Spiritualitas Fransiskan dibangun atas fondasi “pertobatan” ini, sebagai tanggapan seorang pribadi terhadap undangan Yesus dalam Injil, pengakuan dosa yang menggiring orang itu kepada suatu hidup sakramental dalam persekutuan Gereja. Persekutuan mistis dengan Kristus membawa pribadi peziarah bersangkutan kepada persatuan dengan Allah.
“Sebagai saudara-saudara dan saudari-saudari Pentobat mereka, karena panggilannya dan terdorong oleh dinamika Injil, hendaknya menyerupakan cara berpikir dan tingkah laku mereka dengan Kristus melalui jalan pertobatan batin yang mendasar dan sempurna, yang oleh Injil sendiri disebut Conversio; karena kelemahan manusiawi, tobat itu perlu mereka jalankan setiap hari.
Pada jalan pembaharuan ini, Sakramen Rekonsiliasi merupakan suatu tanda istimewa kerahiman Bapa dan sumber rahmat.” (Anggaran Dasar OFS, Artikel 7)
“Lalu, dengan bimbingan Tuhan, hendaklah mereka memulai hidup pertobatan, dengan menyadari bahwa kita semua harus menjalankan pertobatan terus-menerus. Sebagai tanda pertobatan dan pembaktian diri kepada hidup Injili, hendaklah mereka mengenakan pakaian yang sederhana dan hidup bersahaja.” (Anggaran Dasar dan Cara Hidup Saudara-Saudari Ordo Ketiga Regular Santo Fransiskus, Artikel 6)
“Lakukanlah pertobatan, hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan sebab kita akan segera mati” (AngTBul XXI:3).
“Anggaran Dasar dan cara hidup para Fransiskan Sekular menepati Injil Tuhan kita Yesus Kristus dengan mengikuti teladan Santo Fransiskus Assisi, yang menjadikan Kristus penjiwa dan poros kehidupan nyata di hadapan Tuhan dan sesama” (AD OFS, Artikel 4). Jadi, kalau kita – para Fransiskan Sekular – sekarang ingin berbicara mengenai “pertobatan”, maka kita pun harus meneladan Bapak Fransiskus berkaitan dengan pertobatan ini. Tulisan ini menyoroti tema “pertobatan sebagai conversio” dalam beberapa tulisan Santo Fransiskus dari Assisi dan mencoba untuk memahaminya dengan benar.
Spiritualitas Fransiskan dibangun atas fondasi “pertobatan” ini, sebagai tanggapan seorang pribadi terhadap undangan Yesus dalam Injil, pengakuan dosa yang menggiring orang itu kepada suatu hidup sakramental dalam persekutuan Gereja. Persekutuan mistis dengan Kristus membawa pribadi peziarah bersangkutan kepada persatuan dengan Allah.
Apa pun yang kita dapat katakan tentang spiritualitas Fransiskan, “pertobatan” (Latin: conversio) memang merupakan dasar dari kelahiran dan perkembangannya. Awalnya seringkali dilihat sebagai sesuatu yang mendadak, walaupun dalam kasus-kasus sedemikian ditemukan suatu persiapan batiniah yang mendalam dan berlangsung untuk sekian waktu. Pertobatan Injili seperti ini dicontohkan oleh peristiwa pertobatan yang dialami oleh Saulus dari Tarsus di jalan menuju Damsyik (Kis 9:1-22; bdk. 22:3-16).
Pertobatan berkesinambungan. Seperti kita lihat dalam dua petikan dari AD OFS dan AD Ordo III Regular di atas, maka pertobatan tidak dapat dibatasi pada masa persiapan itu saja, dengan iman dan pencerahannya yang bersifat dramatis. Pengalaman pribadi yang bersangkutan dapat saja berawal di sana, akan tetapi dilanjutkan dalam seluruh hidupnya dengan transformasi yang semakin meningkat, sampai orang itu mencerminkan imaji/gambar Allah yang selama itu telah dirusak oleh dosa. Inilah pengalaman Fransiskus dalam melakukan pertobatan atau menjalani hidup pertobatan sampai akhir hayatnya.
Pertobatan yang berkesinambungan ini adalah – tidak lebih tidak kurang – suatu komitmen pada panggilan Kristus kepada kita untuk mengikuti jejak-Nya. Yang jelas dan pasti, komitmen ini akan menyangkut kematian – tidak hanya kematian pada akhir peziarahan hidup kita, melainkan juga kematian-kematian kecil sepanjang perjalanan hidup kita, misalnya mati terhadap diri sendiri. Pertobatan sedemikian adalah ketaatan dan ketekunan dalam proses sepanjang hidup kita ditransformasikan dalam “Sekolah Kristus”, artinya untuk menjadi semakin serupa dengan diri-Nya.
Pertobatan Injili. Pertobatan seperti ini bersifat Injili (Inggris: Evangelical Conversion) karena berakar dalam Injil itu sendiri, di mana kita dapat membaca Yesus di awal penampilan-Nya di depan umum berseru: “Bertobatlah, sebab Kerajaan Surga sudah dekat!” (Mat4:17). Yesus juga memanggil kita: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Akan akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat 11:28). Tanggapan terhadap panggilan sedemikian dalam pertobatan dan iman adalah pertobatan Injili, yang menyangkut pengampunan dosa, suatu komitmen kemuridan, dan suatu persekutuan personal dan akrab-mesra dengan Kristus. Pertobatan ini juga menyangkut ketekunan dan kesinambungan dalam hal kemuridan, pertumbuhan, kemajuan/progres dan kematangan, yang memimpin kepada kesempurnaan akhir dalam bentuk hidup bersatu dengan Allah dalam kasih. Undangan Yesus berlanjut: “Pikullah gandar yang Kupasang dan belajarlah kepada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab gandar yang Kupasang itu menyenangkan dan beban-Ku pun ringan” (Mat 11:29-30).
Panggilan untuk bertobat sendiri adalah sebuah undangan ilahi, dan inisiatifnya ada pada Roh Kudus. Inilah yang terjadi dalam pertobatan Fransiskus, dan inilah yang terjadi dengan para kudus sepanjang masa. Kita dapat melihatnya pada awal “Wasiat Santo Fransiskus” yang didiktekan orang kudus beberapa saat menjelang kematiannya.
Saudari dan Saudara Pentobat dari Assisi. Pada waktu para pengikut Santo Fransiskus yang pertama sedang melakukan perjalanan ke banyak tempat untuk berkhotbah mewartakan Kabar Baik, banyak orang bertanya kepada mereka dari mana mereka sebenarnya dan mereka anggota ordo yang mana. Kemudian mereka akan menjawab secara sederhana bahwa mereka adalah para pentobat dari kota Assisi (Kisah 3 Sahabat, 37; “... viri poenitentiales de Assisio”; catatan kaki 32 dalam Bab X tulisan Pater Hilarin Felder, OFMCap., THE IDEALS OF ST. FRANCIS OF ASSISI). Kata “pertobatan” memang – tidak bisa tidak – harus ada dalam kehidupan seorang Fransiskan – apakah dia anggota Ordo I, Ordo II, Ordo III Regular atau Ordo III Regular – ; tidak dapat dilepaskan dari dirinya karena merupakan dasar dari spiritualitas Fransiskan itu sendiri. Jadi, sekiranya kita sedang berada dalam situasi “krisis” iman-kepercayaan atau sedang menghadapi godaan, pandanglah salib TAU yang kita kenakan.
Wasiat Santo Fransiskus. Dalam Wasiat-nya kata pertobatan hanya muncul dua kali dengan ungkapan dalam Bahasa Latin “facere poenitentiam” (melakukan pertobatan). Fransiskus mengawali Wasiat-nya dengan kata-kata berikut ini: “Beginilah Tuhan menganugerahkan kepadaku, Saudara Fransiskus, untuk mulai melakukan pertobatan” (Was 1).
Mengenai kehidupan pribadinya sendiri Fransiskus berbicara mengenai perubahan batiniah mendalam yang dialaminya, sebuah perubahan yang menciptakan suatu periode baru dalam hidupnya. Fransiskus memandang periode sebelumnya (sebelum pertobatannya) sebagai periode dosa, sementara periode yang menyusul sebagai “hidup pertobatan” (facendi poenitentiam). Kehidupan sebelum pertobatan adalah suatu kehidupan ketidaktaatan kepada Allah, sedangkan kehidupan sesudah itu merupakan suatu periode ketaatan kepada perintah Allah, suatu ketaatan yang bersifat mutlak dan mentransenden.
Dalam periode “melakukan pertobatan” ini, Fransiskus mengalami suatu pertobatan sejati yang mentransformasikan keseluruhan pribadinya. Sejak saat itu dia melihat seluruh dunia tidak lagi dengan suatu sikap (ingin)-memiliki, melainkan dengan suatu sikap hormat, respek dan suatu keprihatinan mendalam. Dalam perspektif baru ini Fransiskus mengenali nilai-nilai yang lebih tinggi dan luhur. Dia menemukan Allah ketika melayani para saudaranya dan orang-orang kusta. Suatu pengalaman pahit-menjijikkan berubah menjadi pengalaman yang sedemikian manis. Begitu menemukan Allah, Fransiskus pun mendengarkan Dia dengan penuh perhatian. Pertobatan bagi dirinya berarti suatu perubahan (Inggris: conversion) dari hidup yang berpusat pada diri sendiri (Inggris: self-centeredness) menjadi suatu hidup yang berpusat pada Allah (Inggris: God-centeredness); menjadi suatu pengalaman pertobatan (Yunani: metanoia) dalam arti alkitabiah.
Sejak saat itu Fransiskus berniat untuk melupakan dirinya sendiri dan memberikan dirinya secara total kepada Allah sebagai suatu tanggapan terhadap kebaikan-Nya dengan sepenuh hatinya dalam kasih konkret kepada sesamanya. “Facere poenitentiam” adalah sebuah keputusan untuk hidup bagi Allah dalam kontak konkret-Nya dengan orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Hal itu adalah sebuah keputusan untuk mempraktekkan perintah Allah yang paling utama.
Anggaran Dasar Tanpa Bulla. “Pertobatan” adalah meninggalkan “diri sendiri” dan berpaling kepada Allah dengan tindakan syukur. Fransiskus yang dipimpin oleh Allah sendiri untuk melakukan pertobatan mengajak/memanggil semua orang kepada pertobatan atau conversio dalam suatu tindakan syukur. Dalam Bab XXIII “Anggaran Dasar Tanpa Bulla”, dia berterima kasih kepada Allah untuk semua karya-Nya dalam sejarah penyelamatan kita yang memuncak pada pengadilan/penghakiman terakhir, dalam Parousia atau kedatangan Yesus untuk kedua kali dalam kemuliaan-Nya. Seluruh cerita penyelamatan/keselamatan membawa kepada pengadilan/penghakiman ini, menurut Fransiskus, di mana orang yang tidak melakukan pertobatan akan dikutuk dan mereka yang melayani Allah dalam pertobatan akan diberkati:
“Kami bersyukur kepada-Mu, karena Putera-Mu itu akan datang lagi dalam semarak keagungan-Nya, untuk mengirim ke dalam api yang kekal orang-orang terkutuk yang belum melakukan pertobatan dan belum mengenal Engkau; dan untuk mengatakan kepada semua orang, yang telah mengenal dan menyembah Engkau serta mengabdi kepada-Mu dalam pentobatan: Marilah kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan” [bdk. Mat 25:34] (AngTBul XXIII:4).
Bagi Fransiskus “melakukan pertobatan” merupakan jalan satu-satunya menuju keselamatan. “Melakukan pertobatan” adalah melayani Tuhan dalam kemiskinan dan kedinaan, mengambil tempat di antara orang-orang yang terbuang dalam masyarakat (lihat AngTBul 9:2). “Gaya hidup” seperti itu akan menjadi norma bagi penghakiman terakhir, yaitu “melayani dalam pertobatan” (Inggris: serving in penance; Latin: servierunt in poenitentia). Seluruh hidup kita harus seturut model “pertobatan” Allah, Allah yang turun merendahkan diri-Nya dalam diri Putera-Nya, Yesus, untuk bertemu dengan umat manusia. Oleh karena itu Fransiskus menginginkan agar semua orang menjadi para pentobat.
“...... kita, saudara dina sekalian, hamba-hamba yang tak berguna ini, minta dan mohon dengan rendah hati, semoga kita semua bertekun dalam iman yang benar dan dalam pertobatan, sebab kalau tidak demikian, tidak seorang pun dapat diselamatkan” (bacalah seluruh AngTBul XXIII:7).
Pertobatan adalah syarat untuk memperoleh keselamatan dari Allah ...... “dari Dia, oleh Dia dan dalam Dialah segala pengampunan, segala rahmat dan kemuliaan untuk semua orang yang bertobat ......” (AngTBul XXIII:9).
“Surat Pertama Kepada Kaum Beriman” dan “Surat Kedua Kepada Kaum Beriman”. Dalam “Surat Pertama Kepada Kaum Beriman” (Epistola ad Fideles I), Fransiskus berbicara mengenai dua jenis/macam orang: (1) mereka yang melakukan pertobatan dan (2) mereka yang tidak melakukan pertobatan. Dalam suratnya ini diperkirakan Fransiskus berbicara kepada mereka yang jelas dipanggil oleh Kristus dan diwajibkan mengikuti-Nya dalam suatu cara yang istimewa dengan mengikuti Injil Suci. Mereka yang mengasosiasikan diri mereka dengan gerakan pertobatan Fransiskus dan diikat dengan hidup profesi ...... belakangan disebut Ordo Ketiga. Dalam surat ini Fransiskus tidak berurusan dengan resep-resep eksternal untuk hidup seseorang, melainkan dengan pertobatan (metanoia) Injili di mana seseorang membuka dirinya secara penuh bagi hidup triniter Allah sendiri. Berbicara mengenai mereka yang melakukan pertobatan, Fransiskus mengatakan bahwa mereka itu terberkati/berbahagia apabila dengan tekun mereka masing-masing terus melakukan hal-hal berikut: (1) mengasihi “Tuhan ... (lihat Mrk 12:30); (2) mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri (lihat Mat 22:39; bdk. 2SurBerim 26); (3) membenci tubuh mereka dengan cacat-cela dan dosa-dosanya, artinya menolak kecenderungan-kecenderungan jahat/buruk dalam diri mereka; (4) menyambut tubuh dan darah Kristus, dan (5) menghasilkan buah-buah pertobatan (1SurBerim 1:1-5).
Dalam “Surat Kedua Kepada Kaum Beriman” (Epistola ad Fideles II), Fransiskus menulis: “... hendaklah kita menghasilkan buah-buah yang sesuai dengan pertobatan” (2SurBerim 25). Dalam dua hal ini, yang dimaksudkan dengan “pertobatan” adalah suatu perubahan batiniah yang mendalam, suatu conversio yang diwujudkan dengan tindakan meninggalkan dosa agar dapat menjadi bebas bagi Allah, agar dapat mempunyai Putera Allah di dalam diri kita melalui penerimaan Tubuh dan Darah Yesus Kristus. Seperti dikatakan oleh Fransiskus:
“Hendaklah kita selalu menyediakan di dalam hati yang suci dan budi yang murni kediaman dan tempat tinggal bagi Dia, Tuhan Allah Yang Mahakuasa, Bapa dan Putera dan Roh Kudus” (AngTBul XXII:27; bdk. 1SurBerim 1:6).
Yang dimaksudkan Fransiskus dengan “menghasilkan buah-buah pertobatan” adalah mengasihi Allah secara lebih mendalam dalam diri sesama kita. Itu adalah “pertobatan” dan pada saat yang sama juga “buah pertobatan” atau conversio. Jika dipahami dalam perspektif ini, maka kita memperoleh sebuah gambaran lengkap tentang pertobatan. Hal ini sesuai dengan khotbah Yohanes Pembaptis yang menyerukan pertobatan diri secara total (lihat Luk 3:1-20). Dengan demikian, “pertobatan” adalah suatu kondisi yang diperlukan bagi orang berdosa untuk kembali ke jalan keselamatan, dengan membenci “ke-aku-an”-nya dan menyerahkan dirinya kepada “Engkau”. Penyambutan Tubuh dan Darah Kristus adalah sejalan dengan hal itu (lihat 1SurBerim 1:1-3).
Fransiskus mendesak para saudaranya untuk berpartisipasi dalam perayaan Ekaristi agar dapat belajar dari Kristus, “Sabda yang menjadi daging”, pertobatan-Nya, kekosongan yang dimanifestasikan sendiri oleh-Nya di bukit Kalvari.
“Adapun kehendak Bapa-Nya ialah supaya Putera-Nya yang terpuji dan mulia, yang telah diberikan-Nya kepada kita dan yang telah lahir bagi kita, mempersembahkan diri-Nya dengan penumpahan darah-Nya sendiri sebagai kurban dan persembahan di altar salib. Bukan bagi diri-Nya sendiri, yang oleh-Nya segala sesuatu dijadikan, tetapi bagi dosa-dosa kita, sambil meninggalkan teladan bagi kita, agar kita mengikuti jejak-Nya” (2SurBerim 11-13; bdk. 54-56).
Penghayatan “pertobatan” Kristus ini merupakan sebuah proses dan tugas hidup bagi setiap orang Kristiani.
Dalam bagian kedua dari “Surat Pertama Kepada Kaum Beriman”, Fransiskus menyajikan secara rinci dan gamblang hal-hal yang menghalangi hidup pertobatan: berbagai ketidak-beruntungan yang merupakan akibat seseorang yang menolak untuk belajar melakukan pertobatan, untuk bersembah-sujud dihadapan kebaikan tak terbatas dari Allah, untuk taat kepada-Nya dalam segala hal, dan untuk membuka diri bagi kehidupan Triniter Allah (lihat 1SurBerim 2:1-18). Dalam “Surat Kedua Kepada Kaum Beriman” Fransiskus lebih lanjut menggambarkan “nasib” dari orang-orang yang menolak untuk menjalani hidup pertobatan. Fransiskus menamakan orang-orang itu buta dan tidak mempunyai Yesus Kristus dalam diri mereka. Mereka buta karena mereka tidak mempunyai “Roh Tuhan” (Spiritus Domini) dalam diri mereka. Kecemasan dan urusan-urusan dunia telah membentuk mereka menjadi orang-orang dengan “roh daging” (spiritus carnis). Mereka itu buta karena tidak melihat cahaya yang sejati, Tuhan kita Yesus Kristus (lihat 2SurBerim 63-66).
Surat Kepada Seluruh Ordo. Dalam “Surat Kepada Seluruh Ordo”, Fransiskus berbicara mengenai para saudara yang menolak untuk mentaati kewajiban untuk mendoakan “Ofisi Ilahi” (Ibadat Harian), dan untuk menepati Anggaran Dasar dan Cara Hidup (Regula) yang ada. Para saudara itu harus melakukan pertobatan (lihat SurOr 40-44). Di sini “pertobatan” berarti ketaatan sejati; ketaatan pada Regula, ketaatan kepada Kristus, Sabda yang menjadi daging. Tentang ketaatan Yesus Kristus ini, Fransiskus mengatakan: “... Tuhan kita Yesus Kristus telah menyerahkan hidup-Nya, agar tidak kehilangan ketaatan kepada Bapa Yang Mahakudus” (SurOr 46; bdk. Flp 2:8). Fransiskus meminta para saudara untuk kembali kepada “cara hidup” yang telah mereka janjikan dengan khidmat di hadapan Allah.
“Melakukan Pertobatan” atau “Hidup Pertobatan”. Para saudara diberikan kepada Fransiskus oleh Allah, dan Allah sendiri menyatakan kepadanya “cara hidup” yang harus mereka jalani (Was 14-16). Dalam tulisan-tulisan Fransiskus, “cara hidup” ini tidak lain adalah “melakukan pertobatan” atau “hidup pertobatan”. Para saudara harus menjalani cara hidup ini di mana saja mereka berada dan dalam situasi macam apapun mereka berada. Fransiskus melarang saudaranya untuk meminta surat rekomendasi dari Kuria Roma agar melindungi mereka dalam kaitan dengan pemberian khotbah atau ketika menghadapi pengejaran yang disertai penyiksaan fisik. Tempat dan waktu tidak boleh menjadi halangan bagi “hidup pertobatan” mereka. Dalam hal ini Fransiskus mengatakan: “... tetapi di mana pun mereka tidak diterima, hendaklah mereka mengungsi ke tempat lain untuk ‘melakukan pertobatan’ dengan berkat Allah” (Latin: faciendam poenitentiam cum benedictione Dei; Was 25-26).
Konteks dari “hidup pertobatan” harus sama dengan yang ada dalam Regula: Penolakan terhadap semua benda agar memberikan keutamaan kepada Roh Kudus dan karya pengudusan-Nya. Allah adalah pelindung para saudara seperti yang dialami oleh Fransiskus sendiri dalam hidupnya. Oleh karena itu, dia yakin bahwa kehendak Allah dimanifestasikan dalam segala hal yang terjadi. Para saudara harus menempatkan diri mereka dalam ketaatan total-lengkap. Tidak ada ruang yang tersedia untuk “keamanan diri-sendiri” (Inggris: self-security) dan kenyamanan diri-sendiri (Inggris: self-comfort). Inilah makna sebenarnya dari “pertobatan” yang dimaksudkan oleh Fransiskus dan tulisan-tulisannya. Secara singkat Fransiskus mengatakan dalam “Anggaran Dasar Tanpa Bulla” sebagai berikut:
Maka janganlah kita menginginkan dan menghendaki hal lainnya, janganlah sesuatu yang lain menyenangkan dan menggembirakan kita, kecuali Pencipta dan Penebus serta Penyelamat kita, satu-satunya Allah yang benar; Dialah kebaikan yang sempurna, segenap kebaikan, seluruhnya baik, kebaikan yang benar dan tertinggi; Dialah satu-satunya yang baik (bdk. Luk 18:19), penyayang, pemurah, manis dan lembut; Dialah satu-satunya yang kudus, adil, benar, suci dan tulus, satu-satunya yang pemurah, tak bersalah dan murni; dari Dia, oleh Dia dalam Dialah segala pengampunan, segala rahmat dan kemuliaan untuk semua orang yang bertobat dan yang benar, untuk semua orang kudus yang bersukacita bersama-sama di surga. Maka apa pun tidak boleh mencegah, merintangi dan menghalangi ...... (AngTBul XXIII:9-10).
Mewartakan Pertobatan. “Pertobatan” bukan hanya suatu cita-cita untuk dihayati (dijalani) dalam hidup seorang Fransiskan, melainkan juga harus menjadi objek pewartaan Fransiskan; dan setiap saudara diwajibkan untuk menyerukan pertobatan dalam khotbah-khotbah mereka (lihat AngTBul XXI:1-9). Pernyataan Fransiskus berikut ini juga dapat kita lihat dalam “Surat Pertama Kepada Para Kustos”:
Dalam setiap khotbah yang kamu bawakan, hendaknya kamu menasihati umat bahwa mereka mesti bertobat, dan bahwa tidak seorang pun dapat selamat kalau tidak menyambut tubuh dan darah Tuhan yang mahakudus (1SurKus 6).
Mereka harus berkhotbah seperti yang diserukan oleh Santo Yohanes Pembaptis: “Lakukanlah pertobatan (bdk. Mat 3:2), hasilkan buah yang sesuai dengan pertobatan” (Luk 3:8) (lihat AngTBul XXI:3). Fransiskus juga menulis:
Berbahagialah mereka yang mati dengan bertobat sebab mereka akan tinggal di dalam kerajaan surga. Celakalah mereka yang mati tanpa bertobat sebab mereka akan menjadi anak setan ...... (AngTBul XXI:7-8).
Para saudara dalam pewartaan/khotbah mereka harus memberi petuah/wejangan secara begini sehingga orang-orang yang mendengarnya dapat dipertobatkan ke dalam jalan Allah. Dengan kehangatan jiwa yang besar Fransiskus sendiri mewartakan pertobatan kepada semua orang dengan kata-kata sederhana, namun dengan hati yang luhur ia membina pendengarnya. Kata-katanya bagaikan api yang membakar, menembus sampai ke lubuk hati dan memenuhi segala budi dengan ketakjuban (1Cel 23). Setiap orang dipanggil untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga, namun hanya mereka yang menghasrati pertobatan hati dan pikiran dan dipertobatkan, akan memasuki Kerajaan yang telah disiapkan oleh Allah Bapa sejak awal dunia.
Catatan Penutup:
Bagi Fransiskus, “hidup pertobatan” adalah mengikuti “Kristus yang Tersalib” secara konkret. “Pertobatan” adalah suatu sikap dan tindakan vital untuk kembali kepada Allah secara berkesinambungan dalam suatu tindakan penuh syukur dan pelayanan aktif sebagai tanggapan terhadap kebaikan Allah, yakni terutama penebusan yang dibawakan oleh Putera-Nya lewat kematian-Nya.
“Pertobatan” adalah conversio kepada Allah dan sesama. Ini adalah sebuah misteri: manusia memberikan dirinya sendiri kepada Allah agar dapat menjadi milik-Nya secara total-lengkap, milik “Dia yang menciptakan kita dan menebus kita serta akan menyelamatkan kita karena belaskasih-Nya semata-semata” (AngTBul XXIII:8).
“Pertobatan” ini juga harus merupakan bagian penting dalam pewartaan kita kepada orang-orang lain tentang Kabar Baik Tuhan Yesus Kristus.
Catatan: Tulisan ini digunakan sebagai bahan pengajaran dalam pertemuan Persaudaraan OFS Santo Thomas More, Jakarta Selatan, pada tanggal 24 Februari 2013.
Cilandak, 4 Februari 2013 [Peringatan S. Yosef dr Leonisa, Imam & Biarawan]
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS