Dengarkanlah, Saudara-Saudaraku. Kalau Santa Perawan begitu dihormati – dan hal itu memang pantas – karena ia telah mengandung Yesus di dalam rahimnya yang tersuci; kalau Santo Yohanes Pembaptis gemetar dan tidak berani menjamah ubun-ubun kudus Allah; kalau makam, tempat Ia dibaringkan selama beberapa waktu, begitu dihormati: betapa harus suci, benar dan pantaslah orang yang dengan tangannya menjamah-Nya, dengan hati dan mulut menyambut-Nya, serta memberikan-Nya kepada orang lain untuk disambut. Karena Dia, yang tidak akan mati lagi, tetapi yang hidup dan dimuliakan untuk selamanya, dan yang ingin dilihat oleh malaikat-malaikat!
Hendaklah seluruh diri manusia gemetar, seluruh dunia bergetar dan langit bersorak-sorai,apabila Kristus, Putera Allah yang hidup hadir di atas altar dalam tangan imam! O keagungan yang mengagumkan dan kesudian yang menakjubkan! O perendahan diri yang luhur! O keluhuran yang merendah!Tuhan semesta alam, Allah dan Putera Allah, begitu merendahkan diri-Nya, sampai Ia menyembunyikan diri dalam rupa roti yang kecil, untuk keselamatan kita! (SurOr 26-27)
Pada tanggal 25 Mei 1967 Gereja (Roma) mengeluarkan salah satu dokumen pasca-Konsili Vatikan II, yaitu instruksi Eucharisticum Mysterium tentang sembah-bakti kepada misteri Ekaristi. Kalimat pertama dokumen itu berbunyi: “Misteri Ekaristi adalah pusat sebenarnya dari liturgi suci, dan sesungguhnya dari keseluruhan hidup Kristiani.”[1] Seperti akan kita lihat dalam uraian-uraian selanjutnya, sesungguhnya hal tersebut sudah diwujudkan dan dihayati oleh Santo Fransiskus dari Assisi sekitar 800 tahun lalu. Memang tak dapat disangkal, bahwa suatu hal yang mencolok dalam kehidupan orang kudus ini adalah cintanya yang berapi-api terhadap Ekaristi Kudus. Gerald Lobo OFM[2] menulis, bahwa Fransiskus dari Assisi adalah seorang yang sederhana dan tidak berpendidikan tinggi, namun dia telah memberikan kepada Gereja, di antara banyak wawasan-wawasan spiritual, sebuah visi yang berharga tentang Ekaristi yang masih berlaku bahkan pada zaman kita.
Sebelum penderitaan-Nya yang mendalam di taman Getsemani, Yesus dan murid-murid-Nya makan-minum bersama dalam sebuah Perjamuan Malam Paskah, di dalam perjamuan mana Dia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada para murid dan berkata, “Ambillah, inilah tubuh-Ku.” Sesudah itu Dia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka, dan mereka semuanya minum dari cawan itu. Dan Ia berkata kepada mereka, “Inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang” (Mrk 14:22-24; bdk Mat 26:26-28; Luk 22:19-20; 1Kor 11:23-25). Inilah “Ekaristi Kudus” yang diminta oleh Kristus kepada para murid-Nya untuk dilakukan sepanjang masa. Santo Paulus menggarisbawahi pentingnya Ekaristi Kudus ini dengan mengatakan: “Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang” (1Kor 11:26).
Hati Fransiskus dipenuhi dengan Injil dan “Sabda yang Menjelma”; dia menolak untuk memikirkan tentang yang lain-lainnya, kecuali tentang Dia yang telah berbicara kepadanya dari Salib San Damiano. Dengan demikian, wajarlah bagi orang kudus ini untuk memusatkan kehidupan religiusnya kepada Ekaristi Kudus.[3] Maka sungguh tepatlah apa yang ditulis oleh Hilarin Felder OFMCap. yang mengatakan, bahwa “Ekaristi adalah fokus keseluruhan hidup religius orang kudus ini.”[4]
Dalam tulisan ini bersama-sama kita akan mencoba untuk memahami tempat Ekaristi Kudus dalam kehidupan dan spiritualitas Santo Fransiskus dari Assisi, antara lain dengan membaca apa yang ditulis oleh para penulis riwayat hidupnya yang awal. Kita juga akan mempelajari sejumlah tulisannya. Dengan demikian kita pun dapat meneladan orang kudus ini dengan sebaik-baiknya, teristimewa mengenai peranan Ekaristi Kudus dalam hidup iman Kristiani kita sehari-hari sebagai anggota keluarga besar Fransiskan.
Dalam tulisan ini akan dibahas beberapa pokok, secara berturut-turut: (1) Latar belakang sejarah; (2) Beberapa bacaan dari tulisan-tulisan dan riwayat hidup awal Santo Fransiskus; (3) Kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi Kudus; (4) Ekaristi Kudus sebagai peringatan atau kenangan; (5) Ekaristi Kudus sebagai kurban Yesus Kristus; (6) Ekaristi Kudus sebagai perendahan dan pengosongan-diri Allah; (7) Ekaristi Kudus sebagai rekonsiliasi antara surga dan bumi; (8) Penghormatan terhadap firman yang tertulis dan Ekaristi Kudus; (9) Ekaristi Kudus sebagai sumber pertobatan yang berkelanjutan; (10) Ekaristi Kudus sebagai sumber sikap hormat kepada para imam; (11) Ekaristi Kudus sebagai sumber kegiatan kerasulan Fransiskus.
LATAR BELAKANG SEJARAH
Pada tahun 1215 Paus Innocentius III menyelenggarakan Konsili Lateran IV, yang dalam beberapa kanon-nya menentukan semua warga Gereja untuk menunjukkan rasa hormat setinggi-tingginya bagi gereja-gereja, Ekaristi Kudus dan obyek-obyek yang digunakan untuk perayaan Ekaristi. Semua ketentuan ini adalah dalam rangka menghadapi dan mengoreksi praktek-praktek penyalah-gunaan dan praktek-praktek tidak baik lain yang berhasil menyusup ke dalam tubuh Gereja, teristimewa dalam hal-hal yang berkaitan dengan liturgi. Pengganti Sri Paus, Paus Honorius III, menindak-lanjuti dekrit-dekrit Konsili tersebut dengan sebuah gerakan Ekaristi, antara lain dengan menerbitkan sebuah surat edaran, Sane cum olim, yaitu pada tanggal 22 November 1219.
Dalam surat edaran tersebut[5] Sri Paus menyatakan kesedihan serta keprihatinannya terhadap praktek imam-imam tertentu, yang menyimpan dan memperlakukan Ekaristi Kudus dengan cara yang kurang pantas, kurang hormat dan bahkan memalukan. Karena itu diperintahkanlah agar untuk selanjutnya mereka menyimpan Ekaristi Kudus itu di tempat yang khusus, bersih dan terhormat. Di tempat itu para imam harus menghormati Ekaristi Kudus tersebut dengan penuh bakti dan rasa takwa. Para imam harus berulangkali mengajarkan kepada umatnya agar mereka menghormati-Nya dengan menundukkan kepala apabila hosti suci diangkat dalam perayaan Misa Kudus dan apabila imam membawa-Nya kepada orang sakit. Pada saat itu imam sendiri harus memakai pakaian yang pantas dengan kain penutup bahu yang bersih, menempatkan hosti kudus di dadanya dengan penuh rasa hormat dan takut dan selalu didahului oleh cahaya lilin yang bernyala.
Fransiskus sendiri hadir dalam Konsili Lateran IV. Beberapa tahun kemudian, pada tanggal 24 Juni 1219, bersama beberapa saudara Fransiskus berangkat dari pelabuhan Ancona menuju Tanah Suci. Ada beberapa tempat istimewa di Tanah Suci yang sangat memikat jiwa Fransiskus. Teodosio Lombardi OFM[6] menduga, bahwa Fransiskus merayakan Natal di Betlehem pada tahun 1219, pesta “Maria diberi kabar oleh Malaikat Tuhan” tahun 1220 di Nazaret, dan Pekan Suci serta Paskah 1220 di Yerusalem. Menurut Teodosio Lombardi OFM, para penulis riwayat hidup Fransiskus yang awal tidak berbicara mengenai hal ini, namun – tulis Teodosio Lombardi OFM – kalau kita berpikir tentang palungan dalam perayaan Natal unik di Greccio pada tahun 1223 dan penerimaan anugerah Stigmata di La Verna pada tahun 1224, maka mau tidak mau semua itu mengingatkan kita kepada perasaan seperti apa yang menggetarkan diri Fransiskus pada waktu berada di Betlehem dan Kalvari beberapa tahun sebelumnya, yaitu selama ziarahnya di Tanah Suci. Namun karena mendengar berita tentang masalah intern ordonya, orang kudus ini kembali ke Italia.[7] Fransiskus dan beberapa saudara yang menyertainya mendarat di pelabuhan Venezia pada akhir musim panas tahun 1220.
Setelah balik ke Italia, Fransiskus terjun mendukung gerakan Ekaristi yang diprakarsai Paus Honorius III, antara lain dengan ber-“kampanye” lewat surat-surat Ekaristi-nya.[8] Yang dimaksudkan dengan “Surat-surat Ekaristi” adalah “Surat Pertama kepada Para Rohaniwan” (1SurRoh), “Surat Kedua kepada Para Rohaniwan” (2SurRoh), “Surat Pertama kepada Para Kustos” (1SurKus), “Surat Kedua kepada Para Kustos” (2SurKus), “Surat kepada Para Pemimpin Rakyat” (SurPim) dan “Surat kepada Seluruh Ordo” (SurOr).
Dapat dikatakan, bahwa Fransiskus berada di barisan terdepan dalam gerakan Ekaristi itu. Kita harus ingat, bahwa pada masa itu Gereja sedang menghadapi banyak gerakan bid’ah, antara lain kaum Kathari[9] dan kaum Waldenses (Waldensi)[10]. Gerakan-gerakan bid’ah tersebut populer di mata rakyat banyak, dengan demikian bertumbuh-kembang dengan cepat dalam masyarakat. Begitu gigih Fransiskus membela Gereja, khususnya dalam hal hormat-bakti terhadap Sakramen Mahakudus ini, namun Ia tetap menjadi seorang diakon. Dengan tulus dan rendah hati orang kudus ini tidak ingin menjadi seorang imam, dan dia setia pada pendiriannya: konsisten sampai saat dia bertemu dengan Saudari Maut (Badani).
BEBERAPA BACAAN DARI TULISAN-TULISAN DAN RIWAYAT HIDUP AWAL SANTO FRANSISKUS
Dalam bagian ini disoroti beberapa pokok yang menyangkut tulisan dan kegiatan Fransiskus sehubungan dengan Ekaristi Kudus yang tidak dicakup dalam bagian-bagian lainnya secara khusus. Walaupun demikian, tumpang tindih – teristimewa dalam hal petikan-petikan bacaan – masih ada di sana-sini karena memang tidak dapat dihindari.
Nasihat yang mendesak kepada para saudara-imam. Dalam “Surat kepada Seluruh Ordo”, Fransiskus memberi nasihat kepada para saudara-imam, bahwa mereka harus hidup dengan cara-cara yang konsisten dengan tugas-pelayanan mereka, khususnya dalam hal pelayanan Ekaristi Kudus:
Juga aku minta dalam Tuhan kepada semua saudaraku para imam, yang sudah dan akan atau ingin menjadi imam Tuhan Yang Mahatinggi, agar bila mereka itu akan mempersembahkan misa, hendaklah mereka itu sendiri murni, dan dengan murni serta khidmat mempersembahkan kurban sejati tubuh dan darah mahakudus Tuhan kita Yesus Kristus; dengan niat yang suci dan murni, bukan untuk sesuatu perkara duniawi. Bukan pula karena takut atau karena kasih akan seorang manusia, seakan-akan untuk menyenangkan orang. Akan tetapi seluruh kehendaknya, sejauh dibantu rahmat, hendaklah diarahkan kepada Allah, dengan hasrat untuk menyenangkan Tuhan Yang Mahatinggi itu semata-mata; sebab Dia sendirilah yang melaksanakan misteri itu, sebagaimana berkenan pada-Nya (SurOr 14-15).
Pemberian nasihat Fransiskus kepada para saudara-imam ini didorong oleh rasa hormatnya yang mendalam terhadap Ekaristi Kudus, yaitu agar para imam menjaga kemurnian hati dalam mempersembahkan misa. Para imam tersebut harus hidup dengan cara-cara yang konsisten dengan tugas pelayanan mereka, khususnya pelayanan Ekaristi Kudus. Maksudnya ialah agar mereka memiliki ujud yang suci dan mencari kehendak Allah semata-mata, untuk menyenangkan Dia saja, dan bukannya untuk mengejar suatu keuntungan duniawi. Orang kudus ini juga menulis dalam surat yang sama:
Dengarkanlah, Saudara-Saudaraku. Kalau Santa Perawan begitu dihormati – dan hal itu memang pantas – karena ia telah mengandung Yesus di dalam rahimnya yang tersuci; kalau Santo Yohanes Pembaptis gemetar dan tidak berani menjamah ubun-ubun kudus Allah; kalau makam, tempat Ia dibaringkan selama beberapa waktu, begitu dihormati: betapa harus suci, benar dan pantaslah orang yang dengan tangannya menjamah-Nya, dengan hati dan mulut menyambut-Nya, serta memberikan-Nya kepada orang lain untuk disambut. Karena Dia, yang tidak akan mati lagi, tetapi yang hidup dan dimuliakan untuk selamanya, dan yang ingin dilihat oleh malaikat-malaikat!
