Menyambut Roh Kudus agar dapat mendengarkan dan mengikuti sang Putera – itulah cara kita untuk sampai kepada Allah Tritunggal Mahakudus, yang tentang-Nya kita suka menggagap mengucapkan-Nya dalam ‘Pengakuan Iman’ kita. Kekristenan atau Kristianitas bukanlah serangkaian risalat teologis individual, yang bersifat saling independen satu sama lain, melainkan suatu perwahyuan yang bertalian secara logis, yang di dalamnya segala sesuatu cocok satu sama lain. Lagipula, sementara para mistikus Kristiani asli dapat mempunyai pengalaman-pengalaman awal yang berbeda-beda, perjalanan-perjalanan spiritual mereka selalu berakhir pada Trinitas, yang memberikan pencerahan kepada mereka tentang keseluruhan misteri penyelamatan. Fransiskus adalah seorang mistikus sedemikian, dan akan kelirulah apabila kita berpikir bahwa spiritualitasnya terbatas pada dimensi Kristologis saja [MH, hal. 55].
“Seganilah dan hormatilah, pujilah dan muliakanlah, ucap syukurlah dan sembahlah Tuhan Allah Yang Mahakuasa, Tritunggal dan Esa, Bapa dan Putera dan Roh Kudus, Pencipta segala sesuatu.” [AngTBul XXI:2]
Pada Hari Raya Tritunggal Mahakudus tahun 1998, tepat dua belas tahun lalu, sebagai Minister Persaudaraan OFS Santo Ludovikus IX, Jakarta, saya mengirimkan sepucuk memorandum kepada para anggota persaudaraan yang berjudul ‘Fransiskus dan Tritunggal Mahakudus’. Memorandum tersebut dimaksudkan terutama bagi para anggota yang sudah berprofesi, sebagai bagian dari proses bina lanjut (ongoing formation) para saudara-saudari Fransiskan sekular yang merupakan anggota persaudaraan termaksud.
Untuk menjaga-jaga jangan sampai para anggota persaudaraan ‘menyerah sebelum bertempur’, pada bagian awal memorandum saya menulis: ”Kalau Saudara-saudari merasakan tulisan ini agak susah dicerna, saya cuma minta agar Saudara-saudari jangan cepat menyerah. Dengan semangat ‘ora et labora’ tentunya kita akan – cepat atau lambat – sampai (juga) kepada pemahaman dasar yang diperlukan mengenai Tritunggal Mahakudus ini, seturut contoh yang diberikan oleh Bapak Serafik kita. Perlu dicatat bahwa tulisan ini tidaklah bersifat komprehensif. Tulisan ini sekedar mau mengulas beberapa pokok penghayatan iman yang menyangkut Tritunggal Mahakudus seperti dicontohkan oleh Fransiskus Assisi. Sangat mustahillah, bahkan bagi seorang teolog yang sangat ulung sekalipun untuk mampu menulis secara lengkap tentang misteri Tritunggal Mahakudus, apalagi hanya dalam beberapa halaman” [FXI, hal. 1]
Misteri Trinitas yang mahaagung ini memang tidak dapat ditangkap sepenuhnya oleh akal budi manusia; diperlukan iman-kepercayaan! Siapa yang tidak kenal cerita tentang Santo Augustinus? Pada suatu hari, ketika dia berjalan di pantai sambil merenungkan misteri Tritunggal Mahakudus, Augustinus bertemu dengan seorang anak (malaikat) yang sedang menuangkan air laut ke dalam lubang yang dibuatnya di pantai. Ketika ditanya oleh Augustinus apa yang sedang dilakukannya, anak itu menjawab bahwa dia bermaksud memindahkan seluruh air laut yang ada ke dalam lubang yang dibuatnya. Orang kudus itu menjelaskan kepada anak itu bahwa yang dilakukannya adalah sesuatu yang mustahil. Anak itu kemudian menanggapi komentar Augustinus, dengan mengatakan bahwa apa yang sedang dipikirkan dan direnungkan Augustinus untuk memperoleh jawaban yang tuntas tentang Trinitas sama saja mustahilnya. Sebuah pelajaran penuh pencerahan bagi orang kudus yang terkenal pandai itu.
Dalam tulisan ini kita akan mengamati bagaimana Fransiskus memandang Allah Bapa sebagai Pusat dan Sumber dari segala sesuatu, dan bagaimana dia memahami hubungan interior dalam Trinitas serta juga campur tangan Allah dalam dunia.
Tulisan ini sendiri pada dasarnya dimaksudkan sebagai bahan pertemuan persaudaraan Fransiskan sekular dalam rangka bina lanjut para anggotanya, namun dapat dimanfaatkan oleh siapa saja yang berminat untuk lebih mengenal secara lebih dekat lagi dengan Santo Fransiskus dari Assisi dan keluarga besarnya yang masih melakukan perjalanan ziarah di bumi ini.
Sebuah misteri hubungan Antar-Pribadi
Ajaran bahwa ada tiga Pribadi dalam satu Allah tidak dapat dirumuskan sebagai akibat dari suatu deduksi logis, tetapi mestinya merupakan suatu perwahyuan dari Allah sendiri. Fransiskus selalu terbuka bagi inspirasi-inspirasi Roh Kudus yang memimpin dia untuk mengetahui dan menyambut Sang Putera, yang kemudian menyatakan Bapa kepadanya. Fransiskus sampai pada pengetahuan yang begitu baik tentang misteri Trinitas, oleh karena pengalaman batinnya sendiri akan misteri ini. Seperti layaknya seorang anak, Fransiskus tidak dapat memberikan sebuah definisi tentang cintakasih, akan tetapi berhasil menemukan apa cintakasih itu, lewat hidupnya sebagai anggota sebuah keluarga yang mencintai/mengasihi.
Menyambut Roh Kudus agar dapat mendengarkan dan mengikuti sang Putera – itulah cara kita untuk sampai kepada Allah Tritunggal Mahakudus, yang tentang-Nya kita suka menggagap mengucapkan-Nya dalam ‘Pengakuan Iman’ kita. Kekristenan atau Kristianitas bukanlah serangkaian risalat teologis individual, yang bersifat saling independen satu sama lain, melainkan suatu perwahyuan yang bertalian secara logis, yang di dalamnya segala sesuatu cocok satu sama lain. Lagipula, sementara para mistikus Kristiani asli dapat mempunyai pengalaman-pengalaman awal yang berbeda-beda, perjalanan-perjalanan spiritual mereka selalu berakhir pada Trinitas, yang memberikan pencerahan kepada mereka tentang keseluruhan misteri penyelamatan. Fransiskus adalah seorang mistikus sedemikian, dan akan kelirulah apabila kita berpikir bahwa spiritualitasnya terbatas pada dimensi Kristologis saja [MH, hal. 55].
Sejarah pemikiran religius menunjukkan kepada kita, bahwa suatu Kristologi yang tidak berhubungan dengan misteri Trinitas akan sering merosot menjadi pengkultusan seorang ‘Kristus’ yang sepenuhnya adalah seorang pembebas mesianis sekular [bdk. konsep Ratu Adil]. Akan tetapi, Fransiskus bukanlah seorang penganut kultus sedemikian. Seperti kita telah lihat, dia tidak pernah memikirkan Kristus terpisah dari hubungan seorang Anak dengan Bapa-Nya dan keterbukaan-Nya yang total bagi Roh Kudus. Bagi Fransiskus, satu-satunya jalan kepada Bapa adalah melalui Putera dan Roh Kudus. Dia bukan seorang teoritisi, tetapi seorang yang praktis: Ia memulai perjalanannya menuju Allah dari realitas dunia di sekelilingnya. Ia membaca kitab-kitab Injil dan tenggelam/terserap dalam arus yang mengalir dari liturgi dan sebagai konsekuensinya, dia sampai pada satu titik di mana dirinya semakin dalam lagi menghargai kekayaan Trinitas.
Michael Hubaut OFM benar sekali ketika dia mengatakan, bahwa bagi Fransiskus, Trinitas adalah bagaikan sebuah lagu cinta yang berkumandang mengelilingi seluruh dunia: Trinitas adalah awal dan akhir dari segala sejarah penyelamatan; Ia mempersatukan dan meninggikan jalannya zaman-zaman. Alam ciptaan, penebusan dan segala sakramen Kristiani merupakan karya komunal dari Tiga Pribadi Ilahi. Dengan demikian Fransiskus mengkontemplasikan Ekaristi sebagai suatu tindakan Trinitas [MH, hal. 56]. Mengenai Kristus dalam Ekaristi, Fransiskus menulis: “Meskipun Dia tampak berada di berbagai tempat, namun Ia tetap tidak terbagi dan tak mengalami rugi; tetapi di mana pun juga, Ia yang satu dan sama berkarya, sejauh berkenan pada-Nya, bersama Tuhan Allah Bapa dan Roh Kudus Penghibur, sepanjang segala masa” [SurOr 33]. Pelukis Rusia yang bernama Andrei Rublev, dalam salah satu ikonnya yang terkenal, menunjukkan Ketiga Pribadi Ilahi duduk di sekeliling meja dan mengundang kita untuk mengambil tempat ke empat yang tersedia pada meja itu.
Bagi Fransiskus, Allah Tritunggal tidak pernah merupakan sekadar suatu ide, meski ide teologis sekalipun, melainkan suatu realitas yang hidup dan aktif, suatu pencurahan kehidupan. Ia melihat dan menerima sakramen-sakramen penyelamatan sebagai suatu dialog berkesinambungan antara Trinitas dan kita, manusia. Karena keseluruhan Trinitas itu terlibat dalam penebusan, maka Fransiskus tidak ragu-ragu untuk mengakukan dosa-dosanya kepada ketiga Pribadi ilahi: “Selanjutnya aku mengakukan semua dosaku kepada Tuhan Allah, Bapa dan Putera dan Roh Kudus, …” [SurOr 38]. Ia berkhotbah tentang Trinitas Kudus dengan bergairah, bahkan kepada Sultan Mesir. Santo Bonaventura menulis: “Dengan keteguhan hati, dengan keberanian jiwa dan dengan kehangatan roh yang amat besar ia mewartakan perihal Allah Tritunggal yang Esa dan Yesus Kristus, Juruselamat semua orang” [LegMaj IX:8]. Namun Fransiskus tidak pernah berkhotbah tentang Roh Kudus tanpa menyebutkan Inkarnasi, atau berkhotbah tentang Kristus (Sabda yang menjadi daging) tanpa berbicara mengenai Roh Kudus [lihat MH, hal. 56].
Fransiskus adalah satu-satunya pendiri keluarga rohani dalam Gereja yang dalam peraturan hidup untuk komunitasnya menulis sesuatu tentang pergi (mewartakan Kabar Baik) ke tengah kaum muslim dan orang tak beriman. Dari dua cara yang dikemukakannya, satu berbunyi seperti berikut: “Cara yang lain ialah: mewartakan firman Allah bila hal itu mereka anggap berkenan kepada Allah, supaya orang percaya akan Allah Yang Mahakuasa, Bapa dan Putera dan Roh Kudus, Pencipta segala sesuatu, dan akan Putera, Penebus dan Juruselamat, dan supaya dibaptis dan menjadi Kristiani; sebab siapa yang tidak dilahirkan kembali dari dan Roh Kudus, tidak dapat masuk ke dalam kerajaan Allah” [AngTBul XVI:7; lihat juga XXI:2]. Misi utama mereka adalah menjadi saksi-saksi dari Allah Tritunggal, Allah Mahakuasa, dan memacu para penyembah untuk melambungkan puji syukur kepada ‘Allah benar yang mahaluhur, kekal dan hidup, bersama dengan Putera-Nya terkasih, Tuhan kita Yesus Kristus, dan Roh Kudus Penghibur’ [lihat AngTBul XXIII:6].
Trinitas dalam tulisan-tulisan Santo Fransiskus
Bagi Fransiskus Allah selalu mengambil tempat pertama. Hampir pada setiap halaman tulisan Fransiskus kita dapat bertemu dengan Allah yang hadir di mana-mana (omnipresence). Apakah dia menggunakan kata ‘Allah’ (219 kali) atau ‘Tuhan (364 kali), bagi Fransiskus Allah merupakan ‘Realitas sentral’, sumber segala sesuatu dan pusat segala sesuatu. Namun baginya Allah bukanlah seorang dewa yang abstrak, karena Fransiskus selalu melihat dan memproklamasikan Dia sebagai ‘Allah Tritunggal’ atau ‘Trinitas’ . Trinitas bukanlah sekedar rumusan teoritis yang kosong, tetapi sebuah istilah yang menunjukkan kehidupan ilahi bagian dalam (interior divine life) sementara memberi tekanan ‘monarki’ dari Bapa, yang selalu mengambil tempat pertama [TM, hal. 53].
Manakala Fransiskus berbicara atau menulis mengenai Allah, maka dia jarang menggunakan kata ‘Allah’ thok, akan tetapi biasanya menempatkan nama ‘Allah’ ke dalam konteks Trinitas. Lihatlah misalnya doa Fransiskus seperti tercatat sebagai penutup ‘Surat kepada seluruh Ordo’ (SurOr 50-52), juga lihat ‘Pujian bagi Allah Yang Mahaluhur’ (PujAllah 3), dan ‘Ajakan untuk Memuji Allah’ (AjMuj 16], ketiganya akan dikutip di bagian belakang tulisan ini.
Keakraban Fransiskus dengan Allah Tritunggal dalam kemuliaan-Nya dapat kita rasakan juga dalam salah satu ayat ‘Uraian Doa Bapa Kami’, sebagai berikut: “Datanglah kerajaan-Mu: agar Engkau meraja di dalam diri kami karena rahmat-Mu, dan membawa kami masuk ke dalam kerajaan-Mu; di sana kami akan memandang Engkau dengan jelas, akan mengasihi Engkau dengan sempurna, akan berbahagia dalam persekutuan dengan-Mu dan merasakan betapa nikmatnya Engkau untuk selama-lamanya [UrBap 4].
Tritunggal yang sempurna dan Keesaan yang sederhana. Petikan tulisan Fransiskus di awal tulisan ini [AngTBul XXI:2] adalah bagian awal dari ‘pujian dan ajakan’ yang disarankan olehnya untuk digunakan oleh para Saudara Dina, kapan saja mereka inginkan, di depan siapa pun, dengan berkat Allah. Di sini kita merasakan adanya urut-urutan adorasi dan puji-pujian yang meningkat dan memuncak pada penyebutan misteri Trinitas secara eksplisit. Ungkapan ‘Tritunggal yang sempurna dan Keesaan yang sederhana’ yang digunakan Fransiskus sebagai sejenis refren liturgis, menunjukkan wawasannya yang mendalam mengenai ‘sesuatu yang lain’. Yang mencirikan hubungan-hubungan yang ada antara para Pribadi Ilahi, tetapi yang tidak bertabrakan dengan ‘Keesaan yang sederhana’. Dalam Trinitas, terdapat ‘Perbedaan yang sempurna di dalam Keesaan yang total’ (perfect Diversity within the total Unity) [lihat TM, hal. 56].
Pada salah satu sisi dari ‘Lembaran Kecil untuk Saudara Leo’ tertulis ‘Pujian bagi Allah yang Mahaluhur’ kita membaca: “Engkaulah Tuhan Yang Kudus, Allah satu-satunya,yang melakukan keajaiban-keajaiban. Engkau kuat, Engkau besar, Engkau mahaluhur, Engkaulah Raja Yang Mahakuasa, Engkaulah Bapa Yang Kudus, Raja langit dan bumi. Engkau Tuhan Yang Tiga dan Esa Allah segala allah, Engkau baik, seluruhnya baik, paling baik, Tuhan Allah yang hidup dan benar. Engkaulah cinta kasih, Engkaulah kebijaksanaan, Engkaulah kerendahan, Engkaulah kesabaran, Engkaulah keindahan, Engkaulah kelembutan hati; Engkaulah keamanan, Engkaulah ketenteraman, Engkaulah kegembiraan, Engkau pengharapan dan sukacita kami, Engkaulah keadilan, Engkaulah keugaharian, Engkaulah segala kekayaan kami yang melimpah, Engkaulah keindahan, Engkaulah kelembutan hati, Engkaulah pelindung, Engkau penjaga dan pembela kami; Engkaulah kekuatan, Engkaulah penyegaran. Engkaulah pengharapan kami, Engkaulah kepercayaan kami, Engkaulah cinta kasih kami, Engkaulah seluruh kemanisan kami, Engkaulah hidup kekal kami: Tuhan yang agung dan mengagumkan, Allah Yang Mahakuasa, Penyelamat yang penuh belaskasihan” [PujAllah 1-6].
Marilah sekarang kita amati bagian paling akhir dari ‘Doa dan Ucapan Syukur’ yang ditulis Fransiskus [AngTBul XXIII]: “ Pencipta dan Penebus serta Penyelamat kita, satu-satunya Allah yang benar; Dialah kebaikan yang sempurna, segenap kebaikan, seluruhnya baik, kebaikan yang benar dan tertinggi;Dialah satu-satunya yang baik, penyayang, pemurah, manis dan lembut; Dialah satu-satunya yang kudus, adil, benar, suci dan tulus, satu-satunya yang pemurah, tak bersalah dan murni; ari Dia, oleh Dia dan dalam Dialah segala pengampunan, segala rahmat dan kemuliaan untuk semua orang yang bertobat dan yang benar, untuk semua orang kudus yang bersukacita bersama-sama di surga. Maka apa pun tidak boleh mencegah, merintangi dan menghalangi; di mana pun, di segala tempat, pada setiap saat dan setiap waktu, setiap hari dan senantiasa, hendaklah kita semua mengimani dengan sungguh-sungguh dan dengan rendah hati, menyimpan dalam hati dan mengasihi, menghormati, menyembah, mengabdi, memuji dan memuliakan, meluhurkan dan menjunjung tinggi, mengagungkan dan mensyukuri Allah yang kekal, mahatinggi dan mahaluhur, Tritunggal dan keesaan, Bapa, Putera dan Roh Kudus, pencipta segala sesuatu, penyelamat semua orang yang menaruh kepercayaan, harapan dan kasih kepada-Nya; Dia yang tanpa awal dan tanpa akhir, tidak berubah, tidak kelihatan, tidak terkatakan, tidak terperikan, tidak terhingga, tak terduga, yang patut dihormati dan dipuji, mulia, agung, tinggi dan luhur, manis, memikat hati dan menyenangkan, seluruhnya patut dirindukan melampaui segala-galanya, sepanjang masa, Amin [AngTBul XXIII:9-11].
Banyak gelar Allah. Dalam tulisan-tulisannya, Fransiskus menggunakan banyak sekali sebutan/sapaan/gelar, baik bagi Allah Bapa, maupun Putera, seperti ‘Raja Yang Mahakuasa’, ‘Raja langit dan bumi’, ‘Pencipta dan Penebus serta Penyelamat kita’ dan lain-lain. Dengan gelar-gelar Allah ini Fransiskus ingin menyampaikan fakta bahwa Allah adalah penyebab total dari setiap hal yang positif dalam keseluruhan realitas, seperti diungkapkannya dalam ‘Uraian Doa Bapa Kami’ : “… karena Engkaulah yang paling baik, ya Tuhan. Engkau baik untuk selamanya, Engkaulah asal segala yang baik, tanpa Engkau tidak ada yang baik satu pun” [UrBap 2]. Namun demikian, Fransiskus hanya memberikan tiga nama klasik saja untuk Roh Kudus. Paling sering dia menggunakan istilah ‘Roh Kudus’ saja tanpa embel-embel; kemudian dia menggunakan istilah ‘Roh Kudus Penghibur’ [AngTBul XXIII:5 dst.; SurOr 33; Salmar 2; Was 40], dan yang ketiga adalah ‘Roh Tuhan’ [Pth I:12; Pth XII:1; AngTBul XVII:14; AngBul X:8; 1SurBerim I:6; 2SurBerim 48].
Beberapa penjelasan. Dalam ‘Surat Kedua kepada kaum Beriman’, Fransiskus menulis: “… aku memutuskan untuk menulis surat ini dan melalui utusan memberitakan kepada kamu firman Tuhan kita Yesus Kristus, yang adalah Firman Bapa, serta firman Roh Kudus; firman itu adalah roh dan hidup” [2SurBerim 3]. Yang dimaksudkan di sini adalah bahwa Sabda Injil yang hendak diwartakan oleh Fransiskus adalah ‘Sabda Roh Kudus’, sabda-Nya adalah roh dan kehidupan. Menurut Fransiskus, Roh Kudus menolong kita untuk memahami inti makna Sabda atau Firman Allah itu, untuk mengetahui dan mengakui keilahian Kristus. Dia menulis dalam ‘Petuah-petuah’-nya: “Rasul mengatakan: Tidak ada seorang pun yang dapat mengaku: ‘Yesus adalah Tuhan’ selain oleh Roh Kudus’ [Pth VIII:1; bdk 1Kor 12:3]. Dengan demikian, menurut Fransiskus Roh Kudus adalah Juru-tafsir Kitab Suci yang sejati. Dan, apabila Roh Kudus menanamkan pada diri orang-orang pengetahuan tentang Kitab Suci, maka Dia akan memimpin orang-orang itu untuk menghaturkan terima kasih kepada Tuhan Allah Yang Mahatinggi [lihat Pth VII:4]. Roh Kudus juga aktif dengan Bapa dan Putera dalam konsekrasi Ekaristi [SurOr 33] dan Roh Tuhanlah “… yang bersemayam di dalam orang beriman-Nya, Dialah yang menyambut Tubuh dan darah Tuhan Yang Mahakudus. Semua lainnya yang tidak memiliki bagian Roh itu dan berani-berani menyambut Dia, makan dan minum hukuman atas diri-Nya sendiri” [Pth I:12-13].
Roh Kudus tidak sering disinggung, akan tetapi …… Baik ‘Anggaran Dasar tanpa Bulla’ maupun ‘Anggaran Dasar dengan Bulla’ berisikan kalimat yang meringkaskan pemahaman Fransiskus tentang tindakan Roh Kudus dalam kehidupan para Saudara Dina. Dalam hal ini Fransiskus menggunakan istilah ‘Roh Tuhan’ :
“… Roh Tuhan menghendaki agar daging tetap dimatikan dan diaibkan, tetap hina dan nista. Ia mengusahakan kerendahan dan kesabaran serta ketenteraman hati yang sejati, murni dan sederhana. Dan di atas segala-galanya Ia senantiasa menginginkan takwa ilahi dan kebijaksanaan ilahi serta cintakasih ilahi Bapa dan Putera dan Roh Kudus” [AngTBul XVII:14-16].
“… yang hendaknya mereka perhatikan ialah keinginan untuk memiliki Roh Tuhan melampaui segala-galanya dan membiarkan Dia berkarya di dalam diri mereka; ingin selalu berdoa kepada-Nya dengan hati yang murni; ingin rendah hati, sabar dalam penganiayaan dan sakit; dan ingin mencintai mereka yang menganiaya, mencela dan berperkara dengan kita, sebab Tuhan bersabda: Cintailah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya dan memfitnah kamu” [AngBul X:8-10].
Secara selayang pandang kelihatannya Roh Kudus memainkan peranan yang tidak besar dalam tulisan-tulisan Fransiskus karena dia jarang menyebut-nyebut Roh Kudus, dan gelar yang diberikan kepada Roh Kudus juga relatif sedikit. Namun kalau kita cermati secara lebih mendalam, kita akan melihat, bahwa meskipun kehadiran Roh Kudus dalam tulisan-tulisan orang kudus ini tidak menonjol, tetaplah Roh Kudus ‘merembes’ ke mana-mana dalam tulisan-tulisannya itu. Seperti diproklamasikan oleh liturgi Byzantin, Dia adalah sungguh ‘Roh Tuhan yang hadir di mana-mana!’ Fransiskus memang juga mengatakan bahwa Roh Kudus selalu berkarya bersama Bapa dan Putera [bdk. SurOr 33].
Istilah-istilah deskriptif yang digabungkan dengan istilah-istilah yang mengungkapkan pengalaman rohani secara pribadi. Menurut Bonaventure Hindwood OFM, Fransiskus bukanlah seorang teolog produk sekolah tinggi. Oleh karena itu dia tidak menganalisis istilah-istilah agar dapat menyampaikan keajaiban Sang Pencipta yang memang tidak kelihatan. Fransiskus mengatakan: “Ia hanya dapat dilihat dalam Roh, karena Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna” [Pth I:6]. Sebaliknya, Fransiskus menggunakan teknik yang sering dijumpai dalam Alkitab, yaitu mengumpulkan istilah-istilah agar menghasilkan dampak yang dahsyat. Semuanya ini adalah istilah-istilah yang bersifat deskriptif. Efeknya ditingkatkan lagi dengan menambahkan istilah-istilah tadi dengan istilah-istilah yang mengungkapkan pengalaman subjektif seseorang yang mengalami Dia sebagai Pencipta dalam kedalaman dirinya dan juga dalam peristiwa-peristiwa kehidupannya [BH, hal. 5]. Demikianlah halnya dengan beberapa contoh doa Fransiskus yang dikutip di atas.
Pemikiran Fransiskus tentang Allah yang jelas-jelas bersifat trinitaris dalam beberapa contoh di atas patut dicatat. Bonaventure Hindwood OFM mempertanyakan apakah hal ini disebabkan oleh pengalaman spiritual Fransiskus sendiri, atau karena sedikit banyak dipengaruhi oleh ajaran Konsili Lateran IV? Mungkin sebuah pertanyaan yang tidak dapat dijawab [BH, hal. 7].
Diawali dan diakhiri dengan doa kepada Tritunggal Mahakudus. Pada kenyataannya Fransiskus seringkali memulai (malah di awal sebuah alinea) dan mengakhiri tulisannya dengan doa kepada Tritunggal Mahakudus; kadang-kadang dalam bentuk sederhana, kadang dalam bentuk yang lebih terinci:
‘Anggaran Dasar Tanpa Bulla diawalinya dengan “Demi nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin” [AngTBul Mukadimah: 1] dan diakhirinya dengan “Kemuliaan kepada Bapa dan Putera dan Roh Kudus, seperti pada permulaan, sekarang, selalu dan sepanjang segala masa. Amin” [AngTBul XXIV:5].
- ‘Surat Kedua kepada Orang Beriman’ diawalinya dengan “Demi nama Tuhan: Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin” [awal 2SurBerim]; di bagian akhir surat: “Demi nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin” [2SurBerim 86], dan sebagai berkat: “……… kalau mereka bertekun di dalamnya hingga akhir, semoga diberkati oleh Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin” [2SurBerim 87];
- Pembukaan ‘Surat kepada seluruh Ordo’ berbunyi: “Demi nama Trinitas Yang Mahaluhur dan keesaan yang kudus, Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin” [SurOr 1].
(1) Allah Yang Mahakuasa, Mahakudus, Mahatinggi dan Mahaluhur, Bapa yang kudus dan adil, Tuhan raja langit dan bumi, kami bersyukur kepada-Mu karena Engkau sendiri, sebab dengan kehendak-Mu yang kudus, dan oleh Putera-Mu yang tunggal bersama Roh Kudus, Engkau telah menciptakan segala sesuatu yang rohaniah dan badaniah; dan kami yang Kauciptakan menurut citra dan persamaan-Mu, Kautempatkan di firdaus, (2) namun kami telah jatuh karena kesalahan kami. (3) Kami bersyukur kepada-Mu karena sebagaimana dengan perantaraan Putera-Mu, Engkau telah menciptakan kami, demikian pula karena kasih-Mu yang kudus, yang telah Engkau berikan kepada kami, Engkau telah membuat Dia, yang sungguh Allah dan sungguh manusia, lahir dari Santa Maria yang tetap perawan, yang mulia dan amat berbahagia; dan oleh salib, darah dan wafat-Nya, Engkau mau menebus kami, orang tawanan.
……………………
(5) Kami semua yang malang dan pendosa ini tidak layak menyebut nama-Mu; maka kami mohon sambil bersujud, agar Tuhan kami Yesus Kristus, Putera-Mu yang terkasih yang kepada-Nya Engkau berkenan, bersyukur kepada-Mu atas segala sesuatu, bersama dengan Roh Kudus Penghibur, sebagaimana berkenan pada-Mu dan pada-Nya; bagi-Mu dialah yang selalu memadai dalam segalanya, dan dengan perantaraan Dialah Engkau telah mengerjakan begitu bagi kami. Haleluya. [AngTBul XXIII:1-3, 5].
Allah Bapa tetap menduduki tempat sentral. Kebiasaan Fransiskus mengacu pada Trinitas pada hampir setiap kesempatan dia berbicara mengenai Allah, tidaklah memindahkan tempat Bapa. Bapa tetap berada di pusat. Pergerakan Bapa yang keluar menuju dunia selalu melalui Putera-Nya yang tunggal bersama Roh Kudus dapat kita lihat dalam AngTBul XXIII:1. Hal ini dapat dimengerti karena kasih-Nya yang kudus, yang telah Allah berikan kepada manusia [lihat AngTBul XXIII:3].Di lain pihak, kalau pun Fransiskus dengan panjang lebar berbicara mengenai Kristus (misalnya tentang keilahian-Nya), maka dia selalu melakukannya dalam konteks Bapa-Nya atau Trinitas (lihat Pth I; AngTBul XXII:41-55; AngTBul XXIII:1-6 dan 2SurBerim 3-15). Bagi Fransiskus, Putera tidak terpisahkan dari Bapa, dan dia tidak pernah memandang kemanusiaan Kristus sebagai sesuatu hal yang terpisahkan dari praeksistensi-Nya di surga, atau dari kemuliaan kebangkitan-Nya. Kristologi (teologia tentang Kristus) dari Fransiskus seperti termuat dalam AngTBul XXIII:1-6 dan 2SurBerim 3-15 yang disebutkan di atas, jelas berakar pada Trinitas.
Puji-pujian secara khusus ini seperti keseluruhan kutipan di atas memberi penekanan pada kenyataan bahwa pemikiran-pemikiran Fransiskus tentang Allah Tritunggal tidak membentuk suatu kelanjutan yang bersifat paralel dengan Allah sebagai Pencipta, melainkan hanya merinci dengan lebih tepat sifat Allah sebagai Pencipta dan Penebus, yang adalah Pewahyu Tritunggal, seperti dijelaskan oleh Fransiskus ketika dia menulis: “……… firman Tuhan kita Yesus Kristus, yang adalah firman Bapa, serta firman Roh Kudus, Firman itu adalah roh dan hidup. Firman Bapa itu, yang begitu luhur, begitu kudus dan mulia, telah disampaikan dari surga oleh Bapa Yang Mahatinggi, dengan perantaraan Gabriel malaikat-Nya yang kudus, ke dalam kandungan Perawan Maria yang kudus dan mulia. Dari kandungannya, firman itu telah menerima daging sejati kemanusiaan dan kerapuhan kita” [2SurBerim 3-4].
Pandangan Konsili Lateran IV dan kebanyakan teologi rahmat pada waktu itu tentang karya-karya eksternal Allah adalah sebagai karya gabungan dari Trinitas. Oleh karena itu pantas untuk dicatat bahwa Fransiskus seringkali mengacu kepada hubungan-hubungan khusus antara satu atau lainnya dari ketiga Pribadi ilahi dengan subjek manusia yang dirahmati. Yang paling mencolok adalah bagaimana Fransiskus mengedepankan ketiga Pribadi ilahi sekaligus dan secara singkat. Contohnya dapat kita lihat pada ‘Pedoman Hidup untuk Santa Klara’ yang singkat-padat: “(1)Oleh karena, atas dorongan ilahi, engkau telah bersedia menjadi puteri dan abdi Raja Yang Mahatinggi dan Mahaluhur, Bapa Surgawi, dan kamu telah menyerahkan dirimu sebagai mempelai kepada Roh Kudus dengan memilih hidup menurut kesempurnaan Injil Suci, (2) maka aku menghendaki dan berjanji secara pribadi dan melalui saudara-saudaraku, untuk selalu memberikan pemeliharaan yang baik dan keprihatinan khusus, sama seperti bagi mereka” [PedHid 1-2].
Menurut Bonaventure Hindwood OFM, ‘memilih hidup menurut kesempurnaan Injil Suci’, berarti ‘memilih hidup menurut pola Putera, Firman yang menjadi manusia’ (Son incarnate) [BH, hal. 9]. Leo Laba Ladjar OFM memberi penjelasan sehubungan dengan petikan di atas: “Pedoman hidup (Forma Vivendi) berarti citra, model, ungkapan sempurna dari suatu kenyataan yang mau ditiru. Maka Fransiskus tidak memberikan sejumlah aturan atau petunjuk, tetapi menunjuk pola dasarnya, yaitu menepati Injil Suci, dan dengan demikian masuk dalam hidup ilahi yang bersifat triniter: menjadi puteri dan abdi Bapa Surgawi dan mempelai Roh Kudus” [lihat catatan kaki no. 99 dalam LLL, hal. 189; bdk. catatan kaki no.2 dalam RAIB, hal.45].
Kesadaran trinitaris yang ada dalam diri Fransiskus dapat dilihat dalam banyak lagi tulisannya, hal mana membantu kita merasakan betapa dalamnya dia menyatukan hidupnya dengan Yesus, Putera Bapa surgawi. Misalnya, dalam ‘Surat Pertama kepada Kaum Beriman’, setelah dalam beberapa ayat berbicara mengenai betapa berbahagianya mereka yang melakukan pertobatan, maka dia ‘menyuguhkan’ puji-pujian indah yang sangat bernada trinitaris: “O, betapa mulia, kudus dan agungnya mempunyai Bapa di surga. O, betapa kudus, menghibur, indah dan mengagumkan, mempunyai mempelai yang demikian. O, betapa kudus dan mesranya, betapa menyenangkan, menyejukkan, menenteramkan, manis, sedap, patut dicintai dan diinginkan melampaui segalanya, mempunyai saudara dan anak yang demikian: Tuhan kita Yesus Kristus, yang telah mempertaruhkan nyawa bagi domba-domba-Nya dan berdoa kepada Bapa …” [1SurBerim I:11-13].
Catatan: Bagi para Fransiskan sekular tentunya yang terbaik adalah membaca dan menghayati keseluruhan surat Fransiskus ini [1SurBerim], sehingga dapat memberikan suatu gambaran yang utuh, teristimewa karena surat ini dijadikan sebagai Mukadimah AD OFS.
Dalam Gambaran Trinitas
Hubungan penuh cintakasih. Fransiskus tidak pernah berpikir Allah Tritunggal sebagai terpisah dari masalah-masalah manusia, seolah-olah Ia memerintah dari jauh. Sebaliknya dia tahu bahwa Trinitas adalah suatu hubungan yang penuh cintakasih antara Bapa, Putera dan Roh Kudus, suatu hubungan dari cintakasih yang diberikan, diterima dan dipertukarkan. Dari meditasinya atas misteri ini, Fransiskus mampu mempersepsikan dasar dan tuntutan-tuntutan dari setiap hubungan kemanusiaan dari persaudaraan universal. Dalam ‘Surat Kedua kepada Kaum Beriman’, dia menulis:
(48) Semua orang, laki-laki dan perempuan, apabila melakukan hal-hal itu dan bertekun hingga akhir, maka Roh Tuhan akan tinggal pada mereka dan akan memasang tempat tinggal dan kediaman di dalam mereka. (49) Maka mereka akan menjadi anak-anak Bapa Surgawi, yang karya-Nya mereka laksanakan. (50) Mereka menjadi mempelai, saudara dan ibu Tuhan kita Yesus Kristus. (51) Kita menjadi saudara bila kita melaksanakan kehendak Bapa-Nya yang ada di surga. (53) Kita menjadi ibu bila kita mengandung Dia di dalam hati dan tubuh kita karena kasih dan karena suara hati yang murni dan jernih. Kita melahirkan Dia melalui karya yang suci, yang harus bercahaya bagi orang lain sebagai contoh [2SurBerim 48-53].
Dalam mengkontemplasikan Allah Tritunggal, Fransiskus menemukan semuanya yang bersifat ‘kebapaan’, ‘keibuan’ dan ‘hubungan antara anak dengan orangtua’ dalam diri kita masing-masing. Kita menjadi bapak-bapak dan ibu-ibu dalam gambaran Allah apabila kita mengalirkan sedikit lebih cinta kasih dan harapan kepada orang-orang di sekeliling kita, apabila kita menjadi pembawa-pembawa kehidupan. Kita masing-masing mempunyai kebutuhan untuk menjadi (dalam gambaran Allah) seorang anak yang menerima cintakasih orang-orang lain dan kelembutan hati Bapa surgawi. Dari dua sikap dasar ini (memberi dan memberi) timbullah proses ‘tukar-menukar’, saling mengasihi, tidak kelihatan tetapi vital dan kreatif, seperti Roh.
Memberi kasih, menerima kasih dan saling mengasihi. Fransiskus melihat dengan jelas bahwa rahasia dari kemanusiaan dan setiap hubungan kemanusiaan terletak dalam struktur trinitaris memberi, menerima dan saling mengasihi (mempertukarkan cintakasih). Dalam terang Roh Kudus, Fransiskus menemukan bahwa kita, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, adalah pribadi-pribadi yang lahir untuk hubungan-hubungan; bahwa kita memiliki kebutuhan untuk mengasihi, dikasihi dan menukarkan cintakasih, kalau kita ingin menjadi manusia yang utuh. Konsep Fransiskus tentang persaudaraan berasal dari upayanya mengkontemplasikan Allah, yang dinyatakan dalam Kristus dan oleh karena itu didasarkan atas cintakasih dan pertukaran cintakasih:
Di mana pun saudara-saudara berada dan bertemu, hendaklah mereka menunjukkan bahwa mereka satu sama lain merupakan saudara sekeluarga. Maka yang satu hendaknya dengan leluasa menyatakan kebutuhannya kepada yang lain; karena jika seorang ibu mengasuh dan mengasihi anaknya yang badani, betapa lebih saksama lagi seorang saudara harus mengasihi dan mengasuh saudaranya yang rohani [AngBul VI:7-8].
Dalam terang Trinitas Kudus, Fransiskus juga memahami betul fakta bahwa setiap hubungan kemanusiaan kreatif yang berhasil mensyaratkan terjadinya pertukaran yang meyakinkan ini, reprositas vital ini, saling ketergantungan ini, persekutuan dari yang berbeda-beda ini.
Dalam suatu perkawinan, dalam sebuah keluarga, atau sebuah komunitas lokal, nasional atau internasional; apabila yang ‘memberi’ adalah orang-orang yang sama-sama saja dan yang ‘menerima’ adalah orang-orang yang itu-itu juga, maka tidak lagi ada hubungan kemanusiaan yang sungguh-sungguh.
Perlu berada di tengah-tengah wong cilik. Dalam mengkontemplasi-kan Trinitas Kudus, Fransiskus juga merasakan keperluan untuk berada di tengah-tengah kaum miskin, mereka yang tidak dicintai, kaum marginal, mereka yang karena kesepian dan ditolak sampai menjadi terluka serta terlumpuhkan, sehingga dengan demikian tidak dapat menjadi manusia yang utuh.
Para mistikus sejati melihat bahwa sasaran sesungguhnya dari setiap perjuangan keadilan haruslah memerangi setiap bentuk dominasi atau paternalisme yang memperlakukan orang-orang seperti anak kecil dan tidak sebagai orang dewasa, apakah ini terjadi di tengah-tengah keluarga, dalam masyarakat atau bahkan di dalam Gereja, atau dalam hubungan-hubungan antar-pribadi dan antar-budaya. Hanya cintakasih pada segala tingkat hubungan kemanusiaan akan memperkenankan kita untuk memberi tanpa bersikap merendahkan diri dan untuk menerima tanpa merasa dihina.
Fransiskus memahami bahwa setiap waktu kita memberi, menerima atau saling menukarkan cintakasih Kristiani, kita mempraktekkan cintakasih yang terletak di pusat Trinitas. Tentu saja, kontemplasi Kristiani tidak menghilangkan kebutuhan kita untuk memerangi cinta-diri, tetapi sebaliknya menekankan kebutuhan itu dan memberikannya suatu arti yang tak terbatas.
Anima dan Animus. Lagipula para mistikus asli menemukan kembali segala sesuatu yang bersifat feminin dan maskulin dalam diri mereka sendiri, yang disebut oleh para pendahulu kita sebagai ‘anima’ dan ‘animus’. Karakter yang lengkap mempersyaratkan persatuan dan rekonsiliasi dua segi ini dari kepribadian kita. Fransiskus dan Klara merupakan dua contoh baik konvergensi (tindakan pemusatan) dari segi maskulin dan feminin dalam kehidupan batin mereka. Dalam ‘Nyanyian Saudara Matahari’ [NyaMat], Fransiskus secara bergantian menggunakan unsur-unsur maskulin dan feminin dalam memuji Allah.
Tentunya Fransiskus mempunyai suatu sisi feminin pada karakternya, karena dia sering menyinggung peranan ibu yang ‘mencintai dan memelihara anak-anaknya’ dan juga ‘Tuan Puteri Kemiskinan’. Ia membandingkan dirinya dengan seorang perempuan miskin yang ‘tinggal di padang gurun tertentu’ dan yang ‘mempunyai putera-putera yang cakap’ dari seorang raja [lihat 2Cel 16]; dan dalam doa dia berbicara tentang memperanakkan putera-putera untuk Tuhan [lihat 2Cel 174]. Hal yang serupa dapat kita lihat pada Klara yang menunjukkan sisi maskulinnya dengan ketegasan imannya dan kebulatan tekad (ketetapan hati) yang ditunjukkannya dalam melakukan apa yang menurutnya benar. Lagipula, kita tidak boleh cepat-cepat melihat Klara sebagai sebatang ‘tanaman kecil’ yang berlindung di bawah bayang-bayang Fransiskus, tetapi Klara juga mempunyai orijinalitasnya sendiri dan banyak menyumbang kepada Fransiskus. Tanpa Klara, kharisma Fransiskan tidaklah akan lengkap. Baik Fransiskus maupun Klara mengingatkan kita bahwa kita semua, baik laki-laki maupun perempuan, harus merekonsiliasikan segi maskulin dan feminin dalam diri kita masing-masing.
Trinitas dalam Hidup Batin Fransiskus dan Doa-doanya
Seluruh kehidupan doa Fransiskus berkisar di sekitar Trinitas. Para Fransiskan seharusnya mengikuti contoh Fransiskus. Oleh karena itu, dari contoh-contoh doa di atas dan yang akan kita muat di bawah ini, kita dapat mengiyakan apa yang ditulis oleh Pater Peter Schneible OFM, ketika dia mengatakan: “Spiritualitas dan doa Fransiskan bersifat Triniter. Kita dipimpin kepada kesatuan dengan Bapa melalui upaya kita mengikuti ‘jejak’ Kristus dalam kuasa Roh Kudus” [PS, hal. 256]. Di lain pihak Pater Hilarin Felder OFMCap. menyatakan, bahwa kita harus menyingkirkan pemikiran bahwa kesalehan Fransiskus dipraktekkan olehnya lewat devosi yang banyak rupa dan rumit. Devosinya satu, yaitu seperti layaknya anak kecil yang dengan rendah hati dan penuh sukacita, menyembah dan memuliakan Allah Tritunggal [HF, hal. 388]. Selanjutanya Pater Hilarin Felder OFMCap. memberi berbagai contoh tulisan Fransiskus seperti telah diuraikan di muka dan yang akan diuraikan di bawah.
Dipengaruhi oleh liturgi Gereja. Doa-doa Fransiskus sangat dipengaruhi oleh liturgi Gereja. Di samping petikan-petikan doa yang sudah disajikan di atas, masih ada beberapa contoh lagi yang menunjukkan ungkapan-ungkapan trinitaris dalam doa-doa Fransiskus, misalnya:
1. Terpujilah Tritunggal yang kudus dan keesaan yang tak terbagi [AjMuj 16].
2. Engkau Tuhan Yang Tiga dan Esa. Allah segala allah, Engkau baik, seluruhnya baik, paling baik, Tuhan Allah yang hidup dan benar [PujAllah 3].
Fransiskus tidak lain adalah seorang pribadi yang berdoa bersama dengan Putera, melalui Roh, kepada Bapa. Dia melihat bahwa ketiga Pribadi ilahi cukup dalam diri mereka sendiri dan ciptaan sebenarnya merupakan kepenuhan yang berkelimpahan dari ketiga Pribadi ilahi [lihat AngTBul XXIII:5 yang sudah dipetik di depan.
Doksologi ‘Kemuliaan kepada Bapa dan Putera dan Roh Kudus' yang begitu sering kita ucapkan dalam Ibadat Harian (Ofisi Ilahi) dan doa-doa kita lainnya, bagi Fransiskus tidak pernah menjadi sekadar penutup doa yang bersifat rutin, tetapi suatu tindakan adorasi, sembah sujud jiwa dan raganya di hadapan Allah Tritunggal Mahakudus. Frekuensi munculnya doksologi dalam tulisan-tulisannya bukanlah sekedar sebagai soal kebiasaan, tetapi sebagai pernyataan iman. Kita baca dari ‘Anggaran Dasar Tanpa Bulla’:
Aku memohon kepada Allah, agar Ia, Yang Mahakuasa, Tiga dan Esa, memberkati semua orang yang mengajarkan semuanya ini, mempelajarinya, menyimpannya, mengingatkannya dan melaksanakannya, setiap mereka mengulangi dan melakukan apa yang ditulis di sini demi keselamatan jiwa kita [AngTBul XXIV:2].
Kehendak dan kemuliaan Bapa surgawi, api serta penerangan Roh Kudus dan jalan Putera menuju Kalvari berada dan dikombinasikan dalam hati dan doa-doa Fransiskus seperti dikutip di atas. Ia tidak pernah berhenti mengundang orang-orang lain untuk menemukan kembali harta kehidupan Kristiani:
Hendaklah kita selalu menyediakan di dalam hati kita yang suci dan budi yang murni kediaman dan tempat tinggal bagi Dia, Tuhan Allah Yang Mahakuasa, Bapa dan Putera dan Roh Kudus, … [AngTBul XXII:27].
Kebaikan Allah. Mengenai kebaikan Allah, Fransiskus antara lain menulis dalam ‘Uraian Doa Bapa Kami’ : “… karena Engkaulah yang paling baik, ya Tuhan. Engkau baik untuk selamanya, Engkaulah asal segala yang baik, tanpa Engkau tidak ada yang baik satu pun” [UrBap 2]. Kebaikan Allah yang dilimpah-limpahkan ini memuncak pada diri manusia, untuk hal mana Fransiskus mengatakan: “Ingatlah, hai manusia, betapa unggulnya kedudukan yang diberikan Tuhan Allah kepadamu: Ia telah menciptakan dan membentuk engkau sesuai dengan gambar Putera-Nya yang terkasih menurut badan, dan sesuai dengan keserupaan-Nya menurut roh” [Pth V:1]. Namun sayangnya, keagungan kita seringkali tak sampai terlihat oleh kita sendiri. Tempat yang diberikan privilese sebagai tempat kehadiran Trinitas dengan demikian bukanlah sebuah kenisah yang terbuat dari batu marmer dan emas (orang-orang kafirpun mempunyai kuil-kuil seperti itu), melainkan ‘hati’ kita sendiri, hati para pendosa. Ingatlah Yesus yang bersabda kepada Zakheus: “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu” [Luk 19:5]. Tragedi pada zaman kita adalah bahwa kita kehilangan rasa kemuliaan dan martabat kita.
Fransiskus (juga Santa Klara) melihat bahwa Allah Tritunggal sungguh-sungguh merupakan kebahagiaan puncak dan tidak ada lagi kebahagiaan lainnya. Kenyataan bahwa Fransiskus mengawali dan mengakhiri Peraturan Hidupnya masing-masing dengan sebuah doa kepada Allah Tritunggal bukanlah disebabkan kecerdasannya di bidang sastra [lihat AngTBul Mukadimah:1 dan AngTBul XXIV:5 yang sudah dikutip di muka].
Sebuah Doa Santo Fransiskus
Berikut ini adalah sebuah doa Fransiskus yang menurut Michael Hubaut OFM merupakan doa yang paling indah dari doa-doanya yang sempat diwariskan secara tertulis. Ia juga menambahkan, bahwa mungkin doa ini merupakan salah satu karya agung (masterpiece) abad ke-13 di bidang tulisan kerohanian. Doa ini memang merupakan ringkasan hidup spiritual Bapak Serafik kita yang patut dikagumi [MH, hal. 14]:
“Allah yang Mahakuasa, kekal, adil dan berbelaskasihan, perkenankanlah kami yang malang ini, demi Engkau sendiri, melakukan apa yang setahu kami Engkau kehendaki, dan selalu menghendaki apa yang berkenan kepada-Mu, agar setelah batin kami dimurnikan dan diterangi serta dikobarkan oleh api Roh Kudus, kami mampu mengikuti jejak Putera-Mu yang terkasih, Tuhan kami Yesus Kristus, dan berkat rahmat-Mu semata-mata sampai kepada-Mu, Yang Mahatinggi, Engkau yang dalam tritunggal yang sempurna dan dalam keesaan yang sederhana, hidup dan memerintah serta dimuliakan, Allah Yang Mahakuasa sepanjang segala masa. Amin” [SurOr 50-52].
Dalam doa ini Fransiskus berdoa kepada Bapa, yang berada di pusat Trinitas, Awal dari segala kegiatan, kepada Siapa segala sesuatu kembali. Fransiskus bersembah sujud di hadapan kemahakuasaan yang kekal dari Allah. Dia sungguh menyadari bahwa manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan. Meskipun manusia adalah mahkota ciptaan karena diciptakan Allah menurut gambar dan rupa-Nya, manusia tetaplah terbatas. Dengan mengandalkan kekuatannya sendiri, manusia tidak akan pernah mampu masuk ke dalam suatu hubungan dengan Yang Mahakekal, yaitu Allah.
Hanya Allahlah – dalam belas kasihan-Nya – yang dapat menjembatani ‘jurang’ yang menganga antara Sang Pencipta dan makhluk ciptaan. Hanya Dia yang dapat mengambil inisiatif terjadinya pertemuan itu. Hanya Dialah yang dapat memulai dialog ini. Segala sesuatu yang diberikan Allah kepada kita adalah rahmat. Fransiskus hanya menginginkan satu hal saja, yaitu selalu menerima kehendak Allah yang penuh cintakasih dan diberikan kekuatan untuk melaksanakannya. Doanya di atas sekadar merupakan pernyataan sebuah hasrat untuk dilimpahi rahmat agar dapat melaksanakan apa yang dikehendaki Allah.
Bahkan, mengabulkan sebuah doa yang tidak mementingkan diri sendiri seperti itu pun adalah karya Allah melalui ketiga Pribadi Ilahi dalam Tritunggal Mahakudus. Kita harus mencatat di sini kedalaman gambaran yang diberikan oleh Fransiskus mengenai struktur trinitaris kehidupan Kristiani. Roh Kudus adalah kekuatan yang mendorong kehidupan Kristiani tersebut. Roh Kudus adalah api di dalam diri yang membersihkan, menerangi dan membakar hati manusia. Dengan caranya sendiri yang tidak rumit dan tidak perlu mengacu kepada kepelikan pemikiran dan/atau tulisan-tulisan para teolog, Fransiskus berhasil menemukan sendiri ciri utama kehidupan batin yang telah dikembangkan oleh begitu banyak teolog Kristiani yang besar sebelum dia.
Pembersihan, penerangan dan kesatuan dalam cintakasih adalah buah-buah yang hakiki dari Roh Kudus yang tahap demi tahap memimpin kita kepada hati Allah, yang adalah terang dan cintakasih. Dengan cara ini, cintakasih menjadi sebuah jalan menuju pengetahuan, dan pengetahuan memimpin kepada cintakasih. Disamping itu, menurut Fransiskus proses spiritual ini tidak berpusat pada kita, melainkan berpusat pada Kristus yang jejak langkah-Nya kita coba untuk ikuti. Kehidupan spiritual berarti mengikuti jejak langkah Yesus Kristus, Saudara kita dan Tuhan kita, yang mempunyai misi tunggal memimpin kita kepada kemegahan Allah Bapa.
Sekali lagi, pantaslah kita mengagumi wawasan mistis yang luarbiasa dari Fransiskus ini. Dalam pandangan iman yang sekilas, Fransiskus mengkontemplasikan semua tahapan kehidupan Yesus Kristus. Doanya tadi tidak berhenti pada Yesus sejarah, tetapi mencakup juga kebangkitan dan kenaikan-Nya menuju kemegahan Bapa surgawi. Mengikuti jejak Kristus tidak berhenti di Kalvari, tetapi harus terus menuju dan akhirnya sampai kepada takhta Allah Bapa. Cita-cita kehidupan Kristiani adalah mencapai – melalui rahmat yang diberikan dengan bebas – inti kehidupan Allah dalam Tritunggal yang sempurna dan Keesaan yang sederhana.
Doa ini tidak panjang tetapi membuat sebuah ikhtisar dari keseluruhan spiritualitas Fransiskan, yaitu membuka diri kepada Roh Kudus agar mampu mengikuti jejak Kristus, sehingga dengan demikian dapat mencapai Kerajaan Bapa. Roh Kudus adalah nafas yang memberi kehidupan, Dialah yang menerangi iman-kepercayaan, Dialah api cintakasih yang kita perlukan untuk usaha ini. Kristus adalah jalan yang harus kita ikuti dan Bapa adalah tujuan akhir. Bukankah ini yang dimaksud dengan kesucian Kristiani? Biarlah kita selalu mengingat betapa Santo Fransiskus menggarisbawahi pentingnya rahmat yang diterima dalam doa karena tanpa rahmat itu ‘perjalanan balik’ kepada Allah tidak akan dimungkinkan.
Cilandak, 26 Mei 2010 [Peringatan Santo Filipus Neri]
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Regis J. Amstrong, OFMCap. & Ignatius C. Brady, OFM (Preface by John Vaughn, OFM), FRANCIS AND CLARE – THE COMPLETE WORKS, Bangalore, India: Franciscan Institute of Spirituality India (FISI), Peace Publications No. 4, 1992. [RAIB]
2. Santo Bonaventura, RIWAYAT HIDUP ST. FRANSISKUS – KISAH BESAR (Terjemahan Pater Y. Wahyosudibyo, OFM), Jakarta: Sekafi, 1990. [LegMaj]
3. St. Bonaventure, THE LIFE OF ST. FRANCIS OF ASSISI (From The Legenda Sancti Francisci – Edited, with a Preface, by Cardinal Manning), Rockford, Illinois: Tan Books and Publishers, Inc., 1867/1925/1988. [LegMaj]
4. Thomas dari Celano, ST. FRANSISKUS DARI ASISI (Riwayat Hidup yang Pertama & Riwayat Hidup yang Kedua (sebagian) –terjemahan P.J. Wahjasudibja OFM), Jakarta: Sekafi, 1981. [1Cel; 2Cel]
5. Thomas of Celano, SAINT FRANCIS OF ASSISI (First and Second Life of St. Francis with selections from The Treatise on the Miracles of Blessed Francis – Translated from the Latin with introduction and footnotes by Placid Hermann, OFM), Chicago, Illinois: Franciscan Herald Press, 1988. [1Cel; 2Cel]
6. Hilarin Felder OFMCap., THE IDEALS OF ST. FRANCIS OF ASSISI (translated from the German original by Berchmans Bittle OFMCap.), Chicago, Illinois: Franciscan Herald Press, 1925 (800th anniversary edition, 1982). [HF]
7. Bonaventure Hinwood OFM, SAINT FRANCIS AND GOD, The Cord Volume 37, No.1, January 1987, St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute, St. Bonaventure University, hal.3-21. [BH]
8. Michael Hubaut OFM, CHRIST, OUR JOY: Learning to Pray with St. Francis and St. Clare (translated from the French original by Paul Barrett OFMCap.), Greyfriars Review Volume 9 1995 Supplement, Bonaventure, New York: Franciscan Institute, St. Bonaventure University, 1995. [MH]
9. Frans Indrapradja OFS, FRANSISKUS DAN TRITUNGGAL MAHAKUDUS, Memorandum Minister OFS Persaudaraan St. Ludovikus IX, Jakarta No. Min/08/1998 tanggal 7 Juni 1998 (Hari Raya Tritunggal Mahakudus). [FXI]
10. Leo Laba Ladjar OFM (Penerjemah, Pemberi Pengantar dan Catatan), KARYA-KARYA FRANSISKUS DARI ASISI, Jakarta: Sekafi, 2001 (cetakan pertama setelah pembaruan tahun 2001). [LLL]
11. Thaddée Matura OFM, FRANCIS OF ASSISI: THE MESSAGE IN HIS WRITINGS (translated from the French by Paul Barrett OFMCap.), St. Bonaventure, New York: Franciscan Institute Publications, St. Bonaventure University, 1997. [TM]
12. Peter Schneible OFM, VIRGIN MADE CHURCH: HOLY SPIRIT, MARY, AND THE PORTIUNCULA IN FRANCISCAN PRAYER, The Cord, Vol. 44, No. 9, September 1994, St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute, St. Bonaventure University, hal. 250-256. [PS]