KRISTUS YANG TERSALIB DAN SANTO FRANSISKUS *)
Sdr. Frans X. Indrapradja, OFS
Pada dasarnya, banyak adat-istiadat popular di dalam tradisi agama Katolik (seperti misalnya Jalan Salib, peristiwa-peristiwa sedih dalam doa rosario dll.) yang merujuk kepada salib dan klimaksnya, yaitu kebangkitan Yesus Kristus pada hari Minggu Paskah. Di samping itu kita mengetahui betapa pentingnya memusatkan perhatian kita pada Kalvari, agar kita dapat lebih menyerupai Kristus. Karena sejak awal, Gereja telah menerima undangan Yesus untuk mengkontemplasikan sengsara dan kematian-Nya: “….. dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku” (Yoh 12:32).
Sdr. Frans X. Indrapradja, OFS
Pada dasarnya, banyak adat-istiadat popular di dalam tradisi agama Katolik (seperti misalnya Jalan Salib, peristiwa-peristiwa sedih dalam doa rosario dll.) yang merujuk kepada salib dan klimaksnya, yaitu kebangkitan Yesus Kristus pada hari Minggu Paskah. Di samping itu kita mengetahui betapa pentingnya memusatkan perhatian kita pada Kalvari, agar kita dapat lebih menyerupai Kristus. Karena sejak awal, Gereja telah menerima undangan Yesus untuk mengkontemplasikan sengsara dan kematian-Nya: “….. dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku” (Yoh 12:32).
Siapapun tak dapat menyangkal bahwa SALIB berada di pusat iman Kristiani. Tanpa SALIB kita tak pantas disebut “Kristen” (=murid-murid Kristus). Namun tak dapat disangkal juga kenyataan banyaknya orang Kristen yang bersikap masa bodoh terhadap salib ini dan banyak pula yang memutar-balikkan artinya. Bahkan ada pula orang-orang yang mengkhianati salib tersebut dalam hidup mereka. Apapun ceritanya, SALIB tetap berdiri, “ditinggikan dari bumi”, tidak hanya menarik orang-orang beriman kristiani kepada Kristus yang tersalib, tetapi juga saudara-saudari yang beriman lain.
Ada ahli-ahli Kitab Suci yang mengatakan bahwa narasi-narasi tentang kelahiran Yesus Kristus, ajaran-ajaran-Nya, mukjizat-mukjizat-Nya dan pelbagai karya cintakasih-Nya sebenarnya merupakan sebuah introduksi panjang saja mengenai jantung kisah Injil, yaitu “penderitaan, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus”. Bagi para murid salib Kristus merupakan sebuah “pembelokan arah” yang bersifat menentukan dalam hidup mereka. Sekarang apa arti salib Kristus itu bagi kita masing-masing? Belajar dari Kitab Suci
Belajar dari Kitab Suci
Ada beberapa wawasan dari narasi-narasi Injil yang dapat membantu kita memahami arti jalan salib Yesus Kristus, sehingga kita pun – berkat rahmat Allah- dapat mengikuti jalan salib tersebut. Narasi-narasi itu ditulis jauh hari sesudah peristiwa-peristiwanya sendiri terjadi, meskipun pada masa itu pelbagai tradisi lisan yang menafsirkan kematian Yesus sudah beredar di kalangan komunitas Kristiani. Para murid memang sempat dibuat bingung oleh misteri salib. Bagaimana mungkin seorang baik seperti Yesus itu mati di kayu salib, seperti layaknya seorang penjahat besar? Bagaimana mungkin Allah tidak mempedulikan-Nya? Lalu, bagaimana suatu kematian yang seperti itu menjadi sumber kehidupan baru dan kekuatan yang begitu riil bagi mereka setelah kebangkitan-Nya?
Satu hal yang dapat kita pelajari dari pelbagai bacaan Injil adalah, bahwa Yesus dalam perjalanan-Nya menuju kematian di kayu salib bukanlah seorang korban dari keadaan. Kematian-Nya sangatlah berbeda dengan kematian banyak tokoh lain, baik tokoh-tokoh sejarah yang riil maupun tokoh-tokoh dalam pelbagai tulisan klasik seperti Hamlet, Romeo & Juliet atau Sam Pek Eng Thai. Kepada para perempuan yang mengikuti-Nya Yesus berkata: “Hai putri-putri Yerusalem, janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!” (Luk 23:28). Yesus tidak menginginkan rasa kasihan atau simpati mereka. Yesus dapat saja menghindari “jalan sukar” ke Yerusalem, tetapi dengan lugasnya Lukas menggambarkan sikap Yesus: “Ketika hampir tiba waktunya Yesus diangkat ke surga, Ia mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem” (Luk 9:51). Yesus tidak perlu pergi ke taman Getsemani pada malam Ia ditangkap. Ia dapat saja diam di ruang atas tempat perjamuan akhir dan berdoa di sana. Tetapi Yesus tetap pergi juga ke taman Getsemani, meskipun Ia tahu bahwa Yudas telah berkhianat dan akan membantu menangkap-Nya di sana. Ketika Petrus mencoba membelokkan-Nya dari jalan salib, Yesus malah menegurnya dengan keras: “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia” (Mrk 8:33). Dengan jelas Yesus mengajarkan kepada para murid bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan, lalu dibunuh (lihat Mrk 8:31). Jadi, Yesus memang memilih jalan salib dengan sadar dan sukarela. Dengan melakukannya seperti itu Yesus membeberkan betapa seriusnya kedosaan manusia. Patut dicatat, kematian Yesus di kayu salib bukanlah suatu bunuh diri spiritual. Kematian Yesus adalah sebuah kematian yang sangat menyakitkan, sebuah kematian fisik, suatu kematian yang sukarela demi ketaatan pada kehendak Allah.
Sejak awal para murid bergumul guna memperoleh penjelasan yang dapat diterima akal sehat perihal fakta kematian Yesus Kristus. Bagaimana Allah memperkenankan Anak-Nya diperlakukan begitu buruk dan berakhir di kayu salib? Mengapa orang-orang baik justru mengalami penderitaan yang begitu buruk? Bagaimana mungkin Allah “membuang” Yesus justru pada saat-saat Dia paling membutuhkan pertolongan? Satu cara yang dipakai oleh para murid untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu adalah menarik pelajaran dari pengalaman panjang mereka sebagai sebuah bangsa yang menderita dalam keterikatan dan dalam kejahatan. Mereka merujuk pada Kitab Suci untuk memperoleh pelbagai wawasan yang dapat membantu mereka. Perasaan dibuang oleh Allah tercatat dalam Kitab Suci (Mzm 22 dan 118). Cerita mengenai “hamba Yahwe yang menderita” dalam Yes 53 menyentuh hati mereka, karena begitu menyerupai apa yang dialami oleh Yesus: “Ia ….. seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan ….. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya ….. dia diremukkan oleh karena kejahatan kita ….. dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh” (Yes 53:1 dsj.).
Memang Yesus mati karena dosa-dosa orang lain seperti Hanas, Kayafas, Pilatus dan orang banyak. Namun dalam menerima kematian-Nya secara sukarela sebagai bagian dari ketaatan-Nya, maka sesungguhnya Yesus mati atas nama orang-orang lain, demi orang-orang lain. Kristus yang tersalib menentang dan bahkan menantang mereka yang kaya, mereka yang memiliki kekuasaan dan pengaruh. Yesus Kristus ini berpihak kepada mereka yang miskin, mereka yang tertindas dan mereka yang lapar serta haus. Yesus menderita bersama mereka dan atas nama mereka. Penulis surat kepada orang Ibrani menulis bahwa “Yesus telah menderita di luar pintu gerbang untuk menguduskan umat-Nya dengan darah-Nya sendiri” (Ibr 13:12). Penderitaan Yesus seperti ini menjadi dasar lahirnya sebuah persekutuan dalam penderitaan, sebuah komunitas orang-orang tersalib. Menanggung beban orang-orang lain sampai mati menjadi suatu kemungkinan historis. “Menderita karena …..” bergeser menjadi “menderita atas nama …..” (“demi …..”). Menderita secara sukarela di tangan Allah menjadi penderitaan yang dialami demi orang lain. Para murid pun mulai memahami sabda Yesus yang mereka pernah dengar sebelumnya: “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk 10:45). Dengan demikian, sesungguhnya salib menawarkan kepada kita karunia pengampunan Allah dan memulai sebuah proses pembaharuan dan rekonsiliasi dalam hati kita masing-masing.
Bacaan-bacaan Injil menunjukkan bahwa pada saat kejadiannya, penyaliban Tuhan Yesus samasekali tidak dipahami oleh para murid. Mereka lari ke mana-mana dan berpikir bahwa visi dan misi Yesus sudah hancur berantakan. Selang beberapa hari mereka mendengar desas-desus bahwa kubur Yesus sudah kosong. Kemudian desas-desus itu berubah menjadi “kehadiran” Yesus dalam bentuk penampakan-penampakan setelah kebangkitan-Nya. Kehadiran ini menjadi kekuatan dan ….. secara luar biasa, kekuatan Kristus yang tersalib dan bangkit menjadi begitu riil sehingga diterima sebagai sumber hidup baru. Kristus yang bangkit mengubah para murid menjadi sebuah komunitas-iman yang berani, yang samasekali tidak takut untuk menerima pernyataan yang diucapkan malaikat berikut ini: “Janganlah kamu takut; sebab aku tahu kamu mencari Yesus yang disalibkan itu. Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit, sama seperti yang dikatakan-Nya …..” (Mat 28:5-6). Terang kebangkitan Kristus memberikan sebuah makna yang sesungguhnya dari salib. Pelbagai kesaksian Perjanjian Baru menunjukkan bahwa salib tak dapat dipisahkan dari kebangkitan, demikian pula ….. kebangkitan tak terpisahkan dari salib. Tidak ada hari Minggu Paskah tanpa melalui hari Jumat Agung. Tidak ada peninggian tanpa adanya perendahan terlebih dahulu (lihat Flp 2:6-11). Yesus yang tersalib adalah Kristus yang bangkit; Kristus yang bangkit adalah Yesus yang tersalib.
Dalam kematian Yesus di kayu salib, Allah mengubah kematian menjadi sebuah sumber kehidupan. Dalam kebangkitan Yesus, Allah mengatakan “amin” terhadap kematian-Nya. “Mati agar supaya hidup” adalah pelajaran yang dapat ditarik dari salib. Akan tetapi hal ini jauh lebih mudah dikhotbahkan daripada dipraktekkan. Dalam berelasi dengan orang-orang lain kita malah sering menolak untuk mati. Kebanggaan kita dan “sikap mau benar sendiri” yang kita miliki tidak pernah lepas dari diri kita. Kita tidak mau mengampuni orang-orang lain, sehingga dengan demikian kita pun tidak menerima pengampunan dari orang-orang lain. Kita tetap menderita sakit, tetap dibebani rasa bersalah, tetap merasa tak puas dalam hati; bukannya merasa “ditebus, disembuhkan, diperbaharui, diampuni”. Demikian pula dengan pelbagai lembaga dalam gereja-gereja, dalam masyarakat, dalam sistem politik yang seringkali menolak untuk mati meskipun secara aktual sudah kehilangan daya gunanya. Bukankah betapa sering kita -atas nama tradisi- “bersikap kepala batu” guna mempertahankan struktur-struktur kuno, dengan demikian tak ada ruang yang tersisa bagi mereka yang muda usia, bagi segala sesuatu yang baru, bagi mereka yang penuh entusiasme, untuk melakukan terobosan menuju kehidupan baru, seperti cahaya kebangkitan memancar pada pagi hari Paskah? Paulus menulis: “….. Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal. Sebab sama seperti maut datang karena satu orang manusia, demikian juga kebangkitan orang mati datang karena satu orang manusia” (1Kor 15:20-21). Yesus juga bersabda: “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Jika biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh 12:24). “Kita harus mati agar supaya hidup”, inilah pelajaran permanen dari salib bagi kita semua.
Salib ditinggikan dari bumi dan salib itu menarik semua orang kepada Kristus yang tersalib. Setiap lambang sebenarnya merujuk kepada sesuatu yang lebih luas, lebih dalam, lebih misterius. Demikian pula dengan salib Kristus. Dapatlah dikatakan bahwa pelbagai upaya kita untuk memahami SALIB tak akan pernah mampu menghapuskan misterinya. SALIB adalah lambang tertinggi cintakasih Allah yang menderita terhadap mereka yang menderita. SALIB mengajarkan kepada kita bahwa penderitaan dapat diatasi hanya lewat penderitaan; bahwa rasa sakit Allah dalam Kristus mengatasi rasa sakit kita.
Paulus mengatakan bahwa andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan yang dilakukan olehnya dan sia-sialah kepercayaan kita semua (lihat 1Kor 15:13). Di atas kita sudah lihat bahwa kebangkitan Kristus tak terpisahkan dari kematian-Nya. Paulus juga mengatakan bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya ….. supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru. Sebab jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya. Karena kita tahu bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan ….. Jika kita telah mati dengan Kristus, kita percaya bahwa kita akan hidup juga dengan Dia (lihat Rm 6:3-6.8).
Belajar dari Santo Fransiskus
Bagi sejumlah orang kudus dalam sejarah, cintakasih Allah yang diperlihatkan secara nyata pada Hari Jumat Agung bukan hanya merupakan satu unsur dari hidup spiritual mereka, tetapi lebih daripada itu ….. cintakasih Allah tersebut menjadi suatu sumber spiritualitas yang merasuki perjalanan hidup mereka dalam menuju kekudusan. Salah seorang dari para kudus tersebut adalah Bapak Serafik kita. Kehidupan seorang mistikus abad pertengahan yang periang ini merupakan sebuah contoh yang sangat bagus perihal apa yang dapat terjadi apabila seseorang merenungkan sengsara Kristus di Kalvari secara mendalam. Lewat kesaksian hidupnya, Fransiskus dari Assisi dapat menolong kita memasuki misteri terdalam dari Salib Kristus.
Dua tahun sebelum kematiannya, Fransiskus menarik diri ke La Verna, yaitu sebuah tempat sunyi di pegunungan berbatu yang terletak di Italia bagian tengah. Fransiskus menggunakan waktunya di tempat itu untuk berdoa dalam keheningan. Fioretti menceritakan bahwa pada suatu hari, pada hari Pesta Salib Suci, sewaktu dia berlutut merenungkan sengsara Kristus dan cintakasih-Nya yang tak terbatas, Fransiskus –yang sedang dikobarkan oleh kontemplasi- melihat serafin dengan enam buah sayap yang bercahaya serta berapi-api turun dari langit. Dengan kecepatan terbang yang amat tinggi serafin ini mendekati Fransiskus, sehingga dia dapat memandangnya dengan jelas. Serafin itu mengambil bentuk serupa seorang manusia dengan tangan terentang seperti halnya di kayu salib. Dua sayap serafin itu terentang di atas kepalanya, dua lagi terbentang untuk terbang dan dua lainnya menutup seluruh tubuhnya. Wajah Kristus tampak begitu bersahabat dan memandang Fransiskus dengan ramah dan lembut. Dia terpaku pada salib. Selagi Fransiskus menatapnya dengan terkesima, tubuhnya memperoleh teraan dari luka-luka Yesus Kristus. Sejak saat itu, Fransiskus merasakan penderitaan dari Yesus, baik secara lahiriah dalam tanda stigmata maupun secara batiniah dalam merasakan kesengsaraan Yesus karena cintakasih-Nya atas manusia yang berdosa. Allah menghendaki bahwa Fransiskus terjelma ke dalam keserupaan yang nyata dengan Kristus Tersalib. Kita pun tahu dari Fioretti, bahwa sebelum penerimaan stigmata itu, Fransiskus menghaturkan “doa orang bodoh” ini kepada Tuhan Yesus: “Tuhanku Yesus Kristus, saya mohon kepada-Mu karuniakanlah dua anugerah sebelum saya meninggal. Yang pertama ialah agar Kauizinkan merasakan –dalam jiwa ragaku- sebanyak mungkin penderitaan hebat yang Engkau, Yesus Yang Manis, telah rasakan pada saat sengsara-Mu yang amat pahit itu. Yang kedua ialah agar saya boleh merasakan dalam hatiku sebanyak mungkin cinta yang tak terbatas, dengan mana Engkau, Putera Allah, tergerak dan mau menanggung sengsara sedemikian itu bagi kami para pendosa” (Lihat Fioretti, Lima Renungan tentang Stigmata Suci, Permenungan Ketiga: Fransiskus Mendapat Stigmata).
Banyak generasi telah merenungkan dan menulis tentang peristiwa Fransiskus mendapat stigmata ini. Akan tetapi, kejadian di abad ke tiga belas ini masih saja menjadi teka-teki -namun sekaligus menarik minat tidak sedikit umat Kristiani. Mengapa Allah melibatkan diri dalam suatu hal yang sifatnya dramatis seperti itu? Pelbagai riwayat hidupnya mengungkapkan, bahwa meskipun Fransiskus mencoba untuk menutupinya, kabar mengenai stigmata-nya tersebar luas. Mereka yang menyaksikan sendiri luka-luka suci itu pun sempat dibuat tertegun. Dalam dokumen-dokumen yang dibacakan dalam proses kanonisasinya dan dalam kisah-kisah lain dari hidupnya, para penulis pada masa itu mencoba mencari paling sedikit sebagian penjelasan tentang apa yang terjadi di La Verna itu dengan menunjuk kepada tiga unsur yang saling berhubungan di dalam kehidupan Fransiskus, yaitu “kesentralan SALIB”, “permenungan Injil” dan “meniru kehidupan Yesus di bumi”.
Kesentralan Salib
Fransiskus senantiasa memiliki ketertarikan terhadap representasi grafis dari Kristus yang tersalib (bahkan lambang salib yang lebih sederhana), karena semua itu mengingatkan Fransiskus bagaimana Yesus telah menang dalam usaha-Nya menyelamatkan kita. Ketika Fransiskus berusia duapuluh tahunan, Allah memanggilnya untuk menjalani sebuah cara hidup yang istimewa. Allah berbicara kepadanya secara jelas melalui sebuah ikon, yaitu salib San Damiano, yang hingga saat ini masih dipelihara oleh para suster Klaris di Assisi. Lukisan abad pertengahan ini menggambarkan Yesus yang telah bangkit, tetapi tetap berdiri seolah-oleh masih tersalib, dan masih berdarah karena luka-luka-Nya. Fransiskus melihat pesan yang lebih mendalam dari Salib ini, yaitu bahwa: “Cintakasih lebih kuat daripada kematian.”
Fransiskus selalu memberikan perhatian yang besar kepada Kitab Suci. Dia melihat bahwa Yeh 9:4 bercerita mengenai huruf Ibrani TAU yang mirip dengan lambang salib, yang ditandai di kening para umat yang percaya sebagai tanda keselamatan surgawi. Lambang ini muncul lagi dalam Why 7:3. Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika Fransiskus mengadaptasikan lambang tersebut menjadi semacam “logo” pribadi. Dia melihatnya pada desain jubah sederhana yang dikenakan olehnya dan para pengikutnya. Fransiskus juga menggunakan lambang TAU tersebut dalam surat-suratnya sebagai bagian dari tanda-tangannya dan dia juga melukiskannya pada dinding-dinding tempat tinggal mereka yang primitif, tempat di mana mereka berkumpul untuk beristirahat dan berdoa. Bahkan, benda-benda non-religius yang menyerupai salib kadang-kadang juga menarik perhatian Fransiskus, karena keindahan selalu hadir di mata orang kudus ini.
Merenungkan Injil
Fransiskus tidak hanya melihat salib di depan matanya secara luarnya saja, tetapi dia menyediakan waktu primanya untuk berdoa dan secara mendalam merenungkan narasi Injil perihal korban Paskah Yesus. Meskipun banyak hal yang tetap tersembunyi perihal relasi Fransiskus dengan Allah, ada indikasi jelas bahwa konsentrasinya atas kisah sengsara Yesus Kristus tidak pernah jauh dari pikiran dan hatinya. Mari kita lihat beberapa contoh faktual berikut ini:
- Fransiskus sering menangis didorong oleh perasaannya yang mendalam atas apa yang dialami oleh Yesus demi menyelamatkan kita dari dosa. Terlebih-lebih dia dibuat sedih oleh sifat banyak orang yang tak berterima kasih dan bersikap masa bodoh, walaupun begitu tingginya harga yang perlu dibayar guna menebus dosa mereka. Diceritakan bagaimana dia sering berseru di jalan-jalan dengan kesedihan mendalam: “Cintakasih tak dicintai! Cintakasih tak dicintai!” Fransiskus sangat menyadari penderitaan fisik yang berkaitan dengan sengsara dan salib Yesus, tetapi doa-doanya mengungkapkan bahwa minatnya lebih diarahkan pada penderitaan Yesus secara spiritual dan psikologis. Berulang kali Fransiskus kembali kepada ketaatan Yesus, kepatuhan-Nya dan kepercayaan-Nya kepada Bapa dan afeksi-Nya yang tiada bandingnya terhadap para pendosa. Bagi Fransiskus, ini adalah pesan dari SALIB yang sangat kuat menguasainya dan tak dapat diragukan lagi.
- Sebagian dari para pengikut awal Fransiskus merupakan orang-orang yang tidak berpendidikan dan malah buta huruf. Oleh karena itu, Fransiskus mengajarkan kepada mereka untuk mengucapkan doa berikut ini, yang sesungguhnya menggambarkan jeritan hatinya sendiri: “Kami menyembah Engkau Tuhan Yesus Kristus, ( di sini) dan di semua gereja-Mu yang ada di seluruh dunia, dan kami memuji Engkau, sebab Engkau telah menebus dunia dengan salib-Mu yang suci” (Lihat Was 5; 1Cel 45; Leg Maj IV, 3)
- Sebagai bagian dari meditasi pribadinya dan sesuatu yang dibuatnya bersama dengan para suster Klaris, Fransiskus menyusun “Ibadat Sengsara Tuhan” yang dibuat seturut pola ibadat harian yang digunakan dalam biara-biara. Terutama diambil dari Mazmur, “Ibadat Sengsara Tuhan” pada hakekatnya merupakan sekumpulan petikan ayat-ayat yang diambil dari Kitab Suci yang sejalan dengan kisah sengsara Yesus yang terdapat dalam bacaan-bacaan Injil.
Fransiskus mencoba meniru kehidupan Yesus di bumi secara mendetil. Seperti halnya Tomas yang tidak merasa puas dengan kesaksian para murid lain dan harus menyentuh serta merasakan bukti dari sengsara Yesus dengan jari-jari tangannya sendiri, maka Fransiskus pun mempunyai keinginan untuk mengalami Kristus secara pribadi. Hal ini membuatnya mencoba untuk meniru dan bahkan mengulangi kejadian-kejadian tertentu yang tercatat dalam Injil. Fransiskus merenungkan Yesus sebagai seorang manusia yang miskin, lapar dan tanpa tempat untuk berteduh. Hal ini membakar keinginan dalam dirinya untuk menyatukan dirinya dengan Tuhan Yesus. Bagaimana? Yaitu dengan cara mengalami sendiri hal-hal tersebut. Ingat “doa orang bodoh” yang diucapkannya sebelum mendapat stigmata seperti disebutkan di atas. Lama sebelum peristiwa stigmata di La Verna, Fransiskus sudah mencoba untuk memasuki misteri pengurbanan Yesus dengan cara merangkul orang-orang yang sakit, yang menderita dan mengalami kesusahan, dalam semangat cintakasih yang memahkotai kehidupan Yesus dengan kematian-Nya di Kalvari.
Selama karir singkatnya sebagai seorang penyanyi keliling Allah di bumi ini, banyak orang yang berpaling kepada Fransiskus guna meminta bantuan atau petunjuk spiritual. Sebagian bergabung dalam kelompok para Saudara Dina dan banyak pula yang datang meminta nasihat, hikmat-kebijaksanaan dan pengarahan dari Fransiskus. Kalau kita lihat unsur-unsur devosinya yang mendalam terhadap Kristus yang tersalib, maka dapatlah dikatakan bahwa cara pendekatan Fransiskus adalah mendalam tetapi sederhana, yaitu: Di depan matanya Fransiskus menyimpan visi dari Kristus yang bangkit tetapi juga tersalib; dia senantiasa mencari artinya dalam doa-doanya; dia senantiasa mencari jalan untuk merangkulnya dalam kehidupan sehari-harinya.
Fransiskus yakin bahwa dirinya adalah seorang pendosa dan kedosaannya merupakan sebagian alasan mengapa Yesus harus mati di kayu salib. Akan tetapi Fransiskus tidak menjadi putus asa atau membiarkan dirinya dilumpuhkan oleh rasa penyesalan mendalam yang berlarut-larut. Bagi Fransiskus SALIB adalah sebuah pernyataan kemauan Yesus untuk melakukan apa saja dan mengalami penderitaan apa saja guna menyelamatkan umat manusia. Dan ….. Fransiskus menyandarkan dirinya pada SALIB itu. Fransiskus sangat percaya bahwa Yesus sangat mengasihinya dan hal ini memberikan keberanian kepada dirinya untuk menghadapi pelbagai kekurangan pada dirinya, karena dia mengetahui bahwa Yesus akan menolongnya dalam mengatasi kekurangan-kekurangan itu.
Catatan akhir
Paulus memberitakan Kristus yang disalibkan. Bagi orang-orang Yahudi yang menghendaki tanda, hal ini merupakan suatu batu sandungan, sedangkan bagi orang-orang Yunani yang mencari hikmat ….. suatu kebodohan. Akan tetapi, untuk mereka yang dipanggil –siapa pun mereka- Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah. Sebab …..yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya daripada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat daripada manusia (lihat 1Kor 1:22-25). Sejarah menunjukkan bahwa Fransiskus adalah salah seorang “bodoh” termaksud. Kehidupan pertobatannya menunjukkan bahwa dia tidak pernah lagi terpisah dari Kristus yang tersalib.
Dari pelbagai bacaan Kitab Suci di atas dan juga pengalaman pribadinya di depan Salib San Damiano dan praktek iman selanjutnya dari Fransiskus, kita dapat mengatakan bahwa kebangkitan tak dapat dipisahkan dari kematian dan ….. kita harus mati (disalibkan) agar supaya hidup. Dalam usia mudanya Fransiskus telah menyalibkan “manusia lamanya”, dan muncullah seorang Fransiskus yang banyak menghasilkan buah berlimpah bagi Gereja dan Kerajaan Allah di bumi ini serta umat manusia pada umumnya.
Akhirnya kita tahu, bahwa tak ada Hari Paskah tanpa Hari Jumat Agung, tak ada kebangkitan tanpa didahului oleh kematian; tidak ada peninggian tanpa didahului oleh perendahan. Itulah jalan Yesus yang kita mau ikuti sesuai teladan yang telah diberikan oleh Bapak Serafik kita.
*) Sesuai dengan yang termuat dalam majalah PERANTAU Th. XXIV, No. 2, Maret-April 2001 dengan beberapa perbaikan kecil.