Ingatlah akan martabatmu, Saudara-Saudara Para Imam, dan jadilah kudus, karena Dia sendiri kudus. Sebagaimana Tuhan Allah memberi kamu kehormatan lebih daripada semua orang karena pelayanan ini, demikianlah juga hendaknya kamu mengasihi Dia melampaui semuanya, menghormati serta memuja-Nya. Betapa besarnya kemalangan dan kelemahan yang patut disayangkan, apabila Dia hadir pada kamu seperti itu, tetapi kamu justru menyibukkan diri dengan sesuatu yang lain di seluruh bumi (SurOr 21-25).
Dalam “Surat Pertama kepada Para Kustos”, Fransiskus menulis sebagai berikut:
Aku memohon dengan sangat kepada kamu, lebih daripada kalau menyangkut diriku sendiri, supaya kamu, bila pada tempatnya dan kamu anggap berguna, memohon dengan rendah hati kepada para rohaniwan, bahwa mereka harus menaruh khidmat yang melampaui segala-galanya kepada tubuh dan darah mahakudus Tuhan kita Yesus Kristus serta kepada nama-Nya yang kudus dan firman-Nya yang tertulis, yang menguduskan Tubuh (1SurKus 2).
Kelihatan sekali dari bacaan ini, bahwa dalam diri Fransiskus terdapat dorongan yang sangat kuat untuk “menularkan” kepada orang-orang lain apa yang diyakininya mengenai Ekaristi Kudus, namun semua itu dilakukannya dengan penuh kerendahan hati dan rasa hormat pada orang-orang lain.
Dari pelbagai tulisan Fransiskus mengenai Ekaristi Kudus, jelaslah bahwa yang nampak baginya dalam Ekaristi Kudus adalah Yesus Kristus sendiri, Putera Allah dan Allah, yang jejak-jejak-Nya mau diikuti olehnya. Yesus yang miskin, yang meskipun Allah, mengosongkan diri-Nya sehabis-habisnya dan sepenuh-penuhnya. Oleh karena itu Fransiskus meminta supaya para saudara-imam agar sungguh-sungguh suci, benar-benar pantas dan kudus. Dan apabila semua hal itu terjadi dapatlah “mereka mengasihi-Nya melampaui semuanya, menghormati serta memuja-Nya (lihat SurOr 24).
Satu kali Misa dalam satu hari. Pada masa Fransiskus, misa privata sudah menjadi praktek yang lazim. Walaupun demikian, orang kudus ini menganjurkan bahwa pada persaudaraan-persaudaraan lokal (komunitas-komunitas) hanya diadakan satu Misa saja setiap hari. L. ab Aspurz, dalam tulisannya Communitatis franciscalis mencatat bahwa dalam hal ini Fransiskus benar-benar berada di luar kerangka zamannya sendiri.[11] Fransiskus menulis:
Karena itu di dalam Tuhan, aku memberikan nasihat dan ajakan ini: di tempat saudara-saudara tinggal, hendaknya dirayakan satu misa saja setiap hari menurut tata cara Gereja Kudus. Bahkan kalau di suatu tempat ada lebih dari satu imam, maka yang lain, demi cinta-kasih, hendaknya puas dengan turut menghadiri perayaan imam lainnya; sebab Tuhan Yesus Kristus memenuhi mereka yang layak bagi-Nya, baik mereka yang hadir maupun yang tidak hadir” (SurOr 30-32).
Hal ini dilakukan oleh Fransiskus karena dia memiliki keyakinan kuat akan nilai Perayaan Ekaristi sebagai sebuah penyebab-sekaligus-tanda dari persaudaraan sejati yang bersatu dalam kasih Kristus.
Sebuah gambaran tentang ungkapan cinta Fransiskus terhadap Ekaristi Kudus. Seorang penulis riwayat hidupnya, Beato Thomas dari Celano, memberikan gambaran yang jelas mengenai cinta Fransiskus terhadap Ekaristi Kudus ini sebagai berikut:
Dia menimbang sebagai sesuatu sikap tidak menaruh hormat, jika waktu mengizinkan, kalau dia tidak mendengar Misa paling sedikit sekali dalam sehari. Dia menerima Komuni Suci seringkali dan dengan sikap yang begitu saleh, sehingga membuat orang-orang lain menjadi saleh juga. Mengikuti hal yang patut dimuliakan itu dengan segala rasa hormat dia mempersembahkan semua anggota tubuhnya, dan selagi menerima Anakdomba yang disembelih dia mengorbankan rohnya sendiri dalam api yang selalu terbakar di altar hatinya. Karena inilah dia mencintai Perancis[12] sebagai seorang sahabat Tubuh Tuhan, dan bahkan ingin mati di sana, karena hormat-bakti penduduk daerah itu terhadap hal-hal yang suci (2Cel 201).[13]
Fransiskus sangat mencintai negeri Perancis karena menurut pandangannya negeri itu sangat menghormati Ekaristi Kudus. Dalam Legenda Perugia (Legenda Perugina)[14] terdapat catatan menarik tentang negeri Perancis seperti diceritakan di atas. Sebelum pergi untuk berkhotbah ke negeri-negeri yang jauh atau negeri-negeri tetangga, biasanya Fransiskus berdoa dan minta para saudara untuk berdoa juga, untuk memperoleh inspirasi ke manakah dia harus pergi. Pada suatu hari, ketika para saudara (setelah berdoa) kembali menemuinya, Fransiskus berkata: “Dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus, Perawan yang mulia Ibu-Nya, dan semua orang kudus, saya memilih negeri Perancis. Perancis adalah sebuah bangsa Katolik, lebih daripada semua bangsa Katolik dari Gereja kudus, saksi mengenai penghormatan teragung bagi Tubuh Tuhan kita Yesus Kristus, dan tidak ada sesuatu pun yang akan lebih menyenangkan saya daripada pergi ke tengah-tengah orang-orang ini” (LP 79).
Penghormatan tertinggi bagi Ekaristi Kudus berarti juga menyangkut kebersihan gereja dan peralatan Ekaristi, tempat penyimpanannya dan lain-lainnya. Fransiskus menghendaki agar misteri yang mahakudus itu dihormati melampaui segala-galanya, disembah dan disimpan di tempat yang berharga. Membawa-Nya, menyambut-Nya dan memberikan-Nya kepada kepada orang lain harus dilakukan dengan pantas dan tidak sembrono. Semua hal ini diungkapkannya dalam beberapa tulisannya (Was 11; 1SurRoh 5-7, 11-14; 2SurRoh 5-7, 11-14; 1SurKus 4).
Dalam Speculum Perfectionis (Cermin Kesempurnaan; permulaan abad ke-14), diceritakan, bahwa Fransiskus selalu merasa sedih apabila melihat gereja yang tidak bersih. Karena itu dia sering membawa sapu bila dia berkeliling untuk berkhotbah. Setelah berkhotbah, dia mengumpulkan para imam di tempat terpencil agar tak terdengar oleh orang dunia/sekular dan berkhotbah kepada mereka tentang keselamatan jiwa, dan juga mengajak mereka untuk menjaga kebersihan gereja, altar dan semua yang perlu untuk perayaan Ekaristi Kudus, yang sesungguhnya merupakan perayaan “misteri ilahi”.[15] Hal seperti ini sudah dibuatnya sejak awal karyanya, yaitu ketika jumlah para saudara masih sedikit. Sehubungan dengan kebersihan gereja dan peralatan untuk Ekaristi, kita dapat membaca apa yang ditulis orang kudus ini dalam SurOr 34-37; 1SurRoh 4; 2SurOr 4; 1SurKus 3.
Legenda Perugia juga mencatat rasa hormat dan devosi mendalam dari Fransiskus terhadap Tubuh Kristus. Ia menginginkan agar ditulis dalam Peraturan Hidup, bahwa dalam provinsi-provinsi di mana mereka berada, para saudara menunjukkan rasa hormat dan melakukan devosi yang sama. Para klerus dan imam harus memelihara Tubuh Kristus di tempat yang semestinya (berharga). Bahkan, pada suatu hari dia memutuskan untuk mengirim para saudara ke semua provinsi dengan membawa sibori (ciboria) sebagai tempat Tubuh Kristus kalau ditemukan pada tempat yang tidak pantas (LP 80). Hal ini sejalan dengan yang ditulis oleh Beato Thomas dari Celano:
Sekali dia ingin mengirim saudara-saudaranya ke seluruh dunia dengan membawa piksis yang berharga, sehingga di mana saja mereka menemukan harga penebusan kita di tempat yang tidak layak, maka mereka dapat menempatkannya dalam tempatnya yang terbaik (2Cel 201).
Perbedaan antara dua sumber tadi sedikit saja. Kalau Legenda Perugia menyebut sibori, maka Beato Thomas dari Celano menyebutnya piksis. Dua-duanya, sibori dan piksis memang merupakan tempat untuk menaruh hosti suci.
Sikap tubuh juga penting dalam mengungkapkan rasa hormat kita. Pada waktu konsekrasi dan Sakramen Mahakudus dibawa dalam prosesi, umat diminta untuk menyampaikan pujian, kemuliaan dan hormat kepada Tuhan Allah sambil berlutut (lihat 1SurKus 7).
Tentang pengakuan dosa dan Ekaristi Kudus. Fransiskus juga menulis, bahwa pengakuan dosa merupakan suatu disposisi yang pantas serta layak untuk menerima Tubuh dan Darah Kristus (2SurBerim 22-24; bdk AngTBul XX).
Fransiskus adalah seorang Bentara Ekaristi[16] yang konsisten sampai akhir hidupnya di dunia. Bahkan menjelang wafatnya pun, Fransiskus masih sempat menyuruh-tulis Wasiat-nya. Wasiat-nya itu memuat juga pokok-pokok yang menyangkut Ekaristi Kudus dan penghormatan kepada para imam (Was 6-11). Antara lain Fransiskus menulis: “Aku menghendaki, agar misteri yang mahakudus itu dihormati melampaui segala-galanya, disembah dan disimpan di tempat yang berharga (Was 11).
KEHADIRAN NYATA KRISTUS DALAM EKARISTI KUDUS
Fransiskus bergerak dalam koridor tradisi Katolik yang berlaku pada masanya. Namun segi yang paling menonjol dan menentukan dari sikap Fransiskus terhadap Ekaristi Kudus ialah kehadiran Yesus Kristus secara “badani” dan “kelihatan” dalam Ekaristi Kudus tersebut. Yesus Kristus yang melalui Injil bersabda kepada Fransiskus, dalam rupa roti dan anggur menampakkan diri kepadanya. Dalam Sakramen Ekaristi Fransiskus bertemu muka dengan Yesus Kristus.
Dengan demikian Sakramen Mahakudus menjadi semacam epifani (penampakan Tuhan) bagi orang kudus ini. Waktu dan urutan peristiwa dalam waktu menjadi hilang lenyap, sehingga semua serentak hadir. Dengan perkataan lain, seluruh peristiwa Yesus, yang “bermula” dari Inkarnasi-Nya hingga wafat-Nya di kayu salib serta kebangkitan-Nya dipadatkan serta diaktualkan (serta dikonkritkan) dalam Ekaristi Kudus.
Sesungguhnya, manakala Fransiskus berbicara mengenai sang Penyelamat, maka di atas segalanya yang ada dalam pikirannya adalah Ekaristi Kudus. Seperti kita telah lihat di atas, palungan dan salib, keduanya ditemukannya hadir dalam Ekaristi Kudus. Ekaristi Kudus ini merupakan pusat iman-kepercayaan Fransiskus karena baginya dalam Ekaristi Kudus dan melalui Ekaristi Kudus inilah, Kristus menjadi realitas yang hidup. Ia hadir secara nyata dalam bentuk roti dan anggur yang telah dikonsekrasikan oleh imam.
Kehadiran Kristus itu sungguh nyata, dapat disentuh serta dapat dilihat secara badaniah. Dengan menekankan kehadiran Allah (Kristus) yang dapat disentuh itu, Fransiskus serentak pula menekankan sifat-Nya yang eksklusif. Bagi Fransiskus, Ekaristi Kudus merupakan satu-satunya tempat di mana Allah menjadi suatu kenyataan yang dapat dilihat dan dapat disentuh oleh manusia serta mendekatinya dengan masuk ke dalam dunia manusiawi.
Sebagai tanggapan cepat-tepat terhadap ketentuan-ketentuan Konsili Lateran IV (1215) dan surat edaran Sane cum olim dari Paus Honorius III (1219), Fransiskus ingin menyadarkan para pembaca tulisan-tulisannya bahwa Ekaristi Kudus merupakan satu-satunya kehadiran secara badani dari Penyelamat yang bangkit dan dimuliakan.[17] Dia menulis:
…… mengenai Yang Mahatinggi itu sendiri tidak suatu pun yang kita miliki dan kita lihat secara badani di dunia, selain tubuh dan darah, nama dan firman-Nya, yang olehnya kita dijadikan dan ditebus dari kematian kepada kehidupan” (1SurRoh 3; 2SurRoh 3).
Bagi Fransiskus, Ekaristi Kudus merupakan tempat di mana orang Kristiani mengalami Allah, bertemu dengan-Nya secara badaniah. Namun demikian Allah (Kristus) tetaplah Yang Mahatinggi itu sendiri. Dengan turun dari “terang yang tak terhampiri” (lihat Pth I:5) dan merendahkan diri-Nya, Allah (Kristus) tidak menghilangkan transendensi-Nya. Dengan memadukan ungkapan “Tubuh dan Darah”, Fransiskus sebenarnya melihat kesatuan dari Sakramen yang sama. Artinya ungkapan tersebut menyatakan iman-kepercayaannya akan penebusan yang terlaksana melalui kurban-berdarah di kayu salib.[18]
Segala isi kampanye dan ajaran Fransiskus seperti termuat dalam surat-surat Ekaristi-nya dan tulisan-tulisannya yang lain tentang Ekaristi secara implisit atau eksplisit mengandung atau menunjukkan iman-tak-tergoyahkan dari Fransiskus akan kehadiran-nyata Kristus dalam Ekaristi Kudus. Orang kudus ini menulis dalam “Petuah-Petuah”:
(19) Seperti dahulu Ia tampak pada para rasul dalam daging yang sejati, demikian juga kini Ia tampak pada kita dalam roti kudus. (20) Mereka, dengan pandangan mata jasmaniahnya, hanya melihat daging-Nya saja; tetapi dengan pandangan mata rohaniahnya, mereka percaya, bahwa Dia adalah Allah. (21) Demikian juga kita, dengan mata badaniah kita yang kita lihat adalah roti dan anggur; tetapi hendaklah kita melihat dan percaya dengan teguh, bahwa itu adalah tubuh dan darah-Nya yang mahakudus, yang hidup dan benar (Pth I:19-21).
(8) Karena itu terkutuklah semua orang yang dahulu melihat Tuhan Yesus menurut kemanusiaan tetapi tidak melihat dan percaya menurut Roh dan keallahan, bahwa Dia adalah sungguh-sungguh Putera Allah. (9) Juga terkutuklah semua orang yang kini melihat sakramen, yang dikuduskan oleh firman Tuhan di atas altar melalui tangan imam dalam rupa roti dan anggur, tetapi tidak melihat dan percaya menurut Roh dan keallahan, bahwa itu benar-benar tubuh Tuhan dan darah mahakudus Tuhan kita Yesus Kristus; (10) Yang Mahatinggi sendiri memberi kesaksian tentang hal itu dengan berfirman: Inilah tubuh-Ku dan darah perjanjian-Ku yang baru (yang ditumpahkan bagi banyak orang); dan: Siapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup kekal (Pth I: 8-10).
Menurut Fransiskus (ayat 8), terkutuklah mereka semua yang dahulu melihat Tuhan Yesus menurut kemanusiaan tetapi tidak melihat dan percaya menurut Roh dan keallahan, bahwa Dia adalah sungguh-sungguh Putera Allah. Hal ini berarti mereka semua yang melihat Yesus hanya sebagai manusia saja, tanpa mengimani-Nya sebagai Putera Allah.[19] Demikian pula, terkutuk jugalah mereka semua yang tidak percaya, bahwa roti dan anggur Ekaristi itu sungguh Tubuh dan Darah Kristus (ayat 9-10).
Allah, yang karena Yesus menjadi kelihatan, sungguh hadir dalam roti dan anggur yang telah dikonsekrasikan oleh kehadiran pribadi Yesus sendiri dalam Ekaristi Kudus. Tentunya kita tidak dapat melihat-Nya dengan mata badani kita. Dia hanya dapat dilihat dalam Roh atau seturut Roh. Artinya melihat Dia dalam dimensi ilahi-Nya sebagai Putera yang benar dari Bapa, yaitu Allah sendiri. Melihat Yesus hanya dimungkinkan dengan menjadi miskin secara batiniah dan dengan menghayati hidup kesederhanaan Injili dalam segala bidang kehidupan. Fransiskus menegaskan:
Di sini Fransiskus secara terinci mengkonkritkan kehadiran personal Yesus dalam sabda-sabda Tuhan, di atas altar dalam rupa roti dan anggur, di tangan-tangan imam, di mana sakramen datang untuk dikonsekrasikan. Ia menekankan, bahwa roti dan anggur itu adalah sungguh tubuh dan darah Tuhan Yesus Kristus.
Di sini, menurut Gerald Lobo OFM[20], kita mempunyai suatu wacana Kristologis yang berurusan dengan realitas Inkarnasi. Fransiskus berpegang teguh pada pendiriannya, bahwa Yesus adalah Putera Allah yang menjadi daging, pribadi sama yang bersabda kepada orang kusta, “Sembuhlah!”; dan orang kusta itu pun disembuhkan secara instan. Dengan perkataan lain, Yesus bukanlah “seseorang yang cuma ada dalam angan-angan”, melainkan sungguh riil. Oleh karena itu Dia mampu berkata: “Inilah tubuh-Ku; inilah darah-Ku” (lihat Mrk 14:22-24; bdk Mat 26:26-28; Luk 22:19-20; 1Kor 11:23-25). Sekarang, apabila imam mengucapkan sabda Tuhan tadi pada waktu Doa Syukur Agung (konsekrasi), maka kita dapat percaya dengan teguh bahwa Yesus sendirilah yang mengkonsekrasikan roti dan anggur di atas altar, di tengah-tengah kita. Dengan demikian kehadiran-Nya tidak hilang, tetapi terus berlanjut. Imam, oleh kata-kata dalam konsekrasi, membuat peristiwa yang terjadi di masa lampau menjadi peristiwa hari ini, karena perintah Yesus yang diberikan oleh-Nya pada Perjamuan Terakhir.
Bagaimana kita dapat mencapai suatu keyakinan sedemikian, bahwa Tuhan sungguh hadir dalam Ekaristi Kudus? Fransiskus sebelum itu sudah menulis: “Rohlah yang memberi hidup!” (ayat 6; bdk Yoh 6:63). Dari sebab itu Roh yang sama pulalah yang memampukan kita untuk mengalami kehadiran nyata Kristus (sebagai kelanjutan kehadiran-Nya pada Perjamuan Terakhir). Dalam Ekaristi Kudus, Fransiskus melihat kelanjutan dari Inkarnasi Tuhan. Selama hidup-Nya di atas bumi, Yesus memanifestasikan diri-Nya dalam tubuh insani-Nya, dalam tindakan-tindakan-Nya, dalam pelbagai sabda yang diucapkan-Nya dan penyembahan-Nya kepada Bapa. Dengan demikian masih mungkinlah bagi orang untuk bertemu dengan personalitas insani-Nya. Sekarang kemanusiaan yang sama dimanifestasikan dalam Ekaristi Kudus. Jadi kita semua harus melihat Kristus dalam Roh, dengan mata rohani kita.
EKARISTI KUDUS SEBAGAI PERINGATAN ATAU KENANGAN
Fransiskus menulis: “Sebagaimana Dia sendiri berfirman: Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Daku; maka jika seseorang berbuat secara lain, ia menjadi Yudas si pengkhianat dan berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan” (SurOr 16).
Tidak ada orang yang meragukan fakta, bahwa Fransiskus dengan gigih mendorong dilakukannya sembah-bakti atau devosi kepada Sakramen Mahakudus. Ia minta kepada para saudara dan semua orang beriman untuk memberikan penghormatan sebesar-besarnya kepada Tubuh Tuhan. Kapan dan di mana saja dalam perjalanannya, apabila dia menemukan sebuah gereja yang terlantar atau tak terawat, dia akan mengambil sapu, mulai menyapu dan membersihkan serta menghias rumah Allah tersebut. Semuanya itu dilakukannya dengan rendah hati dan penuh sembah-bakti. Dia menghias altar, agar Tuhan-nya dapat bersemayam di situ dengan penuh keagungan. Dalam Wasiat-nya orang kudus ini membuat jelas kepada para anak-anak rohaninya mengenai apa yang diharapkannya dari mereka: “Aku menghendaki, agar misteri (sakramen) yang mahakudus itu dihormati melampaui segala-galanya, disembah dan disimpan di tempat yang berharga” (Was 11).
Hal yang baru disebutkan di atas belum memberikan kepada kita alasan cintanya yang begitu kuat terhadap Ekaristi Kudus. Untuk itu kita harus menyelidiki lebih dalam lagi ke dalam tulisan-tulisan Bapa Serafik kita. Dalam “Anggaran Dasar Tanpa Bulla” dia menulis:
Setelah menyesal dan mengaku secara demikian, mereka hendaknya menyambut tubuh dan darah Tuhan kita Yesus Kristus dengan amat rendah hati dan penuh hormat, dengan mengingat apa yang difirmankan Tuhan: Siapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal (bdk Yoh 6:54); dan lagi: Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku (Luk 22:19) (AngTBul XX:5-6).
Fransiskus malah menulis kepada para penguasa pemerintahan sipil, seperti berikut ini: “… dengan sungguh-sungguh aku menasihati kamu, Tuan-tuanku, agar kamu menyingkirkan segala kesibukan dan kecemasan, dan dengan rela hati menyambut tubuh dan darah mahakudus Tuhan kita Yesus Kristus, sebagai peringatan suci akan Dia” (SurPim 6).
Dengan demikian jelaslah, bahwa bagi Fransiskus Ekaristi Kudus pertama-tama berarti “peringatan atau kenangan yang hidup akan sengsara, kematian dan kebangkitan Kristus melalui sembah-sujud kepada kehadiran nyata-Nya di atas altar dan melalui penerimaan tubuh-Nya secara sakramental.”
Namun pada waktu kita merayakan Ekaristi Kudus kita tidak saja mengenang suatu peristiwa yang terjadi di masa lampau, melainkan juga mengalami tindakan penyelamatan Kristus yang hadir dalam hidup kita, di sini dan sekarang.
Adalah Kristus sendiri yang merayakan Perjamuan Paskah dengan kita. Pada meja perjamuan di “Ruang Atas” itu kita duduk; Kristus sendirilah yang memecah-mecahkan roti bagi kita dan memberikan piala darah-Nya untuk kita minum, yang membawa kita serta dalam penderitaan-Nya, jalan salib-Nya dan kematian-Nya pada kayu salib di Kalvari. Ini adalah kenangan yang bersifat riil, karena Kristus hadir secara sungguh, nyata dan substansial.
“Peringatan atau Kenangan akan Yesus Kristus” dalam konteks Ekaristi Kudus merupakan “peringatan/kenangan yang berbahaya”[21] Mengapa berbahaya? Karena peringatan/ kenangan termaksud menuntut suatu risiko di pihak orang yang merayakan peringatan/ kenangan tersebut. Peringatan/kenangan di sini berarti juga menantang seluruh visi seseorang tentang hidup dan nilai-nilai mapan yang selama ini dianutnya, dan memindahkan posisi orang itu dari standar-standar, pola-pola dan kerangka yang berlaku, artinya standar-standar, pola-pola dan kerangka yang sudah diterima dan tak perlu dipertanyakan lagi. Mengenang atau mengingat-ingat Tuhan Yesus dan apa yang disabdakan-Nya dan dilakukan-Nya, berarti mengambil-alih untuk diri kita sendiri seluruh kehidupan-Nya. Ungkapan yang konkrit dari hal ini dapat ditemukan dalam tindakan-tindakan pelayanan kita kepada sesama kita, pada saat-saat yang paling dibutuhkan. Dengan demikian, menurut G. Therukattil, “mengenang adalah pengaktifan suatu kenangan akan Yesus yang berbahaya dan bersifat membebaskan, yang memampukan kita untuk dengan jelas mendefinisikan cinta-kasih dalam bentuk tindakan.”[22]
Apa yang dapat kita tiru dari Fransiskus? Orang kudus ini menghayati “kenangan” akan Yesus dalam bentuk opsi-opsinya yang ditentukannya secara sadar untuk hidup bersaudara dengan para penderita kusta dan pengemis di pinggir jalan, untuk memilih tempat paling rendah dalam masyarakatnya yang didominir oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan. “Kenangan akan Tuhan” membentuk orang kudus ini menjadi sebuah “kenangan hidup” akan nilai-nilai manusiawi yang luhur seperti telah ditunjukkan oleh Tuhan Yesus sendiri di kala masih hidup di dunia, untuk mana setiap orang yang memiliki hati terbuka seharusnya juga menghayatinya sekarang. Fransiskus menjadi seorang Alter Christus yang sejati!
EKARISTI KUDUS SEBAGAI KURBAN YESUS KRISTUS
Fransiskus juga mau menekankan “aspek kurban Yesus Kristus” dari Ekaristi Kudus. Hal ini dapat diindikasikan dari beberapa nama yang diberikan Fransiskus bagi Ekaristi Kudus, yaitu “Sakramen Tubuh Kristus”, “Sakramen Altar” dan “Tubuh dan Darah Kristus”. Namun “Ekaristi Kudus sebagai kurban” dengan jelas terungkap dalam suratnya kepada seluruh ordo: “Juga aku minta dalam Tuhan kepada semua saudaraku para imam ………dengan murni serta khidmat mempersembahkan kurban sejati tubuh dan darah mahakudus Tuhan kita Yesus Kristus (SurOr 14).
Dalam suratnya yang kedua kepada kaum beriman, dalam rangka penghormatan kepada para rohaniwan, Fransiskus juga secara eksplisit menggunakan kata “kurban” untuk Ekaristi Kudus: “Kita ……… harus menaruh rasa hormat dan takzim kepada para rohaniwan; bukan pertama-tama karena orangnya sendiri – sebab bisa jadi mereka itu pendosa – tetapi karena tugas dan pelayanan tubuh dan darah Kristus Yang Mahakudus, yang mereka kurbankan di altar dan mereka sambut serta mereka bagikan kepada orang-orang lain (2SurBerim 33). Demikian pula dalam “Surat Pertama kepada Para Kustos”, di mana Fransiskus menulis: “Cawan, korporal, perlengkapan altar dan segala sesuatu yang bersangkutan dengan kurban, haruslah mereka pandang sebagai barang yang berharga” (1SurKus 3).
Sebagai umat, sebagai Fransiskan, kita semua diundang untuk berpartisipasi dalam perayaan Ekaristi Kudus.[23] Yang dimaksudkan dengan “ambil bagian” atau “turut serta” atau “partisipasi” di sini bukanlah suatu partisipasi sederhana dalam liturgi Ekaristi, melainkan partisipasi dalam kurban Yesus Kristus. Mengapa? Karena dalam perayaan Ekaristi Kudus, Gereja mengaktualkan penyerahan diri Kristus secara total sebagai kurban persembahan kepada Bapa surgawi. Maka partisipasi dalam perayaan Ekaristi juga berarti partisipasi dalam kurban Kristus di kayu salib.
Dalam pengertian yang lebih luas, yang dimaksudkan dengan “kurban Yesus Kristus” adalah suatu pengorbanan menyangkut hidup yang secara total diberikan kepada orang-orang lain; sebuah hidup di mana ditemukan kehidupan hanya apabila ada pemberian kehidupan kepada orang-orang lain. Suatu kehidupan yang menyangkal-diri-sendiri (self-denial) dan hidup berbagi (sharing); hidup dalam ketidak-berdayaan (powerlessness) dan kerendahan (abasement); kehidupan seorang pelayan (servanthood) dan hidup yang dipenuhi belarasa (compassion) kepada mereka yang miskin dan menderita.[24]
Dalam diri Yesus dari Nazaret ada Kristus, sang hamba Yahweh yang menderita, yang siap untuk menjadi “hidup” bagi orang-orang lain setiap waktu, siap untuk “taat” kepada suara Allah dan manusia, bersedia untuk menerima kodrat manusia demi cinta kasih, dan menemukan Salib sebagai satu-satunya sarana pemerdekaan untuk diri-Nya sendiri dan diri orang-orang lain. Inilah yang dimaksudkan dengan kurban Tuhan kita Yesus Kristus. Kurban Yesus Kristus adalah komitmen-Nya kepada keadilan pada tingkat sosio-ekonomi-politik dan agama, suatu keterlibatan yang dimahkotai dengan Salib, suatu keterlibatan pada dimensi horisontal maupun vertikal-nya. Salib terdiri dari dua potongan batang kayu, satu horizontal dan satu lagi vertikal. Inilah yang kita rayakan dalam Ekaristi Kudus, yang merupakan lambang dari kurban Kristus yang paling tinggi. Dalam kurban inilah kita berpartisipasi, artinya kurban Kristus ini menjadi kurban diri kita sendiri, way of life kita, praktek hidup kita sehari-hari. Begitu Kristus, begitu juga seharusnya kita!
Beato Thomas dari Celano menulis, bahwa Fransiskus bukanlah seorang pendengar Injil yang tuli, melainkan segala apa yang didengarnya, disimpan dalam ingatannya yang mulia; dan ia pun berusaha menepatinya dengan cermat (lihat 1Cel 22). Hal ini dapat diartikan juga, bahwa Fransiskus tidak bersikap pasif dalam hal kurban Ekaristi. Perhatiannya yang penuh pada Ekaristi Kudus berarti juga perhatiannya yang penuh kepada Kristus.
Fransiskus juga menulis: “Adapun kehendak Bapa-Nya ialah supaya Putera-Nya yang terpuji dan mulia, yang telah diberikan-Nya kepada kita dan yang telah lahir bagi kita, mempersembahkan diri-Nya dengan penumpahan darah-Nya sendiri sebagai kurban dan persembahan di altar salib. Bukan bagi diri-Nya sendiri, yang oleh-Nya segala sesuatu dijadikan, tetapi bagi dosa-dosa kita, sambil meninggalkan teladan bagi kita, agar kita mengikuti jejak-Nya. Ia menghendaki agar kita semua diselamatkan melalui Dia, dan agar kita menyambut Dia dengan hati yang suci dan badan yang murni. Akan tetapi tidak banyak orang yang mau menyambut Dia dan mau diselamatkan oleh-Nya walaupun kuk-Nya enak dan beban-Nya ringan” (2SurBerim 11-15).
Dari petikan tulisan Fransiskus ini, kita dapat melihat bagaimana dia memandang tindakan umat menyambut Komuni Suci sebagai perjamuan kurban. Artinya, dengan menyambut komuni suci orang berpartisipasi dalam sengsara dan kematian Kristus yang bernilai penebusan; sebab sengsara dan kematian Kristus adalah kurban abadi demi perdamaian antara Allah yang Maharahim dengan manusia yang berdosa. Komuni suci merupakan anugerah berharga bagi keselamatan manusia karena orang menerima kekuatan dalam menempuh jalan Kristus menuju keselamatan, artinya “ditebus dari kematian kepada kehidupan” (1SurRoh 3; 2SurRoh 3).
Pada waktu itu ada gerakan rohani yang menganggap, bahwa pertobatan jauh lebih penting dan lebih menentukan bagi keselamatan orang. Maka, ketika berbicara mengenai pertobatan dan pengakuan dosa, Fransiskus selalu menasihatkan dengan keras untuk melengkapinya dengan menyambut komuni suci (AngTBul XX:5; 2SurBerim 22; 1SurKus 6). Di sisi lain ada juga gerakan devosi populer dalam “memandang Sakramen Mahakudus”. Devosi ini dianggap begitu penting sehingga dalam hal tertentu, dianggap senilai dengan komuni suci, dan bahkan menggantikan komuni suci. Fransiskus tidak pernah mengabaikan aspek kontemplatif dalam hidup doanya. Puji-pujian dalam SurOr 26-27 seperti dipetik dalam awal tulisan ini merupakan cetusan hati seorang kontemplatif sejati.
Menurut Vitalis Nonggur OFM, seluruh Petuah I sesungguhnya merupakan sintese-teologis Fransiskus sehubungan dengan pandangan kontemplatif ini.[25] Devosi sedemikian tidak pernah dapat menggantikan komuni suci. Bagi Fransiskus kontemplasi di hadapan Sakramen Mahakudus merupakan ungkapan partisipasi personal pada kehadiran riil Tuhan dalam Sakramen Mahakudus. Jadi komuni suci selalu diutamakan. Ia sendiri sering menyambut komuni. Kata “sering” itu dapat berarti setiap hari (lihat 2Cel 201). Marilah kita baca lagi salah satu tulisannya: “Tidakkah kita tergerak ………padahal ………kita memegang-Nya serta menyambut-Nya dengan mulut kita setiap hari?” (1SurRoh 8; 2SurRoh 8). Bagi Fransiskus, komuni suci itu penting. Oleh karena itu tidak heranlah kalau orang kudus ini suka mengulang-ulang kata-kata dalam Injil Yohanes: “Siapa saja yang makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal” (Yoh 6:54; lihat AngTBul XX:5; Pth I:11).
Kalau kita setuju bahwa berpartisipasi dalam perayaan Ekaristi Kudus berarti berpartisipasi dalam kurban Yesus Kristus, maka kita tidak boleh lagi memandangnya sebagai sekedar upacara dengan ritualisme biasa. Seperti dikutip oleh Gerald Lobo OFM, G. Therukattil menyatakan, bahwa “Ekaristi adalah insentif yang kuat untuk suatu komitmen terhadap kepentingan orang-orang yang lapar. Dan partisipasi dalam Ekaristi adalah suatu janji atau ikrar untuk mengkomit diri kita sendiri bagi kepentingan pemerdekaan manusia secara integral …”[26]
EKARISTI KUDUS SEBAGAI PERENDAHAN DAN PENGOSONGAN-DIRI ALLAH
Bacalah apa yang ditulis oleh Beato Thomas dari Celano:
Terhadap sakramen Tubuh Tuhan, dia terbakar dengan kegairahan sampai ke sumsumnya yang terdalam, dan dengan rasa takjub tak terhingga terhadap perendahan diri penuh cinta-kasih dan cinta-kasih yang merendah itu. Dia menimbang sebagai sesuatu sikap tidak menaruh hormat, jika waktu mengizinkan, kalau dia tidak mendengar Misa paling sedikit sekali dalam sehari. Dia menerima Komuni Suci seringkali dan dengan sikap yang begitu saleh, sehingga membuat orang-orang lain menjadi saleh juga. Mengikuti hal yang patut dimuliakan itu dengan segala rasa hormat dia mempersembahkan semua anggota tubuhnya, dan selagi menerima Anakdomba yang disembelih dia membunuh rohnya sendiri dalam api yang selalu terbakar di altar hatinya (2Cel 201).
Sesungguhnya, satu hal yang sangat mempesona Fransiskus adalah kenyataan, bahwa Allah yang mahaluhur, mahakudus dan mahakuasa itu telah menghampakan dan merendahkan diri-Nya serta membuat diri-Nya hina dina. Ia meninggalkan segala keluhuran serta kemuliaan-Nya, dan menghampakan/mengosongkan dan merendahkan diri-nya serta menjadi hamba yang kecil dan tak berdaya untuk menyelamatkan manusia yang hina dina dan melayani kepentingannya (bdk Flp 2:6-11; 2 Kor 8:9). Hal itu terlaksana secara penuh dan sangat konkrit dalam diri Yesus Kristus, Putera Allah yang menjadi manusia:
Firman Bapa itu, yang begitu luhur, begitu kudus dan mulia, telah disampaikan dari surga oleh Bapa Yang Mahatinggi, dengan perantaraan Gabriel malaikat-Nya yang kudus, ke dalam kandungan Perawan Maria yang kudus dan mulia. Dari kandungannya, firman itu telah menerima daging sejati kemanusiaan dan kerapuhan kita. Dia, sekalipun kaya melampaui segala-galanya, mau memilih kemiskinan di dunia ini, bersama bunda-Nya, perawan yang amat berbahagia (2SurBerim 4-5).
Di dalam diri Yesus Kristus, Allah-Manusia itu, Allah yang mahaluhur turun mendapatkan manusia dan menemuinya dengan penuh kasih yang menyelamatkan. Dengan demikian kita dapat mengatakan, bahwa Yesus Kristus adalah perendahan, penghampaan/pengosongan diri Allah yang sangat mengagumkan, tetapi membawa keselamatan.
Seluruh peristiwa Yesus – sejak Ia turun ke dalam rahim Santa Perawan Maria, sampai wafat dan kebangkitan-Nya dari antara orang mati – sebenarnya menyingkapkan hal itu. Namun seluruh peristiwa itu dipadatkan serta diaktualkan dalam Ekaristi Kudus. Dalam Ekaristi Kudus Fransiskus bertemu dengan Yesus Kristus, Putera Allah yang sungguh menyelamatkan dengan, dalam dan melalui penghampaan diri-Nya. Dalam Ekaristi Kudus itu pula orang kudus ini benar-benar mengalami dan melihat Allah, Putera Allah sendiri yang sungguh dan secara konkrit-nyata hadir untuk menyelamatkan manusia. Karena itu bagi dia Ekaristi Kudus merupakan satu-satunya tempat di mana Allah, Putera Allah menjadi suatu kenyataan yang kelihatan dan dapat disentuh oleh umat manusia dan di mana Allah, Putera Allah mendekati manusia dengan masuk ke dalam dunia manusia untuk menyelamatkannya. Allah, Putera Allah – dalam Ekaristi – lalu menjadi Allah yang senantiasa menyertai umat-Nya sampai akhir zaman (bdk Mat 28:20).
Dengan demikian kita dapat mengatakan, bahwa Ekaristi Kudus adalah perendahan-diri atau pengosongan-diri Allah, ……… kedinaan-Nya. Bersama dengan Yesus Kristus yang mengosongkan diri-Nya dalam Ekaristi Kudus, Fransiskus juga memahami seluruh peristiwa penyelamatan sebagai penghampaan/pengosongan diri Allah, Putera Allah. Dalam Ekaristi Kudus inilah pengosongan-diri yang menyelamatkan nampak secara konkrit bagi Fransiskus. Dengan mengalami dan khususnya dengan melihat secara badaniah Tubuh dan Darah Kristus dia menjadi ko-eksisten dengan seluruh Kristus. Yang tersisa pada akhirnya hanyalah Kristus saja. Dan Kristus ini adalah Putera Allah yang Mahatinggi, yang mengosongkan serta merendahkan diri-Nya serta menjadi miskin semiskin-miskinnya. Kristus yang seperti inilah yang menjadi pola hidup Fransiskus dan hanya Kristus inilah yang diikutinya sepanjang hidupnya (bdk AngTBul I:1; AngBul I:1; XII:4).
Akan tetapi, supaya Kristus, Allah dan Putera Allah secara nyata dan kelihatan menghampakan/mengosongkan dan merendahkan diri-Nya, maka Dia “perlu diturunkan ke atas altar. Dan yang dapat dan de facto menurunkan-Nya ke atas altar hanyalah para imam. Karena tugas untuk menurunkan Kristus, Allah dan Putera Allah itulah Fransiskus menghormati para imam, kendati dengan syarat yakni bahwa mereka harus hidup tepat menurut peraturan Gereja Roma.[27]
Memang kesombongan atau keangkuhan tidak mempunyai tempat dalam Ekaristi dan pada Ekaristi. Kedinaan/kerendahan atau minoritas adalah disposisi yang pantas bagi seseorang pada waktu mendekati Tuhan Yang Mahatinggi, yang menjadi Saudara kita dalam Ekaristi Kudus.
Kedinaan dituntut dari kita karena – dalam Inkarnasi-nya – Allah sendiri turun ke tengah-tengah manusia. Inkarnasi ini terjadi setiap kali dirayakan Ekaristi Kudus. Fransiskus menulis:
Lihatlah, setiap hari Ia merendahkan diri (bdk Flp 2:8), seperti tatkala Ia turun dari takhta kerajaan (Keb 18:15) ke dalam rahim Perawan. Setiap hari Ia datang kepada kita, kelihatan rendah; setiap hari Ia turun dari pangkuan Bapa ke atas altar di dalam tangan imam (Pth I:16-18).
Kerendahan atau kedinaan yang adalah keutamaan Allah, diinkarnasikan dalam Ekaristi Kudus. Bagi Fransiskus, Inkarnasi Tuhan bukanlah sekedar sebuah peristiwa historis yang terjadi sekitar 2.000 tahun di Betlehem, melainkan peristiwa yang terjadi setiap hari. Ekaristi Kudus adalah perpanjangan peristiwa Betlehem. Ekaristi Kudus adalah sebuah peristiwa menyangkut Allah yang tidak pernah berhenti “menjadi daging” bagi kita dan dalam diri kita. Kedatangan Yesus di atas altar dibandingkan dengan peristiwa turun-Nya Yesus dari pangkuan Bapa di surga ke dalam rahim Santa Perawan Maria. Maka konsekrasi roti dan anggur dikontemplasikan oleh Fransiskus sebagai suatu Inkarnasi yang baru, Natal yang baru. Allah menjadi manusia agar supaya menjadi Ekaristi bagi dunia.
Perendahan atau pengosongan-diri Allah telah menimbulkan kekaguman Fransiskus yang luar biasa terhadap Yang Mahatinggi. Dia “tersembunyi” dalam sepotong roti kecil. Oleh karena itulah dia, dengan spontanitas yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, menulis “madah perendahan diri Tuhan” dalam “Surat kepada Seluruh Ordo”:
“O keagungan yang mengagumkan dan kesudian yang menakjubkan! O perendahan diri yang luhur! O keluhuran yang merendah! Tuhan semesta alam, Allah dan Putera Allah, begitu merendahkan diri-Nya, sampai Ia menyembunyikan diri dalam rupa roti yang kecil, untuk keselamatan kita! Saudara-Saudara, pandanglah perendahan diri Allah itu dan curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya. Rendahkanlah dirimu, agar kamu ditinggikan oleh-Nya” (SurOr 27-28).
Inilah jalan perendahan Kristus setiap hari dalam Ekaristi Kudus. Ia adalah Allah yang merendah dan mengenakan diri-Nya dengan kondisi manusiawi. Dalam SurOr 28 yang dikutip di atas, Fransiskus juga mengajak kita untuk mengikuti “jalan perendahan-diri” Allah ini, agar kita semua dapat ditinggikan oleh-Nya.[28]
Kita tidak mempunyai cara lain untuk mengalami Inkarnasi Allah yang begitu berwujud; kecuali dalam Ekaristi Kudus. Misteri Inkarnasi ini sudah dirayakan sekitar 2.000 tahun lamanya dan dengan penuh misteri Inkarnasi Kristus ini dilanjutkan setiap harinya. Dalam perayaan Sakramen yang diselenggarakan setiap hari ini, ketaatan Yesus kepada Bapa-Nya juga diperbaharui dan dilaksanakan. Dengan cara begini Tuhan selalu bersama umat beriman, seperti yang telah disabdakan-Nya sendiri: “Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (bdk Mat 28:20).
Kerendahan/kedinaan Allah ini menuntut kerendahan/kedinaan dari mereka yang berkeinginan untuk berpartisipasi dalam Ekaristi Kudus. Fransiskus dibuat sepenuhnya terkagum-kagum penuh-haru terhadap peristiwa Allah dalam Ekaristi Kudus ini: Allah menjadi seorang “minor” yang tersembunyi dalam sepotong roti. Penekanan Fransiskan pada minoritas merupakan akibat dari peristiwa perendahan-diri Allah ini. Kerendahan/kedinaan (manusia) adalah tanggapan yang layak dan pantas terhadap kerendahan/kedinaan (Allah). Inilah sumber dan motif minoritas para Fransiskan: ketersembunyian, kekecilan dan kedinaan mereka merupakan konsekuensi dari ketersembunyian Allah dalam Ekaristi Kudus.
EKARISTI KUDUS SEBAGAI REKONSILIASI ANTARA SURGA DAN BUMI
Di atas telah saya tulis, bahwa sengsara dan kematian Kristus adalah kurban abadi demi perdamaian antara Allah yang Maharahim dengan manusia yang berdosa. Dalam bagian ini kita akan bersama-sama merenungkan “Ekaristi sebagai Rekonsiliasi antara Surga dan Bumi”.
Menurut iman-kepercayaan Fransiskus, “segala sesuatu yang rohaniah dan badaniah” (AngTBul XXIII:1) adalah karya Allah Tritunggal. Dalam hal ini, penciptaan manusia merupakan sesuatu hal yang sangat istimewa: manusia diberikan kedudukan yang begitu unggul oleh Tuhan Allah dengan menciptakannya dan membentuknya seturut gambar Putera-Nya yang terkasih menurut badan, dan sesuai dengan keserupaan-Nya menurut roh (lihat Pth V:1; bdk AngTBul XXIII:1; Kej 1:26). Namun Fransiskus juga mengakui, bahwa manusia telah jatuh karena kesalahan/dosa sendiri (AngTBul XXIII:2). Manusia tidak dapat membebaskan dirinya sendiri dari kejatuhannya ke dalam lembah dosa. Oleh karena itu cinta-kasih Allah memberikan kepada manusia janji Inkarnasi dan Penebusan. Dalam kebaikan-Nya, Allah rela merendahkan diri-Nya serendah-rendahnya dengan menawarkan damai dan rekonsiliasi.
Bagi Fransiskus, Ekaristi Kudus merupakan cara yang paling pasti untuk menyatu dengan Kristus karena dalam Ekaristi Kudus-lah pertemuan sejati antara Allah dan manusia dapat ditemukan. Di sini, dalam diri Allah yang menjadi manusia (Yesus Kristus) terdapatlah seorang Pribadi yang dapat kita kenal dan kasihi. Dia, yang juga mengasihi kita! Ingat apa yang ditulis Fransiskus dalam “Surat kepada Seluruh Ordo”, bahwa dalam Yesus Kristus, segala sesuatu yang ada di surga dan di bumi diperdamaikan dan dipersatukan kembali dengan Allah Yang Mahakuasa [bdk Kol 1:20] (SurOr 13).
Dengan demikian Ekaristi Kudus adalah sebuah sumber kehidupan dan rekonsiliasi. Dengan mati terhadap diri sendiri kita akan dimampukan untuk menerima orang-orang lain sebagai pribadi-pribadi yang sederajat, sebagai saudara dan saudari dalam Kristus Yesus. Rekonsialiasi ini juga berarti rekonsiliasi antara “surga dan bumi” antara “Allah dan manusia”.[29] Maka sungguh benarlah jika dikatakan, bahwa Ekaristi Kudus adalah karunia yang mahaindah, yang oleh kuat-kuasa Roh Kudus dianugerahkan oleh Bapa kepada kita, yaitu Putera-Nya sendiri! (lihat petikan SurOr 26-27 pada awal tulisan ini).
Fransiskus mohon agar semua saudara menunjukkan sikap hormat kepada Ekaristi Kudus karena itu adalah Tubuh dan Darah dari Dia yang merekonsiliasikan (mendamaikan) segalanya dengan Allah. Ini adalah sakramen rekonsiliasi yang dilakukan kembali dalam sejarah manusia. Fransiskus tidak hanya mengakui bahwa segalanya telah dibuat damai dan terekonsiliasikan dengan Allah melalui Yesus Kristus, tetapi dia juga memaklumkan, bahwa “mengenai Yang Mahatinggi itu sendiri tidak suatu pun yang kita miliki dan kita lihat secara badani di dunia, selain tubuh dan darah, nama dan firman-Nya, yang olehnya kita dijadikan dan ditebus dari kematian kepada kehidupan” (1SurRoh 3; 2SurRoh 3).
PENGHORMATAN TERHADAP FIRMAN YANG TERTULIS DAN KEPADA EKARISTI KUDUS
Dalam sebuah dunia di mana kata-kata digunakan dan disalah-gunakan, berbicara mengenai sikap hormat terhadap kata-kata yang tertulis dapat terdengar absurd dan tidak pada tempatnya. Itulah dunia Fransiskus pada masanya. Namun Fransiskus adalah “tanda lawan” pada masanya. Dia bersikukuh agar rasa hormat ditunjukkan kepada kata-kata (firman) yang tertulis (Was 12 dsj). Oleh karena itu penghormatan kepada Ekaristi Kudus dan kepada firman Tuhan merupakan satu pokok yang penting untuk disoroti. Keduanya erat berhubungan satu sama lain.
Baik dalam Ekaristi Kudus maupun dalam firman Tuhan, Fransiskus melihat Tuhan yang hadir secara “badani”, dan dia sama-sama menunjukkan cinta dan hormatnya kepada misteri kehadiran Allah dalam dua bentuk yang berbeda itu. Berikut ini beberapa petikan dari tulisan-tulisan Bapak Serafik:
Karena itu aku menasihati semua saudaraku dan menegaskan dalam Kristus, supaya di mana pun mereka menemukan firman ilahi yang tertulis, mereka sedapat-dapatnya menghormatinya. Bila firman yang tertulis itu tidak tersimpan baik atau tercecer sembarangan di suatu tempat, maka hendaklah mereka mengumpulkan dan menyimpannya kembali sejauh hal itu menyangkut diri mereka. Dengan itu mereka menghormati Tuhan dalam sabda yang diucapkan-Nya. Sebab banyak hal dikuduskan oleh firman Allah, dan oleh kekuatan firman Kristus terwujudlah Sakramen Altar (SurOr 35-37).
Aku menghendaki, agar misteri yang mahakudus itu dihormati melampaui segala-galanya, disembah dan disimpan di tempat yang berharga. Nama-Nya yang tersuci dan firman-Nya yang tertulis, di mana pun kudapati di tempat yang tidak semestinya, mau kukumpulkan, dan aku minta agar dikumpulkan dan ditaruh di tempat yang pantas (Was 11-12).
Kita, rohaniwan semuanya, hendaknya berhati-hati terhadap dosa berat dan kurangnya pengetahuan yang ada pada sejumlah orang terhadap tubuh dan darah mahakudus Tuhan kita Yesus Kristus, dan terhadap nama-Nya yang tersuci serta firman-nya yang tertulis, yang menguduskan tubuh. Kita tahu, bahwa tubuh tidak dapat ada kalau tidak lebih dahulu dikuduskan oleh firman (1SurRoh 1-2; 2SurRoh 1-2).
Aku memohon dengan sangat kepada kamu, lebih daripada kalau menyangkut diriku sendiri, supaya kamu, bila pada tempatnya dan kamu anggap berguna, memohon dengan rendah hati kepada para rohaniwan, bahwa mereka harus menaruh khidmat yang melampaui segala-galanya kepada tubuh dan darah mahakudus Tuhan kita Yesus Kristus serta kepada nama-Nya yang kudus dan firman-Nya yang tertulis, yang menguduskan Tubuh. Sebab mengenai Yang Mahatinggi itu sendiri tidak suatu pun yang kita miliki dan kita lihat secara badani di dunia, selain tubuh dan darah, nama dan firman-Nya, yang olehnya kita dijadikan dan ditebus dari kematian kepada kehidupan (1SurKus 2-3).
Jadi Fransiskus selalu berbicara tentang “Tubuh dan Darah Mahakudus” dan “nama-Nya yang tersuci dan firman-Nya”. Hal ini mendorong kita untuk menafsirkannya sebagai “penyamarataan antara Sakramen Mahakudus dan Firman Allah”. Namun dalam kenyataan praktisnya, Fransiskus menaruh rasa hormat yang lebih besar pada Ekaristi Kudus daripada nama-nama dan firman Allah. Sebab, menurut dia, Tubuh Tuhan hendaknya ditaruh di dalam tempat yang berharga, sedangkan nama dan firman-Nya ditaruh di tempat yang pantas, seperti jelas ditunjukkan oleh petikan di bawah ini:
…… di mana pun tubuh mahakudus Tuhan kita Yesus Kristus diletakkan dan disimpan dengan cara yang tidak patut, hendaklah kita mengambil-Nya dari tempat itu dan menaruh-Nya di tempat yang berharga dan hendaknya dikunci.[30] Demikian pula dengan nama dan firman Tuhan yang tertulis, di mana pun didapati di tempat yang kotor, hendaklah dikumpulkan dan diletakkan di tempat yang pantas (1SurRoh 11-12; 2SurRoh 11-12).
Fransiskus juga mengutarakan keyakinannya yang sama dalam 1SurKus 4-5 dan Was 11-12. Jadi memang ada perbedaan antara keduanya; tempat untuk Ekaristi Kudus serta semua perabot yang berkaitan dengan Ekaristi Kudus haruslah yang berharga. Semua ini akhirnya bermuara pada kampanye (ajakan) untuk mempraktekkan penghormatan serta devosi terhadap Ekaristi Kudus dengan cara yang tepat.[31]
Dalam 1SurRoh dan 2SurRoh tampak untuk pertama kalinya kenyataan yang mengesankan, bahwa Fransiskus meminta kepada para rohaniwan untuk memperbanyak tulisannya dan menyebarkannya. Dia pun menjanjikan berkat Allah yang khusus bagi mereka yang memenuhi permintaannya itu. Hal tersebut merupakan kesaksian tentang kesadaran misioner Fransiskus, tetapi juga tentang cintanya yang berapi-api kepada firman Tuhan dan kepada sakramen. Bahwa orang sezamannya memenuhi permintaannya, terbukti oleh adanya biarawan Subiaco yang menyalin surat-(surat) Fransiskus itu bersama dokumen penting lainnya di dalam sebuah buku misa di biaranya.[32]
EKARISTI KUDUS SEBAGAI SUMBER PERTOBATAN YANG BERKELANJUTAN
Santo Fransiskus bukanlah seorang teolog jebolan sekolah tinggi teologi, namun dia menghayati apa yang dipercayainya secara maksimal. Ia mengakui dua kebenaran sangat penting tentang dirinya sendiri, (1) Aku adalah seorang pendosa, (2) Aku dipanggil untuk menjadi seorang kudus. Karena keyakinannya yang mendalam, Fransiskus berhasil mencapai suatu wawasan mendalam ke dalam realitas-realitas iman. Itulah yang terjadi dengan penghayatannya atas Ekaristi Kudus. Meskipun kata-kata yang diungkapkannya tidak banyak, jelas bahwa pemikiran Fransiskus selalu berada dalam konteks penebusan manusia. Bagi orang kudus ini, Ekaristi Kudus adalah misteri di mana penyelamatan Allah memberikan buah bagi manusia.
Dalam “Surat kepada Seluruh Ordo” Fransiskus menasihati para saudara-imam untuk merayakan Kurban Ekaristi secara pantas:
Juga aku minta dalam Tuhan kepada semua saudaraku para imam, yang sudah dan akan atau ingin menjadi imam Tuhan Yang Mahatinggi, agar bila mereka itu akan mempersembahkan misa, hendaklah mereka itu sendiri murni, dan dengan murni serta khidmat mempersembahkan kurban sejati tubuh dan darah mahakudus Tuhan kita Yesus Kristus; dengan niat yang suci dan murni, bukan untuk sesuatu perkara duniawi. Bukan pula karena takut atau karena kasih akan seorang manusia, seakan-akan untuk menyenangkan orang (SurOr 14).
Perhatikanlah ungkapan-ungkapan yang digunakan di sini, misalnya “bukan untuk sesuatu perkara duniawi”; “mereka itu sendiri murni”; “niat yang suci dan murni”. Semua ini tidak sekedar berarti bebas dari dosa dan kesalahan, melainkan keterbukaan dan kepatuhan total kepada Allah dan kebebasan hanya untuk Dia saja. Ini adalah pembelokan arah kepada Allah tanpa syarat, dan dilakukan dalam kesederhanaan hati.
Gereja biasanya menggunakan peralatan-peralatan Ekaristi yang terbuat dari bahan-bahan berharga yang tentunya tidak-murah, yaitu peralatan-peralatan untuk diisi dengan Tubuh-Nya dan Darah-Nya yang suci. Namun semua itu hanyalah “tanda” dari rasa hormat kita-manusia. Yang dituntut adalah hati yang murni, hati yang bebas dari pelbagai hasrat duniawi. Bacalah lagi kalimat terakhir dalam petikan SurOr 14 di atas (bdk Ef 6:6). Maka ketidak-murnian dapat berarti keadaan di bawah perbudakan hal-hal duniawi atau kedagingan. Dalam hal ini bukanlah Allah yang menjadi pusat kehidupan seseorang, melainkan dirinya sendiri. Kemudian Fransiskus melanjutkan dengan nasihat ini: “Akan tetapi seluruh kehendaknya, sejauh dibantu rahmat, hendaklah diarahkan kepada Allah, dengan hasrat untuk menyenangkan Tuhan Yang Mahatinggi itu semata-mata; sebab Dia sendirilah yang melaksanakan misteri itu, sebagaimana berkenan pada-Nya” (SurOr 15). Di sini hati kita sepenuhnya berbalik kepada Allah dalam pertobatan (metanoia).
Ekaristi Kudus memiliki arti yang jauh lebih mendalam daripada sekedar suatu devosi saleh atau tindakan sembah-sujud yang akan mendatangkan kebaikan bagi jiwa seseorang. Dalam perayaan Ekaristi, Fransiskus menjadi satu dengan kurban Kristus sendiri. Orang kudus ini mempersembahkan keseluruhan pribadinya sebagai kurban (Inggris: sacrifice) dan korban (Inggris: victim), untuk menjadi milik Allah sepenuhnya, untuk hidup bagi-Nya dan tidak mempertahankan apa-apa lagi bagi dirinya sendiri. Seperti ditulis oleh Beato Thomas dari Celano: “Mengikuti hal yang patut dimuliakan itu dengan segala rasa hormat dia mempersembahkan semua anggota tubuhnya, dan selagi menerima Anakdomba yang disembelih dia mengorbankan rohnya sendiri dalam api yang selalu terbakar di altar hatinya” (2Cel 201).[33]
Secara khusus Fransiskus menyebutkan, bahwa Kristus mulia-lah yang hadir dan aktif dalam misteri Ekaristi. Dia tidak hadir dalam penderitaan-Nya sebagai manusia, seperti ketika Dia datang sebagai seorang manusia untuk mati bagi kita, tetapi sebagai Kristus “yang tidak akan mati lagi, tetapi yang hidup dan dimuliakan untuk selamanya, dan yang ingin dilihat oleh malaikat-malaikat!” (SurOr 22; bdk 1Ptr 1:12). Jadi meskipun kita memperingati kematian Penyelamat kita dalam Ekaristi, bukanlah Kristus dalam kemanusiaan dan penderitaan yang tersembunyi dalam sepotong roti. Melalui misteri Ekaristi, pemuliaan-Nya bahkan menjadi pemuliaan kita, karena hidup-Nya menjadi hidup kita sendiri. Fransiskus memahami sekali apa yang dikatakan oleh Santo Augustinus: “Ia adalah pemenang karena Dia adalah korban.” Kebenaran Ekaristi Kudus ini berlaku untuk kita semua, yaitu bahwa kita akan menjadi pemenang kalau kita – seperti Yesus Kristus – bersedia menjadi korban. Di sinilah letaknya harapan kita yang sesungguhnya akan kehidupan kekal dan kemenangan nyata atas kematian dan dosa;[34] buah pertobatan yang sejati.
EKARISTI KUDUS SEBAGAI SUMBER SIKAP HORMAT TERHADAP PARA IMAM
Iman dan cintanya akan Ekaristi Kudus mendorong Fransiskus untuk memberi wejangan, menasihati dan mengajak para imam untuk menghormati Ekaristi Kudus dan segala hal yang berkaitan dengan Ekaristi itu. Kita dapat melihat dan merasakan hal tersebut dalam bagian awal tulisan ini. Iman dan cintanya akan Ekaristi Kudus ini pula yang memberikan inspirasi kepada Fransiskus untuk sangat menghormati para imam, martabat imamat dan gereja-gereja. Seorang penulis riwayat hidupnya yang awal, Beato Thomas dari Celano menulis:
Ia menginginkan rasa hormat yang besar ditunjukkan bagi tangan-tangan para imam, karena kepada tangan-tangan itu diberikan secara ilahi wewenang untuk melaksanakan misteri ini. Dia sering berkata; “Seandainya aku bertemu dengan orang kudus mana saja yang datang dari surga dan pada saat yang sama bertemu dengan seorang imam miskin yang kecil, maka pertama-tama aku menunjukkan rasa hormatku kepada sang imam dan bergegas lebih cepat untuk mencium tangan-tangannya. Karena aku akan berkata kepada orang kudus itu: ‘Hai, Santo Laurensius[35], tunggu! Tangan imam itu dapat memegang Sabda Kehidupan, dan memiliki sesuatu yang lebih daripada sekedar hal-hal yang bersifat manusiawi!’ ” (2Cel 201).
Penulis Kisah Ketiga Sahabat juga membuat catatan yang berkaitan dengan penghormatan istimewa Fransiskus kepada para imam seperti berikut:
Fransiskus dengan cermat mengajak para saudara, agar mereka teguh menepati Injil Suci dan anggaran dasar yang telah mereka janjikan, khususnya mereka mesti menaruh rasa hormat dan berkhidmat kepada ibadah ilahi dan peraturan gerejawi, mendengar Misa, dan dengan amat khusyuknya menyembah Tubuh Tuhan. Ia juga menghendaki bahwa para saudara secara istimewa menghormati para imam yang menangani sakramen-sakramen yang amat luhur dan terhormat. Di mana pun mereka berjumpa dengan seorang imam hendaknya mereka menundukkan kepala dan mencium tangan mereka. Ia menghendaki bahwa para saudara, jika berjumpa dengan imam yang sedang naik kuda, tidak hanya mencium tangan imam tersebut, tetapi juga kuku kuda yang mereka tunggangi oleh karena rasa hormat kepada kuasa para imam (K3S 57).
Kualitas para klerus pada zaman Fransiskus memang sangat rendah. Kaum bidaah Kathari dan Waldensi mendeklarasikan secara blak-blakan, bahwa para imam yang hidup dalam dosa telah kehilangan kuasa-imamat mereka. Dari hari ke hari gerakan-gerakan bidaah itu semakin berkembang, malah sampai menjadi ancaman bagi Gereja. Fransiskus melawan kaum bidaah ini dengan iman-kepercayaan yang tak tergoyahkan akan Firman Allah dan Ekaristi Kudus, dua hal yang dipercayakan kepada para imam.
Seorang imam Dominikan, Stefanus dari Bourbon OP (1261) membuat catatan bagaimana Fransiskus sangat menghormati para imam: Pada suatu hari, dalam perjalanannya Fransiskus melintas di daerah Lombardy. Para penduduk sebuah desa tertentu, terdiri dari klerus dan awam, Katolik dan penganut bidaah, ramai-ramai mendatanginya. Sejumlah kaum Kathari berhasil mendekati Fransiskus, kemudian menunjuk sang pastor desa seraya berkata kepada Fransiskus: “Katakanlah kepada kami, hai orang baik, bagaimana mungkin gembala jiwa ini dapat dipercayai dan dihormati, karena dia mempunyai gundik dan melakukan dosa yang diketahui orang-orang?” Apa tanggapan Fransiskus? Dia pergi menemui imam itu, berlutut di hadapannya dan mencium tangan-tangannya, lalu berkata: “Aku tidak tahu apakah tangan-tangan ini kotor atau tidak, namun demikian kuasa sakramen yang ditata-laksanakan oleh tangan-tangan ini tidak hilang karenanya. Tangan-tangan ini telah menyentuh Tuhanku. Karena rasa hormatku kepada Tuhan, maka aku menghormati wakil-Nya; bagi dirinya sendiri mungkin dia buruk; tetapi bagiku dia baik”.
Tindakan Fransiskus yang penuh hormat kepada pastor desa tersebut sepenuhnya sesuai dengan petuahnya kepada para saudara:
Berbahagialah hamba, yang menaruh kepercayaan kepada para rohaniwan, yang hidup tepat menurut peraturan Gereja Roma. Akan tetapi celakalah orang yang meremehkan mereka. Sebab sekalipun mereka itu pendosa, namun tidak seorang pun boleh menghakimi mereka, karena semata-mata Tuhanlah yang mengkhususkan mereka bagi diri-Nya untuk dihakimi.
Sebab semakin luhur tugas pelayanan mereka berkenaan dengan tubuh dan darah mahakudus Tuhan kita Yesus Kristus, yang mereka sambut dan hanya mereka sendiri boleh menghidangkannya kepada orang lain, maka semakin berat pulalah dosa yang dibuat orang terhadap mereka, lebih berat daripada dosa yang dibuat terhadap semua orang lainnya di dunia ini (Pth XXVI:1-4).
Tidak lama sebelum hari kematiannya, dari pembaringannya Fransiskus menyuruh tulis dalam Wasiat-nya apa yang paling berharga dalam hatinya dan paling suci di muka bumi ini:
Lalu Tuhan menganugerahkan dan masih menganugerahkan kepadaku kepercayaan yang sedemikian besar juga kepada para imam, yang hidup menurut peraturan Gereja Roma yang kudus, karena tahbisan mereka, sehingga kalaupun mereka mengejar-ngejar aku, aku tetap mau minta perlindungan pada mereka. Kalaupun aku begitu bijaksana seperti Salomo dan menjumpai imam-imam yang amat malang di dunia ini, aku tidak mau berkhotbah di paroki tempat mereka tinggal kalau mereka tidak menghendakinya. Aku menyegani mereka dan semua lainnya, mau mengasihi dan menghormati mereka sebagai tuanku. Aku tidak mau tahu tentang dosa di dalam diri mereka sebab di dalam diri mereka aku dengan jelas melihat Putera Allah, dan mereka itu adalah tuanku. Aku berbuat demikian karena di dunia ini aku sekali-kali tidak melihat Putera Allah Yang Mahatinggi itu secara jasmaniah, selain tubuh dan darah-Nya yang mahakudus, yang mereka sambut dan yang hanya mereka sendiri boleh menghidangkan-Nya kepada orang lain. Aku menghendaki, agar misteri yang mahakudus itu dihormati melampaui segala-galanya, disembah dan disimpan di tempat yang berharga (Was 6-11).
EKARISTI KUDUS SEBAGAI SUMBER KEGIATAN KERASULAN FRANSISKUS
Surat kepada orang Ibrani menyatakan: “Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya” (Ibr 13:8). Pesan Ekaristis Fransiskus juga sama, yaitu bahwa Yesus kemarin bersama para rasul di Galilea dan Yudea; hari ini bersama kita dalam semua tabernakel di seluruh dunia; dan selamanya bersama semua orang kudus dalam kemegahan dan kemuliaan. Jadi Yesus tetap bersama para pengikut-Nya seperti telah dijanjikan-Nya, sampai akhir zaman (Mat 28:20). Marilah kita mengingat kembali sebagian petikan dari Kisah Tiga Sahabat di atas:
Fransiskus dengan cermat mengajak para saudara, agar mereka teguh menepati Injil Suci dan anggaran dasar yang telah mereka janjikan, khususnya mereka mesti menaruh rasa hormat dan berkhidmat kepada ibadah ilahi dan peraturan gerejawi, mendengar Misa, dan dengan amat khusyuknya menyembah Tubuh Tuhan (K3S 57).
Dari rasa hormat dan cinta Fransiskus akan Ekaristi Kudus memancarlah semangat-penuh-gairah orang kudus ini untuk memperbaiki gereja-gereja yang miskin dan rusak. Gereja kecil San Damiano adalah yang pertama, dan setelah selesai diperbaiki dia pun meminta-minta bantuan kepada masyarakat untuk diberikan minyak dalam jumlah yang cukup agar sebuah pelita dapat terus-menerus menyala di depan Sakramen Mahakudus. Sejumlah gereja lain mendapat giliran diperbaiki setelah itu.
Fransiskus memiliki hasrat agar para putera-puterinya berada di barisan terdepan dalam melaksanakan sebuah misi Ekaristi yang berskala dunia: Misi Ekaristi! Hal ini dipahami oleh para pengikutnya dan mereka pada umumnya mengupayakan untuk melaksanakan misi Ekaristi ini dengan sebaik-baiknya. Santa Klara dari Assisi (1194-1253), pengikut Fransiskus terbaik, hampir selalu digambarkan sebagai seorang biarawati yang sedang membawa piksis yang berisikan Hosti Suci. Tentu pembaca sudah mengetahui kisahnya, bagaimana dia mengusir kaum Sarasin yang datang menyerbu biaranya. Sembah bakti Klara terhadap Ekaristi Kudus ditunjukkan oleh fakta, bahwa kendati sedang menderita sakit-keras pun dan harus berdiam di pembaringan, Klara masih mengambil posisi duduk sehingga dapat menyiapkan kain yang terbaik untuk dibuat menjadi korporal untuk gereja-gereja.
Santo Antonius dari Padua (1195-1231) terkenal dengan mukjizat-mukjizatnya, salah satunya adalah mukjizat sehubungan dengan pembuktian kepada seorang penjaga kandang hewan (yang semula tidak percaya), bahwa hosti suci adalah sungguh Tubuh Kristus. Dalam peristiwa itu keledai yang sudah beberapa hari tidak diberi makan oleh sang penjaga kandang, mengabaikan makanan yang disediakan olehnya dan malah mendekati Antonius yang membawa hosti suci. Keledai itu kemudian melekukkan kakinya, lalu bersembah sujud di hadapan hosti suci tersebut.
Berthold dari Ratisbon (1220-1272) dikenal sebagai pengkhotbah Ekaristi. Santo Bonaventura (1221-1274), Beato John Duns Scotus (1266-1308), dan Alexander dari Hales (+1245), tiga orang “jawara” dalam hal pemikiran Fransiskan, menjadi teolog-teolog Ekaristi. Santo Bonaventura, misalnya pernah mengatakan: “Sambutlah Komuni Suci meskipun anda merasa suam-suam kuku, serahkanlah semuanya ke tangan Allah. Semakin penyakit yang kuderita melemahkanku, semakin mendesak pula aku membutuhkan seorang dokter.”
Santo Paskalis Baylon (1540-1592) adalah seorang saudara-awam (bruder) Fransiskan di biara Villareal, Spanyol. Bruder ini dikenal untuk devosinya yang luarbiasa kepada Yesus dalam Sakramen Mahakudus. Paus Leo XIII, dalam Bulla “Provindentissimus Deus” tanggal 28 November 1897 mendeklarasikan Santo Paskalis Baylon sebagai orang kudus pelindung karya-karya dan komunitas-komunitas Ekaristi.
Santo Yohanes Maria Vianney (1786-1859) adalah orang kudus pelindung para imam paroki. Orang kudus ini adalah seorang imam praja dan anggota ordo ketiga Santo Fransiskus (sekular). Devosi pastor desa yang termasyhur ini kepada Ekaristi Kudus dikenal baik oleh umat. Mengenai Komuni Suci, imam ini pernah mengatakan: “Orang-orang berbicara tentang Lazarus yang bersukacita karena dapat melayani sang Penyelamat Ilahi dalam rumahnya; namun Lazarus hanya dapat duduk di samping-Nya, sementara kita, kalau kita mau, dapat memperoleh Dia dalam hati kita sesering yang kita inginkan.” Tahun ini, bertepatan dengan 150 tahun wafat orang kudus ini, Paus Benedictus XVI mencanangkan TAHUN IMAM. Tahun yang istimewa ini dimulai pada tanggal 19 Juni 2009 sampai tanggal 19 Juni 2010. Tanggal 19 Juni 2009 dipilih sebagai tanggal pembukaan TAHUN IMAM, karena hari itu adalah pesta Hati Yesus yang Mahakudus yang telah ditetapkan menjadi Hari Doa se-dunia untuk kesucian para imam. Sri Paus juga akan meresmikan orang kudus ini menjadi pelindung bagi semua imam seluruh dunia.
Santo Pius X (1835-1914) dikenal sebagai “Paus Ekaristi” dan adalah seorang anggota ordo ketiga sekular. Orang kudus ini adalah seorang imam praja dan masuk OFS ketika dia bekerja sebagai pastor paroki di Salzano. Paus ini banyak berjasa dalam upaya pembaharuan hidup Gereja, antara lain dengan mempromosikan penerimaan komuni dini dan komuni harian. Paus ini pernah menulis: “Komuni Suci adalah jalan yang terpendek dan teraman menuju surga. Ada jalan-jalan lain: kemurnian/keadaan tak berdosa, tetapi hal ini adalah untuk anak-anak; pertobatan, tetapi kita takut terhadapnya; daya tahan penuh kemurahan hati dalam menghadapi pencobaan-pencobaan dalam hidup, tetapi apabila datang kita menangis tersedu-sedu dan mohon untuk dibebaskan dari pencobaan-pencobaan tersebut. Jalan yang paling pasti, paling mudah dan paling singkat adalah Ekaristi.”
Seluruh ordo Fransiskan adalah pembela dan promotor pesta “Tubuh dan Darah Kristus” (Corpus Christi) dan devosi-devosi terhadap Ekaristi Kudus. Ini adalah warisan Fransiskan sejati, semangat Fransiskan sejati.
CATATAN PENUTUP
Bagi Fransiskus, Ekaristi Kudus adalah sebuah School of Life.[36] Dalam “sekolah” ini Fransiskus menginginkan agar semua orang belajar menyantap “Makanan Paskah”. Fransiskus sendiri berjalan mendapatkan Kristus, dalam Ekaristi Kudus. Dia tidak melihat adanya jalan lain menuju kepenuhan keselamatan, kecuali jalan hasrat untuk merayakan Ekaristi sama yang dirayakan Kristus pada malam sebelum Ia disalibkan di Kalvari. Dalam dan melalui Ekaristi Kuduslah Fransiskus mengajar para pembaca tulisan-tulisannya, untuk berjalan menuju puncak Kalvari, agar supaya membuat kehadiran Penyelamat yang bangkit dan dimuliakan itu aktif dan hidup dalam kehidupan mereka seperti dalam kehidupannya sendiri.
Jadi, ajaran-ajaran Ekaristi dari Fransiskus seperti diungkapkan dalam tulisan-tulisannya sebenarnya dimaksudkan untuk membantu orang-orang menjadi lebih terbuka terhadap Roh Kudus serta berupaya untuk mencapai persatuan lebih mendalam dengan Tuhan yang secara istimewa hadir dalam Ekaristi Kudus. Ajaran-ajaran Ekaristi Fransiskus mendorong dan memampukan orang-orang untuk sepenuhnya menanggapi kekuatan tarikan kasih Allah.
Tanpa mengenal lelah, Fransiskus dengan gigihnya berkampanye mendukung keputusan-keputusan Konsili Lateran IV (1216) yang menyangkut Ekaristi Kudus dan pokok-pokok pemikiran Paus Honorius III dalam surat edaran Sane cum olim (1219). Semuanya ini dilakukannya dengan sikap penuh rendah hati yang patut ditiru oleh kita. Imannya akan “kehadiran nyata” Tuhan Yesus Kristus dalam Ekaristi sangat mengagumkan.
Roti biasa tidak memuaskan rasa lapar Fransiskus, dan air anggur biasa tidak dapat menghilangkan rasa dahaganya. Hanya dalam roti dan anggur yang telah dikonsekrasikan-lah orang kudus ini melihat Putera Allah Yang Mahatinggi. Dan, roti dan anggur Ekaristi-lah yang diperlukan untuk bekal perjalanannya sebagai seorang musafir dan seorang asing dalam menuju rumah Bapa.
Ajaran-ajaran Ekaristi Fransiskus bersifat pastoral. Pendekatannya penuh semangat, tetapi selalu dengan rasa hormat mendalam terhadap orang-orang lain dan Allah. Ia mewartakan kerahiman Allah dengan penuh kelemah-lembutan. Ia setia terhadap aspek doktrinal dari ajaran-ajarannya; namun paling setia dalam menerapkan atas dirinya sendiri apa yang akan dikatakannya atau yang telah dikatakannya. Fransiskus bukan mencintai doktrin, bukan juga metode, melainkan orang-orang dan keselamatan mereka. Sikap yang ditunjukkannya adalah selalu sikap seorang pelayan.
John Kochuchira TOR[37] mengatakan, bahwa kita perlu menjadi Fransiskus. Orang kudus ini begitu realistis karena dia begitu sederhana. Dia begitu sederhana karena dia percaya dan mengasihi Allah. Dirinya sendiri adalah seorang saksi oleh kekudusan pribadinya. Ekaristi adalah kehadiran nyata Kristus secara pribadi, yang secara aktual memberikan diri-Nya sendiri kepada kita. Kita tahu, bahwa tidak ada kehadiran pribadi atau pertemuan, tidak ada pemberian pribadi, dapat menjadi lengkap tanpa adanya seorang pribadi lain untuk menerima pertemuan itu dan mengembalikan paling sedikit cinta-kasih dengan mana pemberian itu dibuat. Hal ini berarti, bahwa agar Ekaristi itu menjadi lengkap kita harus bertemu dengan Kristus, kita harus memberi dan mengasihi sebagai balasan. Tetapi satu-satunya Kristus yang secara langsung kita dapat temui, satu-satunya Kristus, yang kita dapat kasihi dan kepada-Nya kita dapat memberi, adalah Kristus yang hidup dalam diri para saudara-saudari kita.
Mengapa kita masih mengabaikan atau menunggu untuk membuat bagian yang paling hakiki dari kehidupan spiritual kita menjadi pusat seluruh kegiatan kita? Marilah kita merenungkan apa yang dikatakan oleh Bapak Fransiskus kepada seluruh ordo: “Karena itu aku mohon kepada kamu semua, Saudara-Saudara, dengan mencium kakimu dan dengan kasih yang sebesar-besarnya, agar kamu, sesuai dengan kemampuanmu, menyatakan segala hormat dan khidmat kepada tubuh dan darah mahakudus Tuhan kita Yesus Kristus. Dalam Dia, segala sesuatu yang ada di surga dan di bumi diperdamaikan dan dipersatukan kembali dengan Allah Yang Mahakuasa [bdk Kol 1:20]” (SurOr 12-13).
Karena beberapa keterbatasan, uraian tentang peran Ekaristi Kudus dalam kehidupan dan tulisan-tulisan Fransiskus dalam tulisan ini tidaklah bersifat komprehensif dan lengkap. Namun kalau dari tulisan ini seorang pembaca dapat merasakan betapa besar cinta Fransiskus kepada Sakramen Tubuh dan Darah Tuhan Yesus Kristus, dan betapa Ekaristi Kudus sungguh-sungguh berada di pusat iman-kepercayaannya sebagai seorang Katolik sejati, maka tulisan ini sudah mencapai sebagian dari tujuannya. Sejatinya, Ekaristi Kudus tidak dapat lepas dari kehidupan kita sebagai Fransiskan. Ekaristi Kudus adalah pusat hidup kekristenan kita, artinya pusat kehidupan kita sebagai Fransiskan.
Cilandak – Jakarta Selatan, 19 Juni 2009 (HARI RAYA HATI YESUS YANG MAHAKUDUS)
Hari pembukaan TAHUN IMAM 2009-2010
KEPUSTAKAAN
1. A.C.T.S. Publications, INSTRUCTION ON THE WORSHIP OF THE EUCHARISTIC MYSTERY, May 25, 1967 – Feast of Corpus Christi, Melbourne, 1967.
2. Regis Amstrong OFMCap., J.A. Wayne Hellmann OFMConv. & William Short OFM (Editors), FRANCIS OF ASSISI: EARLY DOCUMENTS – THE SAINT Volume I), New York, NY: New City Press, 1999. [RA I)
3. Regis Amstrong OFMCap., J.A. Wayne Hellmann OFMConv. & William Short OFM (Editors), FRANCIS OF ASSISI: EARLY DOCUMENTS – THE FOUNDER Volume II), New York, NY: New City Press, 2000. [RA II]
4. Regis Amstrong OFMCap., J.A. Wayne Hellmann OFMConv. & William Short OFM (Editors), FRANCIS OF ASSISI: EARLY DOCUMENTS – THE PROPHET Volume III), New York, NY: New City Press, 2001. [RA III)
5. Santo Bonaventura, “RIWAYAT HIDUP ST. FRANSISKUS”, (Terjemahan P. Y. Wahyosudibyo OFM), Jakarta: SEKAFI, 1990.
6. Thomas dari Celano, ST. FRANSISKUS DARI ASISI (Riwayat Hidup yang Pertama & Riwayat Hidup yang Kedua (sebagian) –terjemahan P.J. Wahjasudibja OFM), Jakarta: Sekafi, 1981.
7. Hilarin Felder OFMCap., THE IDEALS ST. FRANCIS OF ASSISI (Terjemahan bahasa Inggris dari asli bahasa Jerman oleh Berchmans Bittle OFMCap.), Chicago, Ill.: Franciscan Herald Press, 800th Anniversary Edition, 1982. [HF]
8. Michael Glazier & Monita K. Hellwig (Editors), THE MODERN CATHOLIC ENCYCLOPEDIA, Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 1994. [MGMH]
9. C. Groenen OFM, FRANSISKUS DARI ASSISI – DINAMIKA GEREJA YANG MEMPRIBADI, dalam Orientasi, Pustaka Filsafat dan Teologi, tahun XIII, 1981. [CG]
10. C. Groenen OFM (Penerjemah, pemberi pengantar dan catatan), KISAH KETIGA SAHABAT – RIWAYAT HIDUP SANTO FRANSISKUS DARI ASISI, Jakarta: Sekafi, 2000 (Cetakan Pertama). [K3S]
11. Marion Habig OFM (Editor), ST. FRANCIS OF ASSISI – OMNIBUS OF SOURCES, Fourth Revised Edition, Quincy, Illinois: Franciscan Press –Quincy College, 1991. [OMNIBUS]
12. John Harding OFM, ST. FRANCIS, HERALD OF THE EUCHARIST, dalam TAU – Review on Franciscanism, Vol. IV No. 1, March 1979.[JH]
13. Frans Indrapradja OFS, SANTO FRANSISKUS, BENTARA EKARISTI, Memorandum No. Min/05/98 tanggal 3 Mei 1998 (Hari Minggu Panggilan).
14. F.X. Indrapradja OFS, EKARISTI KUDUS DAN SANTO FRANSISKUS, bahan pertemuan OFS Persaudaraan Santo Thomas More, 25 Januari 2009.
15. John Kochuchira TOR, THE LIFE-GIVING MEMORY – Eucharist in the Life of St. Francis, dalam TAU – Review on Franciscanism, Vol.VII No. 4, December 1982. [JK]
16. Mgr. Leo Laba Ladjar OFM (Penerjemah, pemberi pengantar dan catatan), “KARYA-KARYA FRANSISKUS DARI ASISI”, Jakarta: SEKAFI, 2001. [LLL]
17. Alex Lanur OFM, EKARISTI DAN SANTO FRANSISKUS DARI ASISI, naskah dalam rangka Seminar Sehari tentang Ekaristi (23 Februari 1997) yang diselenggarakan oleh OFS Persaudaraan Santo Ludovikus IX, Jakarta. [AL]
18. Gerald Lobo OFM, SPIRITUAL TEACHING IN THE EUCHARISTIC LETTERS OF ST FRANCIS OF ASSISI, dalam TAU – Review on Franciscanism, Vol.VI No. 3, October 1981. [GL I]
19. Gerald Lobo OFM, THE HIDDENNESS OF GOD – VISION OF THE EUCHARIST IN FRANCIS OF ASSISI – ADMONITION I, dalam TAU – A Journal of Research into the Vision of Francis, Vol. XXV No. 3, September 2000. [GL II]
20. Gerald Lobo OFM, ADMIRABLE HEIGHTS! SUBLIME LOWLINESS! – EUCHARISTIC VISION OF FRANCIS OF ASSISI – Theological Principles and Daily Praxis According to his Writings, dalam TAU – A Journal of Research into the Vision of Francis, Vol. XXX No. 4, December 2005. [GL III]
21. Gerry Lobo OFM, FRANCISCAN LIFE: DOING THE EUCHARIST, dalam TAU – Review on Franciscanism, Vol. XVI No. 1, March 1991. [GL IV]
22. Teodosio Lombardi OFM, INTRODUCTION TO THE STUDY OF FRANCISCANISM, (translated by Joseph Nacua OFMCap.), 1975-1993 (English Translation). [TL]
23. Vitalis Nonggur OFM, RENUNGAN ATAS PETUAH-PETUAH FRANSISKUS – PETUAH I: tentang TUBUH TUHAN, dalam Perantau Th. XII No. 1 Januari – Februari 1989. [VN I]
24. Vitalis Nonggur OFM, FRANSISKUS DAN SAKRAMEN EKARISTI, dalam Perantau Th. XII No. 3, Mei – Juni 1989. [VN II]
SEBUAH DOA
Yesus, Engkau adalah roti kami, makanan kehidupan kami.
Hampir setiap hari kami menyantap Dikau,
Engkau menjadi bagian dari diri kami.
Kami menjadi bagian dari-Mu.
Engkau adalah santapan yang mengenyangkan kami,
sehingga dengan demikian kami tidak lapar akan makanan dunia ini.
Engkau adalah roti yang kami kontemplasikan,
roti kehidupan kami, roti yang kami bawa sepanjang hari.
Engkau adalah roti yang turun dari surga,
yang menyertai kami dalam perjalanan kami,
yang memimpin kami kepada rumah sejati dengan Allah-Mu dan Allah kami.
Yesus, berikanlah kepada kami rasa lapar akan makanan ini,
bahwa hati kami akan merindukannya,
bahwa tubuh kami dan roh kami bersukacita di dalamnya,
bahwa kami selalu sadar
inilah kehidupan satu-satunya yang kami miliki. Amin.
Pater Killian Speckner OFMConv., A Franciscan Missionary’s Guide to Daily Devotion: The Prayers of Father Killian.
DEUS MEUS ET OMNIA
*) Disusun oleh Sdr. F.X. Indrapradja OFS untuk digunakan dalam pertemuan OFS Persaudaraan Santa Elisabet dari Hongaria, Biara Transitus, Depok, Jawa Barat pada Hari Raya Sang Penebus Yang Mahakudus, Minggu 19 Juli 2009.
[1] Lihat INSTRUCTION ON THE WORSHIP OF THE EUCHARISTIC MYSTERY, hal. 3 dan juga JK, hal. 145.
[2] GL III, hal. 100.
[3] Lihat JK, hal. 146.
[4] HF, hal. 38.
[5] Uraian tentang pesan Sri Paus yang disampaikan dalam Sane cum olim ini memanfaatkan tulisan dalam AL, hal. 6.
[6] TL, hal. 66.
[7] Seorang saudara awam (bruder) yang bernama Stefanus, tanpa izin pergi berlayar menyusul Fransiskus dan kemudian menceritakan masalah yang ada di Italia. Sebenarnya sebelum melakukan perjalanan ziarahnya, Fransiskus sudah menunjuk dua orang Vicaris di Italia, yaitu saudara Matius dari Nami dan saudara Gregorius dari Napoli. Dalam perjalanan pulang ke Italia, Fransiskus ditemani oleh saudara Elias, saudara Petrus Catinii, saudara Caesar dari Speyer, dan beberapa saudara lagi. Ibid.
[8] Banyak pakar memberi tanggal penulisan surat-surat Ekaristi tersebut “sesudah musim semi 1220”. Kalau kita berpegang pada perkiraan tanggal yang dibuat oleh Teodosio Lombardi OFM tadi, maka “sesudah musim semi 1220” dapat diartikan tetap pada tahun 1220, tetapi setelah akhir musim panas, jadi lebih lambat beberapa bulan saja.
[9]Kathari, kata Yunani yang berarti “murni” adalah sejumlah sekte bid’ah yang dapat ditemukan di Eropa dalam periode 1100 dan 1200-an. Nama ini pertama-tama diterapkan pada masa Gereja awal oleh Santo Epiphanius pada beberapa sekte bid’ah, yaitu para anggota Novatianis dan kelompok-kelompok Manikhean tertentu. Penggunaan istilah Kathari ini semakin meluas dan populer di beberapa daerah pada abad pertengahan. Kebanyakan kaum Kathari adalah penganut aliran dualisme yang cikal-bakalnya adalah Manikheanisme dari Mani (Manes) si orang Persia (c.215-276). Mereka mengajar/berkhotbah agar orang-orang melakukan mati-raga yang keras dan juga menyerang Gereja, khususnya para klerus, sebagai korup dan jahat. Para anggotanya di Perancis dikenal sebagai kaum Albigensian karena berpusat di kota Albi, Perancis bagian selatan. Lihat MGMH, hal. 174.
[10] Kaum Waldenses atau Waldensian (Valdesii) adalah sebuah sekte bid’ah yang mula-mula berkembang di abad ke-12 dan berhasil survive sampai abad ke-20. Nama ini diambil dari nama pendirinya, Peter Waldo (Valdes) dari Lyons (+1217), yang kemudian dikenal sebagai Orang Miskin dari Lyons. Asal mulanya Waldo adalah seorang saudagar di Lyons, yang bertobat dan terjun ke dalam kehidupan sebagai pengemis. Ia mulai menjadi pengkhotbah dan membagi-bagikan harta-kekayaannya kepada orang-orang miskin dan dengan cepat memperoleh para pengikut. Komunitas-komunitas mereka bermunculan di Perancis, kemudian menyebar dengan cepat ke Italia dan Spanyol. Kaum Waldenses ini berkhotbah dengan agresif mengkritisi kekayaan dan kelemahan-kelemahan para klerus. Pada akhirnya kaum Waldenses memisahkan diri dari Gereja dan mengangkat klerus mereka sendiri. Jumlah penganut mereka bertambah dan upaya penyatuan kembali dengan Gereja dilakukan pada tahun 1191 dan 1207. Namun pengejaran (oleh Gereja) terhadap kaum Albigensian akhirnya menyeret kaum Waldenses ini juga, sehingga jumlah mereka sangat menyusut. Lihat MGMH, hal. 906.
[12] Kata Latin, Francia, dapat diartikan Ile de France atau bagian utara negeri Perancis, termasuk negeri-negeri dataran rendah (Belgia dll.). Cinta kepada Ekaristi di kawasan ini bertentangan dengan apa yang ditunjukkan di bagian selatan negeri Perancis, di mana kaum bid’ah Albigensian tersebar-luas. Fransiskus mungkin diberitahukan tentang devosi ini oleh Yakobus dari Vitry, yang belakangan diangkat menjadi kardinal dan ditahbiskan sebagai uskup Akon di Perugia pada tanggal 13 Juli 1216. Lihat catatan kaki (a) dalam RA II, hal. 375.
[13] Terjemahan teks bahasa Inggris dari Thomas of Celano, THE TREATISE ON THE MIRACLES OF SAINT FRANCIS – SECOND BOOK, dalam RA II, hal. 375-376; lihat juga OMNIBUS, hal. 522-523.
[14] Versi terjemahan Damien Vorreux OFM & Theophile Desbonnets OFM (terjemahan dari bahasa Perancis ke dalam bahasa Inggris oleh Paul Oligny OFM), dalam OMNIBUS, hal. 1055.
[15] Lihat Speculum Perfectionis 31 (A Mirror of the Perfection, Rule, Profession, Life, and True Calling of a Lesser Brother (The Lemmens Edition, 1901), dalam RA III, hal. 240-241; lihat juga Speculum Perfectionis 56 (A Mirror of Perfection of the Status of a Lesser Brother (The Sabatier Edition, 1928), dalam buku yang sama, hal. 300-301; bdk OMNIBUS, hal. 1181.
[16] Lihat JH.
[17] GL I, hal. 111.
[18] Lihat uraian dalam AL, hal. 12.
[19] LLL, catatan kaki 114 pada halaman 202.
[20] GL II, hal. 67.
[21] Lihat GL IV, hal. 6.
[22] Ibid.
[23] Lihat misalnya Anggaran Dasar Ordo Fransiskan Sekular, Fasal II Artikel 8; Anggaran Dasar dan Cara
Hidup Saudara-Saudari Ordo Ketiga Regular Santo Fransiskus, Fasal 3 Artikel 12.
[24] Lihat GL IV, hal. 4.
[25] VN II, hal. 69-70.
[26] GL IV, hal. 4.
[27] Penghormatan kepada para imam ini dibicarakan secara lebih terinci dalam bagian tersendiri. Uraian tentang penghampaan/pengosongan serta perendahan diri Allah ini banyak memanfaatkan tulisan dalam AL, hal. 18.
[28] Bdk VN I, hal 21.
[29] GL IV, hal. 7-8.
[30] “Menyimpan hosti di dalam tempat yang terkunci” adalah aturan yang ditetapkan oleh Konsili Lateran
IV. Lihat catatan kaki 160 dalam LLL, hal 256.
[31] Lihat AL, hal. 13.
[32] LLL, hal. 69-70.
[33] Lihat JK, hal. 149.
[34] Ibid.
[35] Santo Laurensius (+258) adalah seorang diakon dan martir Roma.
[36] GL I, hal. 115.
[37] JK, hal. 153.