Bagaimana caranya kita berdoa “Jalan Salib”? Ada banyak cara berdoa “Jalan Salib”. Dalam masa Prapaskah, gereja-gereja paroki dipenuhi oleh umat yang mendoakannya sebagai sebuah komunitas, khususnya pada setiap hari Jumat. Memang penderitaan sengsara cenderung untuk memisahkan dan mengisolasikan diri kita, namun kalau kita memperingati penderitaan sengsara Yesus sebagai sebuah komunitas, maka hal tersebut cenderung untuk mengikat kita bersama, membuat kita lebih menjadi satu dengan Dia dan antara kita satu sama lain. Bukankah perasaan “ke kita-an” (Inggris: We-ness) atau “kebersamaan” (Inggris: togetherness) sangat terasa ketika kita sebagai serombongan peziarah bersama-sama berdoa “Jalan Salib”, di jalan yang mendaki menuju Gua Maria, dari perhentian yang satu ke perhentian yang lain?
Kita juga dapat mendoakan “Jalan Salib” secara pribadi, baik di gereja, rumah, di halaman rumah retret maupun dalam ziarah perorangan di tempat ziarah. Tentunya mendoakan “Jalan Salib” secara pribadi ini terlebih-lebih merupakan suatu meditasi dalam keheningan. Mendoakan “Jalan Salib” seperti ini dapat secara mendalam membuat kita mendapatkan pengalaman yang intim/akrab, memberikan kepada kita perasaan seakan sedang berjalan bersama Yesus menuju salib-Nya di bukit Golgota.
Berjalan dari satu perhentian ke perhentian yang lainnya pada dirinya juga merupakan suatu bentuk doa. Dalam artian tertentu, kita sedang berdoa dengan kaki-kaki kita. Terlalu sering kita berdoa hanya dengan menggunakan pikiran kita. Berjalan dari satu perhentian ke perhentian lainnya membantu kita untuk menjadikan doa kita lebih lengkap, dalam artian kita membawa tubuh kita sejalan dengan pikiran kita, serupa dengan cara yang dilakukan Yesus ketika memanggul salib-Nya menuju Golgota, dan seperti yang dipelajari oleh Santo Fransiskus dari Assisi ketika dia menerima “Stigmata”.
Mengenang dan menghidupi kembali. Pentinglah untuk kita ketahui, bahwa apabila kita berdoa “Jalan Salib”, kita sebenarnya tidak sekadar mengingat-ingat atau mengenang suatu peristiwa sejarah yang terjadi sekitar 2.000 tahun silam. Orang-orang Yahudi percaya, bahwa dengan melakukan-ulang suatu peristiwa yang terjadi di masa lampau, kiranya kita dapat berpartisipasi dalam peristiwa tersebut. Inilah yang dinamakan anamnesis, dan ini adalah dasar bagi kita untuk memahami Misa Kudus atau Perayaan Ekaristi. Pada perayaan Ekaristi, kita hadir dalam (gedung) gereja kita masing-masing, namun dalam artian tertentu dapat juga dikatakan bahwa kita pun hadir dalam “Perjamuan Terakhir” Tuhan Yesus dengan para murid-Nya sebelum sengsara dan kematian-Nya di atas kayu salib di Golgota, dan juga kebangkitan-Nya. Jadi, kita ‘melampaui’ saat kini dan secara mistis mengalami sedikit dari kekekalan-abadi.
Hal ini pula yang kita lakukan manakala kita berdoa “Jalan Salib”. Kita tidak hanya mengenang sebuah cerita lama tentang sengsara dan kematian Yesus Kristus, melainkan juga benar-benar ‘masuk’ ke dalam cerita itu. Kasih Kristus diungkapkan oleh setiap perhentian dan kasih kita kepada-Nya menjembatani kesenjangan yang ada antara apa yang terjadi sekitar 2.000 tahun lalu dengan kehidupan kita sekarang. Kita melihat Yesus jatuh di bawah salib sekali, dua kali dan tiga kali dan sungguh merasakan betapa sakitnya hal tersebut. Kita menjadi Veronika dan mencoba melayani Yesus dengan menghusap wajah-Nya dengan kain bersih yang kita miliki. Kita berdiri dengan kaki bergetar bersama Bunda Maria selagi dia menyaksikan sendiri dengan penuh kepedihan Anak-Nya yang sedang meregang nyawa dan mengucapkan tujuh kata-kata-Nya dari kayu salib. Dengan demikian, kita tidak lagi sekadar menjadi penonton. Seperti Santo Fransiskus dari Assisi, kita pun menjadi satu dengan Kristus sendiri.
Penderitaan sengsara kita. “Setiap orang yang mau mengikut Aku harus menyangkal dirinya, memikul salib-Nya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk 9:23).“Siapa saja yang tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku”(Mat 10:38).
Yesus mengatakan kepada para murid-Nya untuk memikul salib mereka masing-masing dan mengikut Dia. “Jalan Salib” memberi kesempatan kepada kita untuk melakukan hal yang sama. Kita mati terhadap diri kita sendiri manakala kita merefleksikan dosa-dosa kita dan ingat bahwa Yesus mati demi pengampunan dosa-dosa kita itu. Selagi kita mengenang penderitaan sengsara Yesus, kita juga dapat mengingat-ingat bagaimana kita telah berdosa terhadap Allah dan sesama kita, lewat pikiran, perkataan, perbuatan dan kelalaian kita.
Apabila kita mengingat bagaimana Yesus diadili/dihakimi, maka kita dapat bertanya kepada diri kita sendiri apakah kita juga pernah menghakimi orang-orang lain. Selagi kita mengenang kejatuhan Yesus sampai tiga kali, kita juga dapat mengingat-ingat saat-saat kita melihat orang-orang lain jatuh dan kita tidak berbuat apa-apa untuk membantu mereka.
Dalam “Jalan Salib” kita juga memikul salib kita dengan menggabungkan penderitaan-penderitaan kita dengan penderitaan-penderitaan Yesus. Penderitaan seringkali membuat kita merasa sedang disalibkan dan tidak ada seorang pun yang menolong diri kita. Akan tetapi, dalam “Jalan Salib” kita diingatkan siapakah yang ada pada sisi lain salib kita itu: Yesus sendiri, yang selalu ada bersama kita!
“Jalan Salib” juga dapat mendorong kita untuk memikul salib dari tantangan untuk menghayati iman-kepercayaan kita secara lebih mendalam. “Jalan Salib” menolong kita menemukan keberanian untuk menolak hal-hal buruk yang telah memisahkan kita dari kasih Allah, disalibkan terhadap dunia sehingga kita dapat memberikan diri kita sendiri kepada Allah dan sesama kita secara lebih penuh dan total. Bersama Santo Paulus kita pun dapat berkata: “Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal 2:19-20).
Akhirnya, “Jalan Salib” memberikan kepada kita kesempatan untuk mengungkapkan solidaritas kita dengan penderitaan dunia. Manakala kita berdoa “Jalan Salib” kita dapat mempraktekkan bela rasa (Inggris: Compassion = menderita bersama). Kita dapat mengambil oper penderitaan orang-orang lain juga sehingga mereka tidak perlu memikul beban penderitaan mereka sendiri lagi.
Kita pun diubah. Ada peristiwa-peristiwa tertentu dalam kehidupan kita yang mengubah kita selamanya, misalnya kematian seseorang yang sangat kita kasihi dll., kesemuanya meninggalkan bekas yang tak terhapuskan pada diri kita. “Jalan Salib” adalah seperti itu. Bagaimana kehidupan kita akan tetap sama, setelah kita mengalami kasih Yesus yang begitu mendalam? Bagaimana kita akan memandang diri kita dan dunia dengan pandangan mata yang sama, setelah kita memandang Dia yang telah disalibkan dan dihujam lambung-Nya dengan tombak tentara Romawi? Yesus telah mengasihi kita sampai mati, seperti yang telah diajarkan-Nya sendiri: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada ini, yakni seseorang memberikan nyawanya demi sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13). Dengan demikian, bagaimana kita tidak dapat dipenuhi dengan rasa syukur yang berlimpah dan ketetapan hati untuk hidup dalam kasih-Nya itu?
Catatan Penutup. Leonardo Boff, seorang teolog dan mantan imam Fransiskan dari negeri Brasil (catatan: bagi saya pribadi dia adalah seorang Fransiskan sejati), pernah menulis, bahwa penderitaan sengsara Yesus merupakan konsekuensi dari kesetiaan-Nya kepada Bapa-Nya dan sesama manusia. Dalam menghadapi tentangan dan penolakan manusia, Bapa tidak pernah kendur dalam berkehendak untuk mendirikan Kerajaan-Nya, bahkan sekarang di dunia ini, walaupun hal ini akan berakibat pada kematian Putera-Nya sendiri. Dengan keadaan dunia yang penuh dosa, maka Yesus harus mati apabila Dia sungguh ingin taat dan setia kepada Bapa-Nya. Meski pun ditolak oleh manusia, kerajaan Allah berjaya melalui pengorbanan Putera-Nya, Yesus, yang menerima diri-Nya sebagai kurban persembahan dalam kebebasan yang tidak mementingkan diri sendiri, bukannya secara fatalistik.
Pada hari ini penderitaan sengsara Kristus yang mistis, terwujud dalam kehidupan orang-orang yang dikorbankan demi maksud-tujuan keadilan, memelihara struktur yang sama seperti sengsara dari Yesus historis. Seperti juga Yesus, banyak orang pada hari ini dianiaya dan dibunuh karena membela hak-hak ‘wong cilik’ dan klaim-klaim yang adil dari orang-orang miskin. Mereka menderita karena kesetiaan mereka kepada Allah, yang minta kepada mereka untuk mengorbankan hidup mereka demi maksud-tujuan yang mulia itu. Berbagai maksud-tujuan itu lebih besar daripada kehidupan itu sendiri, karena merupakan maksud-tujuan Allah dan Kerajaan Allah. Orang-orang ini lebih memilih kemuliaan dari suatu ‘kematian yang mengerikan’ daripada suatu ‘kemerdekaan yang terkutuk’, seperti dinyatakan oleh seorang martir Kristiani dari abad ketiga.
Kebangkitan Yesus yang tersalib membuktikan bahwa pengorbanan hidup seseorang karena kasih kepada ‘wong cilik’ dan mereka yang dilecehkan bukanlah tanpa makna. Hal itu berarti ikut ambil bagian dalam kepenuhan hidup dan kemenangan definitif dari keadilan. Sang Tersalib adalah Dia yang hidup. Mereka yang tersalib hari ini juga akan hidup (Leonardo Boff, hal. ix-x).
Sumber: (1) Leonardo Boff, WAY OF THE CROSS = WAY OF JUSTICE,Maryknoll, New York: Orbis Books, 1980; (2) Matthew Bunson, “Our Sunday Visitor’s ENCYCLOPEDIA OF CATHOLIC HISTORY”, Huntington, Indiana: Our Sundary Visitor, 1995; (3) Danit Hadary-Salomon (Project Editor), “Egeria in the Holy Land” & “The Great Week – A Day Planner”, dalam “2000 YEARS OF PILGRIMAGE TO THE HOLY LAND”, Petah Tikva, Israel: Alfa Communication, 1999, hal. 38-39; (4) Michael Walsh, “DICTIONARY OF CATHOLIC DEVOTIONS”,San Francisco, California: HarperSanFrancisco, 1993, hal. 250-252; (5) Fr. Jude Winkler OFMConv., “A Look at the Stations of the Cross, the WORLD among us, Lent 2004, hal. 66-70.
Cilandak, 6 April 2011
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS