga. Oleh karena itu, apabila kita berbicara mengenai buah dari pengalaman Fransiskus, maka kita tidak hanya berbicara mengenai doa-doa yang diucapkan bibirnya atau yang ditulisnya. Kita lebih berbicara mengenai sebuah sikap, suatu gaya hidup. Lihat apa yang ditulisnya: “Saudara-saudara, yang diberi karunia oleh Tuhan untuk bekerja, hendaknya bekerja dengan setia dan bakti; sedemikian rupa, sehingga mereka, sambil mencegah diri dari sikap bermalas-malasan yang merupakan musuh jiwa, tidak memadamkan semangat doa dan kebaktian suci, yang kepadanya harus diabdikan hal-hal lainnya yang duniawi” (AngBul V:1-2). Dalam suratnya kepada Santo Antonius [SurAnt], dia menulis: “Aku setuju, engkau mengajarkan teologi suci kepada para saudara, asal engkau tidak memadamkan semangat doa dan kebaktian karena studi itu, sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar” (SurAnt 2). Jadi, Fransiskus ingin melihat bahwa segala kerja dan kegiatan anak-anaknya diresapi dan dipenuhi dengan semangat doa.
Buah dari pengalaman Fransiskus akan Allah bukanlah doa itu sendiri, melainkan KEHIDUPAN yang dicirikan oleh DOA, PERTOBATAN DAN PEWARTAAN. Seperti telah kita ketahui, pertobatan juga merupakan bagian dari kehidupan Fransiskus – ini adalah unsur yang memurnikan keseluruhan diri seorang pribadi untuk menerima Dia yang membawa serta kehidupan riil dan kekal. Pertobatan adalah prasyarat bagi doa, karena sebelum seorang pribadi dapat mencapai kebersatuan dengan Allah dalam doa, pertama-tama dia harus dibersihkan dari segalanya yang bukan dari Allah. Dengan demikian pelayanan pewartaan merupakan akibat alami dari hidup pertobatan yang dihayati dalam persekutuan (doa) dengan Allah. Doa, pertobatan dan pewartaan berhubungan secara terpadu dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam spiritualitas Santo Fransiskus dari Assisi dan kehidupan para pengikutnya pada hari ini. Ini ada pada jantung kehidupan Fransiskan. Dalam pergerakan kehidupan Fransiskus, dari pertobatan, ke doa, ke pewartaan, dan kembali lagi, seseorang dapat melihat yang sesungguhnya menyuburkan dan mendukung panggilan Fransiskan (RMM, hal. 36).
Beberapa pokok tentang Kehidupan kontemplatif:
1. Kontemplasi adalah “memandang dan mengasihi” [ID, hal. 125].[3]
2. Setiap orang adalah kontemplatif.
3. Kehidupan kontemplatif adalah kehidupan dengan suatu Visi. Kontemplasi adalah suatu cara hidup di mana semua ciptaan menjadi transparan dan berbicara kepada kita tentang Allah dan kasih-Nya. ‘Nyanyian Matahari’ adalah sebuah visi kontemplatif dari Fransiskus.
4. Kehidupan kontemplatif adalah kehidupan dengan suatu Misi. Seorang kontemplatif sejati tidak pernah merupakan seorang pelarian. Kehidupan kontemplatif mencakup melihat dan mewujudkan apa yang dilihat.
5. Kehidupan kontemplatif adalah kehidupan dengan suatu Fokus. Pelanturan-pelanturan ada dalam kehidupan orang karena tidak adanya konsentrasi.
6. Kehidupan kontemplatif adalah kehidupan Hikmat yang Tetap. Meskipun seorang pribadi mengalami yang baik dan yang buruk dalam hidupnya, dia tetap seimbang dalam situasi yang berbeda-beda, tidak terbawa-bawa. Lihat Flp 4:11-13; 2Kor 4:8-11; 6:4-10; 11:25-29; 1Kor 4:11-13; Rm 8:35-39.
7. Kehidupan kontemplatif adalah hidup Penolakan dan melepaskan diri dari keterlekatan.[4]
8. Kehidupan kontemplatif adalah hidup dengan kesadaran akan kehadiran Allah. Menjalani suatu kehidupan kontemplatif adalah hidup di hadapan hadirat Allah. Artinya memikirkan dan hidup, dan membuat diri kita berelasi dengan setiap hal dan setiap orang di hadapan hadirat Allah. Tidak ada waktu dan tidak ada tempat dalam kehidupan atau pekerjaan kita sehari-hari di dalam mana Allah tidak hadir bagi kita.
9. Kehidupan kontemplatif adalah hidup dalam keheningan. Keheningan adalah sikap yang benar di hadapan sang Misteri Tanpa Batas.
10. Kehidupan kontemplatif Kristiani adalah hidup dengan pikiran Kristus. Santo Paulus berulang-ulang menekankan hal itu dalam surat-suratnya. Dia mengungkapkan persatuan antara umat beriman dengan Kristus seperti berikut ini: “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Flp 1:21). “Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal 2:19-20). Dalam surat-surat Santo Paulus, pengungkapan kata “dalam Kristus” muncul lebih dari 160 kali. Orang-orang Kristiani adalah mereka yang mempunyai pikiran Kristus: “Siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan, sehingga ia dapat menasihati Dia? Tetapi kami memiliki pikiran Kristus” (1Kor 2:16). “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (Flp 2:5). “Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kritus dan janganlah menuruti tabiat yang bersifat daging untuk memuaskan keinginannya” (Rm 13:14). “Sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: Hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, ……” (Flp 2:2).
11. Kehidupan kontemplatif adalah hidup ketaatan, kemiskinan dan kemurnian.
12. Dalam kehidupan kontemplatif, Sabda menjadi Daging. Seorang Kristiani menjadi seorang Kristus yang lain …… Alter Christus!
13. Kehidupan kontemplatif adalah kehidupan seorang Fransiskan.[5]
Catatan Penutup
Tulisan ini sekadar merupakan sebuah perkenalan tentang kehidupan kontemplatif yang harus merupakan unsur penting dalam spritualitas Fransiskan, di samping kehidupan aktif. Sebagai penutup, baiklah kita melihat satu petikan tulisan Fransiskus, sang kontemplatif.
Fransiskus menggambarkan kontemplasi sebagai memandang Allah dalam Kristus dengan menggunakan mata rohaniah. Suatu penglihatan tentang kedinaan Allah. Dalam ‘Petuah-petuah’, Fransiskus menulis: “Setiap hari Ia merendahkan diri, seperti tatkala Ia turun dari takhta kerajaan ke dalam rahim Perawan: Setiap hari Ia datang kepada kita, kelihatan rendah; setiap hari Ia turun dari pangkuan Bapa ke atas altar di dalam tangan imam. Seperti dahulu Ia tampak pada para rasul dalam daging yang sejati, demikian juga kini Ia tampak pada kita dalam roti kudus. Mereka, dengan pandangan mata jasmaniahnya, hanya melihat daging-Nya saja; tetapi dengan pandangan mata rohaniahnya, mereka percaya, bahwa Dia adalah Allah” (Pth 16-20).
Hanya seorang kontemplatif sajalah yang dapat menulis seperti ini.
Cilandak, 15 Juli 2010 [Pesta Santo Bonaventura – Kardinal/Uskup & Pujangga Gereja]
F.X. Indrapradja, OFS
[1] Sumber utama dari bagian ini adalah tulisan Pietro Sorci OFM, ANIMATORS OF PRAYER, dalam majalah TAU, Vol. XV No. 3, September 1990, hal. 89-99.
[2] Ronald M. Mrozinski OFMConv., FRANCISCAN PRAYER LIFE – The Franciscan Active-Contemplative Synthesis and the Role of Centers of Prayer, Chicago, Illinois: Franciscan Herald Press, 1981. [RMM]
[3] Ilia Delio OSF, FRANCISCAN PRAYER, Cincinnati, Ohio: St. Anthony Messenger Press, 2004 [ID]
[4] Butir 2 s/d 7 diambil dari Scaria Varanath OFM, SILENCE AND CONTEMPLATION: Indian-Franciscan Perspectives, dalam majalah TAU, Vol, XIV, No. 4, December 1989, hal.110-133.
[5] Butir 8 s/d 13 diambil dari Scaria Varanath OFM, SILENCE AND CONTEMPLATION: Indian-Franciscan Perspectives, Part I (B), dalam majalah TAU, Vol, XV, No. 1, March 1990, hal. 9-19.