Pada awal musim semi Fransiskus diangkut dari Rieti ke Siena. Kemudian Saudara Elias memimpin dia ke Celle di Cortona, namun tidak lama kemudian Fransiskus mengalami sakit di perutnya, juga di kakinya. Dia sukar makan setelah itu. Pada awal bulan Agustus 1226 Fransiskus juga berdiam di Bagnara dan di Nocera Umbra. Pada awal bulan September , wali kota Assisi, Berlingerio Je Jacopo dari Florence, mengutus sekelompok ksatria ke Nocera untuk mohon kepada orang kudus ini untuk kembali ke Assisi agar kemuliaan kepemilikan tubuh hamba Allah ini tidak diberikan kepada orang-orang lain. Kelompok itu berhenti di Satriano, kemudian menuju istana uskup di Assisi, tetapi bapak uskup Guido II tidak berada di tempat karena sedang melakukan perjalanan ziarah ke Monte Gargano.
Beberapa hari lagi kita akan memperingati kematian dari Santo Fransiskus dari Assisi (1182-1226). Sebagai seorang Fransiskan, inilah saat-saat yang kiranya tepat untuk melakukan refleksi atas makna kematian orang kudus ini, kematian pada umumnya, dan tentunya kematian kita masing-masing.
TAHUN 1226. Sudah 20 (dua puluh) tahun berlalu sejak pertama kali Fransiskus bertekad bulat mengabdikan seluruh hidup dan kegiatannya untuk menghayati hidup seturut Injil Yesus Kristus dan mengidentifikasikan dirinya sendiri dengan Kritus, SANG TERSALIB. Persaudaraan Fransiskan diarahkan, dibentuk, diatur oleh teladan hidup orang kudus ini dan ajaran-ajarannya. Dibandingkan dengan orang-orang kudus besar lainnya, seperti Santo Augustinus dari Hippo (354-430), Santo Thomas Aquinas (1225-1274); para Fransiskan pengikutnya, seperti Santo Bonaventura (1221-1274), Beato John Dun Scotus (1265-1309), Santo Thomas More (1478-1535) dan banyak lagi yang lain (a.l. saudara kita almarhum Pater Cletus Groenen OFM), maka tulisan-tulisan Fransiskus relatif sedikit apabila dilihat dari jumlah halaman. Bahasa yang digunakan dalam tulisan-tulisannya juga bukan bahasa dari seseorang yang telah berhasil menjalani studi tinggi-tinggi. Doa-doanya yang sempat terekam dalam bentuk tulisan secara selayang pandang tidak menarik, namun merupakan cetusan hati seorang mistikus sejati. Terus terang saja: Semakin didalami, semakin terasa betapa agung isi doa-doa orang kudus ini.
Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, para saudara dina menghidupi diri mereka dengan tangan mereka, misalnya dengan membantu para petani di ladang-ladang mereka, melayani para penderita kusta, mewartakan Kabar Baik dalam bahasa setempat, mendoakan Ofisi Ilahi secara komunal sesuai dengan Ritus Roma. Keinginan mereka adalah untuk tidak memiliki apa pun, artinya secara mutlak. Tidak salahlah kalau dunia memandang mereka sebagai orang-orang bodoh. Namun ini merupakan praxis kehidupan sesuai dengan apa yang diwartakan Santo Paulus: “Pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah” (1Kor 1:18). Seringkali – dalam kelompok-kelompok kecil – mereka pergi-nyepi ke tempat-tempat terpencil yang penuh keheningan, agar dapat berkomunikasi secara lebih intim lagi dengan Allah. Misalnya, mereka pergi Carceri di Gunung Subasio, ke La Verna, ke Fontecolombo, ke Greccio, ke Alviano, ke Batu Karang Santo Urbano, ke Pantaenelli, ke Stroncone, dan ke sekitar danau Trasimene.
Kepada saudara-saudaranya (para pengikutnya segala zaman), Fransiskus mewariskan peraturan hidup atau Anggaran Dasar (baik yang belum/tidak disahkan dengan bulla kepausan [AngTBul – 1221], ataupun yang telah disahkan-resmi dengan bulla [AngBul – 1223]), ‘Petuah-petuah’ (Pth), ‘Wasiat’ (Was), surat-surat kepada berbagai pihak dll. Berkaitan dengan pergi-nyepi yang saya sebutkan di atas, ada satu warisannya: “Aturan untuk Hidup di Pertapaan” (Atpert). Aturan ini mengatakan, a.l. bahwa para saudara yang mau menjalankan hidup bakti di tempat-tempat pertapaan, hendaknya bertiga atau paling banyak berempat. Dua dari mereka hendaknya menjadi “ibu”, dan dua yang lainnya – atau sekurang-kurangnya satu – menjadi “anak” mereka. Dua yang menjadi “ibu” itu hendaknya memerankan cara hidup Marta, sedangkan kedua “anak” memerankan cara hidup Maria …… Mereka juga hendaknya mendoakan ibadat penutup (completorium) segera setelah matahari terbenam. Mereka juga hendaknya selalu menjaga suasana hening. Mereka juga hendaknya mendoakan Ibadat Harian (Ofisi Ilahi) semua waktu dan bangun waktu Ibadat Matutinum (matin; sekarang bernama Ibadat Bacaan). Hendaknya mereka mencari dahulu kerajaan Allah dan kebenarannya (lihat Mat 6:33). “Anak-anak” itu tidak diperbolehkan berbicara dengan seorang pun, kecuali dengan para “ibu” mereka dan dengan para minister dan kustos mereka, bilamana berkenan mengunjungi mereka dengan berkat Tuhan Allah. Pada gilirannya “anak-anak” hendaknya mengambil peranan “ibu”, sesuai degnan waktu giliran yang hendaknya mereka atur sebaik-baiknya dari waktu ke waktu. Mereka juga hendaknya dengan saksama dan penuh semangat berusaha menepati segala peraturan yang dikatakan dalam “Aturan untuk Hidup di Pertapaan” ini (baca Atpert secara keseluruhan dan baca juga Luk 10:38-42).
Sementara itu kekuatan fisik Fransiskus semakin melemah. Dia dibawa ke Spoleto, lalu ke Rieti di mana dia dirawat oleh dokter specialis mata. Di Fontocolombo mata Fransiskus dicoba untuk disembuhkan oleh dokter mata itu dengan menggunakan sebatang besi- panas yang merah menyala, sebuah praktek kedokteran yang biasa pada waktu itu. Fransiskus berkata, “Saudara api, Tuhan menciptakanmu sebagai sesuatu yang agung dan berguna bagi semua makhluk. Tunjukkanlah rasa hormatmu saat ini karena aku selalu mencintaimu dan akan terus mencintaimu demi cintakasih Tuhan yang menciptakan engkau. Aku berdoa kepada Pencipta kita bersama untuk meredakan panasmu sehingga aku menanggungnya.” Setelah berkata demikian, Fransiskus membuat tanda salib di atas api.” Sang dokter melihatnya sebagai sebuah keajaiban/mukjizat karena dia tidak melihat Fransiskus menunjukkan rasa sakit, meskipun sebenarnya kondisi fisiknya memang sudah rapuh (lihat Legenda Perugia, 48, versi bahasa Inggris, OMNIBUS, hal. 1026-1027).
Pada awal musim semi Fransiskus diangkut dari Rieti ke Siena. Kemudian Saudara Elias memimpin dia ke Celle di Cortona, namun tidak lama kemudian Fransiskus mengalami sakit di perutnya, juga di kakinya. Dia sukar makan setelah itu. Pada awal bulan Agustus 1226 Fransiskus juga berdiam di Bagnara dan di Nocera Umbra. Pada awal bulan September , wali kota Assisi, Berlingerio Je Jacopo dari Florence, mengutus sekelompok ksatria ke Nocera untuk mohon kepada orang kudus ini untuk kembali ke Assisi agar kemuliaan kepemilikan tubuh hamba Allah ini tidak diberikan kepada orang-orang lain. Kelompok itu berhenti di Satriano, kemudian menuju istana uskup di Assisi, tetapi bapak uskup Guido II tidak berada di tempat karena sedang melakukan perjalanan ziarah ke Monte Gargano.
Selamat datang, Saudari Maut. Dalam Cermin Kesempurnaan, diceritakan bahwa seorang dokter dari Arrezzo yang bernama Yohanes Buono, seorang sahabat dekatnya, mengunjunginya di istana uskup. Fransiskus tidak pernah memanggil orang yang bernama Baik (Italia: Buono) dengan kata itu karena rasa hormatnya kepada Tuhan yang disebutnya sebagai “baik, satu-satunya yang baik” (lihat AngTBul XXIII:9; PujAllah 3). Atas dasar alasan yang sama, orang kudus ini. Atas dasar yang sama dia tidak mau memanggil seseorang sebagai bapak atau guru bahkan untuk menulisnya dalam surat-suratnya …… demi rasa hormatnya kepada Tuhan Yesus, yang berkata: “Janganlah kamu menyebutkan siapa pun ‘bapak’ di bumi ini, janganlah kamu disebut ‘Rabi’ [=Guru]; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara” (Mat 23:9). Oleh karena itulah Fransiskus tidak menyebut nama sang dokter ketika dia bertanya mengenai keadaan sakitnya. Jawab dokter Buono: “Saudaraku, Insya Allah segalanya akan baik-baik saja dengan anda.” Kemudian Fransiskus bertanya lagi kepada sang dokter, “Ceritakanlah kepadaku kebenaran. Apakah pendapatmu yang sesungguhnya? Jangan takut untuk menceritakannya kepadaku, karena oleh rahmat Allah aku bukanlah seorang pengecut yang takut mati. Oleh rahmat dan pertolongan Roh Kudus, aku akan dipersatukan dengan Tuhanku, dengan demikian aku sama puasnya apakah mati atau hidup.” Lalu dokter itu berkata kepadanya dengan terus-terang, “Bapak, sesuai dengan pengetahuanku di bidang kedokteran penyakitmu ini tak dapat disembuhkan, dan adalah keyakinanku bahwa engkau akan meninggal dunia pada akhir September atau awal Oktober. Lalu Fransiskus, sambil berbaring di atas tempat tidurnya, dengan sikap sangat hormat dan penuh kesalehan mengangkat kedua tangannya kepada Allah, dan dengan penuh sukacita dalam pikiran dan tubuhnya, berkata, “Selamat datang, Saudari Maut” (lihat Mirror of Perfection 122, dalam OMNIBUS, hal. 1262-1263; lihat juga 2Cel 217; Omnibus, hal. 536).
Setelah mendengar pendapat dokter Buono, Fransiskus memerintahkan para saudara untuk membawanya ke gereja ‘Maria dari para Malaikat’ (Portiuncula) karena dia ingin mengakhiri hidup religiusnya di tempat dimana dia telah memulainya. Dalam FIORETTI (Permenungan Keempat tentang Stigmata Suci) memberikan kita teks dari berkat Fransiskus atas tempat kelahirannya yang sangat dicintainya: “…… Setelah dia diletakkan menghadap ke Assisi, dia memberkati kota itu, berkata, “Semoga Allah memberkati engkau, kota suci, karena banyak jiwa akan diselamatkan lewat engkau dan banyak hamba Allah akan diam di dalammu. Darimu banyaklah yang akan terpilih untuk kerajaan kehidupan abadi” (Edisi Indonesia, hal 239; Omnibus, hal. 1462).
Sebelum kematiannya Fransiskus ingin bertemu dengan sahabat dan penderma ordo dari Roma yang bernama Nyonya Giocomina dari Settesoli, yang biasa dipanggilnya sebagai Saudara Yakoba (Yacopa). Untuk para saudaranya disuruh tulislah Wasiat-nya di mana diringkaskannya butir-butir penting kehdupannya dan rekomendasi-rekomendasinya yang lebih dekat pada hatinya berkaitan dengan hidup yang menepati Anggaran Dasar dan cintakasih kepada Tuan Puteri Kemiskinan. Akhirnya pada tanggal 3 Oktober 1226, pada saat untuk mendoakan Vesper (Ibadat Sore), tanpa busana karena dia ingin mati seperti Kristus Tuhan, Fransiskus berbaring di lantai tanpa alas. Lalu dia minta para saudara untuk berkumpul, memberkati mereka semua, bagi yang hadir dimulai dengan Saudara Elias, Vikaris Ordo dan bagi yang absen di segala penjuru dunia. Lalu dia minta agar kisah sengsara menurut Injil Yohanes dibacakan untuknya.
Dengan suara keras Fransiskus mendaras Masmur 142 (Baik versi Septuaginta [Yunani] maupun Latin: Mzm 141): “Dengan nyaring aku berseru kepada Tuhan; dengan suara lantang kumohon bantuan-Nya.” Mazmur ini didaraskannya sampai kalimat terakhir yang berbunyi, “Bebaskanlah aku dari penjara, maka di tengah kumpulan umatmu aku akan memuji namamu, sebab engkau telah berbuat baik kepadaku” (Baca keseluruhan Mzm 141; 2Cel 217; bdk. 1Cel 109).
Setiap tahun, pada waktu memperingati kematian Fransiskus pada sore/malam hari tanggal 3 Oktober (liturgi untuk Transitus), para Fransiskan menyanyikan antifon: “O jiwa yang tersuci, yang pada saat kematiannya para warga surga datang bersama, bala malaikat bergembira dan Tritunggal yang Mahamulia mengundang, seraya berkata: tetaplah tinggal dengan kami sepanjang kekekalan” (lihat Lombardi, hal. 80).
‘Kisah Tiga Sahabat’ (K3S) meringkaskan wafat Fransiskus dengan singkat-padat. Bunyinya begini: “Setelah selama dua puluh tahun sepenuh-penuhnya menganut Krisus dan mengikuti gaya hidup serta jejak para rasul, Manusia Rasuli, Fransiskus, pada tahun 1226 pada hari Minggu tanggal 4 Oktober beralih kepada Kristus dengan berbahagia (K3S , hal. 147).[1]
STANZA TAMBAHAN DALAM “NYANYIAN SAUDARA MATAHARI” Salah satu stanza dari “Nyanyian Saudara Matahari” atau “Puja-pujian Makhluk-Makhluk” (sebelumnya dinamakan “Kidung Saudara Matahari”) adalah sebagai berikut: “Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami Maut (badani), daripadanya tidak akan terluput insan hidup satupun” (NyaMat 12; KARYA-KARYA, hal. 326).
Fransiskus menambahkan stanza ini tidak lama sebelum kematiannya. Stanza ini mengungkapkan betapa Fransiskus menerima kenyataan kematian secara mendalam, hal mana tidak dapat terjadi secara mendadak pada saat kematian atau menjelang kematiannya. Fransiskus telah merangkul Saudari Maut (badani) jauh-jauh hari sebelum dia mengungkapkan penerimaannya dalam kata-kata.
Dapat dikatakan bahwa Santo Fransiskus memasuki kehidupan dengan merangkul kematian. Dia berusia kurang lebih 22 tahun pada saat dilahirkan kembali dalam Kristus. Pengalaman itu terjadi setelah Fransiskus menderita sakit serius di mana dia bergumul dengan kematian selama lebih dari satu tahun. Dua tahun sebelumnya dalam pertempuran dengan Perugia, Fransiskus menjadi tawanan perang dan harus meringkuk dalam penjara di Perugia selama satu tahun. Selama dalam penjara Fransiskus menghibur para tawanan lain dengan penuh sukacita seolah-oleh tak terpengaruh oleh statusnya dan kondisinya sebagai seorang tawanan. Ketika dia diejek dan dicela oleh beberapa tawanan lain karena berkawan dengan seorang tawanan yang ‘brengsek’, Fransiskus berkata, “akan datang satu hari di mana seluruh dunia akan menghormatiku.” Namun seperti kita akan baca dalam riwayat hidupnya, “biaya” yang harus dibayar oleh Fransiskus untuk kehormatan itu sungguh tidak kecil (tentunya hal ini benar kalau dilihat dari kaca mata dunia). Setelah keluar dari penjara dan kembali ke Assisi, Fransiskus jatuh sakit. Seperti dikatakan di atas, sakitnya serius sehingga dia harus dirawat lebih dari satu tahun lamanya.
Dua tahun sebelum kematiannya, Fransiskus bergumul dengan kematian dan sekali lagi dengan merangkul kematian itu dia bangkit kepada suatu kehidupan baru dalam Allah. Ada suatu kedamaian lebih lanjut, suatu persatuan orang kudus ini yang lebih mendalam dengan Allah selama dua tahun terakhir hidupnya di dunia, dan Fransiskus pun kelihatannya tidak lagi merasa cemas mengenai Ordo yang telah didirikannya.
Jadi, alasan optimisme ini adalah kedamaian pribadinya sendiri. Sebelum dia menyanyikan “Nyanyian Saudara Matahari”, lewat suatu penglihatan (visi) Fransiskus tahu bahwa dia kelak akan bersama Yesus Kristus di surga. Fransiskus merasa yakin bahwa dia diberkati. Optimisme kosmis Fransiskus yang ditunjukkan dalam hidupnya sesungguhnya berasal dari kedamaian batin pribadinya; kalau semua beres di dalam, maka beres pula semuanya di luar. Demikian pula apabila kita merasa aman dalam relasi-relasi utama kita, maka dunia di sekeliling kita pun aman. Sebaliknya apabila hubungan kita yang paling penting menjadi terancam, maka dunia menjadi tidak aman, dan kita pun mulai merasa takut akan kematian karena kematian emosional yang mengancam kita.
“Selamat datang, Saudariku Maut” (lihat 2Cel 217; Cermin Kesempurnaan 122). Itulah yang dikatakan oleh Fransiskus menjelang ajalnya. Dengan riang hati Bapak Serafik kita menyongsong maut dan menerimanya sebagai seorang tamu. Dengan ditemani oleh “Saudari Maut” dia melaksanakan tahap terakhir dari perjalanannya untuk menyatu dengan “Saudara Kristus”.
Menurut almarhum Pater Eric Doyle OFM, ketenangan atau katakanlah ‘kedamaian hati’ yang dialami Fransiskus ketika menghadapi kematian bersumberkan devosinya kepada sengsara dan wafat Yesus Kristus. Karena Kristus telah menderita dan mati, Fransiskus tahu bahwa sengat maut dan kuasanya sudah diambil (lihat 1Kor 15:55) dan sudah ditransformasikan ke dalam persatuan dengan Kristus yang bangkit mulia, yang melampaui batas-batas kubur. Pesan hidup kekal yang diproklamasikan Kristus merupakan sumber dari segala harapan Fransiskus dan keberaniannya dalam menghadapi maut. Tanpa harapan, kematian merupakan olok-olok kehidupan; tanpa keberanian, kematian adalah teror. Pesan kehidupan kekal dijamin bagi Fransiskus oleh kematian dan kemuliaan Tuhan yang dilayani olehnya. Memang berabad-abad lamanya para pengikut Kristus tidak pernah lupa bahwa inti terdalam dari keberadaan mereka sebagai umat Kristiani dan apa yang mereka lakukan, adalah iman-kepercayaan mereka akan kematian dan kebangkitan Kristus. Dengan menyapa kematian sebagai “Saudari Maut”, Fransiskus mengingatkan kita bahwa iman-kepercayaan Kristiani mempunyai pesan suci mengenai kematian badani manusia.
Peristiwa di mana Fransiskus menyapa kematian sebagai “Saudari” dengan indahnya tercatat dalam “Cermin Kesempurnaan” seperti telah diceritakan di atas. Dari situ terlihat bahwa Fransiskus tidak takut akan kematian, bukan karena Allah datang kepadanya, melainkan karena Fransiskus merangkul kematian seakan-akan kehidupan itu sendiri, lalu Allah datang kepadanya. Sebenarnya kegiatan yang penuh kekalutan dari kehidupan manusia seringkali adalah ungkapan usaha manusia yang penuh kesia-siaan untuk melarikan diri dari maut, sebuah upaya yang pada dasarnya berurusan dengan kematian. Mengatakan “ya” kepada kematian badani berarti merangkul kehidupan. Menerima kematian badani dalam antisipasi akan kehidupan seperti dilakukan Fransiskus berarti menjadi hidup dan bebas secara utuh. Dan, memuji dan memuliakan Allah melalui kematian badani serta merangkulnya sebagai seorang saudari, membuat seseorang mampu untuk menyambutnya pada saat saudari ini sungguh-sungguh datang.
Menurut Pater Murray Bodo OFM, Fransiskus adalah salah seorang dari kita. Dia harus berjuang seperti kita sebelum dia sampai mampu mengatakan kata-kata yang ‘mengagetkan’ seperti tadi: “Selamat datang, Saudariku Maut”. Tidak seorang pun dapat mengucapkan kata-kata itu tanpa pertama-tama menderita semacam kemartiran, baik dalam pikiran maupun hati yang membawa kepada kebangkitannya sendiri. Fransiskus sendiri pernah menulis: “Oleh sebab itu memalukan sekali bagi kita, hamba-hamba Allah, karena para kudus yang telah melakukan karya-karya itu, sedangkan kita, yang hanya menceritakan karya-karya para kudus, ingin mendapat kemuliaan dan hormat” (Pth VI:3).
Memang tidak ada substitusi atau pengganti bagi pengalaman. Kekudusan harus dialami. Jelaslah dari kehidupan Fransiskus bahwa dia bertindak atas dasar sabda Allah. Di lain pihak, kita selalu menunggu Allah agar Dia membuat diri-Nya hadir lagi bagi kita sebelum kita mau bertindak. Fransiskus mengalami kebangkitan selagi dia masih hidup di bumi, bukan karena Allah mengungkapkan atau menyatakan hal itu, melainkan karena dia telah berhasil melewati tahap ‘ketakutan akan kematian’ dengan secara aktif merangkul ‘kematian badani yang memberikan kehidupan’ dan mengundangnya untuk tinggal bersama dia.
Menurut Pater Murray Bodo OFM, kita mengalami kebangkitan Yesus justru dalam pusat sakit dan penderitaan kita. Itulah sebabnya para kudus dapat bersukacita dalam penderitaan-penderitaan mereka yang mempersatukan mereka dengan Kristus, dengan demikian dengan salib-Nya. Salib Kristus tidak dapat dipisahkan dari kebangkitan-Nya. Penderitaan kita ditebus oleh kebangkitan Yesus, yang penderitaan dan kematian-Nya sendiri membawa di dalamnya benih-benih kebangkitan.
Setiap orang yang telah menyerahkan penderitaan-penderitaannya kepada Kristus mengetahui bahwa dalam penyerahan telah ada suatu kedamaian yang mulai berakar di dalam hati, seperti sebutir benih yang kita tahu akan bertumbuh. Sebelum menyerahkan semua itu, kita merasa cemas serta takut dan penuh kemarahan. Kita heran serta mempertanyakan mengapa Allah memperkenankan hal itu terjadi atas diri kita. Kita mengalami kepahitan dan tidak merasa berbahagia. Karena kita menolak untuk melepaskan, kita tidak dapat mengalami kebangkitan yang sebenarnya sudah mulai dalam penderitaan kita. Akan tetapi sekali kita menyerah seperti Santa Perawan Maria dan berkata: “Jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38), maka penderitaan-penderitaan kita mulai seperti suatu kebangkitan kepada Allah.
Kebangkitan jiwa mengandaikan suatu kematian badani yang merupakan suatu penerimaan akan apa saja yang Tuhan minta untuk kita lepaskan; dan kadang-kadang justru yang kita tidak dapat lepaskan adalah penderitaan kita sendiri. Kita ingin agar penderitaan itu berakhir sehingga kita dapat bangkit. Kita ingin agar Allah membuat semuanya benar dan baik lagi sehingga kita dapat melanjutkan kehidupan kita. Akan tetapi Allah mungkin meminta kita agar merangkul penderitaan, kebingungan dan sakit kita sehingga Allah mungkin mulai bersinar dalam kehidupan yang sangat berbeda dengan yang kita harapkan, suatu hidup baru yang secara tetap meningkat bangkit meski mengandung sakit, kebingungan dan penderitaan, karena yang demikian itu adalah sebuah hidup penyerahan kepada kehendak Allah. Dia sendiri sajalah yang dapat membuat bangkit apa yang kelihatannya terikat pada bumi.
Penerimaan akan kehendak Allah inilah yang membuat Santo Fransiskus dapat menyanyikan lagu penuh gembira seperti “Nyanyian Saudara Matahari” justru pada waktu dia mengalami sakit dan penderitaan luar biasa. Fransiskus mampu melepaskan diri dan mempersembahkan penderitaannya kepada Allah karena dalam sebuah visi dia melihat bahwa semua kesengsaraan ini tidak ada artinya apabila dibandingkan dengan harta karun yang terpendam di dalamnya. Dan pada saat itu dia mulai bangkit; pada saat dia sangat menyerupai Yesus di kayu salib (ingat: stigmata yang diterimanya), dia mulai bangkit. Dia bangun dari pembaringannya dan mulai menyanyikan “Nyanyian Saudara Matahari” yang adalah sebuah lagu Paskah bagi setiap insan Fransiskan yang sungguh memiliki hati Fransiskan.
Dalam kesempatan ini marilah kita masing-masing merenungkan arti kematian itu. Semoga kata-kata yang diucapkan Fransiskus, “Selamat datang, Saudariku Maut”, dapat menjadi kata-kata kita sendiri, sehingga dengan demikian segalanya diubah. Semoga kita masing-masing mengalami kedamaian yang mendalam dan memahami apa yang terjadi dengan Santo Fransiskus dari Assisi.
KEPUSTAKAAN:
1. Murray Bodo OFM, THE WAY OF ST. FRANCIS – The Challenge of Franciscan Spirituality for Everyone, Cincinnati, Ohio:St. Anthony Messenger Press, 1995.
2. Eric Doyle OFM, ST. FRANCIS AND THE SONG OF BROTHERHOOD AND SISTERHOOD, St. Bonaventure, New York: Franciscan Institute Publications, St. Bonaventure University, 1997.
3. Cletus Groenen OFM (penerjemah, pemberi pengantar dan catatan), KISAH TIGA SAHABAT, Jakarta: SEKAFI.
4. Marion A. Habig OFM (Editor), ST. FRANCIS OF ASSISI – WRITINGS AND EARLY BIOGRAPHIES – English Omnibus of the Sources for the Life of St. Francis, Quicy, Illinois: Franciscan Press – Quincy College, 1991.
5. Frans Indrapradja OFS, Memorandum Minister Persaudaraan OFS “Santo Ludovikus IX” No. Min/07/99 tanggal 1 Agustus 1999 dengan judul MERENUNGKAN HAL-IKHWAL KEMATIAN.
6. Leo Laba Ladjar OFM (Penerjemah, pemberi pengantar dan catatan), KARYA-KARYA FRANSISKUS DARI ASISI, Jakarta: SEKAFI, 2001.
7. Lombardy OFM (Translator: Joseph Nacua OFMCap.), INTRODUCTION TO THE STUDY OF FRANCISCANISM, 1993.
8. FIORETTI edisi Indonesia oleh tim SEKAFI.
Cilandak, 30 September 2010
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
[1] Hari Minggu tanggal 4 Oktober mulai malam Minggu, Sabtu tanggal 3 Oktober sore pukul 18.00. Nyatanya Fransiskus wafat pada tanggal 3 Oktober (menurut perhitungan kita) sore setelah matahari terbenam. Lihat catatan kaki nomor 99 dalam ‘Kisah Tiga Sahabat’ versi Indonesia terjemahan Pater C. Groenen, OFM.