Orang-orang yang hidup sehari-harinya sudah bersama Kristus juga akan lebih sensitif terhadap berbagai komitmen dan kewajiban yang berasal dari kebersatuannya dengan Sang Ilahi. Mereka akan lebih menderita manakala memikirkan dosa-dosanya sendiri dan dosa-dosa orang lain. Mereka juga akan merasakan luka yang lebih dalam manakala Kristus dan Gereja diserang. Mereka telah memanggul salib setiap harinya.
Para kudus mempunyai kerinduan mendalam agar dapat hidup menderita dan mereka senantiasa berdoa untuk diberi rahmat agar diperkenankan menderita bersama Kristus. Sebaliknya, rata-rata ‘orang-orang biasa’ (termasuk kita sendiri, bukan?) lebih suka untuk menghindari sebanyak mungkin penderitaan dalam kehidupan ini, malah tidak sedikit orang yang secara rutin berdoa agar diluputkan dari penderitaan ini dan/atau itu. Fakta menunjukkan, bahwa dari sejak zaman dahulu sampai sekarang sebagian besar umat manusia menjalani hidup sehari-hari yang penuh dengan penderitaan. Tentu ada banyak sekali manusia di dunia yang pada hari ini tidak mengetahui apa yang akan mereka makan pada hari esok. Yang mereka tahu pasti adalah, bahwa perut mereka akan keroncongan.
Dengan demikian tidak mengherankanlah, apabila Putera Allah yang datang ke dunia sebagai seorang manusia juga solider ikut menderita bersama manusia-manusia lainnya. Oleh karena itu siapa saja yang ingin menjadi milik Kristus harus menerima penderitaan yang tersedia baginya. Yesus bersabda: “Siapa saja yang tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku (Mat 10:38). Hal ini tidak berarti bahwa kita harus mencari-cari salib ini! Apabila kehidupan sehari-hari kita – seperti diungkapkan dalam sikap dan perilaku kita – benar-benar sebagai saudara-saudari dari Yesus, benar-benar sebagai murid-Nya, benar-benar sebagai orang-orang Kristiani yang bukan sekadar Kristiani KTP, maka kehidupan seperti itu akan membawa serta penderitaan.
Kita harus sudah siap menerima konsekuensi-konsekuensi tertentu, misalnya apabila kita diharuskan bertindak dalam segala situasi tidak seturut kesenangan kita sendiri, akan tetapi seturut kehendak Allah. Hal ini berarti kita seringkali harus berenang melawan arus pendapat umum. Hal ini menuntut keberanian, ketekunan serta kemampuan untuk menaklukkan diri sendiri. Orang-orang seperti ini ada, meskipun tidak banyak diketahui umum. Dalam skala mikro sebuah instansi pemerintahan atau perusahaan, misalnya ada pejabat yang tidak mau ikut-ikutan korupsi berjemaah, pada akhirnya harus menerima konsekuensi-konsekuensi berupa hambatan-hambatan dalam promosi, mutasi ke tempat yang ‘kering kerontang’ di pulau terpencil dll. Seorang beriman harus melawan arus, harus menjadi ‘tanda-lawan’, karena dia berhutang kepada Yesus yang telah menebusnya, Dia yang telah menyelamatkannya.
Menjadi ‘tanda-lawan’ bukanlah sekadar naik sepeda ontel untuk menunjukkan bahwa kita lain daripada sebagian besar anggota masyarakat (dalam hal penghayatan ‘nilai-nilai kehidupan’), melainkan misalnya sebagai seorang direktur perusahaan, seseorang berani bersuara dalam rapat Direksi perusahaan demi kebenaran dan keadilan meskipun sejak awal dia (si Direktur yang menjadi ‘tanda-lawan’) tahu sudah akan kalah suara serta sadar pula akan segala konsekuensi yang menyertai keputusannya. Seorang pegawai, apakah pegawai rendahan atau eksekutif, harus selalu siap untuk ditertawakan rekan-rekan kerjanya sendiri sebagai ‘orang goblok’, ‘munafik sok suci’ dll. kalau dia mau menjadi seorang ‘tanda-lawan’. Ada cukup banyak contoh orang-orang yang menjadi ‘tanda-lawan’ sepanjang sejarah. Ingat riwayat Santo Thomas More (1478-1535), seorang perdana menteri yang mati (dihukum pancung) demi cintanya kepada Raja Surgawi yang jauh lebih besar daripada cintanya kepada boss-nya: raja Henry VIII dari Inggris.
Orang-orang yang hidup sehari-harinya sudah bersama Kristus juga akan lebih sensitif terhadap berbagai komitmen dan kewajiban yang berasal dari kebersatuannya dengan Sang Ilahi. Mereka akan lebih menderita manakala memikirkan dosa-dosanya sendiri dan dosa-dosa orang lain. Mereka juga akan merasakan luka yang lebih dalam manakala Kristus dan Gereja diserang. Mereka telah memanggul salib setiap harinya. Sejarah menunjukkan juga banyak orang kudus selama hidupnya malah menderita karena Gereja (baca: oknum dalam Gereja yang memegang kuasa), misalnya Santa Jeanne d’Arc (1412-1431), Santa Teresa dari Avilla (1515-1582), Santo Yohanes dari Salib (1542-1591), Santo Pius dari Pietrelcina yang lebih dikenal sebagai Padre Pio (1887-1968; seorang penerima stigmata juga), dan banyak lagi.
Orang yang mau berjalan bersama Kristus di jalan salib-Nya juga harus bertanya kepada diri mereka sendiri: “Bagaimana caranya aku memanggul salibku bersama Kristus?” Kristus sendirilah yang akan mengajarkannya kepada kita, melalui hidup kita dan penderitaan kita, seni menerima penderitaan dengan kasih dan menunjukkan kasih kita melalui penderitaan.
Stigmata Santo Fransiskus. Dalam kasus Santo Fransiskus dari Assisi, partisipasinya dalam penderitaan Kristus dimanifestasikan dalam tubuhnya sendiri, yaitu yang dikenal sebagai stigmata. Berikut ini adalah cerita dari buku Fioretti (Bunga-bunga kecil) yang bercerita mengenai Fransiskus dan para pengikutnya yang awal.
Peristiwa stigmata yang dramatis ini yang terjadi di sebuah gunung sunyi yang kurang lebih seratus mil jauhnya dari Assisi. Peristiwa itu sendiri terjadi dua tahun sebelum wafatnya. Gunung itu dinamakan La Verna. Pada awal September 1224 Fransiskus menyepi ke sana untuk menyiapkan diri menghadapi Pesta Santo Mikael Malaikat Agung. Doa Fransiskus di La Verna adalah bukti otentik siapa sebenarnya dia dan mengapa dia membawa dampak begitu besar pada sejarah umat manusia. Berikut ini adalah isi doanya: Tuhanku Yesus Kristus, saya mohon kepada-Mu karuniakanlah dua anugerah sebelum saya meninggal. Yang pertama ialah agar Kauizinkan merasakan – dalam jiwa ragaku – sebanyak mungkin penderitaan hebat yang Engkau, Yesus Yang Manis, telah rasakan pada saat sengsara-Mu yang amat pahit itu. Yang kedua ialah agar saya boleh merasakan dalam hatiku sebanyak mungkin cinta yang tak terbatas, dengan mana Engkau, Putera Allah, tergerak dan mau menanggung sengsara sedemikian itu bagi kami para pendosa.
Di atas saya mengatakan, bahwa kita tidak harus mencari-cari salib ini! Fransiskus memang lain sendiri, seperti dicerminkan dalam doanya ini. Pater Murray Bodo OFM adalah seorang penyair dan penulis yang bekerja di Thomas More College, Crestview Hills, Kentucky, Amerika Serikat. Anggota Ordo Saudara Dina ini juga banyak menulis buku. Dalam bukunya yang berjudul The Way of St. Francis, Sdr. Murray menulis tentang stigmata ini sebagai berikut: Hanya seorang pencinta yang dapat memahami kata-kata seperti ini, dan hanya seorang yang memiliki hati ksatria yang dapat mengucapkannya. Di Gunung La Verna, Fransiskus sang ksatria dan Fransiskus sang pencinta bergabung dalam permintaan bodoh terakhir ini. Hanya kerendahan hati dan keaslian atau orijinalitas Fransiskus sajalah yang menyelamatkan doa ini dari semacam bravado gaya Don Quixote (Masih ingatkah cerita tentang Don Quixote karangan Cervantes ini?). Seluruh hidup Fransiskus membuktikan bahwa doa ini dihaturkannya tanpa pamrih dari hatinya yang terdalam dengan mata yang terarah kepada Tuhan Yesus, tanpa larak-lirik ke sana kemari untuk mengetahui apakah ada orang yang sedang memperhatikan. Seperti doa yang didengar oleh Bernardus dari Quintavalle sepanjang malam dulu di rumahnya, “Allahku dan segala[nya]ku” (Deus meus et omnia), maka doa permohonan Fransiskus di La Verna adalah permohonan seorang pecinta agar dapat bersatu secara total dengan yang dicintainya. Dan “ya” dari Dia yang dicintainya adalah sebuah rangkulan yang begitu lengkap, sehingga anggota-anggota tubuh Fransiskus dimeteraikan dengan luka-luka cinta kasih, tanda-tanda Sengsara Kristus dalam dagingnya. Dalam arti yang riil Fransiskus menjadi pendagingan lebih lanjut dari Allah yang hidup. Hampir seakan-akan Bapa angkatnya, tidak puas sekedar dengan adopsi, telah membuat Fransiskus menjadi anak-Nya secara fisik, dengan memeteraikannya dengan tanda-tanda dari Putera Tunggal-Nya sendiri, Yesus Kristus.
Pilihan kita masing-masing cuma dua: mau menjadi seorang murid Kristus dalam arti sebenarnya, atau menjadi sekadar seorang Kristiani KTP. Apabila kita memilih untuk menjadi murid Kristus, maka kehidupan para kudus membuat jelas kepada kita tentang apa yang harus menjadi realitas kehidupan kita sendiri sebagai murid-murid Kristus: ikut ambil bagian dalam penderitaan Yesus Kristus, termasuk salib-Nya.
Dengan demikian kita harus melihat penderitaan kita sehari-hari sebagai suatu keikutsertaan kita dalam penderitaan Kristus sendiri, dan luka-luka mental yang kita derita demi Kristus sebagai suatu keikutsertaan dalam luka-luka hati-Nya. Apabila kita sedang merasakan sakitnya penderitaan yang sedang kita alami, baiklah kita berdiri atau berlutut di depan Tuhan Yesus yang tersalib. Kita merentangkan tangan kita dan mempersembahkan tubuh dan hati kita kepada-Nya sambil berdoa: “Tuhan Yesus Kristus, aku siap menanggung penderitaanku bersama-Mu sebagai tanggapan terhadap penderitaan yang Engkau tanggung demi cintakasih-Mu kepadaku. Aku ingin melakukan ini demi semua orang yang menyebabkan Engkau mati di kayu salib”. Setelah itu ada kemungkinan kita akan mengalami penderitaan tubuh dan roh kita sebagai suatu luka, melalui luka mana cintakasih Yesus mengalir dari hati-Nya yang terluka karena ditembus tombak, ke dalam hati kita.
Untuk direnungkan secara pribadi: Baca lagi ‘doa permintaan bodoh’ dari Fransiskus di atas. Pada satu sesi pengajaran Persaudaraan OFS Santo Thomas More di biara Sienna (Suster-suster Fransiskanes Charitas), Pondok Labu, kami menyinggung doa Fransiskus di atas. Kemudian saya bertanya kepada para saudari-saudara yang hadir, siapa yang mau/berani berdoa seperti itu. Tidak ada seorang pun yang mengangkat tangan. Bagaimana dengan anda sendiri?
Cilandak, 26 Maret 2010
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS