Dua macam semangat. Dalam sebuah seminar kecil para anggota Lumen II di Singapura yang diselenggarakan pada bulan November 1989, saya mendapat sebuah pelajaran penting dari P. Gino Henriques CSsR, yaitu bahwa seorang Kristiani sejati seharusnya memiliki dua macam anugerah, yaitu spirit of celebration (semangat atau roh penuh sukacita) dan spirit of sharing (semangat atau roh untuk berbagi). Memang, jikalau Bapa dan Yesus dalam Roh Kudus sudah berdiam dalam diri kita, maka kedua macam semangat/roh itu tentu menjadi bagian dari diri kita. Bapak kita Santo Fransiskus jelas memiliki kedua semangat/roh tersebut.
(Pertemuan OFS Persaudaraan Santo Thomas More, Jakarta Selatan, Minggu tanggal 27 Maret 2011)
Catatan: Pekan lalu saya diberi tugas oleh Sdr. T. Wahyono OFS, Minister Lokal, untuk memberi pengajaran pada pertemuan OFS Persaudaraan Santo Thomas More pada hari Minggu kemarin, tanggal 27 Maret dengan judul “Mari Berbagi”, jadi sesuai dengan tema masa Prapaskah KAJ. Di bawah ini adalah beberapa pokok pengajaran yang diberikan dalam pertemuan itu. Tidak ada makalah khusus yang disiapkan karena ketiadaan waktu yang tersedia dan juga printer saya memang sedang rusak. Pengajaran saya hanya berdasarkan outline sangat sederhana yang hanya memakan satu halaman buku tulis anak SD. Semoga corat-coret di bawah ini berguna bagi anda para saudari-saudara Fransiskan sekular yang membaca dan ingin mendalaminya lebih lanjut.
Dua macam semangat. Dalam sebuah seminar kecil para anggota Lumen II di Singapura yang diselenggarakan pada bulan November 1989, saya mendapat sebuah pelajaran penting dari P. Gino Henriques CSsR, yaitu bahwa seorang Kristiani sejati seharusnya memiliki dua macam anugerah, yaitu spirit of celebration (semangat atau roh penuh sukacita) dan spirit of sharing (semangat atau roh untuk berbagi). Memang, jikalau Bapa dan Yesus dalam Roh Kudus sudah berdiam dalam diri kita, maka kedua macam semangat/roh itu tentu menjadi bagian dari diri kita. Bapak kita Santo Fransiskus jelas memiliki kedua semangat/roh tersebut.
Sehubungan dengan tema masa Prapaskah tahun ini, maka pembahasan dalam pertemuan ini akan menggarisbawahi atau menekankan ‘semangat atau roh untuk berbagi’.
Lima pilar penunjang Spiritualitas Fransiskan. Ada lima buah pilar:
(1) INKARNASI, sang Sabda menjadi manusia. Demi kasih-Nya, Allah Bapa mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, dengan menjelma menjadi manusia (lihat Yoh 3:16).
(2) SENGSARA KRISTUS (+ KEMATIAN + KEBANGKITAN-NYA), agar supaya kita-manusia dapat ikut ambil bagian dalam kehidupan ilahi.
(3) EKARISTI (memecah-mecahkan roti). Setelah Perayaan Ekaristi kita tidak stop di situ lalu menjadi suci-suci sendiri, tapi harus memecah-mecah diri kita, membawa Kristus yang ada dalam diri kita kepada orang-orang lain.
(4) KITAB SUCI – Jangan katakan kita Fransiskan kalau kita tidak membaca dan merenungkan sabda Tuhan dalam Kitab Suci setiap hari. Ada banyak cara untuk merenungkan bacaan Kitab Suci, antara lain lectio divina. Kita harus meneladan Bapak Serafik kita. Bagi Santo Fransiskus dari Assisi Injil adalah Kristus sendiri!
(5) MARIA – Jangan katakan kita Katolik kalau tidak ada Bunda Maria, Ibu dan pelindung Ordo Fransiskan.
Kelima pilar penunjang di atas, bersama-sama maupun sendiri-sendiri memiliki semangat berbagi yang sangat kental. Pilar ke-1 sampai dengan ke-3 dengan jelas memiliki unsur berbagi. Pilar ke-4 juga jelas, karena Kitab Suci adalah “kisah cinta” Allah kepada kita-manusia, yang suka bandel, memberontak dll. Kisah Allah yang selalu mau berbagi kasih-Nya kepada kita. Pilar ke-5, Ibu Maria sampai hari ini masih berbagi dengan umat Kristiani. Penampakan-penampakannya pada waktu-waktu dunia mengalami situasi yang sangat kritis menunjukkan keprihatinannya. Misalnya penampakannya di Fatima, dll.
Kita memberi karena Allah lebih dahulu memberi kepada kita. Setelah secara cepat disinggung sub-tema masing-masing pertemuan Kitab Suci dalam rangka masa Prapaskah ini, maka saya tekankan bahwa berbagi bukanlah harus selalu diartikan berbagi uang dan hal-hal yang bersifat materiil lainnya. Berbagi bisa mengambil banyak bentuk, misalnya menyediakan waktu untuk mendengarkan orang yang sedang berada dalam kesusahan (sebagai pendengar yang baik), mengunjungi saudari-saudara yang sakit dll.
Allah itu baik, tetapi terus terang manusia seringkali ditimpa rasa ragu akan kebaikan Allah itu, seperti ditulis oleh seorang Yesuit berikut ini: “By and large, we men and women of this world find it very difficult to believe that God loves us. There are many reasons to explain this. First, it is unthinkable that Almighty Infinite Being be interested in us miserable creatures. What can we offer to our Maker? Second, we see the wealth of this world in the hands of a few who enjoy all sorts of comforts and luxuries; while the great majority of human beings are deprived of the necessities of life. The oppressor and the cunning thrive in this world, but the poor and the innocent suffer injustice and cruelty. It is very hard for us to reconcile God’s goodness and love with our present misfortunes and calamities. Third, we love others when they respond to us and meet our need for affection. If indifference is all that they show to us, we just cannot love them. We know we are sinners and know how poor our response to God is. We think of God as though He were like one of us. Thus, we conclude that God cannot love us” (J.M. Fuster SJ, Love as I love). [Dalam pertemuan itu saya melakukan terjemahan langsung ke dalam bahasa Indonesia setelah membacakannya. Untuk tulisan ini harap saudari-saudara terjemahkan sendiri, ya.]
Kemudian saya kemukakan dua ayat dari surat pertama Santo Yohanes untuk memancing diskusi yang hidup: (1) “Kristus telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita, jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara seiman kita” (1Yoh 3:16); (2) “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita” (1Yoh 4:10). Diskusi berjalan dengan hidup, dan hal-hal yang dicakup dalam diskusi cukup melebar meski masih terkendali, a.l.:
(1) Pembahasan mengenai makna teologis “Wahyu” dan “Iman”. Yesus sebagai kepenuhan wahyu. Dia adalah sungguh Allah sungguh manusia (Konsili Kalsedon tahun 451)
(2) “Yesus dari Nazaret” dan “Kristus yang bangkit”, dan dampaknya dalam upaya kita membaca Injil. Dalam kaitan ini dibahaslah secara sederhana dua pendekatan dalam Kristologi (ke atas dan ke bawah). Dicoba untuk membandingkan, misalnya antara Injil Markus sebagai yang paling tua dengan Injil Yohanes yang muncul berpuluh tahun kemudian.
(3) Bagaimana mengartikan sabda Yesus, “Akulah dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:6). Dalam kaitan ini sempat disinggung teologi Karl Rahner SJ tentang “Kristiani anonim”, dan juga Mat 25:31-46 tentang “Penghakiman Terakhir”.
(4) Gejala berpindahnya orang-orang Katolik ke gereja Kristiani fundamentalis karena khotbah-khotbah “cemerlang” para pendeta/penginjilnya.
(5) Meneladan Santo Fransiskus dalam memandang orang yang beriman lain; dan lain-lain.
Kehidupan kerasulan. Adalah pertanyaan yang salah kalau kita bertanya: “Apa sih karya kita sebagai OFS? Seorang Fransiskan Sekular pertama-tama adalah FRANSISKAN, dan dia dapat mengerjakan karya apa saja dalam memajukan kerajaan Allah yang berkenan di mata-Nya; bergerak di bidang agro, menjadi profesor, dokter, guru SD, perawat dlsb. Jadi bagi kita, yang penting adalah BEING-nya kita, bukan DOING-nya.
Pada kesempatan ini ditekankan lagi bahwa kehidupan kerasulan (apostolic life) seorang Fransiskan Sekular sangat tergantung pada spiritualitasnya. Hal ini berlaku untuk semua orang juga, termasuk para imam dan biarawati-biarawan lainnya. Tanpa ditunjang oleh spiritualitas yang kokoh, maka kegiatan kerasulan yang mana pun akan – cepat atau lambat – menjadi jenuh. Kebenaran ini saya peroleh dari bacaan tentang spiritualitas dan kerasulan awam tulisan Pater Piet Go O.Carm sekian tahun lalu dan dialami sendiri oleh saya. Terpujilah Allah, kita di OFS memperoleh bekal kefransiskanan atau spiritualitas Fransiskan dalam menjalankan kegiatan kerasulan kita, baik dalam lingkup gerejawi (menjadi prodiakon, ketua seksi liturgi, ketua seksi kematian dlsb.) dan dalam tata-dunia (dalam bidang pekerjaan, sebagai kepala rumah tangga, sebagai ibu rumah tangga dlsb.).
Pada dasarnya semua Fransiskan harus menjadi vanguard of evangelization, artinya harus berada pada barisan terdepan (garda terdepan) dalam pekerjaan evangelisasi (termasuk dalam rumah tangga sendiri). Dan seturut Santo Fransiskus kita harus berkhotbah dengan hidup kita, bukan NATO (No Action Talk Only)! Dengan demikian, kita – seperti juga Santo Fransiskus – sejatinya menjadi Heralds of the Great King, artinya menjadi para bentara sang Raja Agung.
Kehidupan kerasulan seorang Kristiani sejati adalah membawa Kristus kepada orang-orang lain dan berbagi iman dan apa saja yang baik di mata Allah kepada semua orang yang dijumpai.
Cilandak, 28 Maret 2011
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
Catatan: Diperiksa dan diperbaiki sedikit oleh Sdr. F.X. Indrapradja OFS pada tanggal 20 Februari 2013.