Santo Fransiskus, mendesak semua orang terlebih-lebih kepada cinta kasih, memperingatkan mereka untuk saling menunjukkan – yang seorang kepada yang lain – keramah-tamahan dan persahabatan suatu kehidupan keluarga, “Aku berkeinginan,” katanya, “para saudaraku akan menunjukkan diri mereka sebagai anak-anak dari ibu yang sama” (2Cel 180)
Panggilan untuk menjadi seorang Fransiskan – apakah itu Ordo I, II, III Regular atau Sekular – selalu mengandung panggilan untuk menjadi bagian dari sebuah komunitas dalam keseluruhan keluarga besar Fransiskan. Dalam keluarga besar Fransiskan, khususnya jelas di kalangan Ordo III Sekular – yang dikenal sebagai Ordo Fransiskan Sekular (OFS) – komunitas termaksud dinamakan “persaudaraan” atau fraternitas dalam bahasa Latin-nya. Melalui sebuah persaudaraanlah panggilan kita untuk menjalani hidup kerasulan sebagai seorang Fransiskan sekular itu dipelihara, diasah dan didukung. Pada kenyataannya memang persaudaraan merupakan sebuah unsur integral dari cara hidup Fransiskan. Kita berhubungan satu dengan lainnya sebagai saudara dan saudari dari sebuah keluarga yang sama: saling mengasihi, saling melayani dan saling mendukung dalam pelayanan untuk Yesus dan Gereja-Nya. Mari sekarang kita lihat contoh dari hidup Bapak Serafik kita.
Hidup Persaudaraan seperti dicontohkan Santo Fransiskus dari Assisi dan para saudara dina awal
Bagi Fransiskus, salah satu kata terpenting dalam kamusnya adalah “saudara-saudari.” Bagi dia juga tidak ada perbedaan antara pribadi manusia yang muda dan tua, miskin dan kaya, laki-laki dan perempuan, terpelajar dan tidak terpelajar. Semua adalah saudara-saudari, baik mereka yang Kristiani maupun beriman kepercayaan lain, baik yang baik maupun jahat, baik kawan maupun lawan, bahkan hewan-hewan dan segenap ciptaan menjadi saudara-saudari bagi Fransiskus. Pandangan Fransiskus ini tidaklah biasa pada masa hidupnya, bahkan sampai sekarang pun terkadang masih terasa “aneh” di telinga orang dunia yang “normal.”
Bagi Fransiskus, persaudaraan dalam keluarga besar Fransiskan haruslah berdasarkan ketaatan dan cinta kasih.[1] Ketaatan adalah persaudaraan, persaudaraan adalah cinta kasih. Semua berarti hal yang sama. Dalam persaudaraan, setiap orang mesti mendengar dan memberi telinga kepada saudara atau saudarinya yang menceritakan pengalamannya, keterbukaannya, pengharapannya dan permasalahannya. Saudara atau saudari yang memberi telinganya kepada orang lain harus mengampuni kesalahan sesama. Jika ada seorang saudara atau saudari yang sakit, maka saudara atau saudarinya yang lain mesti merawatnya sama seperti seorang ibu merawat anaknya yang sakit. Jika seorang saudara atau saudari berada dalam situasi krisis, maka dia pun jangan takut untuk menyatakan situasinya kepada saudara atau saudarinya yang lain. Setiap saudara atau saudari mesti menerima sesama dengan penuh cinta kasih, tanpa prasangka. Dengan demikian dia “mentaati” sesama dan ketaatan itu menjadi pokok dan dasar persaudaraan. Dari pelbagai buku klasik yang menceritakan riwayat hidupnya, Fransiskus sendiri memang nyata menjadi contoh sempurna dari ketaatan itu.
Mengenai pandangan dan sikap Fransiskus terhadap hidup persaudaraan ini, Beato Thomas dari Celano menulis:
Santo Fransiskus, mendesak semua orang terlebih-lebih kepada cinta kasih, memperingatkan mereka untuk saling menunjukkan – yang seorang kepada yang lain – keramah-tamahan dan persahabatan suatu kehidupan keluarga, “Aku berkeinginan,” katanya, “para saudaraku akan menunjukkan diri mereka sebagai anak-anak dari ibu yang sama” (2Cel 180) [2]
Mari sekarang kita lihat apa yang ditulis Fransiskus dalam “Peraturan Hidup” yang dibuatnya untuk para saudara dina:
“Di mana pun saudara-saudara berada dan bertemu, hendaklah mereka menunjukkan bahwa mereka satu sama lain merupakan saudara sekeluarga. Maka yang satu hendaknya dengan leluasa menyatakan kebutuhannya kepada yang lain; karena jika seorang ibu mengasuh dan mengasihi anaknya yang badani, betapa lebih saksama lagi seorang saudara harus mengasihi dan mengasuh saudaranya yang rohani. Jika ada saudara yang tertinggal karena sakit, maka saudara lainnya harus melayaninya, sebagaimana mereka sendiri ingin dilayani” (AngBul VI:7-9).
Thomas dari Celano juga dengan indahnya menggambarkan hidup persaudaraan para pengikut Fransiskus awal dan buah-buah yang dihasilkannya:
“Banyak dari antara rakyat, bangsawan dan orang biasa, rohaniwan dan awam, berkat ilham ilahi mulai menggabungkan diri dengan Santo Fransiskus, karena ingin menjadi ksatria Kristus untuk selama-lamanya di bawah pimpinan dan bimbingannya … Memang di atas dasar yang kokoh itulah berdiri bangunan cinta kasih dari batu-batu hidup, yang terkumpul dari segala penjuru dunia dan yang disusun menjadi kediaman Roh Kudus. Betapa hebatnya murid-murid Kristus yang baru itu berkobar-kobar karena cinta kasih. Betapa besarnya cinta kepada persekutuan suci itu hidup dalam hati mereka! Sebab bila mereka berpapasan di mana saja atau seperti lazimnya saling berjumpa di jalan, maka terlepaslah anak panah cinta kasih ke atas, yang di atas segala kecenderungan hati kodrati menaburkan benih cinta kasih yang sejati.” [3]
Pelbagai kesaksian dari para Fransiskan maupun non-Fransiskan pada abad 12-13 cukup sepakat dalam evaluasi mereka atas peri kehidupan para Fransiskan awal. Dikatakan oleh mereka bahwa fraternitas para saudara dina “menerobos struktur-struktur kelas yang dijadikan alat oleh suatu mentalitas feodal dan abad pertengahan.” [4] Persaudaraan (fraternitas) seperti dipraktekkan secara unik oleh para saudara dina awal merupakan sesuatu yang sungguh baru dalam konteks konsepsi piramidal yang mencirikan jaman pada waktu gerakan Fransiskan itu muncul.
Pada titik ini pentinglah bagi kita masing-masing untuk bertanya dari manakah kiranya Fransiskus memperoleh ilham untuk sampai kepada penghayatan arti fraternitas yang sebegitu uniknya? Dalam kesempatan hari ini marilah kita membahas pokok ini secara singkat saja. Paling sedikit kita harus dapat sampai kepada jawaban atas pertanyaan tersebut. Tentunya sebuah jawaban yang dapat dipertanggung-jawabkan dengan baik.
Karena Allah: Perintah untuk saling mengasihi
Menurut Pater Gerald Lobo OFM, [5] untuk menjawab pertanyaan tentang fraternitas di atas janganlah kita mengacu kepada sosiologi atau psikologi, tetapi mencarinya di dalam teologi atau dalam pewahyuan. Titik tolaknya adalah Penjelmaan (Inkarnasi) Allah: Firman menjadi manusia! Kasih Allah sendiri. Kasih Allah inilah yang menjadi fundamen hidup persaudaraan. Kita dapat menamakannya dinamika relasional yang terdiri dari pemahaman bersama, kesiapan untuk saling membantu, menaruh perhatian pada hidup saudara-saudari yang lain, syering pelbagai suka cita dan kesedihan serta kesusahan, dukungan yang sejati dan sumbangan terbaik yang dapat dibuat oleh masing-masing anggota persaudaraan.
Kekaguman penuh pesona yang sedemikian hebatnya dari Fransiskus kepada Allah adalah suatu karakteristik luarbiasa dari keseluruhan visinya tentang kehidupan. Fransiskus yakin bahwa Allah telah memberikan dan terus memberikan kepada kita kehidupan dan eksistensi. Dan Allah telah melakukan dan masih melakukan semua yang baik bagi kita (lihat AngTBul XVII:5). Perwujudan yang unik dari kasih ini adalah penjelmaan, penebusan dan kedatangan Kristus untuk kedua kalinya kelak (lihat AngTBul XXIII:3-4). Pater Gerry Lobo mengatakan bahwa inilah fundamen alkitabiah-teologis dari persaudaraan dan motif untuk kasih persaudaraan, yakni karena Allah mengasihi kita, karena Allah yang adalah kasih.
Perintah Kristus kepada para murid-Nya untuk saling mengasihi (Yoh 15:12) memberikan kepada kita semua para Fransiskan tambahan insentif untuk saling mengasihi sebagai saudara dan saudari. Perintah yang diberikan oleh Kristus kepada kita adalah “jalan” yang dijalani-Nya sendiri untuk menunjukkan betapa besar kasih Allah kepada kita (Yoh 14:3) dan agar kita dapat mempunyai hidup secara berkelimpahan (Yoh 10:10). Perintah untuk mengasihi yang sama adalah cara bagaimana para murid Kristus seharusnya menjalin hubungannya dengan Allah dan dengan sesama. Ini adalah sebuah misi yang perlu diaktualisasikan setiap hari dalam ikatan persaudaraan.
Kehidupan Kristus di bumi ini, bahkan sampai kematian-Nya merupakan suatu tanda yang jelas tentang kasih Bapa surgawi kepada-Nya dan suatu tanda pelayanan Kristus bagi para saudara dan saudari-Nya. Dengan demikian hidup persaudaraan dari para saudara dan saudari OFS merupakan sebuah realisasi hidup-kasih yang dijalani Yesus sendiri. Hal ini memerlukan pengungkapan-pengungkapan konkret, tidak sekedar kata-kata dan perasaan-perasaan yang enak. Jadi sebenarnya sebuah persaudaraan dibentuk untuk memberikan hidup kepada orang-orang lain.
Dinamika Persaudaraan
Dalam kesetiaannya terhadap perintah Kristus, Fransiskus mencari jalan-jalan (cara-cara) tertentu untuk mewujudkan relasi-relasi persaudaraan seperti diungkapkannya dalam Anggaran Tanpa Bulla:
“Cinta kasih antara mereka itu haruslah mereka nyatakan dengan perbuatan, sesuai dengan kata rasul: Marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran. Janganlah mereka memfitnah seorang pun; janganlah mereka bersungut-sungut dan mengumpat orang lain karena ada tertulis: Para pengumpat dan pemfitnah dibenci oleh Allah. Lagi pula hendaklah mereka dengan sopan dan bersikap lemah lembut terhadap semua orang; janganlah mereka menghakimi dan menghukum. Dan lagi, sesuai dengan firman Tuhan, janganlah mereka melihat dosa orang lain yang kecil, tetapi lebih-lebih hendaklah mereka merenungkan dosanya sendiri dengan hati yang pahit pedih. Mereka harus berlomba-lomba untuk masuk melalui pintu yang sesak, sebab Tuhan berfirman: Sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan; dan sedikitlah orang yang mendapatinya” (AngTBul XI:6-13).
Pater Gerry Lobo juga membuat daftar singkat yang berisikan beberapa unsur yang paling hakiki dari persaudaraan Fransiskan. Berikut ini adalah terjemahan bebas dan sedikit saduran dari saya:
- Cinta kasih yang diungkapkan dalam tindakan (Love in action). Pelayanan yang diberikan seorang anggota persaudaraan kepada para saudara dan saudarinya mengambil contoh tindakan Yesus, yang pada waktu perjamuan terakhir membasuh kaki para murid-Nya (Yoh 13:1 dsj). Oleh karena itu Ekaristi adalah cinta kasih yang diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan dalam kehidupan sehari-hari.
- Keakraban (Familiarity). Keakraban di antara para saudara dan saudari “merupakan suatu cara yang sangat konkrit dalam mewujudkan gambaran ideal Perjanjian Baru tentang rumah dan keluarga Allah, sebagai sebuah komunitas para putera dan puteri Bapa surgawi. Kita menjadi anak-anak-Nya karena Putera dari Bapa itu telah menjadi saudara kita.”[6] Keakraban termaksud dapat kita lihat dalam pertemuan-pertemuan para anggota persaudaraan: tidak perlu dilakukan perkenalan karena kita sudah saling mengenal, yakni mengenai latar belakangnya, hal-hal yang diminatinya, kelemahan-kelemahannya, kekuatan-kekuatannya, suka citanya, kesusahan-kesusahannya. Dalam keakraban ini orang-orang asing menjadi teman-teman.
- Mutualitas (Mutuality). Ini adalah soal “give and take”, saling percaya dan atas pertimbangan bahwa setiap anggota persaudaraan adalah sama-sederajat (equal). Di sini tidak ada tempat untuk memperlakukan seorang lain sebagai obyek curahan cinta kasih kita. Sebaliknya pihak lain itu adalah mitra atau partner yang memiliki hak-hak yang sama. Mutualitas berarti tidak dengan sembrono ikut campur urusan orang lain. Mutualitas menuntut dari para anggota persaudaraan suatu sikap moral yang fundamental dalam hal hormat terhadap para saudara dan saudari yang lain.
- Membiarkan diri dilayani orang lain (Letting be Administered). Di sini membuat kebutuhan-kebutuhannya, apakah kebutuhan fisik, psikologis atau spiritual diketahui oleh orang lain (saling membuka diri). Untuk terbuka kepada orang lain diperlukan kerendahan hati. Namun begitu melakukannya, orang bersangkutan itu pun akan melihat dirinya dibebaskan/dimerdekakan. Ini bukanlah interaksi antara majikan dan pegawai. Di sini anda memperkenankan orang-orang lain untuk melayanimu, untuk mengarahkanmu dalam menapak tilas jalan kehidupanmu. Seringkali dalam hal sedemikian kita gagal karena kerendahan hati merupakan keutamaan yang sangat mahal bagi kita!
- Perhatian atas saudara dan saudari yang sakit (Care of the Sick). Fransiskus dan Klara sangat sadar akan sikap dan kewajiban mereka terhadap saudara dan saudari yang menderita sakit-penyakit dalam persaudaraan-persaudaraan mereka. AngTBul X, AngBul IV:2, “Nyanyian Fransiskus untuk membesarkan hati wanita-wanita miskin di San Damiano (NyaFran)”, Pth XXIV dan “Kidmat”, khususnya ayat 10-11; semua ini merupakan indikasi bagi kita semua betapa penuh perhatian Fransiskus atas mereka yang menderita sakit-penyakit. Fransiskus dan Klara sangat memahami bahwa orang sakit membutuhkan pertolongan dan perhatian yang lebih daripada orang-orang yang sehat waalfiat. Jadi di sini ada “perlakuan yang tidak sama” (unequal treatment)[7] terhadap mereka yang sakit, agar supaya tercapai “persamaan” (equality) untuk semuanya, baik sakit maupun sehat. Mereka yang sakit tidak boleh dipertimbangkan sebagai beban, karena pikiran dan sikap seperti itu bertentangan dengan pikiran dan sikap Kristus.
- Sikap dari orang sakit atau sehat (Attitude of the sick or healthy). Yang patut kita camkan adalah bahwa Allah-lah yang penting dalam apa saja yang kita lakukan, atau dalam kondisi macam apa pun kita yang kita alami/hadapi. Ketaatan kepada Allah dalam segala situasi kehidupan, itulah yang penting. Dengan kata lain, penderitaan karena sakit, kalau diterima dengan positif, akan membawa si penderita kepada pandangan baru mengenai kehidupan. Sakit-penyakit adalah cara Allah dalam berurusan dengan umat yang dikasihi-Nya. Kesehatan adalah anugerah Allah kepada setiap orang. Dalam kondisi sehat pun kita harus melakukan discernment mengenai kehendak Allah atas diri kita dan melakukan apa yang diwahyukan-Nya kepada kita. Dalam setiap keadaan, yang utama adalah Allah sendiri. Baca dan renungkanlah “Doa dan ucapan syukur” yang terdapat dalam “Peraturan Hidup” para saudara dina (AngTBul XXIII).
- Sikap penuh syukur (Gratitudinal Attitude). Di atas segalanya, persaudaraan Fransiskan dibentuk dengan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Allah mengasihi kita dan kita pun mengasihi-Nya dalam sikap dan tindakan saling mengasihi dengan sesama. Sikap penuh syukur melupakan hal-hal yang tidak hakiki dalam hidup ini, dan hanya berkonsentrasi pada Allah yang adalah Baik, segala kebaikan, seluruhnya baik. Dia adalah sumber dari hidup persaudaraan karena Dia adalah Pencipta dan Bapa dari para saudara dan saudari yang berkumpul bersama untuk hidup bersama. Allah tidak hidup karena syukur dan terima kasih kita, tetapi kita pasti akan dipelihara lewat pelbagai rasa syukur yang kita panjatkan kepada-Nya.
“Hidup dalam Persaudaraan” bagi para Fransiskan sekular diatur dalam Anggaran Dasar OFS (AD OFS) Fasal III, artikel 20-26. Gambaran di atas memberikan indikasi mengapa sebuah persaudaraan lokal – di mana keakraban relasi antara para anggota dapat menjadi kenyataan – merupakan unit yang paling penting dalam kehidupan OFS. AD OFS menyatakan dengan jelas bahwa, “Persaudaraan Lokal inilah yang harus menjadi tempat khusus untuk mengembangkan kesadaran menggereja dan panggilan Fransiskan, serta tempat penjiwaan hidup rasuli para anggotanya.”[8] Seseorang masuk ke dalam OFS lewat penerimaannya ke dalam sebuah persaudaraan lokal dan keanggotaannya dalam OFS akan berkelanjutan di dalam persaudaraan lokal itu, meskipun tidak ditutup kemungkinan baginya untuk – pada suatu saat tertentu – pindah ke sebuah persaudaraan lokal yang lain.
Sebuah persaudaraan lokal OFS adalah tempat di mana para Fransiskan sekular belajar menerima dan bekerja satu sama lain, yang saling berbeda dalam hal kepribadian dan talenta. Dari fondasi hidup komunitas inilah para Fransiskan sekular pergi ke luar menemui semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, sebagai anugerah dari Allah, sebagai gambaran Putera-Nya. Para Fransiskan sekular belajar terus merangkul dengan penuh suka cita mereka yang dinilai sebagai “yang terkecil dari saudara-saudara-Nya,” mereka yang seringkali “ditinggalkan/disingkirkan” oleh masyarakat.
Sebuah persaudaraan lokal OFS, karena para anggotanya tinggal di tempat yang berbeda-beda, sering datang berkumpul bersama untuk mengembangkan sebuah hubungan/relasi pribadi yang erat dan ikatan spiritual/rohaniah satu sama lain. Dengan demikian pertemuan sekali sebulan dinilai sebagai suatu persyaratan minimal. Dalam pertemuan-pertemuan sedemikian mereka saling syering komitmen kerasulan mereka masing-masing sebagai para pengikut Santo Fransiskus, melalui doa bersama, pengajaran, dialog dan keterlibatan pribadi dalam pemenuhan pelbagai kebutuhan para saudara-saudari. Semua anggota persaudaraan seyogianya menyumbangkan energi-energi yang mereka miliki dalam bekerja sama dengan Dewan untuk membuat setiap pertemuan komunitas menjadi sebuah pengalaman pertumbuhan dalam semangat Santo Fransiskus. Tidak seorang pun boleh pasif dalam hidup berkomunitas.
Persaudaraan-persaudaraan lokal OFS membentuk sebuah persaudaraan regional sebagai sebuah “union” dari persaudaraan-persaudaraan lokal tersebut. Kemudian persaudaraan-persaudaraan regional bersatu dalam persaudaraan nasional. Persaudaraan-persaudaraan nasional di seluruh dunia pada gilirannya membentuk OFS secara keseluruhan atau persaudaraan internasional. Seorang anggota OFS memberikan dukungan keuangan kepada persaudaraan lokalnya; kemudian masing-masing persaudaraan mendukung persaudaraan yang berada di atasnya.
Persaudaraan-persaudaraan lokal OFS berfungsi bersama-sama satu dengan lainnya dalam kesatuan pelayanan bagi Gereja. Di samping itu persaudaraan-persaudaraan lokal itu melibatkan diri dengan bagian-bagian lain dari keluarga besar Fransiskan untuk memperlihatkan suatu kharisma bersama. Agar dapat menjadi alat-alat efektif dari semangat Santo Fransiskus, kita harus menjadi suatu tanda yang jelas bagi Gereja perihal hidup Injili yang otentik, prinsip persaudaraan universal dan kerahiman kekal dari Bapa surgawi kita. Para Fransiskan sekular – seperti juga para anggota keluarga besar Fransiskan lainnya – harus terlihat pada arus utama (main stream) kehidupan Gereja, teristimewa pada tingkat komunitas paroki. Untuk pertumbuhan rohani sebagai sebuah komunitas, maka masing-masing persaudaraan lokal OFS dibantu oleh seorang religius Fransiskan sebagai pendamping rohani.
Dengan demikian komunitas OFS memiliki banyak dimensi, dari dimensi pribadi sampai kepada dimensi struktural, dari tingkat lokal sampai kepada tingkat dunia. Komunitas ini merupakan basis dan kekuatan OFS sebagai sebuah tanda keselamatan. Adalah tanggung jawab masing-masing anggota OFS untuk (1) menolak setiap bentuk isolasionisme dan (2) mempromosikan (mendorong kemajuan) persaudaraan OFS.
Tentang persaudaraan lokal, AD OFS Fasal III Artikel 22 mengatakan sebagai berikut:
Localis fraternitas canonice erigenda est, sieque fit prima totius Ordinis cellula signumque Ecclesiae visibile, quae dilectionis communitas est. Haec autem locus privilegiatus esse debet ad ecclesialem sensum evolvendum franciscanamque voccationem, necnon ad apostolicam vitam suorum membrorum animandam (LATIN).
The local fraternity is to be established canonically. It becomes the basic unit of the whole Order and a visible sign of the Church, the community of love. This should be the privileged place for developing a sense of Church and the Franciscan vocation and for enlivening the apostolic life of its members (INGGRIS).
Suatu persaudaraan lokal harus didirikan sesuai dengan ketentuan Hukum Gereja; dengan demikian, ia menjadi unsur dasar dari seluruh Ordo dan tanda kelihatan dari Gereja, yang adalah komunitas (persekutuan) cinta kasih. Persaudaraan lokal inilah yang harus menjadi tempat khusus untuk mengembangkan kesadaran menggereja dan panggilan Fransiskan, serta tempat penjiwaan hidup rasuli para anggotanya (INDONESIA).
Sesungguhnya, suatu persaudaraan lokal adalah organisme hidup mendasar dari keseluruhan OFS dan juga suatu tanda kelihatan dari Gereja. Dengan demikian awal berdirinya dan perkembangannya dibimbing oleh wewenang Gereja. Mengapa? Karena persaudaraan lokal itu adalah pusat dari pertumbuhan spiritual, kegiatan-kegiatan kerasulan yang bersifat keluar, dan persatuan cinta kasih di antara para anggotanya. AD OFS Fasal III Artikel 22 ini mengingatkan para anggota OFS untuk saling berelasi satu sama lain secara lebih personal dan lebih intens, sambil menekankan pentingnya tali hubungan dengan uskup setempat.
Catatan Penutup
Sebagai catatan penutup, baiklah saya sampaikan bahwa sebuah persaudaraan Fransiskan bukanlah sekedar sebuah organisasi biasa. Lagi pula persaudaraan yang kita idam-idamkan tidaklah terjadi secara kebetulan. Persaudaraan Fransiskan yang guyub – penuh kasih antar-anggotanya itu diciptakan dan diperbaharui secara terus-menerus oleh para Fransiskan sendiri, apakah mereka anggota Ordo I, Ordo II, Ordo III Regular ataupun Sekular.
Bacaan Kitab Suci untuk direnungkan secara pribadi maupun dalam kelompok untuk satu bulan mendatang:
- Yoh 17:20-21 (doa Yesus untuk para murid-Nya)
- Rm 15:5-6 (doa Paulus bagi persaudaraan Kristiani)
- Gal 6:1-10 (nasihat Paulus bagi kita untuk saling membantu)
- Kis 2:42 (kumpul-kumpulnya orang Kristiani)
- Mat 25:31-46 (yang terkecil dari para saudara-Ku)
- Rm 12:9-21 (cinta kasih persaudaraan)
- 1Kor 13:1-13 (kesempurnaan cinta kasih)
- Ef 2:11-22 (dipersatukan dalam Kristus)
- 1Ptr 4:7-11 (hidup orang Kristiani)
- Flp 2:1-11 (bersatu dan merendahkan diri seperti Kristus)
- Ambilllah salah satu bacaan Kitab Suci di atas sebagai bahan untuk disyeringkan dalam kelompok. Catatan: Syering harus bersifat sukarela!
- Sumbangan-sumbangan (kontribusi-kontribusi) apa yang Saudara-saudari telah mampu berikan dalam rangka pengembangan semangat “kekeluargaan” dalam persaudaraan OFS?
- Apakah pengalaman Saudara-saudari selama ini dengan persaudaraan OFS sesuai dengan harapan-harapan anda? Apa saja kekurangan-kekurangan yang anda rasakan?
- Sampai berapa jauh Saudara-saudari telah menjadi familiar dengan karya kerasulan yang dilakukan oleh saudara-saudari lainnya dalam persaudaraan OFS kita?
DEUS MEUS ET OMNIA
*) Disusun oleh Sdr. F.X. Indrapradja OFS untuk digunakan sebagai bahan pembinaan para postulan OFS Persaudaraan S. Thomas More, Jakarta Selatan. Atas permintaan Sdr. Paulus Kokong OFS, bahan ini untuk pertama kalinya digunakan dalam pertemuan OFS Persaudaraan Santo Thomas More, Jakarta Selatan, hari Minggu tanggal 26 Juni 2005 di Aula S.D. Charitas, Pondok Labu, Jakarta Selatan. Pada kesempatan kali ini telah dilakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan. Tulisan ini tidak boleh dinilai sebagai sebuah tulisan yang komprehensif tentang “Persaudaraan Fransiskan”. Adalah tugas kita semua untuk mengembangkannya lebih lanjut. Dalam pembinaan para postulan OFS, tulisan ini harus digunakan bersama dengan tulisan berkode POSTULAN/OFS/S. THOMAS MORE/2008/08 dengan judul “Hidup Bersama dalam Persaudaraan”, juga dengan tulisan berkode POSTULAN/OFS/S. THOMAS MORE/2008/9 dengan judul “Dalam Kristus semua Orang adalah Saudara dan Saudari”. Perbaikan terakhir: Hari Peringatan Santo Karolus Borromeus, 4 November 2008.
[1] Uraian dalam alinea ini bersumber pada P. Polykarp Geiger OFMCap., “Kursus Spiritualitas Fransiskan,” Sibolga: 1991, hal. 120 dsj.
[2] Terjemahan bebas saya dari teks berbahasa Inggris. Untuk pendalaman tentang hidup persaudaraan Fransiskus dan para saudara dina, harap baca juga 1Cel 42-44 (hal. 27-28 dalam terjemahan Bahasa Indonesia oleh Pater Wahjasudibja, OFM); 2Cel 18-19 (hal. 119-120 dalam terjemahan Bahasa Indonesia); 2Cel 39; 2Cel 172-177 dan 3Cel 57-60. Tiga bacaan yang disebutkan paling akhir belum diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
[3] 1Cel 37-38 (hal. 24-25 dalam terjemahan Bahasa Indonesia oleh Pater Wahjasudibja OFM).
[4] Kajetan Esser OFM, “Origins of the Franciscan Order,” Chicago: Franciscan Herald Press, 1970, hal. 241.
[5] Gerry Lobo OFM, “Fraternity: The Home of Franciscan Sisters and Brothers,” dalam majalah TAU, Volume XIX No.2, June 1994, hal. 34-39.
[6] Pater Gerry Lobo mengambil pokok keakraban ini berdasar tulisan E. Schefer, “The Value of the Franciscan Rule Today,” dalam I. Brady (Ed.), “The Marrow of the Gospel,”, Chicago: Franciscan Herald Press, 1958.
[7] Dalam arti “lebih diperhatikan.”
[8] AD OFS Fasal III, artikel 22 (catatan kaki: “Wejangan” kepada kaum Tersiaris oleh Paus Pius XII, tanggal 1 Juli 1956 [tidak ada dalam Bahasa Indonesia]).