Jakarta, 2 Juni 2013
Saudari dan Saudara yang dikasihi Kristus,
Seperti dahulu Ia tampak pada para rasul dalam daging yang sejati, demikian juga kini Ia tampak pada kita dalam roti kudus. Mereka, dengan pandangan mata jasmaniahnya, hanya melihat daging-Nya saja; tetapi dengan pandangan mata rohaniahnya, mereka percaya, bahwa Dia adalah Allah. Demikin juga kita, dengan mata badaniah kita yang kita lihat adalah roti dan anggur; tetapi hendaklah kita melihat dan percaya dengan teguh, bahwa itu adalaha tubuh dan darah-Nya yang mahakudus, yang hidup dan benar.” (Bapak Fransiskus dari Assisi dalam Pth 19-21)
Pada hari Minggu ini kita merayakan HARI RAYA TUBUH DAN DARAH KRISTUS. Dalam kesempatan ini, marilah kita berbicara mengenai kehadiran riil/nyata Tuhan Yesus dalam Sakramen Mahakudus dengan berpedoman pada tulisan P. Silvester O’Flynn OFMCap. yang berjudul “The Real Presence” dalam bukunya: THE GOOD NEWS OF LUKE’S YEAR.
Saudari dan Saudara terkasih. Tidak sedikit orang Kristiani yang Katolik masih suka merasa bingung dengan ungkapan “kehadiran nyata” (Inggris: Real Presence) ini. Dalam penggunakan kata secara populer, bilamana kita mengatakan bahwa sesuatu itu nyata/riil, maka kita mengartikannya sebagai “sungguh ada” jika diperlawankan dengan keberadaan yang bersifat fiktif atau tidak lebih dari hasil imajinasi saja; atau bahwa sesuatu itu “asli” ketimbang sesuatu lain yang palsu. Ada orang-orang yang terheran-heran apabila kita berbicara tentang kehadiran Tuhan Yesus dalam Sakramen Mahakudus, apakah dengan demikian kita bermaksud mengartikan bahwa kehadiran-Nya dalam komunitas Kristiani sebagai kurang riil atau kurang sejati, atau kehadiran-Nya dalam Kitab Suci, atau pada saat-saat kita berdoa secara intim, atau cara-cara yang lain?
Kata “nyata” atau “riil” sebagaimana digunakan dalam teologi ekaristi, adalah suatu transliterasi dari kata Latin realis, yang berarti berkaitan dengan benda materi. “Kehadiran nyata/riil” mengindikasikan kehadiran Allah secara istimewa dalam benda materi atau tempat yang konkret.
Ada suatu tradisi panjang yang menyangkut kepercayaan atas kehadiran Allah secara istimewa dalam lokasi-lokasi suci. Walaupun Allah ada di mana-mana, sabda-Nya yang diwahyukan dalam Kitab Suci menceritakan tentang benda-benda atau tempat-tempat suci yang merupakan suatu tempat pertemuan istimewa antara Allah dan manusia.
Musa bertemu dengan Allah di semak yang terbakar dan di atas gunung suci. Kemudian, Tabut Perjanjian merupakan benda yang menyatakan kehadiran Allah – kediaman Allah yang bersifat mobil – artinya dapat dibawa/digotong ke sana ke mari. Ketika bangsa Israel mulai menetap di lokasi tertentu, maka benda yang suci adalah Kemah Pertemuan. Kemudian ada Bait Allah yang menyediakan tempat terkudus bagi Allah (Inggris: Holy of the Holies).
Nah, Allah hadir secara sangat unik dalam “daging” Yesus Kristus. Tubuh Yesus Kristus menggantikan Bait Allah sebagai tempat kehadiran Allah yang istimewa. Lalu, pada perjamuan terakhir, Yesus menyiapkan kedatangan saat di mana tubuh fisik-Nya tidak akan hadir lagi di bumi. Untuk itu, Dia memberikan roti dan anggur yang telah dikonsekrasikan kepada para murid-Nya: “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Luk 22:19). Ekaristi sekarang menjadi tempat suci istimewa di mana Allah bertemu dengan umat-Nya. Allah yang ada di mana-mana, memberi akomodasi bagi kehadiran-Nya seturut kebutuhan-kebutuhan kita. Kehadiran Tuhan Yesus dalam hosti suci menjawab tiga kebutuhan dasar kita; sebagai suatu pusat dari kepercayaan kita, suatu titik fokus bagi indra-indra kita, dan sebagai suatu sumber emosi-emosi keagamaan kita.
Kepercayaan teologis kita akan kehadiran dan aktivitas Allah dalam kehidupan kita datang dari suatu pemusatan perhatian pada Roti Suci. Manakala kita makan roti biasa, maka roti itu diubah menjadi diri kita; namun apabila kita makan Roti ini, maka kita diubah menjadi diri-Nya, karena dengan konsekrasi yang dilakukan seorang imam tertahbis roti itu telah diubah menjadi tubuh-Nya sendiri. Dalam Yoh 6, ajaran Yesus tentang Ekaristi disajikan sebagai “testcase” atas iman-kepercayaan kita. “Sebab daging-Ku benar-benar makanan dan darah-Ku benar-benar minuman. Siapa saja yang makan daging-Ku dan minum darah-Ku, Ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia” (Yoh 6:55-56). Mereka yang tidak menerima kepercayaan ini sesungguhnya tidak lagi berjalan bersama Yesus. Tidak mengherankanlah apabila Santo Fransiskus dari Assisi dalam “Petuah-Petuah” menulis seperti berikut ini: “Terkutuklah semua orang yang kini melihat sakramen, yang dikuduskan oleh firman Tuhan di atas altar melalui tangan imam dalam rupa roti dan anggur, tetapi tidak melihat dan percaya menurut Roh dan keallahan, bahwa itu benar-benar tubuh Tuhan dan darah mahakudus Tuhan kita Yesus Kristus; Yang Mahatinggi sendiri memberi kesaksian tentang hal itu dengan berfirman: Inilah tubuh-Ku dan darah Perjanjian-Ku yang baru (yang ditumpahkan bagi banyak orang) [Mrk 14:22,24]; dan: Siapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup kekal”[Yoh 6:54] (Pth 9-11). Inilah iman Bapak Serafik berkaitan dengan Sakramen Ekaristi. Sebagai para anak rohaninya, kita pun seharusnya mempunyai iman-kepercayaan yang sama.
Sakramen Mahakudus yang diekspos untuk penghormatan umat adalah suatu titik yang kuat bagi pemusatan perhatian indra-indra kita. Memuaskan kebutuhan kita untuk memusatkan penglihatan kita, indra yang paling kuat dari manusia. Pikiran-pikiran kita – yang senantiasa diganggu oleh distraksi-distraksi (pelanturan-pelanturan), ditolong untuk tetap bersatu dalam suatu pemusatan perhatian yang kuat.
Penggunaan cahaya lampu yang baik, warna, bebungaan dan simbol-simbol artistik dapat membantu pemusatan perhatian kita. Aroma dupa yang membumbung ke atas dapat menumbuhkan suatu atmosfir doa yang terangkat ke surga ke hadapan hadirat Allah. Teladan yang diberikan oleh orang-orang lain dalam menghormati sakramen ini dengan pantas juga merupakan suatu tantangan dan dukungan bagi kita.
Ekaristi juga merupakan suatu sumber dari emosi-emosi keagamaan kita. Ketika bersembah-sujud di hadapan Sakramen Mahakudus kita ditarik kepada Allah lewat berbagai ungkapan penyembahan, kasih, syukur, permohonan serta pertobatan. Sebagai suatu bantuan terhadap memori-memori kita, altar Tuhan memegang peranan sangat penting.
Siapakah yang kita sembah? Tuhan sendiri! Dia adalah sang Sabda Bapa, yang dikandung oleh Roh Kudus dan dilahirkan oleh Santa Perawan Maria, dan sekarang menjadi sang Roti Kehidupan bagi kita semua yang percaya.
Sabda yang menjadi daging, kasihanilah kami!
Saudari dan Saudara sekalian, Selamat merayakan Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus !!!!!
Salam persaudaraan,
DEWAN REDAKSI SITUS OFS INDONESIA
Saudari dan Saudara yang dikasihi Kristus,
Seperti dahulu Ia tampak pada para rasul dalam daging yang sejati, demikian juga kini Ia tampak pada kita dalam roti kudus. Mereka, dengan pandangan mata jasmaniahnya, hanya melihat daging-Nya saja; tetapi dengan pandangan mata rohaniahnya, mereka percaya, bahwa Dia adalah Allah. Demikin juga kita, dengan mata badaniah kita yang kita lihat adalah roti dan anggur; tetapi hendaklah kita melihat dan percaya dengan teguh, bahwa itu adalaha tubuh dan darah-Nya yang mahakudus, yang hidup dan benar.” (Bapak Fransiskus dari Assisi dalam Pth 19-21)
Pada hari Minggu ini kita merayakan HARI RAYA TUBUH DAN DARAH KRISTUS. Dalam kesempatan ini, marilah kita berbicara mengenai kehadiran riil/nyata Tuhan Yesus dalam Sakramen Mahakudus dengan berpedoman pada tulisan P. Silvester O’Flynn OFMCap. yang berjudul “The Real Presence” dalam bukunya: THE GOOD NEWS OF LUKE’S YEAR.
Saudari dan Saudara terkasih. Tidak sedikit orang Kristiani yang Katolik masih suka merasa bingung dengan ungkapan “kehadiran nyata” (Inggris: Real Presence) ini. Dalam penggunakan kata secara populer, bilamana kita mengatakan bahwa sesuatu itu nyata/riil, maka kita mengartikannya sebagai “sungguh ada” jika diperlawankan dengan keberadaan yang bersifat fiktif atau tidak lebih dari hasil imajinasi saja; atau bahwa sesuatu itu “asli” ketimbang sesuatu lain yang palsu. Ada orang-orang yang terheran-heran apabila kita berbicara tentang kehadiran Tuhan Yesus dalam Sakramen Mahakudus, apakah dengan demikian kita bermaksud mengartikan bahwa kehadiran-Nya dalam komunitas Kristiani sebagai kurang riil atau kurang sejati, atau kehadiran-Nya dalam Kitab Suci, atau pada saat-saat kita berdoa secara intim, atau cara-cara yang lain?
Kata “nyata” atau “riil” sebagaimana digunakan dalam teologi ekaristi, adalah suatu transliterasi dari kata Latin realis, yang berarti berkaitan dengan benda materi. “Kehadiran nyata/riil” mengindikasikan kehadiran Allah secara istimewa dalam benda materi atau tempat yang konkret.
Ada suatu tradisi panjang yang menyangkut kepercayaan atas kehadiran Allah secara istimewa dalam lokasi-lokasi suci. Walaupun Allah ada di mana-mana, sabda-Nya yang diwahyukan dalam Kitab Suci menceritakan tentang benda-benda atau tempat-tempat suci yang merupakan suatu tempat pertemuan istimewa antara Allah dan manusia.
Musa bertemu dengan Allah di semak yang terbakar dan di atas gunung suci. Kemudian, Tabut Perjanjian merupakan benda yang menyatakan kehadiran Allah – kediaman Allah yang bersifat mobil – artinya dapat dibawa/digotong ke sana ke mari. Ketika bangsa Israel mulai menetap di lokasi tertentu, maka benda yang suci adalah Kemah Pertemuan. Kemudian ada Bait Allah yang menyediakan tempat terkudus bagi Allah (Inggris: Holy of the Holies).
Nah, Allah hadir secara sangat unik dalam “daging” Yesus Kristus. Tubuh Yesus Kristus menggantikan Bait Allah sebagai tempat kehadiran Allah yang istimewa. Lalu, pada perjamuan terakhir, Yesus menyiapkan kedatangan saat di mana tubuh fisik-Nya tidak akan hadir lagi di bumi. Untuk itu, Dia memberikan roti dan anggur yang telah dikonsekrasikan kepada para murid-Nya: “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Luk 22:19). Ekaristi sekarang menjadi tempat suci istimewa di mana Allah bertemu dengan umat-Nya. Allah yang ada di mana-mana, memberi akomodasi bagi kehadiran-Nya seturut kebutuhan-kebutuhan kita. Kehadiran Tuhan Yesus dalam hosti suci menjawab tiga kebutuhan dasar kita; sebagai suatu pusat dari kepercayaan kita, suatu titik fokus bagi indra-indra kita, dan sebagai suatu sumber emosi-emosi keagamaan kita.
Kepercayaan teologis kita akan kehadiran dan aktivitas Allah dalam kehidupan kita datang dari suatu pemusatan perhatian pada Roti Suci. Manakala kita makan roti biasa, maka roti itu diubah menjadi diri kita; namun apabila kita makan Roti ini, maka kita diubah menjadi diri-Nya, karena dengan konsekrasi yang dilakukan seorang imam tertahbis roti itu telah diubah menjadi tubuh-Nya sendiri. Dalam Yoh 6, ajaran Yesus tentang Ekaristi disajikan sebagai “testcase” atas iman-kepercayaan kita. “Sebab daging-Ku benar-benar makanan dan darah-Ku benar-benar minuman. Siapa saja yang makan daging-Ku dan minum darah-Ku, Ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia” (Yoh 6:55-56). Mereka yang tidak menerima kepercayaan ini sesungguhnya tidak lagi berjalan bersama Yesus. Tidak mengherankanlah apabila Santo Fransiskus dari Assisi dalam “Petuah-Petuah” menulis seperti berikut ini: “Terkutuklah semua orang yang kini melihat sakramen, yang dikuduskan oleh firman Tuhan di atas altar melalui tangan imam dalam rupa roti dan anggur, tetapi tidak melihat dan percaya menurut Roh dan keallahan, bahwa itu benar-benar tubuh Tuhan dan darah mahakudus Tuhan kita Yesus Kristus; Yang Mahatinggi sendiri memberi kesaksian tentang hal itu dengan berfirman: Inilah tubuh-Ku dan darah Perjanjian-Ku yang baru (yang ditumpahkan bagi banyak orang) [Mrk 14:22,24]; dan: Siapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup kekal”[Yoh 6:54] (Pth 9-11). Inilah iman Bapak Serafik berkaitan dengan Sakramen Ekaristi. Sebagai para anak rohaninya, kita pun seharusnya mempunyai iman-kepercayaan yang sama.
Sakramen Mahakudus yang diekspos untuk penghormatan umat adalah suatu titik yang kuat bagi pemusatan perhatian indra-indra kita. Memuaskan kebutuhan kita untuk memusatkan penglihatan kita, indra yang paling kuat dari manusia. Pikiran-pikiran kita – yang senantiasa diganggu oleh distraksi-distraksi (pelanturan-pelanturan), ditolong untuk tetap bersatu dalam suatu pemusatan perhatian yang kuat.
Penggunaan cahaya lampu yang baik, warna, bebungaan dan simbol-simbol artistik dapat membantu pemusatan perhatian kita. Aroma dupa yang membumbung ke atas dapat menumbuhkan suatu atmosfir doa yang terangkat ke surga ke hadapan hadirat Allah. Teladan yang diberikan oleh orang-orang lain dalam menghormati sakramen ini dengan pantas juga merupakan suatu tantangan dan dukungan bagi kita.
Ekaristi juga merupakan suatu sumber dari emosi-emosi keagamaan kita. Ketika bersembah-sujud di hadapan Sakramen Mahakudus kita ditarik kepada Allah lewat berbagai ungkapan penyembahan, kasih, syukur, permohonan serta pertobatan. Sebagai suatu bantuan terhadap memori-memori kita, altar Tuhan memegang peranan sangat penting.
Siapakah yang kita sembah? Tuhan sendiri! Dia adalah sang Sabda Bapa, yang dikandung oleh Roh Kudus dan dilahirkan oleh Santa Perawan Maria, dan sekarang menjadi sang Roti Kehidupan bagi kita semua yang percaya.
Sabda yang menjadi daging, kasihanilah kami!
Saudari dan Saudara sekalian, Selamat merayakan Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus !!!!!
Salam persaudaraan,
DEWAN REDAKSI SITUS OFS INDONESIA