[BAHAN PERTEMUAN OFS PERSAUDARAAN S. ELISABET DARI HUNGARIA, DEPOK-CINERE, tanggal 17 Maret 2013]
Catatan: Pertemuan OFS Persaudaraan S. Elisabet dari Hungaria, Depok-Cinere pada hari Minggu ketiga dalam bulan selalu mengambil tema bacaan Kitab Suci dalam Misa Kudus hari itu, lalu dikaitkan dengan spiritualitas Fransiskan atau Fransiskanisme.
Lalu mereka pulang ke rumah masing-masing, tetapi Yesus pergi ke bukit Zaitun. Pagi-pagi benar Ia berada lagi di Bait Allah, dan seluruh rakyat datang kepada-Nya. Ia duduk dan mengajar mereka. Lalu ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berzinah. Mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus, “Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika dia sedang berzinah. Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian dengan batu. Bagaimana pendapat-Mu tentang hal itu?” Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah. Ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Ia pun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka, “Siapa saja di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Lalu Ia membungkuk lagi dan menulis di tanah. Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya. Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya, “Hai perempuan, di manakah mereka?” Tidak adakah seorang pun yang menghukum engkau?” Jawabnya, “Tidak ada, Tuan.” Lalu kata Yesus, “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan mulai sekarang, jangan berbuat dosa lagi.” (Yoh 8:1-11)
Bayangkanlah sejenak peristiwa yang terjadi sekitar 2.000 tahun lalu itu. Segerombolan orang Farisi dan ahli Taurat – para fundamentalis hukum Taurat, namun yang munafik itu – menyeret seorang perempuan yang tertangkap basah sedang berzinah kepada Yesus, dengan niat buruk untuk menjebak Yesus. Mereka didorong oleh hawa nafsu untuk membunuh perempuan itu, namun mereka juga berharap dapat membuat Yesus terperangkap dalam no-win situation ini. Asal saja kata-kata yang diucapkan Yesus di depan publik ini dapat ditafsirkan sebagai penyelewengan terhadap Hukum Taurat, maka mereka berpikir akan “habislah” Yesus.
Apa yang dilakukan Yesus, yang kelihatan cuek-cuek saja itu? Dia hanya jongkok sambil menulis sesuatu di atas pasir. Tidak sedikit pun Yesus merasa terintimidasi oleh tipu-daya orang-orang munafik itu. Dia tidak mudah dilempar keluar dari tengah-tengah arena. Dia tidak bisa dimanipulasi agar keluar dari posisi-Nya yang mengutamakan kasih dan belas kasihan. Di tengah-tengah keributan itu, Yesus tetap tenang. Dengan satu pernyataan yang jelas namun menusuk, Ia menelanjangi kebobrokan orang-orang yang siap untuk merajam perempuan itu: “Siapa saja di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu” (Yoh 8:7). Yesus pun dengan demikian menyelamatkan perempuan itu dari kematian yang kejam dan mengenaskan a la Perjanjian Lama (Catatan: hal ini masih berlaku pada abad ke-21 ini di beberapa tempat di dunia, di kalangan penganut agama tertentu).
Yesus dapat melakukan hal yang sama dengan kita semua – situasi macam apapun yang kita hadapi, bagaimana pun buruk dan beratnya dosa kita. Tidak ada hal yang ‘mengganggu’ Yesus, karena Dia memang datang dalam kasih dan belas kasihan guna menyelamatkan kita dan membebaskan kita. Dia selalu fokus pada misi-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang dapat mengalihkan perhatian-Nya dari tujuan-Nya untuk membebas-merdekakan kita dari setiap kejahatan dan mentransformasikan kita ke dalam gambar (imaji) dan rupa-Nya. Betapa berat pun khaos yang terjadi di sekeliling kita, Yesus selalu ada di dekat dan bersama kita, tenang seperti biasa, dan Ia menawarkan kepada kita kekuatan-Nya.
Janganlah kita pernah berpikir bahwa Yesus akan menolak kita atau tidak mau datang menolong kita. Dia tahu segala jawaban. Ia mampu untuk melumpuhkan setiap upaya jahat dari pihak musuh untuk mendakwa kita atau menuduh kita. Setiap hari kita memang menghadapi tuduhan/dakwaan, apakah datang dari Iblis, dari seorang musuh, atau bahkan dari rasa bersalah kita sendiri. Namun tidak pernah ada tuduhan/dakwaan yang datang dari Yesus. Yesus adalah sang Gembala Baik, yang selalu menjaga kawanan domba-Nya, selalu siap untuk mencari dan menyelamatkan domba yang hilang. Oleh karena itu, janganlah kita pernah takut untuk kembali kepada Yesus. Ia memandang anda dengan mata penuh kasih dan selalu menanti-nantikan anda dengan belas kasihan dan bela rasa.
DOA: Yesus, kasihanilah aku, seorang pendosa. Aku mengasihi-Mu, Tuhan, dan aku ingin menjadi milik-Mu selamanya. Bebaskanlah aku dari segala sesuatu yang dapat merusak diriku. Amin.
II. BEBERAPA POKOK UNTUK DISKUSI DALAM KELOMPOK ATAU PERMENUNGAN PRIBADI:
§ Pernahkah anda tertangkap basah ketika melakukan perbuatan yang salah? Misalnya pada waktu sekolah dulu, anda tertangkap basah oleh Pak Guru ketika “menyontek” pada waktu ulangan? Masih ingatkah anda bagaimana perasaanmu pada waktu itu? Ya, begitulah kiranya yang dirasakan oleh perempuan itu: rasa bersalah, rasa malu dan takut akan segala konsekuensi dari kejahatan yang telah diperbuatnya.
§ Ini adalah satu-satunya bacaan dalam Injil yang menunjukkan Yesus menulis. Apakah yang ditulis Yesus dengan jari-Nya di tanah itu? Daftar dosa masing-masing orang yang siap merajam perempuan itu dengan batu? Entahlah. Yang jelas, Yesus tidaklah seperti para pemuka agama yang munafik itu. Hati-Nya penuh dengan belas kasih! Dia Mahapengampun!
§ Yesus menawarkan kepada kita semua belas kasih dan pengampunan yang sama! Yesus tidak pernah menuduh-nuduh kita, melainkan menawarkan kepada kita pengharapan akan suatu awal yang baru bersama dan dalam Dia. Sementara kita mulai mengalami belas kasih-Nya kita pun mulai menghargai apa saja yang telah dianugerahkan kepada kita, bukan karena apa yang telah kita perbuat melainkan karena apa yang Yesus telah lakukan bagi kita. Dengan demikian kita pun akan mampu mengubah hidup kita menilai kembali prioritas-prioritas kita.
§ Ketika Yesus mengatakan kepada perempuan itu, “Pergilah, dan mulai sekarang, jangan berbuat dosa lagi,” sebenarnya Yesus memberikan kepadanya kemampuan untuk melepaskan masa kegelapan dari kehidupannya. Kita juga harus berterima kasih kepada Yesus karena Dia pun melakukan yang sama bagi diri kita masing-masing. Tidak ada dosa sebesar apa pun yang tidak dapat ditaklukkan oleh Yesus! Tidak ada kegelapan yang jatuh di luar kuasa dan terang kasih Yesus. Manakala Yesus menunjukkan dosa-dosa kita, pada saat yang bersamaan Dia juga menawarkan pengampunan yang lengkap. Kombinasi sedemikian membuat hati kita terbakar dengan sukacita dan memenuhi diri kita dengan suatu hasrat untuk meninggalkan dosa dan melangkah maju mendekati terang kehadiran-Nya. Ketika menerima absolusi dari imam dalam kamar pengakuan, apakah Saudari-Saudara mendengar gema suara Yesus: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan mulai sekarang, jangan berbuat dosa lagi” (Yoh 8:11)?
§ Perempuan dalam cerita ini tertangkap basah sedang berzinah. Sekarang, pernahkah Saudari-Saudara berpikir bagaimana “orang-orang suci Yahudi” itu dapat mengetahuinya? Apakah mereka tidak lain daripada peeping Toms (tukang ngintip) dan DOM (Dirty Old Men – orang tua yang berpikiran kotor/jorok).
§ Bagi Yesus, para penuduh tersebut tidak mempunyai hak untuk menghakimi dan menghukum sesama manusia berdasarkan dua alasan: pertama-tama, karena mereka sendiri pun juga adalah para pendosa; kedua, mereka tidak dapat mengetahui apa yang ada dalam hati perempuan itu (bukan mustahil bahwa dia sudah bertobat).
§ Salah satu pelajaran yang dapat kita petik dari bacaan Injil hari ini adalah bahwa kita tidak dapat menghakimi orang-orang lain (lihat Mat 7:1). Dari media massa kita dapat mengetahui tentang banyak kejahatan yang memang patut dihukum. Walaupun kita menyadari bahwa kita sendiri tidak mempunyai hak untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat itu, kita biasanya merasa sulit untuk tidak menghakimi mereka paling sedikit dengan kata-kata kita yang keras-menyakitkan. Barangkali hal ini merupakah salah satu alasan mengapa kita merasa takut apabila memikirkan pengadilan terakhir.
III. PERTOBATAN DAN PENGAMPUNAN DALAM KEHIDUPAN KITA SEBAGAI FRANSISKAN SEKULAR SETURUT TELADAN SANTO FRANSISKUS DARI ASSISI
Bagi Santo Fransiskus, pengampunan terdapat dalam Allah, artinya Allah adalah sumber pengampunan itu, dan Allah itu baik. Santo Fransiskus tidak pernah lelah berbicara mengenai kebaikan Allah. Dia tidak dapat memikirkan nama-nama yang cukup untuk diberikan kepada Allah. AngTBul XXIII berisikan “Doa dan Ucapan Syukur” yang dipenuhi dengan ungkapan-ungkapan Santo Fransiskus mengenai kebaikan Allah yang berlimpah-limpah. Berikut ini adalah petikan dari sebagian isi AngTBul XXIII: “... janganlah kita menginginkan dan menghendaki hal lainnya, janganlah sesuatu yang lain menyenangkan dan menggembirakan kita, kecuali Pencipta dan Penebus serta Penyelamat kita, satu-satunya Allah yang benar; Dialah kebaikan yang sempurna, segenap kebaikan, seluruhnya baik, kebaikan yang benar dan tertinggi; Dialah satu-satunya yang baik, penyayang, pemurah, manis dan lembut; Dialah satu-satunya yang kudus, adil, benar, suci dan tulus, satu-satunya yang pemurah, tak bersalah dan murni; dari Dia, oleh Dia dalam Dialah segala pengampunan, segala rahmat dan kemuliaan untuk semua orang yang bertobat dan yang benar, untuk semua orang kudus yang bersukacita bersama-sama di surga” (AngTBul XXIII:9).
Fransiskus juga menulis: “Lakukanlah pertobatan, hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan sebab kita akan segera mati. Berilah, maka kamu akan diberi. Ampunilah maka kamu akan diampuni. Jikalau kamu tidak mengampuni dosa orang maka Tuhan juga tidak akan mengampuni kesalahanmu; akuilah segala dosamu. Berbahagialah mereka yang mati dengan bertobat sebab mereka akan tinggal di dalam kerajaan surga. Celakalah mereka yang mati tanpa bertobat sebab mereka akan menjadi anak setan, yang pekerjaannya mereka lakukan, dan mereka akan masuk dalam api yang kekal. Waspadalah dan jauhkanlah dirimu dari segala yang jahat dan bertekunlah dalam yang baik hingga akhir” (AngTBul XXI:3-9).
Sebagai Fransiskan, kita memang dipanggil untuk melakukan pertobatan secara berkelanjutan (lihat AD OFS Artikel 7) dan menghasilkan buah yang sesuai dengan pertobatan. Seperti Yesus mengampuni, kita pun harus mengampuni. Sikap dan perilaku yang harus kita teladani adalah sikap dan perilaku yang ditunjukkan Yesus dalam peristiwa di kawasan Bait Allah itu, bukannya sikap dan perilaku sok-suci para pemuka Yahudi yang bertekad untuk menegakkan hukum Taurat namun tanpa belas kasih dan bela rasa sama sekali.
Dalam “Nyanyian saudara Matahari”, Fransiskus memuji Tuhan karena mereka yang mengampuni demi kasih-Nya: “Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena mereka yang mengampuni demi kasih-Mu...” (NyaMat 10).
Dalam “Uraian Doa Bapa Kami”, Fransiskus menulis: “Dan ampunilah kesalahan kami: Karena belaskasih-Mu yang tak terperikan, karena daya kekuatan sengsara Putera-Mu yang terkasih, dan karena jasa serta perantaraan Santa Perawan Maria dan semua orang pilihan-Mu. Seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami: apa yang tidak kami ampuni sepenuhnya, buatlah, ya Tuhan, agar kami ampuni sepenuhnya; agar kami sungguh-sungguh mengasihi musuh kami karena Engkau dan dengan bakti berdoa bagi mereka di hadapan-Mu, dan tidak membalas kejahatan seorang pun dengan kejahatan, tetapi mengusahakan apa yang menguntungkan bagi semuanya di dalam Engkau” (UrBap 7-8).
Kita pun diingatkan, bahwa ketika mengajarkan “Doa Bapa kami”, Tuhan Yesus menambahkan hal yang sangat penting: Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalu kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu” (Mat 6:14-15).
ALLAH ADALAH KEBAIKAN, KASIH DAN YANG PALING BAIK
Pandangan Fransiskus bahwa Allah itu baik, seluruhnya baik itu senantiasa melatarbelakangi tulisan-tulisannya – seperti yang kita lihat beberapa contohnya di atas – dan sikap-sikapnya pada waktu berdoa seperti digambarkan oleh para penulis riwayat hidupnya. Faktanya adalah bahwa kebaikan Allah merupakan prinsip fundamental dari spiritualitas Fransiskan. Ini adalah alasan bagi segala kegiatan; ini adalah jawaban yang pertama dan terakhir untuk segala persoalan. Ini adalah ide/gagasan yang harus menggerakkan seorang Fransiskan sebelum ide-ide lainnya. Tentunya memang benar bahwa Allah adalah Mahakuasa, Mahabijaksana, Mahatahu, Allah adalah Hakim, dll. Akan tetapi spiritualitas Fransiskan memilih untuk memberikan penekanan kepada cintakasih-Nya dan kebaikan-Nya.
Allah memiliki segala kebaikan, keindahan, kebahagiaan yang dapat dibayangkan oleh pikiran manusia dan sesungguhnya Dia memiliki segala yang disebutkan itu lebih, lebih dan lebih lagi …… tanpa batas. Kebaikan Allah itu tak terhingga, abadi, dan tak dapat dibayangkan. Allah adalah cintakasih yang tak terhingga. Dan Allah ingin agar kita ikut ambil bagian dalam kebaikan-Nya itu!
Satu contoh lagi dari “konsep” orang kudus ini tentang Allah yang adalah kebaikan sempurna dapat kita lihat dalam “Pujian bagi Allah Yang Mahaluhur”, dengan kata-kata seperti berikut:
“Engkaulah Tuhan Yang Kudus, Allah satu-satunya, yang melakukan keajaiban-keajaiban. Engkau kuat, Engkau besar, Engkau mahaluhur, Engkaulah Raja Yang Mahakuasa, Engkaulah Bapa Yang Kudus, Raja langit dan bumi, Engkau Tuhan Yang Tiga dan Esa Allah segala allah, Engkau baik,seluruhnya baik, paling baik, Tuhan Allah yang hidup dan benar. Engkaulah cintakasih ………” (PujAllah 1-4).
Kebaikan ilahi yang pada hekekatnya bersifat menyebarkan diri itu memberikan kepada kita alasan akan proses Triniter (Tritunggal) di dalam kehidupan intim Allah dan menjelaskan tentang karya kreatif-Nya di luar diri-Nya sendiri. Visi tentang Allah seperti ini, Allah yang dikontemplasikan sebagai “Yang Teramat Baik”, Yang Mahaluhur itu dalam keluarga Fransiskan diwujudkan dalam relasi konkret yang mengungkapkan diri, di atas segalanya, dalam penghargaan akan Allah sebagai Bapa (martabat kebapaan Allah)...... Allah sebagai “Bapa kita yang baik”.
Belakangan Fransiskus juga menulis ‘Uraian Doa Bapa Kami (Pater Noster – sebagian sudah dikutip di atas); sebuah uraian yang paling orijinal dan mengharukan. Saya petik sedikit saja, yaitu bagian awalnya:
Ya Bapa kami Yang Mahakudus:
Pencipta, Penebus, Penghibur dan Penyelamat kami.
Yang ada di surga,
di dalam para malaikat dan para kudus;
Engkau menerangi mereka untuk mengenal-Mu
karena Engkau adalah terang, ya Tuhan;
Engkau mengobarkan mereka untuk mengasihi,
karena Engkau adalah kasih, ya Tuhan.
Engkau tinggal di dalam mereka
dan memenuhi mereka untuk berbahagia,
karena Engkaulah yang paling baik, ya Tuhan,
Engkau baik untuk selamanya,
Engkaulah asal segala yang baik,
tanpa Engkau tidak ada yang baik satu pun (UrBap 1-2).
KEBAIKAN ALLAH YANG MELIMPAH-LIMPAH
Pater Jack Wintz OFM, dalam bukunya yang berjudul LIGHTS – REVELATIONS OF GOD’S GOODNESS (Cincinnati, Ohio: St. Anthony Messenger Press, 1995) menuliskan pengalamannya sebagai seorang novis, yaitu ketika seorang Saudara Dina berasal dari Jerman yang sudah tua dan berambut putih berbagi (sharing) dengan para novis dalam bahasa Inggris yang terpatah-patah, bahwa “kebaikan Allah yang melimpah-limpah” (the overflowing goodness of God) adalah rahasia sesungguhnya di belakang spiritualitas Santo Fransiskus.
Kata-kata “kebaikan Allah yang melimpah-limpah” yang sering diulang-ulang oleh Saudara Fransiskan dari Jerman itu ternyata menjadi sumber pencerahan istimewa bagi Pater Jack Wintz. Sejak saat itu, dengan penuh kepastian intuisi Pater Jack Wintz terus-menerus mengatakan kepada dirinya: “Ya, benarlah ini, untukku inilah rahasia dari Santo Fransiskus.” Setelah bertahun-tahun menguji intuisi ini dengan pengalaman-pengalaman Fransiskanisme di berbagai negara dan budaya, Pater Jack Wintz tetap kembali kepada keyakinan yang sama.
Bagi Pater Jack Wintz, perasaan yang berkobar-kobar dari Fransiskus akan kebaikan Allah yang berlimpah merupakan sumber dari spiritualitasnya dan petunjuk pada hampir segalanya dari sang Santo: kegembiraannya dalam kemiskinan, rasa hormatnya kepada alam tercipta, cintakasihnya kepada orang-orang miskin, kemurahan-hatinya, optimismenya, puisi dan kegembiraannya yang meluap-luap, gaya doanya yang penuh kasih-sayang, cintakasihnya yang berkobar-kobar pada Yesus yang tersalib.
Selanjutnya, menurut Pater Jack Wintz ide “kebaikan Allah yang melimpah-limpah” bukanlah sesuatu yang baru secara khusus karena ide itu sesungguhnya berada pada jantung perwahyuan Kristiani. Apa yang orijinal dengan Santo Fransiskus barangkali adalah intensitas dan emosi dengan mana dia mengalami perwahyuan itu.
PENCURAHAN KEBAIKAN ALLAH DARI SALIB
Tidak lama setelah pertobatannya, artinya sesudah dia meninggalkan kehidupan duniawinya dan mengabdikan dirinya secara total kepada Allah dan kepada pelayanan para penderita kusta yang miskin, Fransiskus berdoa dengan penuh emosi di sebuah tempat berpohon-pohon yang sunyi terpencil. Fransiskus kemudian mendapat penglihatan (visi), di dalam penglihatan mana Kristus mulai memandang dirinya dari atas kayu salib dengan penuh cintakasih sehingga Fransiskus pun “luluh jiwanya”.
Sejak saat itu, Fransiskus seringkali menangis seakan-akan pengalaman akan cintakasih dan kebaikan Allah yang luarbiasa itu tertera pada jiwanya untuk selamanya. Allah yang dialami Fransiskus adalah Allah yang memilih untuk menjadi miskin – Allah yang mencurahkan semuanya – keluar dari cintakasih-Nya kepada umat manusia secara total. Secara mutlak Allah tidak menahan sesuatu apa pun. Inilah yang membuat Fransiskus berjalan ke mana-mana sambil menangis tersedu-sedu dan menyerukan berulang-ulang, “Kasih tidak dikasihi” – bahwa Allah begitu mengasihi manusia tetapi tidak ditanggapi (lihat .........). Cintakasih Allah yang begitu “boros” (ingat “Perumpamaan tentang Anak yang Hilang”; Luk 15:11-32) dan tanpa syarat ini merupakan perwahyuan besar yang dilihat Fransiskus memancar keluar dari “Sang Sabda yang menjadi daging” dan sesungguhnya melalui segenap ciptaan.
‘Ketergila-gilaan (Inggris: infatuation) Fransiskus kepada kebaikan Allah tercermin dalam doa-doanya yang penuh dengan kegembiraan sejati. Dalam satu doanya, Fransiskus tiba-tiba mulai mengulang-ulang kata ‘baik’ seakan-akan ‘teracuni’ oleh kata itu. Dalam ‘Pujian yang diucapkan pada semua waktu Ibadat’, Fransiskus berdoa:
Allah Yang Mahakuasa, Mahakudus, Mahatinggi dan Mahaluhur, Engkaulah segala kebaikan, paling baik, seluruhnya baik, hanya Engkau sendiri yang baik; kepada-Mu kami kembalikan segala pujian, segala kemuliaan, segala rahmat, segala kehormatan, segala berkat serta segalanya yang baik. Semoga, semoga, ya amin (PujIb 11).
Orang atheis memandang bagian belakang dari wajah realitas dan di sana dilihatnya suatu kehampaan yang gelap. Orang agnostik memandang yang sama dan melihat tanda tanya yang besar. Kebanyakan dari kita yang menilai diri kita sebagai orang yang percaya Allah, mencoba melihat sesuatu yang baik dan berpengharapan di belakang kedok realitas itu, akan tetapi visi kita seringkali dibuat suram oleh keragu-raguan. Santo Fransiskus dari Assisi melihat juga apa yang berada di belakang topeng itu, tetapi yang dilihatnya adalah rahmat yang menakjubkan menakjubkan, rahmat orang kudus yang juga adalah penyair luarbiasa ini melihat, mengalami, “berkomunikasi” dan “berinteraksi” dengan ciptaan dengan penuh kegembiraan seperti seorang pemusik abad pertengahan yang menyanyikan madah-madah pujian bagi Allah.
Fransiskus dari Assisi hanya ingin menjadi murid setia dari Kristus, Tuhan dan Juruselamat-nya, yang tidak menghukum seorang pendosa – seperti perempuan yang kedapatan berzinah itu – walaupun huruf-huruf hukum menyatakannya begitu. Bagi Dia belas kasih dan pengampunan jauh lebih harus diutamakan daripada huruf-huruf mati yang tertulis dalam Kitab Musa.
SEBUAH DOA: Allah yang segalanya baik dan sangat ramah, berikanlah kepada kami visi Santo Fransiskus dari Assisi agar supaya kami dengan lebih baik dapat melihat kebaikan-Mu dan perbuatan baik-Mu pada pusat realitas. Dengan percaya akan cintakasih-Mu yang berlimpah-ruah tanpa reserve bagi kami, perkenankanlah kami jatuh cinta kepada-Mu secara lebih mendalam lagi dan melayani Engkau dengan kegembiraan dan puja-pujian yang lebih besar lagi. Teristimewa dalam masa Prapaskah ini, kuatkanlah kami masing masing-masing dengan semangat pertobatan. Kami berterima kasih penuh syukur karena kami diingatkan lagi akan ajaran Yesus untuk mengampuni mereka yang bersalah kepada kami karena kalau tidak begitu Engkau juga tidak akan mengampuni kami (Mat 6:14-15). Amin.
Cilandak, 10 Maret 2013 [HARI MINGGU PRAPASKAH IV]
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS