Satu pokok pemikiran dalam pandangan Fransiskan yang seringkali mengagetkan sementara orang adalah sebagai berikut: Sabda Allah tidak menjadi manusia karena Adam dan Hawa berbuat dosa, melainkan karena sejak dari keabadian Allah menghendaki Kristus menjadi “karya ciptaan yang paling sempurna”, “contoh dan mahkota ciptaan serta kemanusiaan” … “tujuan yang mulia” (inilah yang dimaksudkan dengan predestinasi Kristus). Semua ciptaan menuju tujuan mulia tersebut Seandainya pun Adam dan Hawa tidak pernah berdosa, “Sabda tetap menjadi daging” … Yesus Kristus tetap datang ke dunia sebagai manusia.
“Dialah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan,
karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di surga dan yang ada di bumi,
yang kelihatan dan yang tidak kelihatan …; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.
Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu menyatu di dalam Dia.” (Kol 1:15-17 )
Hari ini merupakan suatu hari raya yang teramat penting dalam penanggalan liturgi Gereja, yaitu HARI RAYA TUHAN KITA YESUS KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM. Minggu depan adalah Hari Minggu Adven I, awal dari sebuah lingkaran tahun Gereja yang baru, yaitu tahun B/I. Bacaan kedua dalam Perayaan Ekaristi pada hari raya ini adalah 1Kor 15:20-26.28 untuk tahun A, Why 1:5-8 untuk tahun B dan Kol 1:12-20 untuk tahun C. Bacaan kedua dalam tahun C ini (sebagian dipetik di atas) merupakan bacaan penting dan relevan untuk pembahasan kita kali ini, yaitu tentang “Keutamaan Kristus” atau Primacy of Christ dalam bahasa Inggris. Spiritualitas Fransiskan dikatakan bersifat Kristo-sentris, artinya berpusat pada Kristus, Kristuslah yang memegang peranan sentral, Ia adalah pusat dari segalanya, Ia adalah yang utama. “Hari Raya Kristus Raja” yang kita rayakan pada hari ini sungguh cocok bagi kita untuk bersama-sama merenungkan tentang keutamaan, kesentralan Kristus ini dalam penghayatan hidup ke-Fransiskan-an kita.
Dalam kesempatan ini kita akan membahas dengan sedikit lebih mendalam mengenai visi Fransiskan tentang segala ciptaan. Dalam jalan pemikiran Fransiskan, Yesus Kristus, “Sang Sabda yang menjadi daging”, bukanlah sekedar sebagian dari ciptaan. Kristus adalah tujuan akhir dan puncak segalanya. Semua ciptaan bergerak menuju tujuan akhir dan puncak tersebut.
Satu pokok pemikiran dalam pandangan Fransiskan yang seringkali mengagetkan sementara orang adalah sebagai berikut: Sabda Allah tidak menjadi manusia karena Adam dan Hawa berbuat dosa, melainkan karena sejak dari keabadian Allah menghendaki Kristus menjadi “karya ciptaan yang paling sempurna”, “contoh dan mahkota ciptaan serta kemanusiaan” … “tujuan yang mulia” (inilah yang dimaksudkan dengan predestinasi Kristus). Semua ciptaan menuju tujuan mulia tersebut Seandainya pun Adam dan Hawa tidak pernah berdosa, “Sabda tetap menjadi daging” … Yesus Kristus tetap datang ke dunia sebagai manusia.
Kristus bagi Santo Fransiskus
Seluruh hidup Santo Fransiskus berpusat pada Kristus, Allah-manusia, dan tujuan akhir dalam hidupnya adalah kebersatuan yang sempurna dengan Allah melalui Kristus dalam kasih. Dua hal ini, posisi sentral dari Kristus dalam seluruh ciptaan dan pentingnya cinta kasih secara keseluruhan, bertumbuh sampai menjadi tradisi yang cukup mapan dalam Ordo Fransiskan sebelum berakhirnya abad ketiga belas. Secara bertahap kedua hal itu mengambil bentuk yang lebih definitif dan lebih permanen dalam dua pokok yang sangat penting di dalam pemikiran filsafat dan teologis Fransiskan, dalam karya Santo Bonaventura dan terutama dalam karya Beato John (Yohanes) Duns Scotus. Namun Scotus-lah yang memberi bentuk yang tepat kepada dua hal tersebut: Di satu sisi ada “keutamaan Kristus” yang bersifat universal dan mutlak; di sisi lain ada “keutamaan kehendak” dalam diri manusia.
John Duns Scotus dan “Keutamaan Kristus”
Dari petikan Kitab Suci di atas kita dapat melihat bahwa Santo Paulus merupakan orang pertama yang datang dengan pandangan tentang “keutamaan Kristus”. Kemudian ada seorang Fransiskan, yakni Scotus, yang melalui tulisan-tulisannya menyempurnakan gagasan tentang keutamaan dan ditentukan-Nya sejak awal mula (predestinasi) secara mutlak dari Yesus dan Santa Perawan Maria, ibu-Nya. Oleh karena itu thesis tentang predestinasi mutlak Kristus secara tradisional dinamakan sebagai aliran “Scotistic”, seakan-akan John Duns Scotus-lah penemunya atau pencetus gagasannya. Sebenarnya, sebelum Scotus sudah ada sejumlah pendahulunya (malah sejak abad ketujuh) yang berpandangan hampir serupa (tidak tepat sama) dengan pandangan Scotus. Saya akan menyebutkan beberapa nama yang merupakan anggota keluarga Fransiskan: Alexander dari Hales OFM (+ 1245), Eudes de Rosny OFM (+/- 1245); John Peckham OFM (+1292); William dari Ware OFM (+ 1300); Matius dari Aquasparta OFM (Kardinal, +1302); Yohanes de Murro OFM (Minister Jendral kemudian Kardinal, + 1312) dan Beato Raymundus Lullus (Raymond Lull), Fransiskan Sekular dan martir (+1315).
Khusus mengenai Raymundus Lullus ini, mula-mula memang dia menganut pandangan Thomistic (artinya: aliran para pengikut Santo Thomas Aquinas) mengenai alasan Inkarnasi. Namun sejak tahun 1285, Raymundus Lullus mengubah pandangannya seperti terlihat dari apa yang diajarkannya: dengan jelas dia mengajarkan, bahwa Inkarnasi (Firman menjadi manusia) tidak tergantung kepada jatuhnya Adam ke dalam kedosaan. Dalam kesempatan lain, Raymundus Lullus pernah bertanya: “Apakah Bunda kita (Maria) menjadi ibunda (dari Kristus) karena dosa? Dia menjawab sendiri pertanyaannya tadi: “Kalau Bunda kita menjadi ibunda (dari Kristus) karena dosa, maka tidak ada seorang pun pendosa yang akan menaruh pengharapan kepadanya karena dosa dan kesucian tidak dapat didamaikan.” Dia juga mengatakan: “Kalau seandainya tidak ada dosa, apakah Bunda kita akan menjadi ibunda Yesus Kristus, Allah-Manusia?” Jawabannya: “Niat Allah yang pertama bukanlah untuk yang kedua.”
Berikut ini saya sampaikan pandangan seorang teolog Mesir, Ibnu Al-Makin (abad ke-14) yang mengatakan, bahwa kalau Inkarnasi itu tergantung pada dosa Adam, maka kesimpulannya adalah bahwa tanpa dosa tidak akan ada Inkarnasi. Dengan cepat teolog ini menambahkan: “Pandangan ini salah …… (karena) ini adalah suatu penghinaan terhadap kebaikan Allah.” Maka sebenarnya John Duns Scotus bukanlah pencetus awal dari sebuah pandangan yang ternyata sudah berkembang sejak beberapa abad sebelum masanya, namun dia berhasil menyempurnakan pandangan atau pemikiran-pemikiran yang kurang lebih sama itu dengan baik sekali, sehingga pandangan tentang tentang keutamaan dan predestinasi mutlak Yesus dan Maria diindentifikasikan dengan dirinya, sehingga dinamakan aliran Scotistic.
Scotus dilahirkan di Skotlandia pada tahun 1266, studi di Universitas Oxford, Inggris dan ditahbiskan imam pada tahun 1291. Dia mengajar teologi di Universitas Paris dan wafat pada tahun 1308, pada waktu dia berusia 42 tahun. Scotus dikuburkan di Cologne (Köln), Jerman. Pada nisannya tertera kata-kata berikut: “Scotia me genuit” (Skotlandia memperanakkan aku); “Anglia me suscepit” (Inggris membesarkan aku); “Gallia me docuit” (Perancis mengajar aku); “Colonia me tenet” (Cologne menyimpan jasadku). Kata-kata pada nisan ini sungguh merupakan ringkasan riwayat hidup dari John Duns Scotus.
Meskipun pendekatan Scotus berbeda dengan teologi Katolik yang standar (sangat dipengaruhi ajaran S. Thomas Aquinas) pada masa itu, pemikiran-pemikirannya tidak pernah dicap “tak dapat diterima” oleh Gereja. Para Fransiskan sudah berabad-abad lamanya mengikuti cara Scotus memandang Kristus. Pandangan Scotus juga diikuti oleh beberapa pemikir Katolik terkenal seperti Gerard Manley Hopkins, seorang Yesuit penulis sajak; Thomas Merton seorang penulis yang adalah rahib Trapis; dan Teilhard de Chardin, seorang imam Yesuit yang juga adalah seorang ahli antropologi terkenal. Teilhard de Chardin mengatakan, “Kristus bukanlah pikiran yang timbul kemudian dalam rencana ilahi. Dia adalah Alfa dan Omega, awal dan akhir dari segalanya.”
Beatifikasi Scotus diumumkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1993. Tidak sedikit orang yang merasa bahwa kepercayaan (Gereja) atas kekudusan, keutamaan dan sumbangan-sumbangan pemikiran Yohanes Duns Scotus kepada teologi agak terlambat diberikan oleh Tahta Suci.
Sehubungan dengan “keutamaan Kristus” ini, Scotus mengatakan sebagai berikut: Allah adalah kasih, tak terhingga, kekal-abadi, kasih yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dalam diri Allah ditemukan segalanya yang diartikan dengan kasih, semua keberadaannya dan semua kegiatannya. Dengan demikian Allah pertama-tama mengasihi diri-Nya sendiri, karena obyek primer dan formal dari kehendak ilahi adalah Allah sendiri; dan Dia mengasihi diri-Nya sendiri dengan cara yang tak terhingga (tanpa batas) sebagai kebaikan yang tertinggi dan bersukacita secara tak terhingga pula dalam memiliki kebaikan itu.
Namun kasih tidak dapat berhenti atau berdiam diri; kasih cenderung untuk terus-menerus menyebarkan dirinya, untuk mengekspresikan dirinya dalam diri pihak-pihak lain, untuk memberikan dirinya kepada pihak-pihak lain. Oleh karena itu, dari segala keabadian, Allah Yang Mahakuasa menghendaki agar ada pihak lain di luar diri-Nya yang akan menjadi manifestasi keluar dari kasih-Nya sendiri dan yang akan mengasihi-Nya sebagai balasan. Dengan demikian dalam rencana ciptaan-Nya yang bersifat kekal-abadi, Allah pertama-tama menghendaki bahwa ada seorang pribadi, dalam diri siapa Dia dapat memanifestasikan kasih-Nya secara sempurna dan pribadi itu dapat dan akan mengasihi-Nya karena Dia pantas untuk dikasihi dengan cara sesempurna mungkin. Pribadi itu adalah Putera-Nya yang tunggal, yang menjadi manusia, yang sebagai seorang manusia dapat mengasihi Dia sebagai seseorang yang di luar diri-Nya, dan sebagai Allah dapat mengasihi-Nya secara tanpa batas.
Dengan demikian, Kristus, Sang Putera Allah dari keabadian yang menjadi manusia, merupakan yang pertama dalam kehendak dan rencana kekal-abadi dari Allah yang Mahakuasa. Memang benar bahwa dalam pikiran dan kehendak Allah yang kekal-abadi tidak dapat ada prioritas waktu; tidak dapat ada suksesi dari keputusan yang satu, disusul oleh keputusan yang lain. Namun intelek manusia dapat dan harus membedakan suatu tatanan prioritas tertentu, suatu preseden logis tertentu dari keputusan yang satu di atas keputusan yang lain di antara sejumlah keputusan yang terdapat dalam satu keputusan abadi. Ini merupakan pembedaan, tidak dalam kehendak Allah, tetapi dalam hal-hal yang diputuskan, hal-hal yang dalam dirinya terdapat tatanan keunggulan secara relatif untuk mana di sisi lain terdapat tatatan yang berpadanan, yakni tatanan kasih dan pilihan sejak semula dari pihak Allah. Dari sudut pandang ini, maka yang pertama dalam keputusan penciptaan yang bersifat kekal-abadi dalam pikiran dan kehendak Allah yang Mahakuasa adalah inkarnasi dari Putera-Nya yang tunggal, suatu kesatuan hipostatis dari kodrat ilahi dengan kodrat manusia dalam diri seorang pribadi ilahi, yakni Kristus, Sang Sabda yang menjadi daging. Maka Kristus adalah “yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan” (Kol 1:15) seperti dikatakan oleh Paulus, yang pertama dalam pikiran dan kehendak Allah, agar Dia dapat memanifestasikan kasih Allah secara paling sempurna sebagai karya Allah yang paling agung dan memberikan kepada Allah adorasi yang tertinggi dan kasih yang selengkap mungkin.
Akan tetapi Kristus, Sang Sabda yang menjadi daging, bukan hanya yang sulung dari segala yang diciptakan; Dia juga adalah awal dan akhir dari segala sesuatu, Sang Raja dan Pusat segala ciptaan. “ … di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di surga dan yang ada di bumi …” (Kol 1:16). Dengan demikian Kristus adalah penyebab final dan efisien dari segala sesuatu yang diciptakan … yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dia adalah mediator universal dan kepala, baik dari para malaikat maupun manusia, karena kepenuhan rahmat-Nya.
Jadi sebenarnya menurut Scotus, niat pertama Allah – sejak dari keabadian – adalah agar kodrat manusia dimuliakan dengan disatukannya dengan Sabda ilahi. Dan hal ini terjadi, apakah manusia-manusia pertama berdosa atau tidak. Kalau kita mengatakan inkarnasi Kristus merupakan pikiran Allah yang timbul kemudian, artinya tergantung pada kejatuhan Adam dan Hawa, sama saja artinya dengan menempatkan dosa sebagai dasar dari teologi Kristiani yang begitu kaya. Dan ini tidak benar. Para ahli teologi dapat datang dengan sesuatu yang lebih baik, dan Scotus telah melakukannya dengan baik.
Tentu Allah Yang Mahakuasa dari keabadian sudah melihat ke depan akan terjadinya kejatuhan manusia, dengan demikian dibutuhkan seorang penebus. Dengan demikian, juga dari keabadian, Allah memutuskan bahwa penebusan manusia akan dilaksanakan melalui penderitaan dan kematian Putera-Nya yang tunggal. Secara kronologis, penciptaan kerajaan Kristus, yang kelihatan maupun tidak kelihatan, mendahului inkarnasi-Nya dalam kepenuhan waktu; dan kejatuhan manusia dalam tatanan Penyelenggaraan Ilahi adalah peristiwa untuk penderitaan dan kematian Kristus. Namun tetap benarlah bahwa dalam keputusan abadi dari Allah, “Sang Sabda yang menjadi daging” ditentukan secara mutlak dan bebas-lepas dari kejatuhan manusia ke dalam dosa, karena sejak awal Dia sudah ditentukan sebagai Raja dan Pusat segala ciptaan.
Menurut pandangan Scotus Allah-manusia akan datang ke dunia dan masuk ke dalam sejarah manusia pada keadaan yang bagaimana pun juga (artinya apakah manusia jatuh ke dalam dosa atau tidak), sebagai contoh (model) sempurna seorang manusia yang hidup secara penuh. Bukan Adam yang memberikan “cetak biru” (blue print) atau pola yang digunakan Allah dalam membentuk kemanusiaan Kristus. Sebaliknya, menurut Scotus Kristus-lah yang merupakan model yang ada dalam pikiran Allah, seturut model itu Adam, Hawa dan umat manusia diciptakan.
Kristus adalah Karya Agung Allah yang Abadi
Jadi sebenarnya Allah mempunyai rencana abadi. Rencana-Nya adalah untuk berbagi (sharing) diri-Nya dengan manusia yang akan diciptakan-Nya, sebagai pengada yang memiliki intelegensia, bebas dan mampu mengasihi. Bukan sekedar pengada-pengada yang agak seperti Allah karena mereka dapat berpikir, mengasihi dan bertindak, melainkan pribadi-pribadi yang mengasihi dengan kekuatan kasih Allah, menilai dengan hikmat Allah, hidup bukan sekedar dengan hidup manusia, tetapi dengan mengambil bagian dalam hidup ilahi.
Rencana ilahi ini berpusat dalam Yesus Kristus. Dia adalah contoh abadi bagi semua anak Allah. Pertama-tama Allah “berpikir” tentang Dia sebagai pusat segala ciptaan. Melalui Dia hidup ilahi diberikan kepada semua saudara dan saudari. Dia adalah Sumber, melalui-Nya hidup ilahi hidup dalam tubuh manusia, dan dari situ mengalir ke setiap manusia di muka bumi. Segala sesuatu telah diciptakan di dalam Dia, melalui Dia dan untuk Dia. Dia adalah Penyembah Pertama, Anak yang Sempurna, Contoh (model) dari manusia, “Dialah yang sulung”.
Allah Putera yang abadi, pada satu titik waktu, menjadi “Allah yang menjadi manusia”. Akan tetapi setiap mahluk sebelum dan sesudah Dia lahir di dunia, dari manusia pertama sampai manusia terakhir di dunia, diciptakan seturut gambaran-Nya, ditakdirkan untuk diselamatkan oleh-Nya, ditarik kepada Allah melalui Dia. Menurut Leonard Foley, OFM dan Jovian Weigel, OFM, Dia adalah “tempat pertemuan dari kasih yang tidak diciptakan dan kasih yang diciptakan.”
Sesungguhnya surat-surat Santo Paulus sudah memuat suatu dasar untuk melihat Kristus sebagai puncak dan pola bagi semua ciptaan. Dalam surat Paulus kepada jemaat di Efesus ada tertulis:
“Sebab di dalam Dia (Kristus) Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula melalui Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah anugerah-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita di dalam Dia, yang dikasihi-Nya” (Ef 1:4-6).
Kemudian Paulus menggambarkan rencana Allah dengan indah sekali:
“Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-nya di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di surga maupun yang di bumi” (Ef 1:9-10).
Petikan dari surat Paulus kepada jemaat di Kolose (Kol 1:15-17) sudah diuraikan di atas.
Diciptakan seturut gambaran Kristus
Kristus adalah gambaran Bapa surgawi, akan tetapi dalam pikiran Allah ada banyak gambaran Kristus. Maria, calon ibu-Nya, adalah salah seorang pertama; lalu datang semua saudara-saudari Kristus yang lain, setiap orang di muka bumi. Setiap orang yang mengenal Kristus atau mendengar tentang Kristus, dia akan diselamatkan oleh Kristus, dikasihi Kristus dan dipanggil untuk datang kepada-Nya.
Visi Fransiskus selalu berpusat pada Kristus. Visi Fransiskus ini memberikan suatu fondasi untuk dibangunnya visi atau “mashab” (school of thought) Fransiskan yang datang kemudian. Dalam “Petuah”, Fransiskus menulis: “Ingatlah, hai manusia, betapa unggulnya kedudukan yang diberikan Tuhan Allah kepadamu: Ia telah menciptakan dan membentuk engkau sesuai dengan gambar Putera-Nya yang terkasih menurut badan, dan sesuai dengan keserupaan-Nya menurut roh” (Pth V:1; bdk Kej 1:26).
Para Fransiskan dan “Keutamaan Kristus”
Tadi telah diuraikan sedikit visi Beato John Duns Scotus tentang keutamaan Kristus. Dapat dikatakan para Fransiskan merangkul visi yang sama. Sadar atau tidak, para Fransiskan – Ordo I, II dan III regular maupun sekular – cenderung untuk memandang semua ciptaan sebagai potongan-potongan kecil gambar dari sebuah jigsaw puzzle yang indah, yang hanya masuk akal kalau dicocok-cocokkan dengan kerangka yang lebih besar, yakni gambaran Kristus.
Kristus adalah “yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan.” “Tidak ada sesuatu pun di dunia yang mengandung arti jika dipisahkan dari Yesus Kristus” dan “Apapun yang ada di dunia, semuanya diciptakan demi Yesus Kristus.” Pater Stephen Doyle, OFM pernah berkata-kata secara poetis [1]:
“Apabila kita memandang ke sekeliling dan mendengarkan dunia sekitar kita, dan apabila burung-burung yang berkicau dapat dibentuk menjadi sebuah paduan suara dan angin yang mendesir dan hujan yang gemerincing dapat mempunyai suara dan deru lautan dapat diungkapkan dengan kata-kata, maka semua itu hanya mempunyai satu hal untuk dikatakan: ‘Kami diciptakan demi Yesus Kristus.’”
Sekarang, bagaimana mungkin Yesus Kristus yang datang dalam sejarah manusia jauh setelah Adam dan Hawa, menjadi Dia yang datang sebelum mereka, dalam pikiran Allah? Bagaimana ”Sabda yang menjadi daging” menjadi yang pertama dan terakhir sekaligus pada saat yang sama? Untuk menjawab pertanyaan ini Pater Stephen Doyle, OFM meminjam analogi yang terdapat dalam tulisan Santo Fransiskus de Sales:
Kalau anda ingin membuat anggur, apa yang akan anda lakukan? Pertama-tama, anda harus menanam pohon anggur dan menata kebun anggur. Kemudian anda harus memberi pupuk kepada pohon-pohon anggur yang ada. Anda juga harus memotong carang-carang anggur yang kering. Lalu anda akan menuai buah-buah anggur, memeras buah-buah anggur itu dan membiarkan hasil perasan itu meragi. Akhirnya anda akan memperoleh anggur. Apa yang pertama-tama ada dalam pikiran anda? Anggur. Apa hasil akhir yang anda peroleh? Anggur (Risalat tentang Kasih Allah).
Dengan cara yang sama, kedatangan Yesus Kristus yang belakangan tidak mengandung kontradiksi dengan kenyataan bahwa Dia memegang tempat pertama dalam pikiran Allah dalam ciptaan alam semesta. Kristus adalah yang pertama dan terakhir, Alfa dan Omega.
Dengan demikian tidak sukarlah bagi kita untuk melihat bahwa tradisi “keutamaan Kristus” (primacy of Christ) ini bertumbuh dari tradisi Fransiskan pada dekade-dekade sebelumnya. Hidup Santo Fransiskus diarahkan kepada satu tujuan, yakni Kristus. Kristus telah berbicara kepadanya dari ikon salib di gereja San Damiano dan kata-kata Kristus telah memberi pengarahan kepada niat-niat Fransiskus. Kristus menjadi pusat dari devosi-devosinya – Kristus, Sang Allah-manusia, dalam palungan, di kayu salib, dan dalam Ekaristi di atas altar. Kristus menjadi obyek dari cintakasihnya yang membara dan transformasi menjadi Kristus – sepanjang dimungkinkan secara manusiawi, menjadi tujuan hidupnya. Itulah mengapa Fransiskus berdoa dengan begitu bersungguh-sungguh di Gunung La Verna untuk memperoleh dua rahmat[2]: yang pertama ialah agar Kristus mengizinkan dia untuk merasakan dalam jiwa-raganya sebanyak mungkin penderitaan hebat yang telah dirasakan Kristus pada saat sengsara-Nya yang amat pahit; yang kedua ialah agar dia boleh merasakan dalam hatinya sebanyak mungkin cinta yang tak terbatas dengan mana Kristus tergerak dan mau menanggung sengsara sedemikian itu bagi para pendosa. Cintakasih yang berpusat pada Kristus (Kristosentris) dari Fransiskus inilah yang dari tahun ke tahun membawa para saudara-saudarinya kepada titik sangat penting yang pertama dari ajaran Fransiskan maupun hidup Fransiskan, yakni “keutamaan (keprimasan) Kristus yang universal dan mutlak.”
Keutamaan Kehendak
Pokok pandangan sangat penting yang kedua yang dirumuskan oleh Scotus adalah ajaran mengenai “keutamaan kehendak” (primacy of the will) dalam diri manusia. Dalam jiwa manusia terdapat dua kecakapan (kemampuan), yakni intelek dan kehendak. Obyek dari intelek adalah kebenaran sedangkan obyek dari kehendak adalah kebaikan. Prioritas asal-usul (priority of origin) adalah milik intelek, seperti suatu tindakan intelek lumrah kalau mendahului setiap tindakan kehendak. Agar dapat menghendaki, pertama-tama kita harus mengetahui. Intelegensia adalah suatu keperluan dan sekaligus kondisi pendahuluan atau persiapan dari ‘menghendaki.’ Keperluan, karena tanpa pengetahuan tidak bisa ada kehendak. Pendahuluan, karena intelegensia harus datang sebelum menghendaki.
Namun prioritas asal-usul tidak boleh diartikan superioritas dari intelek ketimbang kehendak. Sebaliknya, karena intelegensia diarahkan kepada sesuatu yang lain sebagai tujuan, maka sesuatu yang lain itu – kehendak – adalah superior ketimbang intelek. Intelek memasok pengetahuan atas dasar mana kehendak bertindak; namun kehendak itu bebas untuk bertindak atau tidak bertindak. Lagipula kehendak mengarahkan bekerjanya intelek itu sendiri, dengan demikian kehendak superior ketimbang intelek.
“Keutamaan kehendak” cocok dengan “keutamaan cintakasih”. Kehendak mencapai kesempurnaannya dalam cintakasih yang tertinggi dan termurni dari kebaikan yang tertinggi; dengan kata lain dalam cintakasih Allah. Inilah hikmat-kebijaksanaan yang benar – untuk mengasihi Allah dengan intensitas cintakasih, dengan cintakasih yang berlimpah untuk merangkul keseluruhan ciptaan Allah dan untuk mengasihi semua orang karena cintakasih kepada Allah, dengan cintakasih yang menolak segala hal dengan cara kemiskinan total yang membawa kepada kebersatuan dengan Allah yang lengkap melalui Kristus. Dan kebahagiaan surgawi akan terwujud dalam cintakasih kepada Allah sebagai akibat dari visi beatifik dan mempersatukan jiwa dengan Kebaikan Tertinggi dalam sukacita yang tak berkesudahan.
Inilah cintakasih yang menjiwai/menggerakkan hati Santo Fransiskus. Dia mengasihi Kristus dengan cinta kasih yang tanpa batas, cinta kasih yang sehabis-habisnya, cinta kasih yang mendorong Santo Bonaventura menulis tentang dia: “Siapa gerangan mampu secara memadai menceritakan cintakasih bernyala-nyala, yang membakar hati Fransiskus, sahabat karib sang Mempelai? Bagaikan bara api yang bernyala-nyala kelihatannya dia sepenuhnya terserap oleh nyala api cintakasih Ilahi.” (LegMaj IX:1). Dalam menanggapi kasih Allah kepadanya, Fransiskus berdoa dengan penuh rasa cinta kasih: “Aku mohon kepada-Mu, ya Tuhan, semoga kekuatan yang berapi-api dan manis dari cinta kasih-Mu dapat menarik jiwaku sepenuhnya dari semua hal yang ada di bawah langit, sehingga aku dapat mati karena mencintai cinta kasih-Mu seperti Dikau berkenan mati karena mencintai cinta kasihku.[3] Cinta kasih juga yang menggerakkan para pengikut Santo Fransiskus, khususnya para Fransiskan awal yang berkarya di bidang akademis, terutama Santo Bonaventura, dan cintakasih itu membawa kepada perumusan ajaran mengenai “keutamaan cinta kasih” atau “keutamaan kehendak” oleh Scotus.
Jadi spiritualitas Fransiskan mengilhami pemikiran Fransiskan. Di lain pihak pemikiran Fransiskan mengilhami spiritualitas Fransiskan. Sampai hari ini, yang satu mengilhami yang lain, dan kedua hal tersebut, pemikiran dan spiritualitas Fransiskan, akan terus mengilhami kita untuk mempraktekkan hidup seturut cita-cita Santo Fransiskus, seandainya kita mau membuka hati kita untuk menerima pengarahan penuh kasih dari Bapak Serafik kita.
Kristus adalah Kunci – Ukuran dari Kemanusiaan
Seorang teolog Dominikan di abad pertengahan, Meister Eckhart (+ 1327), menegaskan bahwa hanya ada “satu sabda” yang diucapkan oleh Bapa surgawi, yakni Putera Allah. “Dan dalam Sabda tunggal itu, Allah mengucapkan segala sesuatu.”
Ajaran ini membantu kita untuk sadar bahwa semua Kitab Suci, meskipun terdiri dari banyak kata, tokoh dan tindakan, sesungguhnya menuju kepada, memberi bentuk dan ekspresi pada satu Sabda Allah, yang kita – umat Kristiani – akui sebagai Yesus Kristus, “Sang Sabda yang menjadi daging”.
Demikian pula dalam proses penciptaan yang terus-menerus berjalan dan sejarah manusia sendiri terdapat banyak unsur yang terlibat, misalnya mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Namun dalam pandangan Kristiani, seperti telah diungkapkan oleh Santo Paulus dengan begitu baik, semua unsur dan manusia ini sampai kepada suatu titik kulminasi dalam diri Yesus Kristus. Rencana Allah adalah “untuk mempersatuikan di dalam Kristus, sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di surga maupun yang di bumi” (Ef 1:10).
Seakan-akan kita semua memainkan peranan dalam satu Sabda yang suci, satu drama cintakasih yang penuh misteri itu, yang ada dalam pikiran Allah sejak dari keabadian. Pemikiran ini menakjubkan – suatu keindahan yang akhirnya tidak dapat kita lihat. Dimulai pada hari pertama penciptaan, Sabda (Firman) Allah – cermin Bapa yang sudah ada sejak dari keabadian – secara perlahan-lahan tampil dari abad ke abad. Sang Sabda menjadi kelihatan dalam Inkarnasi (peristiwa Sabda menjadi manusia) dan akan mencapai puncak pewahyuan-Nya ketika Yesus Kristus kembali dalam kemuliaan-Nya pada hari penghakiman kelak.
Kalau kita dapat menggunakan ungkapan yang digunakan Santo Paulus, oleh rahmat dan adopsi, kita juga adalah bagian dari “Sabda yang menjadi daging”. Kita juga adalah anggota-anggota Tubuh Kristus, dengan Kristus sebagai Kepala (lihat mis. 1Kor 12:12 dsj.; Rm 12:4-5). Bersama segenap ciptaan, kita diberikan suatu peranan dalam tampilnya satu Sabda itu.
Dalam tulisan-tulisan Paus Yohanes Paulus II terdapat petunjuk bahwa pemikirannya menggemakan juga doktrin “keutamaan Kristus” dan unsur-unsur lain dalam visi Santo Paulus mengenai penciptaan. Sri Paus melihat Kristus sebagai kunci utama untuk memahami alam semesta dan sebagai model dan ukuran bagi manusia dapat menilai arti, nilai dan keberhasilan mereka sendiri. Singkatnya, Kristus memberi terang atas apa sebenarnya arti diri kita dan tujuan dari alam semesta. Dalam Ensiklik Redemptoris Hominis Sri Paus memproklamasikan bahwa: Penebus Manusia, Yesus Kristus, merupakan pusat alam semesta dan sejarah” (Redemptoris Hominis, 1). Kemudian beliau mengatakan:
“Kristus Penebus itu “menyatakan manusia sepenuhnya kepada dirinya sendiri” …… Manusia yang ingin memahami dirinya sendiri secara mendalam – dan tidak cuma sesuai dengan takaran dan ukuran yang langsung, sebagian, seringkali dangkal, dan malahan mengawang-awang tentang dirinya sendiri – dia harus dengan kegelisahannya, ketidakpastiannya dan bahkan juga kelemahannya serta kedosaannya, dengan kehidupan dan kematiannya, lebih dekat lagi kepada Kristus.
Dalam Kristus dan melalui Kristus Allah telah menyatakan dirinya sepenuhnya kepada bangsa manusia dan secara pasti mendekatkan dirinya kepadanya; sekaligus juga, dalam Kristus dan melalui Kristus manusia memperoleh kesadaran sepenuhnya akan martabatnya, akan derajatnya setelah ia diangkat, akan nilai yang luhur kemanusiaannya sendiri, dan akan arti hidupnya sendiri.
Oleh karena itu kita semua yang menjadi pengikut Kristus harus bertemu dan bersatu di seputar Dia…” (Redemptoris Hominis, 10. 11).
Catatan Akhir
Dosa adalah bencana dalam sejarah umat manusia, suatu tragedi. Kedosaan memisahkan manusia dari rencana Allah. Manusia mencampakkan relasinya dengan Allah dan berbalik menjadi “mandiri” lepas dari tali kasih Allah, mereka mencoba untuk menemukan penebusan di luar rencana-Nya. Akan tetapi karena kasih-Nya kepada dunia, dari keabadian Allah telah memberikan jalan keluar kepada manusia untuk mengatasi tragedi tersebut. Allah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal (lihat Yoh 3:16-17).
Rahmat penebusan Kristus ditawarkan kepada setiap insan di muka bumi karena setiap orang adalah milik Kristus, dan dia dipanggil untuk disembuhkan dan dibangkitkan, guna berpartisipasi dalam hidup dan kemenangan Yesus, Manusia Pertama itu. Karya Agung Allah ini, sang Kepala dan Sumber ciptaan, adalah Sang Penebus. Dia adalah model untuk semua orang: model bagi umat manusia yang harus menderita dalam hidup mereka karena kutuk dosa. Yesus “menyembunyikan” keilahian-Nya, kemuliaan yang dimiliki-Nya dan Dia mengosongkan diri-Nya (Flp 2:6-8). Dia masuk ke dalam hidup kita yang telah dirusak oleh dosa. Dia sendiri tidak berdosa dan tanpa efek moral dari dosa sedikitpun, namun Dia memperkenankan dosa dunia meliputi diri-Nya dengan derita-sakit-sengsara yang sama seperti yang dirasakan oleh setiap mahluk. Akhirnya kekuatan dosa membunuh-Nya, tetapi karena Dia mengampuni dosa dan menaruh kepercayaan pada Bapa-Nya, Yesus pun bangkit kepada suatu hidup abadi yang baru. Sekarang Dia dapat memberikan hidup itu kepada saudara dan saudari-Nya dengan suatu kuat-kuasa yang tidak dapat ditahan oleh siapa saja. Roh-Nya hidup dalam diri kita dan kita pun diberdayakan dan dimampukan untuk mengalahkan dosa dan maut seperti telah dicontohkan-Nya.
Melalui kematian yang disusul dengan kebangkitan-Nya Yesus menjadi penghancur dosa yang tak tertahankan dan pada saat yang sama Dia adalah pemberi kehidupan. Dia memiliki kuat-kuasa: lemah lembut namun tak terbatas, ilahi namun disalurkan secara manusiawi. Dia adalah Raja. Hukum-Nya adalah Roh dalam diri kita; kerajaan-Nya adalah rahmat, hukuman-Nya adalah pengampunan; kekuatan-Nya adalah kerendahan; harta kekayaan-Nya adalah cintakasih.
Santo Fransiskus tergetar hatinya dengan ide agung namun sederhana mengenai Kristus sebagai Pusat ciptaan, bukan hanya sebagai Allah tetapi juga sebagai seorang manusia yang menjadi Kurban, Imam dan Raja dunia. Kemenangan besar dari kebangkitan berarti kejahatan telah dihancurkan untuk selama-lamanya dan maut telah kehilangan sengatnya (lihat 1 Kor 15:55-56). Fransiskus memandang dirinya sebagai “Bentara sang Raja Agung”. Seorang bentara adalah seseorang yang membawa pesan dari seorang raja. Fransiskus datang menyanyikan Kabar Baik dari Sang Raja segala Raja: “Allah adalah kasih; Kristus adalah Saudara yang memberikan hidup kepada kita, Dia menyelamatkan kita dan membawa kita ke Kerajaan dari Allah yang baik, Bapa kita. Oleh karena itu setiap tindakan yang kita lakukan bagaimana pun juga harus merupakan suatu tindakan cintakasih bagi Sang Raja.”
Untuk direnungkan secara pribadi dan disyeringkan dalam kelompok
- Sebagian dari Fasal 2 Artikel 4 AD OFS berbunyi: “Anggaran Dasar dan cara hidup para Awam Fransiskan ialah: menepati Injil Tuhan kita Yesus Kristus dengan mengikuti teladan Santo Fransiskus Asisi, yang menjadikan Kristus penjiwa dan poros kehidupannya di hadapan Tuhan dan sesama.” Bagaimana dengan anda? Apakah sebagai pengikut Santo Fransiskus Asisi, anda juga menjadikan Kristus sebagai penjiwa dan poros kehidupan anda di hadapan Tuhan dan sesama? Jelaskan!
- Jika Kristus merupakan Pusat dan makna dari segala sesuatu, dapatkah saya menerapkan pemahaman ini dalam hidup sehari-hariku? Misalnya dalam hal pengambilan keputusan: Apakah saya akan menonton film ini atau tidak? Apakah saya akan menikah dengan orang ini atau tidak? Apakah saya mengucapkan kata-kata ini atau tidak? Dll. Semuanya tergantung pada pertanyaan: “Apa yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus dalam hal ini, sekarang? Devosi kepada Sang Raja berarti kesetiaan, kemurahan hati, keberanian dalam bisnis sehari-hari berkaitan dengan kehidupan, berpikir dan mengasihi.
- Apa arti pernyataan “Kristus adalah Raja” bagiku?
- Pelajari apa yang diajarkan oleh Beato Yohanes Duns Scotus tentang “keutamaan (keprimasan) Kristus” dan “keutamaan kehendak”. Diskusikanlah dengan Saudara-saudari yang lain!
- Sebagai Pusat ciptaan, Yesus adalah Allah, tetapi pada saat yang sama sebagai seorang manusia Dia adalah Korban, Imam dan Raja. Renungkanlah pernyataan ini dan syeringkanlah dengan Saudara-saudari yang lain apa yang ada dalam pikiran dan hatimu!
- Untuk dipraktekkan selama satu bulan mendatang. Setiap saat dalam hidup mempunyai acuan kepada Kristus. Hal ini akan seringkali saya pikirkan dan renungkan, khususnya selama satu bulan mendatang. Saya akan mendoakan ini: “Terpujilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di surga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi” (Luk 19:38; bdk Mzm 118:26; Yoh 12:13; Mat 21:9; Mrk 11:9).
- Bacaan Kitab Suci bulan ini untuk direnungkan secara pribadi: (a) Kol 1:15-23; (b) Yoh 1:1-18; (c) Ibr 1:1-4; (d) Yoh 3:16-18; (e) Flp 2:1-11 dan (f) Ibr 4:12-13.
- W. Bader, “THE PRAYERS OF SAINT FRANCIS”, Hyde Park, NY: New City Press, 1995.
- Juniper Carol OFM, THE ABSOLUTE PRIMACY AND PREDESTINATION OF JESUS AND HIS VIRGIN MOTHER, Chicago, Illinois: Franciscan Herald Press, 1981.
- “FIORETTI DAN LIMA RENUNGAN TENTANG STIGMATA SUCI”, Jakarta: SEKAFI, 1997.
- Leonard Foley OFM & Jovian Weigel OFM, “THE THIRD ORDER VOCATION”, Cincinnati, OH: Lay Franciscan Province of St. John Baptist, 1976.
- Placid Hermann OFM, “THE WAY OF ST. FRANCIS”, Chicago, IL: Franciscan Herald Press, 1964.
- Mgr. Leo Laba Ladjar OFM (Penerjemah, pemberi pengantar dan catatan), “KARYA-KARYA FRANSISKUS DARI ASISI”, Jakarta: SEKAFI, 2001.
- Jack Wintz OFM, “LIGHTS – REVELATIONS OF GOD’S GOODNESS”, Cincinnati, OH: St. Anthony Messenger Press, 1995.
- Allan B. Wolter OFM & Blane O’Neill OFM, JOHN DUNS SCOTUS-MARY’S ARCHITECT, Quincy, Illinois: Franciscan Press, 1993.
- Paus Yohanes Paulus II, ENSIKLIK REDEMPTORIS HOMINIS, 1979 (Terjemahan Marcel Beding), Ende, Flores: Penerbit Nusa Indah, 1984.
*) Disusun oleh Sdr. F.X. Indrapradja OFS untuk digunakan dalam pertemuan OFS Persaudaraan Santo Thomas More, Jakarta Selatan, pada HARI RAYA TUHAN KITA YESUS KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM, Minggu 23 November 2008.
[1] Diambil dari Jack Wintz OFM, “LIGHTS – REVELATIONS OF GOD’S GOODNESS”, Cincinnati, OH: St. Anthony Messenger Press, 1995, hal. 70.
[2] Lihat Fioretti, Lima Renungan tentang Stigmata Suci, Permenungan Ketiga: Fransiskus Mendapat Stigmata.
[3] Ini adalah doa yang dicatat oleh seorang Fransiskan yang bernama Ubertino da Casale (1273-1317) dalam karyanya yang berjudul Arbor Vitae Crucifixae Jesu V/4. Terjemahan saya adalah dari teks yang terdapat dalam Placid Herman, OFM, “THE WAY OF ST. FRANCIS”, Chicago, IL: Franciscan Herald Press, 1964, hal.167-168. Teks dalam bahasa Inggris yang sedikit berbeda terdapat juga dalam W. Bader, “THE PRAYERS OF SAINT FRANCIS”, Hyde Park, NY: New City Press, 1995, hal.20.