Agar efektif dan bertumbuh dengan baik, maka kegiatan kerasulan seorang Kristiani harus memperoleh dukungan kuat dari spiritualitasnya, atau katakanlah hidupnya sehari-hari sebagai seorang Kristiani, antara lain seperti ditunjukkan dalam kekudusan hidupnya, sejauh Allah yang kudus memanggil manusia untuk menjadi kudus, yakni hidup bersatu dengan Allah.[2] Mengenai hal ini, Konsili Vatikan II mengatakan:
IBADAT HARIAN DALAM KEHIDUPAN DOA SEORANG FRANSISKAN SEKULAR *)
…….. semua orang yang mendoakan Ibadat Harian, menunaikan tugas Gereja, maupun ikut serta dalam kehormatan tertinggi Mempelai Kristus. Sebab seraya melambungkan pujian kepada Allah mereka berdiri di hadapan takhta Allah atas nama Bunda Gereja. (Sacrosanctum Concilium 85)
Tujuan utama tulisan ini adalah untuk memperkenalkan IBADAT HARIAN (Latin: Liturgia Horarum; Inggris: Liturgy of the Hours)[1] kepada para anggota OFS Persaudaraan Santo Thomas More, Jakarta Selatan.
Pendekatan yang saya gunakan dalam tulisan ini cukup sederhana karena sasaran utamanya adalah para postulan dan aspiran. Bagi para anggota Persaudaraan Santo Thomas More yang sudah biasa dengan tekun mendoakan IBADAT HARIAN ini, pandanglah tulisan ini sebagai bahan untuk penyegaran kembali.
OFS DAN PANGGILAN UNTUK HIDUP SUCI
Agar efektif dan bertumbuh dengan baik, maka kegiatan kerasulan seorang Kristiani harus memperoleh dukungan kuat dari spiritualitasnya, atau katakanlah hidupnya sehari-hari sebagai seorang Kristiani, antara lain seperti ditunjukkan dalam kekudusan hidupnya, sejauh Allah yang kudus memanggil manusia untuk menjadi kudus, yakni hidup bersatu dengan Allah.[2] Mengenai hal ini, Konsili Vatikan II mengatakan:
Jadi bagi semua jelaslah, bahwa semua orang Kristiani, bagaimanapun juga status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cintakasih. Dengan kesucian itu juga dalam masyarakat di dunia ini cara hidup menjadi lebih manusiawi. Untuk memperoleh kesempurnaan itu hendaklah kaum beriman mengerahkan tenaga yang mereka terima menurut ukuran yang dikurniakan oleh Kristus, supaya dengan mengikuti jejak-Nya dan menyerupai citra-Nya, dengan melaksanakan kehendak Bapa dalam segalanya, mereka dengan segenap jiwa membaktikan diri kepada kemuliaan Allah dan pengabdian terhadap sesama (LG 40).
Apakah yang dikatakan dalam Kitab Suci[3] perihal panggilan kepada kesucian atau kekudusan ini? Berikut ini disajikan beberapa petikan bacaan, baik dari Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru:
Perjanjian Lama:
1. Sebab Akulah TUHAN, Allahmu, maka haruslah kamu menguduskan dirimu dan haruslah kamu kudus, sebab Aku ini kudus, dan janganlah kamu menajiskan dirimu ……… Sebab Akulah TUHAN yang telah menuntun kamu keluar dari tanah Mesir, supaya menjadi Allahmu; jadilah kudus, sebab Aku ini kudus (Im 11:44-45).
2. TUHAN berfirman kepada Musa: “Berbicaralah kepada segenap jemaah Israel dan katakan kepada mereka: Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus…” (Im 19:2).
3. Maka kamu harus menguduskan dirimu, dan kuduslah kamu, sebab Akulah TUHAN, Allahmu. Demikianlah kamu harus berpegang pada ketetapan-Ku dan melakukannya; Akulah TUHAN yang menguduskan kamu (Im 20:7-8).
Perjanjian Baru:
1. Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus (1Ptr 1:14-16).
2. Kuasa ilahi-Nya telah menganugerahkan kepada kita segala sesuatu yang berguna untuk hidup yang saleh oleh pengenalan kita akan Dia yang telah memanggil kita oleh kuasa-Nya yang mulia dan ajaib. Dengan jalan itu Ia telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan sangat besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi, dan luput dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia (2Ptr 1:3-4).
3. Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain; sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, perbuatlah juga demikian. Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil dalam satu tubuh. Dan bersyukurlah (Kol 3:12-15).
4. Karena inilah kehendak Allah: Pengudusanmu, ……… Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus (1Tes 4:3.7).
5. Sebab di dalam Dia (Kristus) Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya (Ef 1:4).
6. Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah (Mat 5:8).
7. …… bahwa kamu, berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama, yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan, supaya kamu dibarui di dalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (Ef 4:22-24).
8. Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan (Ibr 12:14).
Seperti umat Kristiani lainnya, seorang Fransiskan sekular juga dipanggil kepada kesucian. Dan … apabila kita berbicara mengenai spiritualitas, kesalehan, atau kesucian seseorang – siapapun dia –, maka kehidupan doa orang itu sangat penting karena merupakan bagian hakiki dari spiritualitasnya, kesalehannya atau kesucian pribadinya. Dari berbagai macam bentuk doa, ada satu macam doa yang tersedia bagi orang itu, doa mana bersifat sangat khas dan kuat berakar pada tradisi Gereja, yaitu IBADAT HARIAN.
Nah, IBADAT HARIAN ini juga tersedia bagi kita para anggota OFS sebagai satu sarana efektif (ampuh) dalam membantu kita mengayunkan langkah-langkah kita menuju kekudusan! Pegangan kita adalah AD OFS, KU OFS – 2001, tulisan-tulisan Santo Fransiskus sendiri dan tentunya dokumen-dokumen resmi Gereja yang berlaku.
APA YANG DIKATAKAN OLEH AD OFS DAN KU OFS – 2001?
AD OFS Fasal II Artikel 8 berbunyi sebagai berikut:
As Jesus was the true worshipper of the Father, so let prayer and contemplation be the soul of all they are and do. Let them participate in the sacramental life of the Church, above all the Eucharist. Let them join the liturgical prayer in one of the forms proposed by the Church, reliving the mysteries of the life of Christ (INGGRIS).
Sebagaimana Yesus menjadi penyembah sejati bagi Bapa, demikian pula mereka hendaknya membuat doa dan kontemplasi menjadi jiwa bagi kehidupan dan tingkah laku mereka. Hendaklah mereka ambil bagian dalam kehidupan sakramental Gereja, terutama Sakramen Ekaristi, dan menggabungkan diri dengan doa-doa liturgis dalam satu bentuk yang dianjurkan Gereja; supaya dengan demikian mereka menghidupkan kembali misteri-misteri kehidupan Kristus (INDONESIA).
Dari kutipan ini kita lihat, bahwa AD OFS menganjurkan kepada para Fransiskan sekular untuk ikut serta dalam doa-doa liturgis dalam salah satu bentuk yang dianjurkan Gereja. “Konstitusi Umum OFS – 2001” menegaskan artikel AD OFS ini dengan pernyataan sebagai berikut: “Para saudara dan saudari serta persaudaraan-persaudaraan harus mentaati indikasi-indikasi dalam Rituale sehubungan dengan bentuk-bentuk yang berbeda-beda dari keikutsertaan dalam doa liturgis Gereja, dengan memberikan prioritas kepada perayaan Ibadat Harian” (KU OFS Artikel 14.4).[4] Jadi disamping Ekaristi Kudus sebagai yang utama, Ibadat Harian sebagai salah satu doa liturgis, haruslah diprioritaskan. Namun sebelum kita membicarakan Ibadat Harian itu sendiri, marilah kita menengok sejenak kehidupan doa Bapak Serafik kita, karena bagaimana pun juga dia adalah panutan kita.
KEHIDUPAN DOA SANTO FRANSISKUS
Uraian relatif singkat tentang kehidupan doa Fransiskus berikut ini bertujuan untuk mengingatkan kita semua kepada kenyataan, bahwa kita pertama-tama adalah Fransiskan (anggota keluarga besar Santo Fransiskus dari Assisi). Dengan demikian kehidupan doa kita pun harus meneladan kehidupan doa Santo Fransiskus.
Kehidupan doa bersifat sentral dalam kehidupan Fransiskus. Bagi Fransiskus, Klara dan para saudara-saudari yang pertama, kehidupan doa merupakan sesuatu hal yang sentral, karena komunikasi dengan Allah melalui doa memberikan kepada mereka pengalaman “menghidupkan kembali” atau “menyatukan kembali” diri mereka dengan misteri-misteri Kristus, dan karenanya memberikan makna dan tujuan keberadaan mereka dan kegiatan mereka. Thomas dari Celano menulis, bahwa Fransiskus mengarahkan segenap perhatiannya kepada Tuhan dan dia “bukan berdoa, namun dirinya sendiri menjadi sebuah doa” (2Cel 95).[5] Bagi Fransiskus (dan Klara) doa merupakan sebuah pengalaman mendasar dan pengungkapan iman. Semoga demikian pulalah halnya bagi kita yang menamakan diri Fransiskan sekular.
Kehidupan Santo Fransiskus menunjukkan kepada kita bahwa doa menempatkan kita ke dalam komunikasi akrab dengan Allah, membuat kita mengenal identitas diri kita sendiri, memberikan kita energi, kekuatan dan determinasi untuk menghayati hidup Injili dengan lebih efektif. Fransiskus sendiri mengalami Allah sebagai seorang Pribadi yang keberadaan-Nya dan keagungan-Nya sangat berkelimpahan (lihat AngTBul XXIII).
Fransiskus memiliki keyakinan teguh akan kebaikan Allah. Pastilah dia mengenal Bapa melalui Putera dalam Roh Kudus. Dengan penuh keyakinan dia berkata, “Beginilah Tuhan menganugerahkan kepadaku, Saudara Fransiskus, untuk mulai melakukan pertobatan” (Was 1); “Tuhan memberi aku anugerah dalam gereja-gereja, kepercayaan yang sedemikian besar, sehingga aku biasa berdoa secara sederhana dengan kata-kata ini, “Kami menyembah Engkau, Tuhan Yesus Kristus, ………” (Was 4-5), karena memang semua itulah yang sesungguhnya terjadi. Fransiskus memandang tindakan dan inspirasi Allah sebagai karunia bebas dan anugerah-Nya yang sangat istimewa. Fransiskus memiliki kesadaran yang begitu mendalam di dalam dirinya, bahwa Tuhan telah menyentuh/menjamah hatinya, aktif serta hadir pula dalam diri pribadi-pribadi dan komunitas. Hal ini membawa dia kepada suatu keyakinan mendalam, bahwa kebersatuannya dengan Allah yang sangat mempribadi dan akrab-mendalam, menjadi sumber, tujuan, dan kekuatan pemberdaya keseluruhan hidupnya.
Dengan memiliki Kristus dalam hatinya dan dengan mengikuti Kristus dalam perasaan, pikiran, sikap dan tindakannya, maka Fransiskus secara spiritual menyatu dengan Tuhan. Dapat dikatakan, bahwa keseluruhan hubungan orang kudus ini dengan Tuhan Yesus Kristus merupakan sebuah love story yang sungguh indah. Dalam menanggapi tawaran kasih Allah, Fransiskus berupaya terus untuk mengasihi Allah dan menyerahkan dirinya sendiri sepenuhnya kepada Allah. Oleh karena itu dia mengikuti jejak Kristus secara langsung dan membuat Tuhan Yesus sebagai pusat dan inspirasi (inspirator) hidupnya (AD OFS Fasal II Artikel 4). Hal yang sama terjadi dengan pengikutnya yang paling sempurna, yaitu Santa Klara.
Ekaristi Kudus. Sepanjang hidupnya, Ekaristi Kudus menjadi titik-temu (point of contact) antara Fransiskus dan Kristus yang dikasihinya dengan begitu intens dan intim, karena dalam Ekaristilah dia melihat Putera Allah Yang Mahatinggi secara jasmaniah (Was 10). Dalam Ekaristi dan melalui Ekaristi, Kristus menjadi realitas pribadi yang hidup bagi Fransiskus (dan juga bagi Klara). Ekaristi merupakan fokus keseluruhan hidup kedua orang kudus ini.
Ibadat Harian. Fransiskus dan Klara juga memiliki keterlekatan sangat erat dengan Ibadat Harian berdasarkan beberapa alasan: Jenis doa ini merupakan sebuah cara untuk menyucikan keseluruhan hari dengan suatu gaya doa yang berkelanjutan. Ibadat Harian adalah sebuah sarana untuk membuat kata-kata dalam Kitab Suci menjadi ungkapan doa mereka sendiri. Ibadat Harian merupakan kesempatan bagi para saudara-saudari berkumpul untuk berdoa dalam komunitas yang bersatu dengan seluruh Gereja. Ibadat Harian adalah cara mereka menunjukkan secara konkrit kesatuan mereka dengan Gereja universal dan secara khusus kesetiaan mereka pada Gereja Roma (BAF, hal. 10-4).
Arti “Ofisi Ilahi” bagi Santo Fransiskus seturut pengamatan John Peter OFM. Dahulu “Ibadat Harian” disebut “Ofisi Ilahi” (lihat catatan kaki No. 1). Dari uraian di atas kita mengetahui, bahwa Fransiskus mendoakan Ofisi Ilahi ini. Dalam “Anggaran Dasar Tanpa Bulla” dia mengharuskan para saudara, baik rohaniwan maupun awam (bruder), untuk melakukan ibadat harian (AngTBul III:3).
John Peter OFM menulis tentang hal-ikhwal Ofisi Ilahi dan Fransiskus dalam artikelnya yang berjudul FRANCISCAN TEXT STUDY – CONCERNING THE DIVINE OFFICE.[6] Dalam artikelnya tersebut, John Peter OFM mengungkapkan apa yang menurut dia merupakan makna Ofisi Ilahi bagi Fransiskus:
1. Ofisi Ilahi menduduki suatu tempat penting dalam kehidupan Santo Fransiskus, teristimewa dalam kehidupan spiritualnya.
2. Ofisi Ilahi merupakan sebuah sarana-pengikat Fransiskus dan persaudaraannya secara erat dengan Gereja Roma.
3. Ofisi Ilahi dinilai oleh Fransiskus sebagai doa komunitas dari persaudaraannya dan sebagai sebuah pengungkapan persaudaraan dan sarana memajukan persaudaraan ini.
4. Ofisi Ilahi harus didaras secara spiritual oleh para saudaranya: dengan semangat batiniah yang selaras dengan pengungkapan eksternal dan menjadi sungguh senada dengan (kehendak) Allah.
5. Penggunaan Ofisi Ilahi oleh Fransiskus menggambarkan cintanya kepada doa dan pentingnya doa menurut dia sebagai sumber/mata air bagi kerasulan Ordonya.
6. Fransiskus memelihara gagasannya perihal kemiskinan spiritual dan meluaskannya sampai pada kewajiban untuk mendoakan Ofisi.
7. Praktek pendarasan Ofisi Ilahi telah diikat dengan penggunaan-penggunaannya dalam biara monastik. Perkembangannya di dalam Ordo Fransiskan berakar dalam kharisma unik dari sang Poverello sendiri (JP, hal. 124-125).
Semoga hasil pengamatan John Peter OFM ini dan keterlekatan Santo Fransiskus dan Santa Klara pada Ibadat Harian seperti diuraikan sebelumnya dapat memacu kita semua – para Fransiskan sekular – untuk lebih giat mendoakan Ibadat Harian ini sebagai bagian penting dan tak terpisahkan dari kehidupan doa kita sehari-hari.
Pengalaman Fransiskus dan Klara akan Allah begitu kuat sehingga tak dapat ditahan-tahan atau disembunyikan. Pengalaman akrab ini memancar keluar dalam doa, apakah dalam kontemplasi di tempat-tempat sunyi di gunung, gua atau dalam biara, dalam irama lagu atau kata-kata petuah/wejangan yang keluar lewat bibir mereka dan dalam perayaan liturgi suci. Fransiskus dan Klara begitu hidup bersama Allah sehingga kapan dan di mana saja mereka mendengarkan dan berbicara dengan Allah dalam semangat puji dan syukur, dan dalam permohonan penuh percaya seorang anak kepada bapanya.
Hasil dari kehidupan doa seperti ditunjukkan Fransiskus dan Klara di atas adalah suatu pengalaman baru berkenan dengan kebersatuan dengan Allah yang bersifat pribadi dan intim, serta evaluasi jujur atas kondisi batiniah diri sendiri.
Kehidupan doa ini bertumbuh dari beberapa sikap dasar:
1. Kesadaran (Awareness) – bahwa kita bersama Allah setiap saat, tahu bahwa kita selalu berada dalam hadirat Allah dan Allah selalu hadir bagi kita.
2. Puji dan syukur (Praise and thanksgiving) – suatu kesadaran mengenai semua hal yang telah dilakukan Tuhan bagi kita, suatu rasa takjub terhadap pemberian-pemberian-Nya yang indah sekali, suatu perasaan syukur yang besar sekali atas karunia-karunia-Nya yang tak terhitung banyaknya.
3. Mendengarkan (Listening) – suatu kemauan dan kemampuan untuk berhenti berbicara dan membuka telinga kita supaya memperkenankan pesan dari Allah datang kepada kita melalui Kitab Suci dan Sakramen-sakramen, ajaran dan tradisi Gereja, orang-orang lain, karunia penciptaan, tanda-tanda zaman, situasi-situasi di sekeliling kita, atau bahkan dorongan-dorongan hati dan kehendak kita.
4. Keterbukaan (Openness) – suatu gambaran di mana kita berdiri di depan Tuhan dengan tangan-tangan terbuka; Allah dapat mengambil apa saja yang dikehendaki-Nya dan memberi apa saja yang diinginkan-Nya.
5. Kepercayaan atau keyakinan (Confidence) – tahu dengan pasti bahwa karena Tuhan telah begitu baik dan murah hati di masa lampau, maka Dia akan terus memelihara kita dan memberikan kepada kita segala kebutuhan kita.
6. Ketekunan (Persistence atau perseverance) – sikap ulet dan tabah hati dalam berkomunikasi dengan Tuhan kapan saja dan di mana saja, pada saat-saat baik maupun buruk, waktu sehat maupun sakit.
KEHIDUPAN DOA SEORANG FRANSISKAN AWAM
Di atas tadi – secara singkat – kita sudah mempeladjari kehidupan doa Bapak Fransiskus dan juga Ibu Klara. Bagaimana dengan kehidupan doa kita sendiri? Masing-masing kita berdoa sebagai individu-individu, sebagai anggota komunitas (misalnya Persaudaraan OFS, lingkungan/wilayah dalam paroki tertentu atau dalam keluarga), dapat juga sebagai anggota seluruh Gereja pada pertemuan-pertemuan khusus.
Doa Pribadi
Kehidupan doa seorang pribadi mencerminkan relasi seseorang dengan Tuhan yang disembahnya. Hal ini merupakan barometer dari kondisi spiritualnya sendiri. Doa pribadi yang sehat merupakan suatu campuran (composite) atau mosaik yang kaya dari cara berdoa yang bermacam-macam, apakah doa hening, spontan, atau terstruktur; apakah diucapkan, dengan pikiran, atau dengan hati.
Doa kontemplatif selalu mengambil suatu tempat istimewa dalam kehidupan doa pribadi para Fransiskan. Kontemplasi di sini bukanlah dimaksudkan suatu saat sunyi untuk melarikan diri dari hiruk-pikuk atau hingar-bingar keberadaan yang biasa, melainkan kemampuan untuk terus-menerus takjub, terpesona atau terkesima di hadirat dan pada kuasa Yesus dalam setiap aspek kehidupan kita sehari-hari.
Sebagian besar uraian tentang doa-doa pribadi yang diperlukan untuk membekali para Fransiskan sekular anggota OFS Persaudaraan Santo Thomas More telah diberikan dalam tulisan saya No. UMUM/OFS/S. THOMAS MORE/2009/02 dengan judul: “DOA-DOA PRIBADI DALAM KEHIDUPAN SEORANG FRANSISKAN SEKULAR”.
Doa komunal
Doa suatu komunitas yang khusus menunjukkan hubungan yang unik dan istimewa dari sebuah kelompok orang beriman dengan Allah. Cara sebuah persaudaraan OFS tertentu, atau sebuah keluarga tertentu, atau sebuah persekutuan/kelompok doa (prayer-group) tertentu dalam berdoa, dapat cukup berbeda dengan persaudaraan OFS, atau keluarga, atau persekutuan/kelompok doa lain tatkala mengekspresikan dirinya dalam doa. Hal seperti itu dapat diterima, OK dan tidak salah. Doa sedemikian memberikan isi dan arah kepada identitas kelompok sebagai komunitas iman khusus yang sedang berupaya mencapai kekudusan.
Doa komunitas (komunal; berjemaah) sedemikian dapat diekspresikan dalam bentuk refleksi bersama, doa-doa spontan dalam pertemuan kelompok, penggunaan rituale-rituale atau rumusan-rumusan doa, misalnya penggunaan rosario atau devosi-devosi tertentu atau Rituale OFS sendiri.
Doa Liturgis
Kita tidak hanya dipanggil untuk mengekspresikan diri kita dalam doa sebagai individu-individu atau sebagai anggota-anggota berbagai komunitas iman, melainkan kita juga harus menyatukan diri dengan Kristus yang menyembah dan mengikuti perintah-Nya untuk berdoa dalam sebuah cara resmi sebagai anggota-anggota Tubuh Kristus secara keseluruhan, yaitu Gereja. Doa jenis ini disebut “liturgi” (berasal dari kata Yunani leiturgia yang berarti suatu pelayanan publik, suatu kegiatan umat, suatu penyembahan bersama (a common worhip) karena ini merupakan karya umat Allah, untuk umat Allah, dan oleh umat Allah. Kita tidak pernah diharapkan untuk menghadiri sebuah perayaan liturgi tertentu sekedar sebagai pengamat; kita harus turut ambil bagian secara aktif. Sebuah perayaan liturgi merupakan kegiatan partisipatif (participatory activity) di mana setiap orang memainkan sebuah peran aktif. Perayaan Ekaristi dan sakramen-sakramen lainnya serta Ibadat Harian (Ofisi Ilahi) merupakan doa-doa liturgis.
Ekaristi. Apabila kita berpartisipasi dalam perayaan Ekaristi dan menerima Komuni, hal inilah yang terjadi: Kita berdoa sedapat mungkin dengan cara yang paling baik dan paling intens karena kita mempersembahkan kepada Allah Bapa segala puji dan syukur kita yang pantas diterima-Nya sebagai Tuhan dan Pencipta melalui Yesus Kristus yang sungguh hadir. Kita mempersatukan diri kita dengan Yesus dalam suatu cara yang paling intim, dan menjadi satu dengan hidup-Nya dan misi-Nya. Kita telah berkesempatan untuk melihat bagaimana Roh Kudus mengubah (mentransformir) kita yang sekedar manusia biasa menjadi umat kudus Allah, seperti Dia mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus, dan bagaimana kita harus menanggapi dengan membentuk komunitas dan membawa kebahagiaan dan kekudusan kepada semua orang. Kita menjadi apa yang kita terima: perjanjian (covenant), penyatuan (union), kurban (sacrifice), makanan (nourishment), perayaan (celebration), pen-damaian/perukunan-kembali (reconciliation) dan kehadiran (presence) (BAF, hal. 10-7).
Maka melalui Ekaristi kita melihat diri kita sebagai bagian dari seluruh Gereja dan juga sebagai seluruh Gereja secara miniatur. Seperti Fransiskus dan Klara, kita para Fransiskan mengalami Ekaristi sebagai pengalaman yang intens dan intim secara istimewa akan kehadiran-nyata dan kegiatan Tuhan. Lewat puncak perayaan-iman yang paling penting ini, kita menjadi berada dalam situasi berhadapan secara face-to-face dengan kehadiran-nyata Allah secara penuh. Kita kemudian melanjutkan perjumpaan dengan Dia yang hadir-nyata tersebut melalui pelbagai kegiatan “pembasuhan kaki” pada waktu-waktu yang tersedia antara dua perayaan liturgis, sehingga dengan demikian kita membuat nyata kata-kata yang diucapkan Yesus: “Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (Yoh 13:15); agar supaya sabda Yesus: “…perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Luk 22:19; bdk 1Kor 11:24) yang menjadi bagian dari “Doa Syukur Agung” dipahami sebagai suatu gaya-hidup (life-style) dan bukan sekedar sebuah kegiatan ritual yang terkait dengan gereja.
Ibadat Harian. Apabila kita – para Fransiskan sekular – mendoakan Ibadat Harian dari hari ke hari (khususnya Ibadat Pagi dan Ibadat Sore), maka berkat rahmat Allah kita dapat mencapai tujuan-tujuan berikut ini:
1. Kita bersatu dalam doa dengan orang-orang lain di seluruh dunia dan dengan Yesus Kristus sebagai “kurban pujian yang hidup” bagi Allah Bapa dan untuk menghidupkan kembali misteri-misteri kehidupan Kristus dalam hidup sehari-hari kita sendiri (lihat AD OFS Fasal II Artikel 8);
2. Kita menguduskan/menyucikan waktu-waktu dalam satu hari (teristimewa waktu puncak pagi dan sore hari) untuk melayani Allah dan kepada partisipasi sadar kita dalam karya keselamatan;
3. Kita mengukur hari kita untuk memberikan kepada keberadaan kita di bumi ini suatu orientasi-ilahi (orientasi kepada Allah) yang tetap dan konsisten;
4. Kita menjadi satu dengan umat di zaman-zaman lampau dalam mengungkapkan puja-pujian, dedikasi, tobat, dan syafaat melalui kelanjutan suatu bentuk doa yang sudah dimulai pada masa Perjanjian Lama yang menggunakan mazmur dan kidung, bacaan Kitab Suci dan responsorium (tanggapan atas bacaan dalam Ibadat Bacaan, termasuk “lagu singkat” (responsorium breve) sebagai tanggapan terhadap Bacaan Singkat (Lectio Brevis) dalam Ibadat Pagi dan Ibadat Sore), doa-doa permohonan dan doa-doa lainnya;
5. Kita menerima tradisi-tradisi Fransiskus dan Klara yang menggunakan Ibadat Harian sebagai sarana untuk menghasilkan solidaritas dari sebuah “komunitas yang tengah berdoa” (community-at-prayer) dan sebagai sebuah simbol kesatuan para saudara-saudari Fransiskan dengan Gereja Roma (lihat BAF, hal. 10-7s/d 10-8).
Meskipun kita sudah akrab dengan perayaan Sakramen-sakramen melalui partisipasi yang teratur (teristimewa Ekaristi dan Rekonsiliasi/Tobat), seringkali pada awalnya banyak orang memandang perayaan Ibadat Harian sebagai sesuatu bentuk doa yang membingungkan dan membuat frustrasi, karena perayaan Ibadat Harian bukanlah sesuatu yang familiar di mata orang Katolik yang awam. Dengan demikian, perlulah Ibadat Harian ini diajarkan, misalnya bagaimana cara mendoakannya dan lain sebagainya, karena Ibadat Harian merupakan sarana penting untuk “menghidupkan kembali misteri-misteri kehidupan Kristus” (lihat AD OFS Fasal II Artikel 8).
APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN “IBADAT HARIAN”?
Saudara dapat bertanya: “Apa sih IBADAT HARIAN itu? Apakah perbedaan antara Ibadat Harian dengan doa-doa lainnya, misalnya doa-doa pribadi? Jawabnya: Doa Ibadat Harian adalah doa liturgis.” Yang dimaksudkan dengan doa liturgis adalah doa harian Gereja yang bersifat publik, artinya doa Kristus dan umat-Nya. Dalam liturgi, Kristus hadir secara aktif !!!
Dokumen pertama hasil Konsili Vatikan II, “Konstitusi Sacrosanctum Concilium [SC] tentang Liturgi Suci”, berkata seperti berikut ini berkenan dengan kehadiran Kristus dalam liturgi:
Kristus selalu mendampingi Gereja-Nya, terutama dalam kegiatan-kegiatan liturgis. Ia hadir dalam Kurban Misa, baik dalam pribadi pelayan, …… maupun terutama dalam (kedua rupa Ekaristi. …… Ia hadir dalam Sakramen-sakramen …… Ia hadir dalam sabda-Nya, ……Akhirnya Ia hadir, sementara Gereja memohon dan bermazmur, karena Ia sendiri berjanji: Bila dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situlah Aku berada di antara mereka (Mat 18:20).
……Kristus selalu menggabungkan Gereja, Mempelai-Nya yang amat terkasih, dengan diri-Nya, Gereja yang berseru kepada Tuhannya dan melalui Dia berbakti kepada Bapa yang kekal.
Maka …… Liturgi dipandang bagaikan pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus; di situ pengudusan manusia dilambangkan dengan tanda-tanda lahir serta dilaksanakan dengan cara yang khas bagi masing-masing; di situ pula dilaksanakan ibadat umum yang seutuhnya oleh Tubuh mistik Yesus Kristus, yakni Kepala beserta para anggota-Nya.
Oleh karena itu setiap perayaan liturgis, sebagai karya Kristus sang Imam serta Tubuh-Nya yakni Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkatan yang sama [SC 7].
Dokumen yang sama juga menggaris-bawahi partisipasi umat yang penuh, sadar dan aktif dalam berbagai perayaan liturgi, seturut hakekat liturgi itu sendiri dan karena merupakan hak-kewajiban umat berdasarkan baptisan yang telah diterima:
Bunda Gereja sangat menginginkan, supaya semua orang beriman dibimbing ke arah keikut-sertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan Liturgi. Keiikut-sertaan seperti itu dituntut oleh hakekat Liturgi itu sendiri, dan berdasarkan Baptis merupakan hak serta kewajiban Umat Kristiani sebagai “bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, Umat kepunyaan Allah sendiri (1Ptr 2:9; lihat 2:4-5) [SC 14].
Dengan berpegang teguh pada catatan tentang liturgi di atas tadi, maka kita sekarang melihat apa yang dimaksud dengan Ibadat Harian. Suster Janet Baxendale SC (JB, hal. 1-2), memberikan beberapa indikasi tentang apa yang dimaksud dengan doa Ibadat Harian ini:
1. Doa yang secara akrab berhubungan dengan Ekaristi dan yang dipahami oleh Gereja sebagai suatu persiapan untuk Ekaristi dan suatu kelanjutan dari tindakan Ekaristi sepanjang hari.
2. Doa tentang pengudusan waktu setiap hari, dan dikaitkan dengan Pesta dan Masa-masa Tahun Liturgi, dan juga ritme-ritme alami dari suatu hari, teristimewa perubahan dalam terang dan gelap.
3. Doa yang sangat berdasarkan Kitab Suci …… mazmur-mazmur dan kidung-kidung serta bacaan-bacaan dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang menjadi sebagian besar isinya.
4. Doa yang mempunyai sebuah sejarah panjang dalam Gereja, sejak abad-abad pertama; doa yang berasal-usul dalam pertemuan-pertemuan umat dengan uskup mereka dan kemudian menyebar kepada para rahib dalam biara –biara (monastik) dan kelompok-kelompok keagamaan lainnya.
5. Doa yang memiliki sebuah struktur formal mendasar, baik dalam suatu hari maupun dalam masing-masing waktu.
6. Doa yang didoakan secara komunal dalam pertemuan-pertemuan formal Gereja, dalam kelompok-kelompok umat beriman yang bersifat informal, bahkan dalam keluarga-keluarga, namun boleh juga didoakan secara pribadi bagi mereka yang tidak dapat berdoa secara bersama-sama. Apakah didoakan secara komunal atau secara individual, Ibadat Harian selalu merupakan doa liturgi Gereja: Doa Kristus sang Imam dan Tubuh Kristus, Gereja di seluruh dunia dan Persekutuan Orang Kudus di surga.
Dalam Ibadat Harian pelayanan imamat Kristus terlaksana karena Dia hadir dalam misteri paskah-Nya manakala Gereja berkumpul dalam sidang jemaat untuk memuliakan Bapa surgawi. Jadi Gereja melaksanakan fungsi imamat Kristus sang Kepala, dengan tanpa henti-hentinya (lihat 1Tes 5:17) mempersembahkan suatu kurban pujian – suatu kurban yang dipersembahkan lewat ucapan mulut manusia untuk kemuliaan nama Allah (lihat PIH 15; bdk Ibr 13:15).
Hakekat terdalam doa liturgis sebagai doxologia kelihatan jelas dalam Ibadat Harian karena di dalamnya Gereja menggabungkan diri dalam melambungkan kidung pujian yang dinyanyikan di surga sepanjang masa (lihat PIH 16; bdk SC 83). Hal ini berarti, bahwa Gereja sudah menikmati pujian surgawi, yang dengan tak henti-hentinya menggema di hadapan takhta Allah dan Anakdomba, seperti dilukiskan dalam Kitab Wahyu (PIH 16).
“Pedoman Ibadat Harian” berulang kali menyatakan, bahwa Ibadat Harian adalah cermin liturgi surgawi karena Ibadat Harian begitu sempurna sebagai sebuah doa pujian sebelum yang lain-lainnya, sebuah pujian dalam dimensi eskatologis-nya:
Liturgi surgawi ini telah dilihat oleh para nabi laksana siang tanpa malam, dan cahaya tanpa kegelapan: “Matahari tidak lagi akan menjadi terangmu di siang hari dan cahaya bulan tidak akan menerangi engkau, sebab Tuhanlah yang menjadi terang kekal bagimu” (Yes 60:19; lihat juga Why 21, 23, 25). “Hari itu hari yang ajaib – Tuhan mengetahuinya! – tanpa pergantian siang dan malam, sebab pada waktu senja menyingsinglah fajar” (Zak 14:7). Adapun akhir zaman itu telah tiba (lihat 1Kor 10:11) dan pembaharuan dunia telah ditetapkan dengan pasti dan telah mulai dialami dengan nyata di dunia ini (LG 48). Dengan demikian iman kita mengajarkan arti hidup di dunia ini, agar kita bersama segala makhluk mengharapkan pernyataan anak-anak Allah (lihat Rm 8:19). Dalam Ibadat Harian, kita memaklumkan kepercayaan ini, kita mengungkapkan dan memupuk harapan ini, kita boleh mengambil bagian dalam kegembiraan pujian kekal dan menikmati hari yang tak mengenal senja (PIH 16).
Dengan demikian waktu sepanjang hari dikuduskan/disucikan melalui pelayanan imamat Gereja, yang mempersembahkan puji-pujian tanpa henti-hentinya kepada Allah. Tidak ada siang atau malam hari, tidak ada awal maupun akhir: suatu pujian tanpa henti karena kita “tertangkap” dalam pujian kekal-abadi takhta surgawi.
Dalam Ibadat Harian kita sudah hidup dalam zaman eskatologis. Oleh karena itu Ibadat Harian disebut “Ofisi Ilahi”. Ofisi berasal dari kata Latin officium, yang berarti “jabatan” atau “pekerjaan”, yaitu suatu kegiatan komunitas yang bersifat publik dan ritual. “Ilahi” berarti seluruhnya terdiri dari pujian kepada Allah. Ofisi Ilahi atau Ibadat Harian adalah pemenuhan tugas hakiki Gereja: pujian kepada Allah tanpa henti oleh umat Allah yang imamat.
Untuk mendoakan IBADAT HARIAN, kita menggunakan buku yang berjudul “IBADAT HARIAN – OFISI BARU MENURUT RITUS ROMA” yang diterbitkan oleh PWI-Liturgi, meskipun dapat juga menggunakan PUJI SYUKUR (hal. 24 s/d 85). Khusus untuk para Fransiskan sekular terdapat “IBADAT HARIAN FRANSISKAN” yang diterbitkan oleh Pater Polykarp OFMCap. Sibolga, Sumut (280 halaman).
Antara lain karena faktor keterbatasan waktu, dalam tulisan ini kita akan soroti beberapa pokok penting saja dari IBADAT HARIAN. Jadi tulisan ini tidak memuat atau mencakup segalanya tentang Ibadat Harian.
HUBUNGAN “IBADAT HARIAN” DENGAN EKARISTI
Perayaan Ekaristi merupakan “pusat dan puncak seluruh kehidupan jemaat Kristiani” (PIH 12; bdk CD 30; PO 5). Dalam Ekaristi dipersembahkan pujian syukur, kenangan akan misteri keselamatan, doa permohonan dan pendahuluan kemuliaan surgawi. Ibadat harian meluaskan semuanya sehingga meliputi seluruh hari (PIH 12). Seperti dikatakan oleh Anthony M. Buono: “Ibadat Harian menaruh dalam tangan kita suatu instrumen yang dahsyat untuk melanjutkan penyembahan kepada Bapa dan Putera untuk sepanjang masa, yang dikenang dalam Ekaristi” (AMB, hal. 116).
Para imam sendiri meluas-ratakan puji-pujian serta ucapan syukur yang mereka lambungkan dalam perayaan Ekaristi dengan mendoakan Ibadat Harian pada jam-jam tertentu. Dengan ibadat itu mereka memanjatkan doa-doa kepada Allah atas nama Gereja, bagi segenap jemaat yang dipercayakan kepada mereka, bahkan bagi seluruh dunia (PO 5). Di sisi lain perayaan Ekaristi juga dipersiapkan secara baik sekali oleh Ibadat Harian, karena Ibadat Harian mampu membina sikap-sikap yang diperlukan untuk merayakan Ekaristi dengan manfaat, seperti misalnya sikap iman, harapan, cinta kasih, sikap takwa dan semangat berkorban (PIH 12).
Dalam merenungkan hubungan antara Ibadat Harian dan Ekaristi Kudus, seorang Trapistin dari Biara Gedono, Suster Martha E. Driscoll OCSO, mengatakan yang berikut ini:
Semua liturgi Gereja adalah partisipasi pada Paskah Yesus yang hadir dan terlaksana hari ini. Ekaristi adalah lebih dari suatu perjamuan. Liturgi berdasar kesengsaraan seorang manusia … Dia adalah Putera. Dia menghayati apa yang kita semua diundang menghayati bersama Dia. Dia mati bagi kita dan kita yang diwakili di dalam kematian-Nya di salib, berpartisipasi dalam Paskah-Nya melalui liturgi. Perayaan liturgi bukan hanya suatu ritus melainkan transformasi kehidupan kita sampai kita serupa dengan Allah. Persembahan saya dan persembahan Kristus terjadi pada saat yang sama.
Ekaristi – sumber dan puncak dari hidup Kristiani – terarah kepada hidup sehari-hari, kepada saya dalam hidup pribadi saya, agar tubuh kita – yaitu hidup kita di dunia ini – menjadi korban hidup dalam komunio dengan korban Kristus (Rm 12:1). Tuhan telah mendahului kita, telah membuat bagian kita, telah membuka jalan yang kita tidak mampu membukanya. Dia telah menjadi jembatan. Sekarang kita harus membiarkan diri diserap dalam Dia yang hidup bagi yang lain, membiarkan diri dirangkul oleh tangan-Nya yang terentang, yang membawa kita kepada yang lain. Dia Yang Kudus, menguduskan kita dengan kekudusan yang kita sendiri tidak bisa memberikan kepada diri kita. Kita dimasukkan dalam proses kosmik dan historik di mana seluruh alam semesta dibawa kepada Allah sampai Dia menjadi semua dalam semua.
Hidup moral kita adalah: hidup searah dengan proses itu – membangun komunio. Ibadat Harian adalah sekolah menghayati Ekaristi – menyiapkan dan mewujudkan perayaan Ekaristi sepanjang hari. Tujuan kita dalam doa dan dalam semua tugas sama: belajar mempersembahkan diri kepada Allah dalam Kristus. Itulah ibadat dalam Roh dan kebenaran. Kristus berdoa melalui kita: kita berpartisipasi dalam imamat-Nya yang mempersembahkan seluruh umat manusia bersama Kristus pada Bapa dan memohon belaskasihan-Nya bagi seluruh dunia. … Harapan Gereja Vatikan II adalah bahwa Ibadat Harian dapat sungguh-sungguh menyuburkan hidup rohani umat Allah (MED, hal. 8-10).
Renungan Suster Martha di atas dapat juga menjadi bahan permenungan kita sekalian. Kalau Ibadat Harian yang begitu erat hubungannya dengan Ekaristi dianjurkan oleh Gereja untuk didoakan oleh umat Kristiani (Katolik) pada umumnya, maka betapa lebih mendesak lagi kiranya anjuran itu bagi para Fransiskan, di mana Ekaristi Kudus merupakan salah satu dari lima pilar spiritualitas mereka.
PENGUDUSAN SELURUH HARI
Lewat “perumpamaan tentang hakim yang tidak adil” Yesus sebenarnya mengharuskan para murid-Nya untuk selalu berdoa tanpa jemu-jemu (Luk 18:1). Gereja menanggapi perintah Yesus itu dengan setia (lihat Ibr 13:15). Sejak abad-abad pertama sejarah kekristenan, umat melakukan apa yang diminta Yesus tadi, teristimewa pada waktu berkumpul untuk Perayaan Ekaristi, dan untuk berdoa bersama di pagi dan sore hari. Begitulah caranya umat Kristiani perdana menyucikan/menguduskan hari. Di kalangan para rahib penyucian hari dilaksanakan dengan lebih jelas lagi, yaitu melalui irama tujuh ibadat dengan Perayaan Ekaristi di tengah-tengahnya.[7] Gereja tiada putus-putusnya memuji Tuhan dan memohonkan keselamatan seluruh dunia bukan hanya dengan merayakan Ekaristi, melainkan dengan cara-cara lain juga, terutama dengan mendoakan Ibadat Harian (SC 83).
Tujuan Ibadat Harian adalah pengudusan seluruh hari (lihat SC 88). Berdasarkan Tradisi Kristiani yang kuno, Ibadat Harian disusun sedemikian rupa, sehingga seluruh kurun hari dan malam disucikan dengan pujian kepada Allah (lihat SC 84). Mengenai pengudusan hari, “Pedoman Ibadat Harian” (PIH) mengatakan hal yang berikut ini:
Penyucian hari dan seluruh kegiatan manusia termasuk tujuan ibadat harian, maka susunannya harus diperbaharui sedemikian rupa, hingga masing-masing ibadat sedapat mungkin dirayakan pada waktu yang sesuai, dengan memperhatikan cara hidup dewasa ini (lihat SC 88). Maka dari itu, untuk menyucikan seluruh hari dan menimba manfaat dari masing-masing ibadat, hendaknya waktu yang tepat diindahkan (lihat SC 94) [PIH 11).
Pembaharuan oleh Konsili Vatikan II bertujuan untuk mengembalikan fungsi Ibadat Harian sebagai penyucian waktu, pengudusan hari. Dengan demikian Ibadat Harian (pasca Konsili Vatikan II) berurusan dengan restorasi dari waktu kanonik yang benar, sehingga masing-masing waktu dapat dirayakan dengan manfaat rohani. Tradisi dalam Gereja yang kuat untuk berdoa pada waktu-waktu (jam-jam) tertentu setiap hari, khususnya pada waktu pagi dan sore memang harus dipelihara. Waktu dikuduskan lewat perayaan Ibadat Harian, karena hal tersebut merupakan pelaksanaan puji-pujian kemuliaan Kristus sendiri sebagai imam (lihat John Gurrieri Pr. dalam NB, hal. 77).
Ibadat Harian “menemani” hari kita dengan suatu ritme doa di mana dipilih ciri-ciri (karakteristik) momen-momen hidup sehari-hari kita. Ibadat Harian memberikan kepada Yang Ilahi suatu kesempatan untuk masuk ke dalam jaringan hidup keseharian kita (lihat AMB, hal. 117). Fokus atau pusat perhatian Ibadat Harian (Ofisi Ilahi) ini adalah terang hari dan membuatnya menjadi “tanda kelihatan” dari dua aspek “kenangan” akan Kristus. Pertama-tama Kristus adalah terang dari pengetahuan ilahi yang ditanamkan ke dalam diri kita masing-masing: Yesus Kristus “yang memimpin kita dalam iman dan membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan, dengan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah” (Ibr 12:2). Dia juga adalah sang Terang yang oleh-Nya kemuliaan Allah dikomunikasikan kepada kita melalui kebangkitan-Nya (lihat AMB, hal. 117).[8] Dengan demikian waktu/jam yang ditandai oleh doa dibawa ke luar dari aliran-hampa waktu kosmik ke dalam lingkungan atau ruang-lingkup ilahi, dan mereka yang mengalami waktu/jam sedemikian memperoleh akar-akarnya dalam keabadian. Pada saat yang sama, waktu/jam termaksud menerapkan signifikansinya yang spesifik dan daya-tarik /pesona alamiahnya ke dalam doa.
Pagi hari (pada saat matahari terbit), menciptakan dunia yang baru setelah malam panjang yang diliputi kegelapan dan ketiadaan-kegiatan. Kita juga dipenuhi dengan energi spiritual yang baru. Dalam Ibadat Pagi kita berdoa agar terang dapat menyinari hati kita, agar dengan demikian kita mengalami suatu kebangkitan dan suatu keyakinan yang diperbaharui.
Siang hari mempunyai konotasi panas dan terang, yang mau tak mau akan mengingatkan kita kepada Allah, sang Terang. Kita melihat terang ini sebagai lambang Roh Kudus, kebenaran dan rahmat, yang melimpahi jagat-raya dengan suatu pancaran sinar spiritual.
Senja hari membawa kegelapan dan istirahat dari kerja seharian. Hal ini mengingatkan kita, bahwa Allah tidak mengenal istirahat dari kerja-Nya. Yesus bersabda: “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga” (Yoh 5:17). Bahkan dalam kegelapan malam pun, Dia menjaga kita. Ingat apa yang didaraskan oleh sang pemazmur: “Sebab Engkau yang menolong aku, di bawah naungan sayap-Mu aku bersorak” (Mzm 63:8).[9]
Setelah senja, malam hari pun tiba, namun bagi kita suasana terang-benderang masih terpelihara seperti siang hari karena Kristus sang Terang dunia selalu beserta kita. Perpindahan dari terang menjadi kegelapan malam mengingatkan kita akan tidak adanya sesuatu yang tetap/konstan dalam hal apa saja yang menyangkut kehidupan manusia. Namun hal sedemikian menolong kita untuk lebih berpegang teguh pada penyelenggaraan ilahi.
Dengan menggunakan Ibadat Harian, kita dapat menghargai “bekas-bekas” atau “jejak-jejak” yang ditinggalkan oleh Allah dalam alam ciptaan. Sesungguhnya kita dapat memampukan alam ciptaan untuk melambungkan puji-pujian kepada Allah bersama kita dan para malaikat. Untuk meneguhkan kenyataan ini, baiklah saya kutip prefasi dalam Doa Syukur Agung IV:
“…… Engkaulah satu-satunya Allah yang hidup dan benar. Sebelum awal zaman Engkau sudah ada dan akan tetap ada selama-lamanya; Engkau bersemayam dalam cahaya yang tak terhampiri. Hanya Engkaulah yang baik, sumber kehidupan, Pencipta segala sesuatu. Engkau melimpahkan berkat-Mu dan membahagiakan segala makhluk dengan terang cahaya-Mu. Di hadirat-mu para malaikat yang tak terbilang jumlahnya siang-malam berbakti kepada-Mu, dan sambil memandang wajah-Mu yang mulia tak henti-hentinya memuliakan Dikau. Bersama mereka, dan atas nama segala ciptaan di bawah langit, kami pun melambungkan pujian bagi nama-Mu ……”[10]
Ibadat Harian juga memberikan kepada kita suatu cara untuk menghidupkan kembali semua tahapan misteri Kristus (lihat AD OFS Fasal II Artikel 8). Waktu-waktu (jam-jam) doa ditetapkan sesuai dengan berjalannya matahari pada suatu hari tertentu, dan kita tahu matahari adalah sebuah lambang Kristus (AMB, hal. 118). Saat terbitnya matahari di pagi hari merupakan gambaran mencolok dari Kristus, sang Penyelamat, yang bangkit dari maut – dan ini memang adalah sebuah kenyataan Injili (Mat 28: 1 dsj.; Mrk 16:1 dsj.; Luk 24:1 dsj.; Yoh 20:1 dsj.).
Di masa lampau, untuk waktu siang sesungguhnya terdapat tiga ibadat, yaitu Tertia (jam 9 pagi), Sexta (jam 12 siang/tengah hari), dan Nona (jam 15). Jam 9 pagi adalah waktu Yesus dipaku pada kayu salib (lihat Mrk 15:25); jam 12 siang adalah saat kegelapan mulai meliputi seluruh daerah penyaliban Yesus dan berlangsung sampai jam 15 (lihat Mat 27:45; Mrk 15:33; Luk 23:44); jam 15 adalah saat Yesus wafat di kayu salib (Mat 27:46; Mrk 15:34).[11] Jam 9 pagi juga dipercaya sebagai saat “Roh Kudus turun atas para rasul” (lihat Doa Penutup I Ibadat Siang, hari Selasa masa Biasa). Tengah hari juga dipercaya sebagai saat Yesus Kristus diangkat ke surga (lihat AMB, hal. 118).
Dengan demikian, setiap momen dalam kehidupan kita menjadi “saat keselamatan” bagi kita lewat Ibadat Harian, seandainya saja kita mau “memanfaatkannya”dengan cara menggunakannya/mendoakannya secara teratur.
MAZMUR – MAZMUR
Dalam butir ketiga dari pokok-pokok yang dikemukakan oleh Sr. Janet Baxendale SC di atas, dikatakan bahwa Ibadat Harian adalah doa yang sangat berdasarkan Kitab Suci. Bacaan-bacaan dari Kitab Suci, seperti Mazmur dan Kidung, Bacaan Singkat merupakan bagian terbesar dari Ibadat Harian, terutama mazmur-mazmur. Oleh karena itu Nancy Benvenga memberi dalil sebagai berikut: Kalau kita mau merasa feel at home dengan doa Ibadat Harian, maka (pertama-tama) kita harus feel at home dengan mazmur-mazmur (Nancy Benvenga dalam NB, hal. 17).
Dalam bahasa Ibrani kumpulan mazmur disebut tehillim (=kitab puji-pujian). Menurut Mgr. Suharyo, sebetulnya judul semacam itu hanya cocok untuk kira-kira sepertiga dari seluruh mazmur. Maka cukup berarti kalau keseluruhan kitab itu disebut kitab puji-pujian. Kalau seorang Yahudi menyampaikan permohonan, keluhan, ratapan, ia juga memuji Tuhan (mis Mzm 22:2.26; 106:47-48). Dalam bahasa Yunani, kitab ini disebut Psalterion, yang secara harafiah berarti alat musik bertali yang dipakai untuk mengiringi nyanyian. Sementara itu yang paling kerap dipakai sebagai judul ialah Mizmor. Dari sinilah berasal kata Arab-Indonesia Mazmur, yang dapat diartikan sebagai nyanyian dengan iringan musik dawai (IS, hal. 17-18).
Mazmur-mazmur adalah doa-doa Umat Perjanjian, dengan demikian adalah doa-doa Gereja. Mazmur-mazmur bersifat universal, karena dalam mazmur-mazmur seseorang dapat merasakan situasi eksistensial dan penyelamatan dari sebuah umat yang tertindas, sebuah umat yang berseru kepada Allah, sebuah umat yang diselamatkan, sebuah umat yang menyembah Allah, sebuah umat di tengah sebuah prosesi yang penuh sukacita. Meskipun banyak mazmur ditulis dengan menggunakan kata “aku”, pengalamannya lebih daripada sekedar pengalaman seorang pribadi. Dalam mazmur-mazmur kita tidak berdoa untuk orang-orang lain, juga bukan atas nama orang lain, tetapi sebagai umat, yaitu Umat Perjanjian Allah, …… Gereja Allah-lah yang berdoa. Bahkan seorang pribadi yang berdoa, dengan mazmur, misalnya dalam sebuah retret pribadi, sesungguhnya berada dalam persekutuan (communio) dengan Umat Mazmur-mazmur.
Dalam artian ini, mudahlah bagi kita untuk melihat signifikansi Kristologis dari mazmur-mazmur: Kristus-Mesias adalah harapan dari Perjanjian dan pemenuhan Perjanjian tersebut. Kristus jugalah yang berdoa dengan mazmur (mendoakan mazmur); dan bagi kita para murid-Nya (bukan pandangan agama Yahudi)…… mazmur-mazmur adalah juga tentang Yesus Kristus.
Biar bagaimanapun juga, kalau kita mengatakan bahwa mazmur-mazmur adalah doa Kristiani bukanlah berarti kita secara otomatis mengalaminya sedemikian. Misalnya pada waktu mendoakan mazmur mungkin saja perasaan hati kita sangat berbeda dengan perasaan yang diungkapkan dalam mazmur, antara lain misalnya pada saat-saat kesusahan dan kesedihan, kita menjumpai mazmur yang bernada gembira. Atau sebaliknya, pada waktu penuh kegembiraan, kita menjumpai mazmur ratapan. Namun semua ini dapat diatasi seandainya kita berpegang teguh pada catatan di atas, yaitu kalau kita mendoakan mazmur-mazmur atas nama Gereja, umat Allah.
Apabila kita mendoakan mazmur atas nama Gereja, kita selalu dapat menemukan alasan untuk bergembira atau berdukacita, sebab kata-kata rasul Paulus juga berlaku bagi keadaan ini: “Bersukacitalah dengan yang bersukacita, dan menangislah dengan yang menangis!” (Rm 12:15). Dengan demikian kerapuhan manusia yang terluka karena cinta-diri, disembuhkan karena cinta-kasih, asal dalam menyanyikan mazmur itu hati kita selaras dengan suara kita[12] (PIH 108). Apabila kita mendoakan mazmur atas nama Gereja, kita harus memahami mazmur itu dalam artinya yang sepenuh-penuhnya, terutama dalam hubungannya dengan Kristus/Mesias/Almasih. Hubungan itulah yang menyebabkan Gereja menggunakan mazmur. Hubungan dengan Kristus itu dalam Perjanjian Baru tampak dengan jelas. Kristus yang bangkit bersabda kepada para murid: “Inilah perkataan-Ku, yang telah Kukatakan kepadamu ketika Aku masih bersama-sama dengan kamu, yakni bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kita Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur” (Luk 24:44).
Sebuah contoh terkenal tentang hal itu terdapat dalam Injil Matius mengenai Kristus, Putera dan Tuhan Daud (lihat Mat 22:44). Di situ Mzm 110 ditafsirkan tentang Kristus. Sejalan dengan itu, para Bapa Gereja menganggap dan menafsirkan seluruh kitab mazmur sebagai nubuat tentang Kristus dan Gereja. Dengan pertimbangan yang sama, mazmur-mazmur dipilih dalam liturgi. Pada umumnya, baik para Bapa Gereja maupun liturgi mendengar dalam mazmur seruan Kristus kepada Bapa atau sabda Bapa kepada Kristus, dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan cara yang sama seringkali baik para Bapa Gereja maupun liturgi mengenal dalam mazmur suara Gereja, para rasul atau para martir.[13]
Metode penafsiran seperti ini juga berkembang dalam abad pertengahan; sebab dalam banyak naskah masa itu makna Kristologis masing-masing mazmur bagi mereka yang berdoa disajikan dengan judul tertentu. Suatu makna Kristologis tidak hanya dibatasi pada mazmur-mazmur mesianis (yang jelas menunjuk kepada Kristus), melainkan juga diterapkan pada banyak mazmur lain, yang tidak langsung berhubungan dengan Kristus, meskipun dalam tradisi Gereja dihubungkan. Teristimewa pada hari-hari raya/pesta-pesta Gerejawi, pilihan mazmur-mazmur seringkali didasarkan pada makna Kristologis mazmur-mazmur tersebut; dan antifon-antifon yang diambil dari mazmur-mazmur itu seringkali digunakan untuk memberi penerangan atas makna mazmur-mazmur bersangkutan.[14]
“Pedoman Ibadat Harian” mendorong (seperti juga halnya dengan “Konstitusi SACROSANCTUM CONCILIUM tentang Liturgi Suci”) tidak hanya pendidikan tentang Kitab Suci dan mazmur-mazmur, namun juga inisiasi ke dalam signifikansi mistagogis yang lebih mendalam (lihat PIH 102; bdk SC 90).
Suatu penghargaan atas makna literer (arti hurufiah) mazmur-mazmur penting karena di sanalah kita menemukan emosi-emosi sang pemazmur yang paling menyentuh hati dan paling menyerupai pengalaman kita sendiri. Kita harus selalu mengingat, bahwa setiap mazmur disusun dalam konteks historis, tetapi secara universal berdasarkan pengalaman pribadi sang pemazmur. Arti literer diperlukan tidak hanya untuk pemahaman kita yang benar atas mazmur-mazmur, tetapi juga untuk cara yang benar menyanyikan dan merayakan mazmur-mazmur tersebut.
Dalam Gereja Latin (Katolik Roma) ada tiga unsur penting yang dapat membantu kita memahami mazmur-mazmur serta membuatnya menjadi doa Kristiani yang sejati, yakni judul, doa sesudah mazmur dan teristimewa antifon-antifon (lihat PIH 110):
1. Judul mazmur sehubungan dengan maksud mazmur dan artinya bagi kehidupan orang beriman ditempatkan pada awal setiap mazmur. Judul ini dicantumkan dalam Ibadat Harian untuk mempermudah doa mazmur. Kecuali itu ditambahkan juga kalimat dari Perjanjian Baru atau petikan dari tulisan para Bapa Gereja. Kalimat termaksud menghubungkan mazmur dengan Kristus. Dengan demikian kita dapat mendoakan mazmur dalam terang wahyu Perjanjian Baru (lihat PIH 111).
2. Doa sesudah mazmur menolong kita untuk menyelami mazmur dalam arti Kristiani. Doa sesudah mazmur itu disediakan untuk tiap mazmur dalam jilid tambahan tersendiri. Jilid tambahan ini belum tersedia dalam bahasa Indonesia. Namun saya menganjurkan anda untuk menggunakan doa-doa yang terdapat dalam buku yang berjudul “Mazmur dan Kidung” untuk keperluan doa dan ibadat terjemahan PWI-Liturgi, Ende-Flores: Percetakan Arnoldus Ende (1978-Cetakan II). Caranya: sesudah mazmur selesai didaraskan, sediakanlah waktu untuk hening sejenak. Kemudian doa sesudah mazmur dibawakan untuk menutup dan menyimpulkan isi hati para hadirin (lihat PIH 112).
3. Antifon. Dimaksudkan untuk minta perhatian kepada ayat tertentu dari mazmur atau kepada suatu misteri yang sedang dirayakan. Antifon diucapkan/dinyanyikan sebelum dan sesudah mazmur/kidung yang bersangkutan. Dalam perayaan bersama, antifon dapat dipakai sebagai refren. Dalam pendarasan mazmur lingkaran empat pekan, antifon dapat diganti dengan membaca judul atau kutipan yang dicantumkan di atas mazmur/kidung yang bersangkutan, terutama dalam pendarasan perorangan.
Walaupun Ibadat Harian diselenggarakan tanpa nyanyian, antifon yang disediakan untuk mazmur tertentu harus diucapkan. Antifon menjelaskan jenis sastra mazmur dan mengarahkan doa pribadi. Antifon menyoroti kalimat yang pantas diperhatikan. Dalam berbagai kesempatan, antifon memberikan warna khusus kepada mazmur tertentu sesuai dengan pesta yang berbeda-beda (lihat PIH 113). Uraian tentang antifon secara lengkap dapat dilihat dalam PIH 113 s/d 120).
KIDUNG-KIDUNG PERJANJIAN LAMA MAUPUN PERJANJIAN BARU
Dalam Ibadat Pagi, antara mazmur pertama dan mazmur kedua disisipkan sebuah kidung Perjanjian Lama, sesuai dengan adat kebiasaan. Khusus pada hari Minggu, kedua bagian kidung Daniel digunakan silih berganti (lihat PIH 136). Kidung-kidung Daniel termaksud diambil dari Dan 3:57-88.56 (Septuaginta dan Vulgata) atau TamDan 3:57-88.56 (Deuterokanonika dalam Alkitab terbitan LAI) dan Dan 3:52-57 (Septuaginta dan Vulgata) atau TamDan 3:52-57 (Deuterokanonika dalam Alkitab terbitan LAI).
Dalam Ibadat Sore, sesudah dua mazmur ditambahkan kidung Perjanjian Baru, yang diambil dari surat-surat (epistola) atau dari Kitab Wahyu. Untuk masing-masing hari dalam pekan disediakan kidung tersendiri. Tetapi dalam Ibadat Sore II pada hari-hari Minggu dalam masa Prapaskah, sebagai ganti Alleluya dari kitab Wahyu (Why 19:1-7), didaraskan kidung dari surat pertama Santo Petrus (1Ptr 2:21-24). Pada hari Penampakan Tuhan dan pada pesta Pembaptisan Tuhan, disediakan kidung dari surat pertama kepada Timotius (1Tim 3:16), baik untuk Ibadat Sore I maupun Ibadat Sore II (lihat PIH 137).
Kidung-kidung dari Injil Lukas yang didaraskan/dinyanyikan setiap hari sepanjang tahun adalah Kidung Zakharia atau Benedictus (Luk 1:68-79) untuk Ibadat Pagi, Kidung Maria atau Magnificat (Luk 1:46-55) untuk Ibadat Sore, dan Kidung Simeon atau Nunc Dimittis (Luk 2:29-32) untuk Ibadat Penutup (lihat PIH 138).
DOA DENGAN STRUKTUR FORMAL
“Tujuh kali sehari aku memuji Engkau karena keputusan-Mu yang tepat.”
Mzm 119:164 – Mazmur Pertama dalam Ibadat Siang, hari Jumat IV
Ibadat Harian memiliki suatu struktur formal, baik struktur untuk sepanjang hari maupun struktur untuk masing-masing waktu doa. Sebagai doa harian Gereja, Ibadat Harian didoakan pada waktu-waktu penting sepanjang hari, termasuk “Pembukaan Ibadat Harian”.
Ibadat-ibadat (Latin:Horae) dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Ada dua IBADAT UTAMA (SC 89a; lihat juga SC100; PIH 37), yaitu
§ Ibadat Pagi (Latin: Laudes; Inggris: Morning Prayer): sebelum waktu kerja.
§ Ibadat Sore (Latin: Vesperae; Inggris: Evening Prayer): pada waktu senja.
2. Ada dua IBADAT SEDERHANA, yaitu
§ Ibadat Siang (Latin: Hora media; Inggris: Prayer during the Day): sebelum tengah hari, tengah hari atau sesudah tengah hari.
§ Ibadat Penutup (Latin: Completorium; Inggris: Night Prayer): sebelum pergi tidur, meskipun sudah lewat tengah malam.
3. Ibadat Bacaan (Latin: Officium Lectionis; Inggris: The Office of Readings): tidak ditentukan waktunya; dapat didoakan siang hari, atau sebelum Ibadat Pagi, pagi atau waktu malam.
Pembukaan Ibadat Harian (Invitatorium)
§ Ini adalah ibadat pertama setiap hari, entah kita mulai Ibadat Harian kita dengan Ibadat Pagi ataupun dengan Ibadat Bacaan (lihat PIH 35).
§ Dibuka sebagai berikut:
P: Ya Tuhan, sudilah membuka hatiku.
U: Supaya mulutku mewartakan pujian-Mu.
§ Kemudian disusul dengan antifon pembukaan yang berlaku untuk hari bersangkutan[15] dan mazmur 95.[16] Jika doa Ibadat Harian dilakukan dalam komunitas, maka antifon diulangi sesudah masing-masing bait mazmur. Tetapi dalam pendarasan pribadi cukuplah antifon diucapkan pada awal mazmur saja.
§ Mzm 95 ini boleh diganti dengan Mzm 100, Mzm 67 atau Mzm 24. Akan tetapi kalau mazmur yang dipilih itu kemudian termasuk dalam salah satu pada hari itu, hendaknya digunakan Mzm 95 saja[17] (lihat PIH 34).
IBADAT PAGI DAN IBADAT SORE
STRUKTUR IBADAT PAGI:
Menurut tradisi seluruh Gereja, Ibadat Pagi dan Ibadat Sore merupakan dua sendi Ibadat Harian, yang harus dipandang dan dirayakan sebagai dua ibadat yang utama (PIH 37; bdk SC 89a). Sejak awal sejarah Gereja, kedua ibadat ini merupakan inti dan bagian terpenting dari seluruh Ibadat Harian karena merangkum seluruh hari. “Dari timur sampai ke barat terpujilah nama Tuhan” (Mzm 113:3).[18]
Ibadat Pagi dimaksudkan dan diatur untuk menyucikan pagi hari, seperti ternyata dari kebanyakan unsur-unsurnya. Santo Basilius Agung (c.329-379) mengatakan:
“Maksud Ibadat Pagi ialah supaya gerakan pertama hati dan budi kita disucikan bagi Allah; janganlah kita menerima tugas sesuatu pun sebelum kita disegarkan oleh pemikiran akan Allah, seperti tertulis: ‘Apabila aku ingat akan Allah, aku disegarkan (Mzm 77:4); jangan sampai badan kita digerakkan untuk bekerja, sebelum kita melakukan yang dikatakan dalam mazmur: ‘Kepada-Mu aku berdoa, ya Tuhan, waktu pagi Engkau mendengar seruanku, sejak pagi aku mengharapkan belaskasih-Mu’ (Mzm 5:4-7)”.[19]
Kata Latin Ibadat Pagi adalah Laudes, karena pada dasarnya Ibadat Pagi adalah sebuah doa pujian (a prayer of praise). Ingatlah bahwa pada waktu pembukaan ibadat setiap hari, sambil membuat tanda salib kecil pada bibir, kita telah mengatakan: “Ya Tuhan, sudilah membuka hatiku; supaya mulutku mewartakan pujian-Mu”. Ini sebenarnya diambil dari Mzm 51:17 yang berbunyi: “Ya Tuhan, sudilah membuka bibirku, supaya mulutku mewartakan pujian-Mu”.[20] Makna doa pujian dapat kita pelajari dari Mzm 150, yang selalu didaraskan pada Ibadat Pagi Hari Minggu II. Setiap kalimat dalam mazmur itu dimulai dengan kata-kata “Pujilah Tuhan!”
Yang tergolong dalam “nyanyian pujian” adalah Mzm 8, 19A, 29, 33, 65, 66:1-7, 89:5-18, 100, 103, 104, 105, 107, 111, 113, 117, 134, 135, 136, 139, 145, 146, 147, 148, 149, dan 150. Mazmur-mazmur pujian yang pendek lazimnya dipakai sebagai mazmur ketiga dalam Ibadat Pagi (huruf miring). Yang agak panjang lazimnya mengisi Ibadat Bacaan (yang digaris-bawahi). Beberapa mazmur pujian digunakan dalam Ibadat Sore (111, 113 dan 139) atau Ibadat Penutup (134). Mazmur-mazmur yang tergolong “Mazmur Tuhan Raja” mencakup Mzm 47, 93, dan 96-99 (lihat MH, hal. 94). Semua mazmur ini mendapat tempat dalam Ibadat Pagi sebagai mazmur ketiga (setelah Kidung Perjanjian Lama) yang selalu bernada pujian. Hanya Mzm 93 yang berperan sebagai mazmur pertama, yaitu pada hari Minggu III.
Sekarang perhatikanlah dua mazmur dan satu kidung Perjanjian Lama dalam Ibadat Pagi yang terdapat pada hari Minggu I. Dalam mazmur pertama ada ayat yang berbunyi: “Aku akan memuji Engkau seumur hidupku, menadahkan tangan kepada-Mu. Hatiku Kaukenyangkan dengan santapan lezat, mulutku memuji Engkau sambil bersyukur. Di tempat tidur aku memuji Engkau, aku merenungkan Dikau sepanjang malam” (Mzm 63:5-7). Mazmur pertama ini disusul oleh “Kidung Daniel” yang setiap ayatnya dimulai dengan kata “Pujilah Tuhan”, termasuk doxology-nya yang berbunyi “Marilah kita memuji Bapa, Putera dan Roh Kudus, memuji dan meluhurkan Dia selama-lamanya” (TamDan 3:57-88.56). Pada awal mazmur ketiga kita mendaras: “Nyanyikanlah bagi Tuhan lagu baru, pujilah Dia dalam himpunan umat-Nya” (Mzm 149:1).[21] Selanjutnya dalam mazmur yang sama kita baca: “Hendak mereka memuji Nama-Nya dengan tari-tarian, bermazmur bagi-Nya dengan rebana dan kecapi. …… Hendaknya mereka memuji Tuhan dengan suara lantang …” (Mzm 149:3.6).
Dalam arti tertentu semua mazmur merupakan lagu pujian, namun 23 (dua puluh tiga) mazmur yang masing-masing berbeda, yang dipilih sebagai mazmur akhir (setelah Kidung Perjanjian Lama) dalam Ibadat Pagi, merupakan mazmur dengan penekanan istimewa pada pujian kepada Tuhan Allah. Sebagai latihan pendalaman, saudara-saudari dapat membuka buku Ibadat Harian saudara dan mulai mempelajari mazmur-mazmur termaksud, satu-satu dan tahap demi tahap (Latin/Jawa?: ora grusa grusu!).
Apa yang dimaksudkan dengan doa pujian atau puji-pujian kepada Tuhan Allah? Marilah kita merenungkan sebuah perikop dalam Injil Lukas (17:11-19). Satu orang kusta yang disembuhkan – dia seorang Samaria – kembali sambil memuliakan (=memuji-muji) Allah dengan suara nyaring, lalu sujud di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Yesus sendiri menafsirkan doa pujian orang ini sebagai suatu bentuk pengungkapan syukur: “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah sembuh? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain orang asing ini?” Pada awal Prefasi, misalnya, ketika Imam selebran berkata: “Marilah bersyukur kepada Tuhan Allah kita,” maka umat yang hadir menanggapi: “Sudah layak dan sepantasnya.” Sesungguhnya memang layak dan pantaslah untuk bersyukur dan memuji Allah.” Itulah sebabnya, mengapa Gereja menaruh di depan kita semua tema puji-pujian sebagai doa kita yang pertama dalam satu hari tertentu.
Ibadat Pagi ini didoakan pada waktu fajar menyingsing dan mengingatkan kita juga akan kebangkitan Tuhan Yesus dari alam maut., cahaya benar yang menerangi semua orang (lihat Yoh 1:9)[22], dan “matahari keadilan” (Mal 4:2)[23], yang “terbit laksana fajar cemerlang (Luk 1:78)[24] (Lihat uraian dalam PIH 38). Ibadat pagi juga mengingatkan kita akan karya penyelamatan Allah: Bani Israel pagi-pagi menyeberangi Laut Teberau menuju kepada kebebasan (lihat Kel 14). Dalam banyak mazmur keluhan/permohonan dari orang-orang yang diseret ke pengadilan atas dasar tuduhan palsu, pagi hari dipandang sebagai saat Tuhan akan datang menolong dan membebaskan mereka dari ancaman maut. Oleh karena itu Ibadat Harian membantu si pendoa untuk mengingat dengan rasa puji-syukur karya penyelamatan Allah pada masa lampau, serta memulai hari yang baru dengan kepercayaan yang besar kepada Sang Penyelamat (lihat WW, hal. 28 dan 85). Renungkanlah, misalnya, ayat-ayat dari sebuah “mazmur mohon pertolongan melawan musuh” berikut ini: “Aku menyanyikan kekuasaan-Mu, pagi-pagi sudah memuji kasih setia-Mu. Sebab engkaulah pelindungku, tempat pengungsian pada waktu kesesakan. Engkaulah kekuatanku, aku bernyanyi bagi-Mu, Engkaulah pelindungku, Allah yang penuh kasih setia” (Mzm 59:17-18).[25]
Mazmur pertama dalam Ibadat Pagi tergolong “Mazmur Pagi”, dalam arti dipilih karena kecocokannya dengan pagi hari (lihat PIH 43). Ibadat Pagi (dan Ibadat Sore) lebih dimaksudkan untuk perayaan umat (bersifat komunal). Oleh karena itu untuk Ibadat Pagi (dan Ibadat Sore) dipilihkan mazmur-mazmur yang lebih cocok untuk perayaan umat (lihat PIH 127).
Kendati dipertimbangkan kecocokannya dengan suasana pagi hari, hanya sekali-kali saja ada acuan kepada “pagi hari” dalam mazmur-mazmur pertama tersebut. Beberapa contoh:
Mengapa engkau tertekan dan gelisah, wahai jiwaku?
Berharaplah kepada Allah, aku akan bersyukur lagi kepada Allah, penolongku.[31]
Mazmur-mazmur ratapan/keluhan menempatkan kita dalam “keadaan sulit dan berbahaya” sebagai manusia, sementara dimulainya hari yang baru. Semua itu langsung mengingatkan kita betapa kita, manusia, membutuhkan Allah (lihat CEM, hal. 39-40).
Dengan sedikit kekecualian, mazmur pertama pada hari Jumat adalah Mzm 51 (Miserere), yaitu mazmur Daud mohon pengampunan Allah atas segala dosanya.
Tema Perjanjian Lama. Di antara dua mazmur “diselipkanlah” sebuah kidung yang diambil dari salah satu kitab Perjanjian Lama. Kidung-kidung Perjanjian Lama tersebut adalah madah-madah yang ditujukan kepada Allah.[32] Penggunaan kidung-kidung ini adalah berdasarkan kenyataan, bahwa jam-jam pagi hari menyarankan tema sejarah keselamatan Perjanjian Lama. Pada awal hari kita merayakan awal-awal rencana Allah. Gerakan-gerakan penyelenggaran ilahi dalam sejarah pentinglah bagi kita dalam era Kekristenan. Paus Pius XI menyatakan, bahwa kita semua secara spiritual adalah bangsa Semit; Abraham adalah bapak kita dalam iman. Kedatangan Kristus adalah suatu pemenuhan perjanjian yang dibuat dengan Abraham, dan keseluruhan Perjanjian Lama adalah tindakan penyelamatan Allah yang mencapai klimaksnya dalam diri Yesus Kristus. Tindakan-tindakan Allah juga tidak dikubur dalam masa lampau. Kita dipersatukan dengan umat terpilih Perjanjian Lama sebagai satu umat Allah dan berbagi dengan mereka kebaikan-penuh-kasih Allah kepada mereka. Orang-orang Kristiani harus mengidentifikasikan diri mereka dengan kata-kata “kita” dalam Mzm 126:1-3 berikut ini:
Ketika Tuhan memulangkan tawanan Sion,
kita seperti orang yang bermimpi.
Pada waktu itu mulut kita penuh dengan tertawa
dan lidah kita dengan sorak-sorai.
Bahkan bangsa-bangsa kafir mengakui:
“Agunglah karya Tuhan bagi mereka.”
Sungguh agung karya Tuhan bagi kita,
sebab itu kita bersukacita.[33]
Allah Perjanjian Lama adalah satu dan sama dengan Allah Perjanjian Baru. Allah Israel adalah Allah umat Kristiani:
Tuhan, Engkaulah pelindung kami turun-temurun.
Sebelum gunung-gemunung dijadikan,
Sebelum bumi dan jagat dilahirkan,
dari kekal sampai kekal Engkaulah Allah (Mzm 90:1-2).[34]
Kidung Zakharia dan kebangkitan Kristus. Pater Charles E. Miller CM menyatakan, bahwa tema Perjanjian Lama mencapai titik puncaknya dan perspektifnya dalam Kidung Zakharia (Benedictus) yang digunakan setiap kali kita mendoakan Ibadat Pagi. Secara hurufiah, kata Zakharia berarti “Allah telah mengingat,” hal mana merupakan perlambangan bahwa Allah memenuhi janji-janji yang dibuat-Nya dalam Perjanjian Lama. Kidung Zakharia ini menggemakan nama-nama penting dalam Perjanjian Lama: Daud, para nabi, Abraham, perjanjian. Allah memang patut dipuji karena telah mengingat segala janji-Nya kepada umat-Nya, dalam janji mana Yohanes Pembaptis, putera Zakharia, adalah nabi terakhir dalam deretan panjang orang-orang terkemuka yang diangkat oleh Allah untuk melaksanakan rencana-Nya ke depan guna menyambut hari Kristus (CEM, hal.41).
Gereja tidak merayakan tema-tema Perjanjian Lama seakan-akan Kristus belum datang atau seakan-akan Kristus belum mati dan bangkit-mulia. Kidung Zakharia menolong untuk membantu memberi perspektif kepada tema-tema Perjanjian Lama. Kita harus ingat, bahwa Kidung Zakharia adalah sebuah kidung Injil.[35] Seperti diuraikan di atas, Gereja sudah lama memandang saat terbitnya matahari sebagai lambang saat kebangkitan Yesus Kristus. Kidung Zakharia yang menggunakan simbolisme saat terbitnya matahari, dengan demikian langsung menyadarkan kita akan kemenangan Kristus yang penuh kemuliaan, seperti terang-cahaya matahari yang menerangi dunia:
Sebab Allah kita penuh rahmat dan belaskasihan;
Ia mengunjungi kita laksana fajar cemerlang.
Untuk menyinari orang yang meringkuk dalam kegelapan maut
dan membimbing kita ke jalan damai sejahtera (Luk 1:78-79).[36]
Kepenuhan tema Kristiani diekspresikan dalam “kesimpulan” doa penutup: “Demi Yesus Kristus, Putera-Mu dan pengantara kami, yang hidup dan berkuasa bersama Engkau dalam persekutuan Roh Kudus, sepanjang segala masa. Amin.”
Catatan penutup tentang Ibadat Pagi. Kita lihat dari uraian di atas, bahwa meskipun Gereja jelas berniat agar kita mengawali hari dengan puji-pujian kepada Allah, dia (Gereja) tidak mengabaikan sepenuhnya orientasi popular untuk memanjatkan permohonan pertolongan Allah selama berjalannya hari. Oleh karena itu setelah Kidung Zakharia, Gereja memberikan kepada kita serangkaian doa permohonan yang tujuan utamanya adalah penyucian hari bagi Allah. Doa-doa permohonan ini membawa kita kepada “Doa Bapa Kami” pertama yang resmi didoakan oleh Gereja untuk hari bersangkutan. Dua “Doa Bapa Kami” resmi lainnya adalah masing-masing dalam Perayaan Ekaristi dan Ibadat Sore. Ibadat Pagi ditutup dengan sebuah doa penutup seperti dalam Misa.
Kita harus mengusahakan dengan serius agar kita merayakan Ibadat Pagi sebagai doa pertama hari bersangkutan. Sebelum kita melaksanakan pekerjaan atau kegiatan lainnya kita harus menghadirkan diri kita di hadapan Allah dengan semangat yang ditunjukkan sang pemazmur: “TUHAN, pada waktu pagi Engkau mendengar seruanku, pada waktu pagi aku mengatur persembahan bagi-Mu, dan aku menunggu-nunggu.” (Mzm 5:4; teks TB, LAI).
Idealnya, kita mendoakan Ibadat Pagi sebelum Perayaan Misa Kudus di pagi hari. Meskipun “Pedoman Ibadat Harian” memperkenankan dilakukannya kombinasi antara Ibadat Pagi dan Perayaan Ekaristi (Lihat PIH 93 dsj.), kiranya lebih baik untuk memisahkan antara keduanya, karena tujuan masing-masing tidaklah sama. Ibadat Pagi menguduskan momen-momen pertama dari hari yang bersangkutan, sedangkan Perayaan Ekaristi merupakan kulminasi keseluruhan hari, tak peduli pada jam berapa dirayakannya.
Pujian kepada Allah tetap harus kita lakukan, meskipun kita hidup di tengah dunia yang begitu penuh dengan kesibukan dan berorientasi kepada tugas-kerja. Kita diciptakan untuk menyanyikan puji-pujian kepada Allah sepanjang masa, dan hal itu dimulai selagi kita hidup di atas muka bumi ini. Memang benar Allah tidak membutuhkan puja-pujian kita dan doa kita pun tidak akan membuat Allah menjadi lebih agung, lebih besar dan sebagainya. Sebaliknya yang sesungguhnya terjadi adalah, bahwa kita masing-masinglah yang bertumbuh dalam suatu hidup penuh puja-pujian kepada Allah. Karena kebaikan-Nya Allah menakdirkan kita untuk memuja-muji kemuliaan-Nya, untuk dapat menyerupakan diri dengan gambaran Putera-Nya, yang keseluruhan hidup-Nya adalah hidup imamat penuh pujian kepada Bapa-Nya. Seperti halnya dengan Yesus, semua pujian kita haruslah merupakan afeksi lemah-lembut dari seorang anak kepada seorang ayah yang baik. Pujian kita adalah ekspresi cinta-kasih kepada pribadi yang adalah Allah.
Penuh bahagia dan kuduslah hari yang dimulai dengan Ibadat Pagi Gereja!
BEBERAPA CATATAN TENTANG IBADAT SORE
Ibadat Sore dirayakan waktu matahari terbenam dan hari sudah senja. Seturut yang telah dikatakan Santo Basilius, yaitu untuk “bersyukur atas anugerah yang telah kita terima pada hari itu atau atas kebaikan yang telah kita perbuat”.[37] Kita juga mengenang kembali penebusan kita dengan doa, yang kita panjatkan “bagaikan dupa ke hadirat Tuhan, dengan tangan yang kita tadahkan bagaikan kurban petang” (Mzm 141:2). Ini juga dapat diartikan sebagai “kurban petang sejati, yang diwariskan oleh Tuhan penyelamat waktu sore ketika sedang mengadakan perjamuan dengan para rasul untuk memulai misteri suci Gereja. Dapat juga diartikan sebagai kurban petang untuk hari berikutnya, ketika Penyelamat kita menadahkan tangan untuk dipersembahkan kepada Bapa demi keselamatan seluruh dunia”[38].
Untuk mengarahkan harapan kita kepada cahaya yang tak kunjung terbenam, “kita berdoa dan memohon, agar cahaya terbit lagi bagi kita, kita berdoa untuk kedatangan Kristus, yang akan menganugerahkan rahmat cahaya kekal”[39].
Pada waktu Ibadat Sore itu pun kita menggabungkan diri dengan Gereja-gereja Timur sambil berseru: “Terang kegembiraan Bapa surgawi yang suci, mulia dan kekal, yaitu Yesus Kristus; pada waktu matahari terbenam kami memandang terang senja dan bermadah kepada Bapa, Putera dan Roh Kudus sebagai Allah ……” (PIH 39).
Tema kepenuhan. Kalau Ibadat Pagi merupakan suatu perayaan wahyu Perjanjian Lama yang memimpin kita kepada Kristus, maka Ibadat Sore adalah suatu perayaan kepenuhan wahyu dalam diri Kristus. Setiap Ibadat Sore ditetapkan pada “jam makan malam” ketika Yesus mengasihi orang-orang milik-Nya yang di dunia ini, dan Ia mengasihi mereka sampai kesudahannya (Yoh 13:1).
Dalam Ibadat Sore, dua buah mazmur disusul dengan sebuah Kidung Perjanjian Baru. Dari mazmur-mazmur yang dipilih untuk Ibadat Sore, 12 (dua belas) di antaranya adalah yang tergolong “Mazmur Rajawi”, yang memperingati peristiwa tertentu yang berlatarbelakang pengalaman seorang raja. Mazmur-mazmur rajawi seperti didoakan oleh Gereja dipahami dalam terang pewahyuan selanjutnya yang membawa pribadi Kristus sang Raja ke dalam fokus yang lebih tajam sebagai pemenuhan martabat raja. Mazmur Rajawi termaksud adalah Mzm 20 (hari Selasa I); Mzm 21 (hari Selasa I); Mzm 45 (hari Senin II); Mzm 72 (hari Kamis II); Mzm 110 (Ibadat Sore II Natal 25 Desember; Hari Raya Paskah; Ibadat Sore II hari Minggu I; Ibadat Sore II hari Minggu II; Ibadat Sore II hari Minggu III; Ibadat Sore II hari Minggu IV; Ibadat Sore II “Hari Raya Semua Orang Kudus”); Mzm 132 (hari Kamis III).
Dalam Ibadat Sore kita juga dapat melihat sejumlah mazmur “Nyanyian Ziarah”. Misalnya Mzm 121 (hari Jumat II; Ibadat Arwah; Ibadat Sore II “Pesta Yesus Menampakkan Kemuliaan-Nya”, 6 Agustus); Mzm 122 (Ibadat Sore I hari Minggu IV; Ibadat Sore II Pemberkatan Gereja; Ibadat Sore II “Santa Perawan Maria”); Mzm 123 (hari Senin III); Mzm 124 (hari Senin III); Mzm 125 (hari Selasa III); Mzm 126 (hari Rabu III; Ibadat Sore II Para Rasul); Mzm 127 (hari Rabu III; Ibadat Sore II “Santa Perawan Maria”); Mzm 128 (hari Kamis IV); Mzm 129 (hari Kamis IV); Mzm 130 (Ibadat Sore II Natal 25 Desember; Ibadat Sore I hari Minggu IV; Ibadat Arwah); Mzm 131 (hari Selasa III); Mzm 132 (hari Kamis III). Menurut Pater Martin Harun OFM, Mzm 120-134 semuanya berjudul “Nyanyian Ziarah”, namun selain Mzm 120-122 dan 132-134, dalam koleksi itu tidak ada apa-apa yang berkaitan dengan tema ziarah. Satu-satunya nyanyian yang sungguh jelas bertemakan ziarah dalam koleksi ini adalah Mzm 122 (MH, hal 122). Pater Charles E. Miller CM mengatakan, bahwa Mzm 120-125 (gradual psalms) mungkin merupakan doa para peziarah selagi mereka naik menuju Yerusalem untuk berpartisipasi dalam pesta-pesta keagamaan Israel. Bagian yang lebih besar, yaitu Mzm 120-136 (Great Hallel Psalms) membentuk satu bagian dari perayaan Perjamuan Paskah. Oleh karena itu, menurut dia, ada alasan baik untuk percaya bahwa Yesus mendoakan mazmur-mazmur ini dengan para rasul pada Perjamuan Terakhir. Mazmur-mazmur ini memang paling cocok untuk digunakan dalam Ibadat Sore (CEM, hal. 50).
Dalam setiap Ibadat Sore, dua mazmur disusul oleh sebuah kidung Perjanjian Baru. Kidung-kidung tersebut adalah madah-madah indah yang terdapat dalam Perjanjian Baru yang dimasukkan oleh Gereja ke dalam liturgi, beberapa di antaranya telah digunakan dalam ibadat komunitas-komunitas Kristiani awal. Kidung-kidung ini diambil dari beberapa surat Santo Paulus (Kol; Ef; Flp), Santo Petrus (1Ptr) dan Kitab Wahyu. Tiga kidung yang seringkali muncul, yang sangat penting untuk pertumbuhan spiritualitas kita yang Kristosentris sebagai Fransiskan sekular adalah Ef 1:3-10, Kol 1:12-20 (Madah keutamaan Kristus) dan Flp 2:6-11 (Madah perendahan/pengosongan diri Allah).
Kidung Maria (Magnificat). Tema Perjanjian Baru mencapai puncaknya dalam “Kidung Maria”. Kidung yang sederhana namun baik sekali ini merupakan sebuah mosaik dari teks-teks Perjanjian Lama (bdk “Puji-pujian Hana/1Sam 2:1-10), sebuah permenungan atas kebaikan Allah dan tindakan penyelamatan-Nya yang penuh kasih-sayang bagi umat-Nya sepanjang sejarah, yang mencapai kepenuhan dalam diri Yesus Kristus. Dari permenungan ini mengalirlah semangat puji dan syukur penuh kegembiraan dan sukacita: “Aku mengagungkan Tuhan, hatiku bersuka ria karena Allah, penyelamatku” (Luk 1:46-47).[40]
Lukas menempatkan kata-kata dari kidung ini pada bibir Maria bukan hanya karena dia adalah seorang pribadi, atau lebih tepatnya karena dia adalah ibunda sang Juruselamat. Dalam konteks keseluruhan Injil Lukas, Maria adalah personifikasi Gereja dan model bagi Gereja dalam hal doa. Mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh Santo Lukas, Konsili Vatikan II mendeklarasikan sebagai berikut: “…… ia (Maria) menerima salam sebagai anggota Gereja yang serba unggul dan sangat istimewa, pun sebagai pola-teladannya yang mengagumkan dalam iman dan cinta kasih” (LG 53).
Sebagai konsekuensinya, selagi kita mendoakan Kidung Maria, kita harus sadar bahwa bersama Maria kita sebagai anggota-anggota Gereja adalah hamba-hamba yang hina yang “diangkat” oleh Tuhan. Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan besar bagi kita yang takut akan Dia. Dengan demikian kita memproklamasikan keagungan Tuhan dan hati kita bersuka ria karena Allah, Penyelamat kita.
Catatan penutup tentang Ibadat Sore. Doa-doa permohonan dalam Ibadat Sore berbeda dengan doa-doa permohonan yang terdapat dalam Ibadat Pagi. Doa-doa permohonan dalam Ibadat Pagi dimaksudkan untuk menyucikan hari, memper-sembahkan hari bersangkutan kepada Allah. Di lain pihak doa-doa permohonan dalam Ibadat Sore dimaksudkan sebagai doa-doa syafaat untuk kebaikan seluruh dunia. Doa-doa syafaat ini didoakan dalam kebersatuan kita Yesus Kristus yang “merentangkan tangan di kayu salib” untuk merangkul seluruh umat manusia. Doa-doa syafaat seperti ini mencerminkan aspek “kekatolikan” doa Kristiani dan memenuhi ajakan/nasihat Rasul Paulus:
Karena itu, pertama-tama aku menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan semua pembesar, agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan. Itulah yang baik dan berkenan kepada Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1Tim 2:1-4).
Doa-doa spontan dapat saja dihaturkan setelah permohonan-permohonan yang sudah tercetak dalam buku IBADAT HARIAN, namun permohonan-permohonan spontan tersebut harus mencerminkan suatu keprihatinan universal. Misalnya ada seorang yang mau mendoakan seorang anggota keluarganya yang akan menjalani operasi; maka doanya dapat disampaikan seperti berikut: “Saya berdoa untuk seorang saudaraku yang akan menjalani operasi klep-jantung besok dan juga semua orang yang menderita sakit serius, kami mohon …”
Seperti halnya dengan Ibadat Pagi, Perayaan Ekaristi biasanya harus dipisahkan dari Ibadat Sore. Idealnya begitu karena masing-masing mempunyai tujuan yang berlainan. Apabila Ibadat Sore langsung disusul oleh Perayaan Ekaristi, maka doa-doa permohonan dalam Ibadat Sore tidak dibacakan, demi dibacakannya doa-doa permohonan dalam Misa Kudus.
Doa Sore menyucikan “jam-jam penutup” hari bersangkutan. Inilah cara Gereja menghayati doa sang pemazmur: “Semoga doaku membubung ke hadapan-Mu bagaikan dupa, semoga tangan yang kutadahkan Kauterima bagaikan kurban petang” (Mzm 14:2; Ibadat Sore I hari Minggu I).[41]
Meskipun idealnya ibadat-ibadat didoakan secara komunal, situasi praktis kadang-kadang menjadi penghalang, apalagi bagi kita yang bukan orang-orang biara. Namun sedapat-dapatnya kita mengupayakan agar Ibadat Sore dilaksanakan secara komunal/ berjemaah. Mengapa? Karena pada waktu itulah, dalam tema Perjanjian Baru yang terdapat dalam Ibadat Sore, dengan sangat jelas tercermin sifat Gereja sebagai umat Allah yang baru (lihat CEM, hal. 52). Masing-masing kita harus memiliki keinginan untuk bergabung dengan saudara-saudari rohani kita dalam Kristus untuk melambungkan puji-pujian kepada Allah yang begitu mengasihi dunia, sehingga pada kepenuhan waktu Dia mengutus Putera-Nya yang tunggal kepada kita (lihat Yoh 3:16).
IBADAT PAGI DAN IBADAT SORE ADALAH DOA JEMAAT KRISTIANI
Ibadat Pagi dan Ibadat Sore harus dijunjung tinggi sekali sebagai doa jemaat Kristiani (to be accorded the highest importance as the prayer of the Christian community). Oleh karena itu ibadat-ibadat tersebut hendaknya dirayakan bersama (secara komunal; berjemaah), teristimewa oleh mereka yang hidup dalam komunitas. Sesungguhnya, pendarasan kedua ibadat (utama) ini harus direkomendasikan juga kepada setiap anggota umat beriman yang tidak dapat mengambil bagian dalam suatu perayaan bersama (lihat PIH 40).
Dalam Ibadat Pagi didaras atau dinyanyikan Kidung Zakharia dan dalam Ibadat Sore Kidung Maria, beserta antifonnya masing-masing. Kidung-kidung ini sudah digunakan berabad-abad lamanya oleh umat dalam Gereja Roma, keduanya mengungkapkan pujian dan syukur atas penebusan kita. Untuk kedua kidung ini disediakan antifon menurut sifat hari, masa atau pesta (lihat PIH 50).
Ibadat Pagi dan Ibadat Sore diuraikan secara mendetil dalam PIH 37 s/d 54.
IBADAT SIANG
STRUKTUR IBADAT SIANG:
Menurut tradisi yang sangat tua orang-orang Kristiani mempunyai kebiasaan berdoa beberapa kali sehari sebagai devosi pribadi, juga di tengah-tengah kesibukan kerja, sesuai dengan teladan Gereja para rasul. Lambat laun tradisi itu diperkaya dengan bermacam-macam perayaan liturgi (lihat PIH 74). Baik di timur maupun di barat diselenggarakan ibadat sebelum tengah hari, pada tengah hari dan sesudah tengah hari. Ibadat-ibadat itu dihubungkan dengan kenangan akan sengsara Tuhan dan akan masa penyebaran Injil (lihat PIH 75). Ketiga ibadat termaksud adalah Tertia (Jam ketiga = jam 9 pagi), Sexta (Jam keenam = jam 12 tengah hari)dan Nona (Jam kesembilan = jam 3 siang). Pasca Konsili Vatikan II, ketiga ibadat itu dijadikan satu menjadi IBADAT SIANG Hora Media).
Jika ada yang ingin tetap mendoakan tiga ibadat, misalnya para rahib dan biarawati kontemplatif, maka untuk ibadat yang satu dapat dipakai mazmur-mazmur yang disediakan untuk Ibadat Siang, sedangkan untuk dua ibadat lainnya, dapat dipakai mazmur-mazmur ziarah yang terdapat dalam bagian mazmur tambahan, buku IBADAT HARIAN, hal. 820 dan selanjutnya. Kalau kita mendoakan Ibadat Siang hanya sebagai satu ibadat saja, maka ideal-nya dilakukan antara jam 11.00 dan jam 13.00.
Tema dari Ibadat Siang adalah kehendak Allah.[42] Tujuannya adalah mengingatkan kita, bahwa apa pun pekerjaan kita, kita sudah membuat komitmen untuk mengikuti kehendak Allah dengan meneladan “Yesus yang taat, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp 2:8). Ibadat Siang juga merupakan suatu jalan bagi kita menguduskan diri kita lagi terhadap kata-kata yang kita sebut dalam doa Bapa Kami pada Misa Kudus, Ibadat Pagi dan Ibadat Sore: “Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga!” Ekaristi adalah perayaan kita tentang ketaatan Kristus yang ditinggikan oleh Bapa (Flp 2:9). Oleh karena itu Ibadat Siang mempunyai suatu hubungan istimewa dengan Ekaristi. Ibadat Harian dapat menoleh kepada Ekaristi di pagi hari sebagai suatu peneguhan kembali atas pengabdian kita kepada kehendak Allah seperti yang diungkapkan dalam Misa, atau Ibadat Harian dapat memandang ke depan, yaitu persiapan Ekaristi di sore/senja hari.
Mazmur pertama dalam Ibadat Siang adalah Mazmur 119 (kekecualian adalah hari-hari Minggu, Senin I dan Jumat III). Mazmur 119 adalah mazmur terpanjang dalam Kitab Mazmur karena terdiri dari 176 ayat. Mazmur ini dibagi-bagi ke dalam beberapa bagian, setiap bagian terdiri dari 8 ayat, untuk didaraskan sepanjang empat minggu dengan tema yang sama, yaitu kehendak Allah. Sang Pemazmur menyebut “kehendak Allah” dalam setiap ayat yang berjumlah 176 itu, tanpa kecuali. Agar tidak mengulang-ulang kata yang sama, maka digunakanlah sinonim. Kita lihat Mzm 119:97-104 yang kita daraskan dalam Ibadat Siang hari Selasa III:
Betapa besar cintaku kepada hukum-Mu,
aku merenungkannya sepanjang hari.
Aku menjadi lebih bijaksana dari pada musuhku,
sebab perintah-Mu selalu ada padaku.
Aku lebih arif dari pada semua pengajarku,
sebab aku merenungkan sabda-Mu.
Aku lebih berbudi dari pada orang-orang tua,
sebab aku berpegang pada perintah-Mu.
Aku tidak melangkahkan kaki ke jalan kejahatan,
agar firman-Mu tetap kupegang.
Aku tidak menyimpang dari ketetapan-Mu,
sebab Engkaulah yang mengajar aku.
Betapa manisnya janji-Mu bagiku,
melebihi madu di mulutku.
Aku menimba pengertian dari titah-Mu,
maka aku benci akan segala kebohongan.
Perhatikanlah kata-kata yang digaris-bawahi. Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI menggunakan kata “Taurat-Mu” untuk “hukum-Mu” (ayat 97); kata “peringatan-peringatan-Mu” untuk “sabda-Mu” (ayat 99); kata “titah-titah-Mu” untuk “perintah-Mu” (ayat 100); kata “hukum-hukum-Mu” untuk “ketetapan-Mu” (ayat 102). Semua kata ini adalah sinonim dengan “kehendak Allah”.
Kekecualian (di luar Mzm 119). Mazmur pertama pada hari Senin I adalah Mzm 19 yang juga bertemakan “kehendak Allah”. Pada hari Jumat III, Mzm 22 digunakan untuk ketiga bacaan mazmur. Ini adalah mazmur yang oleh Matius ditaruh pada bibir Yesus yang tergantung di kayu salib: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27:46). Mazmur ini digunakan oleh Gereja karena setiap hari Jumat selalu dikaitkan dengan hari Jumat Agung, hari wafat Yesus Kristus.
Ibadat Siang pada hari-hari Minggu memuat mazmur-mazmur yang cocok dengan perayaan Hari Tuhan. Hari Minggu I dan III menggunakan Mzm 118 untuk ketiga bacaan mazmur. Mazmur 118 ini merupakan sebuah lagu indah yang mengungkapkan syukur kepada Allah untuk kuasa penyelamatan-Nya. Perjanjian Baru memandang mazmur ini sudah digenapi dalam diri Kristus (Mat 21:24 dan Kis 4:11). Gereja juga telah memasukkan ayat 24 (“Pada hari inilah Tuhan bertindak, mari kita rayakan dengan gembira”)[43] ke dalam perayaan Paskah, untuk mana setiap hari Minggu adalah sebuah cerminannya. Mazmur pertama dalam Ibadat Siang hari Minggu II dan IV adalah Mzm 23 (Gembala baik); kemudian disusul dengan Mzm 76 yang dipecah menjadi dua bacaan mazmur. Mazmur 76 adalah sebuah madah puji-syukur kepada Allah untuk kehadiran-Nya yang melindungi umat-Nya.
Catatan penutup tentang Ibadat Siang. Ibadat Siang merupakan doa yang sangat praktis dan diperlukan dalam dunia kita yang penuh kesibukan dan hingar-bingar ini, karena mengingatkan kita bahwa seluruh kesibukan kerja kita sehari-hari adalah untuk melakukan kehendak Allah. Meskipun berada di tengah-tengah kesibukan kerjanya, seseorang yang sudah yakin bahwa Ibadat Siang ini penting, akan mencari jalan bagaimana mendoakannya dengan teratur setiap hari. Di mana ada kemauan, tentunya ada jalan! Semakin hidup kita dipenuhi kesibukan, semakin diperlukanlah doa ini – sederhana namun sangat berarti – yang diberikan kepada kita oleh Gereja melalui bimbingan Roh Kudus yang menolong kita dalam kelemahan kita, untuk berdoa semestinya agar membuat suci hari yang bersangkutan.
Uraian lebih mendetil tentang IBADAT SIANG dapat dibaca dalam PIH 74 s/d 83).
IBADAT BACAAN
STRUKTUR IBADAT BACAAN:
“Berbicaralah, TUHAN, sebab hamba-Mu ini mendengar” (1Sam 3:9). Karena penekanan Ibadat Bacaan adalah pada proses mendengarkan secara reflektif, maka ingin cepat-cepat selesai dalam mendoakan Ibadat Bacaan ini akan hampir tidak menghasilkan apa-apa. Ibadat Bacaan harus didoakan pada waktu dan suasana yang cocok untuk refleksi.
Maksud Ibadat Bacaan ialah memberi kesempatan lebih melimpah kepada umat Allah untuk merenungkan Kitab Suci dan karangan para penulis rohani, lebih-lebih kepada mereka yang membaktikan diri kepada Tuhan secara khusus. Dalam misa-misa harian memang dibacakan lingkaran Kitab Suci yang sangat kaya. Meskipun demikian, kekayaan wahyu dan tradisi yang dimuat dalam Ibadat Bacaan, amat besar gunanya bagi perkembangan rohani (lihat PIH 55).
Ibadat Bacaan ini dapat didoakan siang hari atau malam hari. Dalam pendarasan perorangan, dapat dipakai susunan lebih bebas. Ibadat Bacaan bersifat unik karena berbeda dengan ibadat-ibadat lainnya yang dikaitkan dengan waktu-waktu tertentu. Pada ibadat-ibadat lainnya dapat dikatakan, bahwa pada dasarnya manusia berbicara kepada Allah, meskipun Gereja sangat hati-hati mempertahankan aspek dialogis dari doa (artinya manusia kepada Allah dan Allah kepada manusia), sedangkan mendengarkan masih kurang mendapat perhatian penuh. Sebaliknyalah dengan Ibadat Bacaan, karena penekanannya adalah pada proses mendengarkan (Lihat CEM, hal. 54).
Responsorium[44] seharusnya diucapkan/dinyanyikan sesudah bacaan-bacaan dalam Ibadat Harian. Tetapi dalam buku IBADAT HARIAN tidak disediakan responsorium. Sebagai gantinya dapat diadakan saat hening atau dinyanyikan sesuatu dari buku nyanyian yang memakai imprimatur. Nyanyian ini hendaknya cocok dengan masa liturgi atau perayaan yang bersangkutan.
IBADAT PENUTUP
STRUKTUR IBADAT PENUTUP:
Ibadat Penutup adalah doa terakhir, yang didoakan sebelum istirahat malam, meskipun sudah lewat tengah malam. Sangat dianjurkan supaya sesudah pembukaan diadakan pemeriksaan batin. Dalam perayaan bersama pemeriksaan batin ini dapat dilakukan dengan diam. Dapat juga digabungkan dengan doa tobat seperti terdapat dalam buku misa (lihat PIH 84 s/d 86).
Simbolisme dalam Ibadat Penutup jelas indah dan berdaya-kuat. Kegelapan dan tidur adalah simbol-simbol kematian, baik secara alkitabiah maupun sastra. Ibadat Penutup menyiapkan kita tidak hanya untuk tidur, melainkan juga untuk kematian. Ini adalah Ibadat Penutup untuk hari bersangkutan dan juga kehidupan itu sendiri (CEM, hal. 57).
Dalam masa Paskah selalu dipakai antifon “Ratu Surga”. Selain antifon yang terdapat dalam buku IBADAT HARIAN, boleh juga diucapkan antifon lain yang diambil dari buku nyanyian yang memakai “Imprimatur” (lihat PIH 92).
BUKU-BUKU DALAM BAHASA INDONESIA YANG BAIK UNTUK DIBACA
Ada beberapa buku berbahasa Indonesia yang baik untuk dibaca dalam rangka memperdalam praktek doa IBADAT HARIAN ini. Baik untuk semua orang yang berminat, termasuk para anggota OFS:
Konsili Vatikan II menganjurkan agar para awam pun mendaras Ibadat Harian, entah bersama para imam, entah antar mereka sendiri, atau bahkan secara perorangan (lihat SC 100). Bagi kita, Konstitusi Umum OFS – 2001 Artikel 14.4 sudah jelas isinya!
Ibadat Harian ini dapat saja dipandang sebagai sekedar salah satu bentuk doa yang ada dalam Gereja, namun Ibadat Harian sangat istimewa kedudukannya karena erat berhubungan dengan Ekaristi Kudus, dan Ibadat Harian sendiri merupakan doa liturgis, doa Gereja, doa Yesus sendiri. Dalam setiap macam doa, sikap tubuh si pendoa adalah penting. Apalagi dalam doa liturgis seperti Ibadat Harian ini. Dalam kesempatan ini kita hanya menyinggung sedikit saja soal sikap tubuh yang diperlukan (misalnya berdiri, duduk lain-lain). Namun sebuah ketentuan yang harus kita pegang teguh adalah, bahwa dalam Ibadat Harian suara si pendoa harus diperdengarkan (mendaras, membaca, menyanyikan).
Bagi anda yang biasa melakukan Lectio Divina, maka Ibadat Bacaan adalah tempatnya untuk itu. Mohonlah kepada Roh Kudus untuk mengingatkan anda akan datangnya waktu-waktu untuk mendoakan Ibadat Harian. Bagi para aspiran dan postulan yang baru mau memulai melakukan Ibadat Harian ini, saya ingatkan bahwa apabila pada awalnya terjadi sedikit salah di sana-sini, maka hal tersebut bukanlah masalah; tidak mengapa! Roh Kudus sangat memahami! Janganlah cepat ciut hati atau malas, karena si Jahat senang sekali kalau kita begitu.
Sebagai para Fransiskan sekular, kita dapat melakukan Ibadat Harian secara bersama, misalnya dalam pertemuan persaudaraan. Karena pertemuan persaudaraan OFS Santo Thomas More dimulai di tengah hari, maka Ibadat Siang-lah yang didoakan, didahului oleh sebuah doa tradisi Fransiskan, yaitu “Doa Malaikat Tuhan” (Angelus). Cuma untuk itu kita jangan sampai datang terlambat karena pertemuan dimulai pada jam 12 siang.
Dari informasi yang saya peroleh dari seorang saudara, persaudaraan OFS Cibinong dahulu mendoakan Ibadat Penutup (Completorium) secara bersama di salah satu rumah anggotanya (dilakukan secara bergilir). Hal itu dimungkinkan karena para anggotanya adalah anggota lingkungan yang sama dengan rumah yang (agak) saling berdekatan. Saya tidak tahu apakah mereka masih melakukan praktek doa seperti itu lagi, namun ini baik juga untuk kita tiru, terutama bagi para anggota yang tinggal saling berdekatan.
Saya sendiri percaya pada proses learning by doing, di mana jatuh-bangun adalah lumrah, apalagi kalau proses learning by doing itu senantiasa dinaungi Roh Kudus. Dengan berjalannya waktu, ketekunan dalam mendoakan Ibadat Harian secara bersama itu secara bertahap membangun sense of community/fraternity secara sehat … maka pada suatu ketika – pada waktu-Nya – terciptalah sebuah persaudaraan OFS yang sejati, karena ada kasih Yesus Kristus di dalamnya. Semoga! Ya Semoga, Amin! Pax et Bonum!
Cilandak, 5 April 2009 (HARI MINGGU PALMA MENGENANGKAN SENGSARA TUHAN)
KEPUSTAKAAN
*) Disusun oleh Sdr. Frans Indrapradja, OFS untuk pertemuan persaudaraan OFS Santo Thomas More pada hari Minggu Paskah III, tanggal 26 April 2009.
[1] Nama yang lebih kuno dari IBADAT HARIAN adalah OFISI ILAHI (Latin: Officium Divinum; Inggris: Divine Office).
[2] Lihat PG I, hal. 10-12 dan PG II, hal. 23-24.
[3] Teks-teks Kitab Suci Perjanjian Baru dalam tulisan ini diambil dari PERJANJIAN BARU (edisi TB II), LAI, 1997, sedangkan teks-teks Perjanjian Lama diambil dari ALKITAB (edisi TB), LAI, 1992.
[4] “The brothers and sisters as well as the fraternities should adhere to the indications of the Ritual with respect to the different forms of participating in the liturgical prayer of the Church, giving priority to the celebration of the Liturgy of the Hours” (General Constitutions of the Secular Franciscan Order-2001. Article 14.4).
[5] “Totus non tam orans, quam oratio factus” (dipetik dari HF, hal. 386).
[6] TAU-Review on Franciscanism, Vol. X, Number 4, December 1985, hal. 118-125.
[7] Tradisi kuno untuk menyucikan saat-saat tertentu dalam irama harian melalui ibadat-ibadat yang khusus, hampir tidak berpengaruh lagi selama abad-abad terakhir (sebelum Konsili Vatikan II), ketika muncul kebiasaan untuk berdoa brevier secara pribadi tanpa banyak mempedulikan saat yang tepat (lihat WW, hal 27).
[8] Sejak awal Injilnya, Yohanes menulis tentang Yesus: “Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia” (Yoh 1:9). Yesus sendiri bersabda: “Akulah terang dunia; siapa saja yang mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang kehidupan” (Yoh 8:12).
[9] Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI berbunyi: “sungguh Engkau telah menjadi pertolonganku, dan dalam naungan sayap-Mu aku bersorak-sorai.”
[10] TATA PERAYAAN EKARISTI (BUKU IMAM), Yogyakarta: KWI/Penerbit Kanisius, 2005, hal. 143-145.
[11] Tidak mengherankanlah kalau Tuhan Yesus Kristus mengingatkan kepada Santa Faustina dari Polandia, bahwa pukul 3 siang adalah “Jam kerahiman Ilahi” dan kita para murid-Nya haruslah mensyukuri kenyataan tersebut dalam doa.
[12] S. Benedictus, Regula monaster., c. 19.
[13] Bagi saudara-saudari yang berminat untuk mendalami hubungan antara mazmur-mazmur dengan Kristus, saya menganjurkan membaca dan mempelajari buku kecil (90 halaman) karangan Pater Brian McNeil, CHRIST IN THE PSALMS, Dublin, Ireland: Veritas Publications, 1980.
[14] Untuk uraian yang lebih komprehensif, dapat dilihat dalam PIH, 109.
[15] Antifon pembukaan Ibadat Harian berbeda-beda menurut hari liturgi, sebagaimana dicantumkan dalam buku IBADAT HARIAN (PIH 36).
[16] Dalam buku IBADAT HARIAN tertulis Mzm 94 (95).
[17] Dalam PIH dan buku IBADAT HARIAN mazmur-mazmur ini disebut sebagai Mzm 94 (95), Mzm 99 (100), Mzm 66 (67) atau Mzm 23 (24). Untuk sementara dapatlah dikatakan bahwa munculnya dua angka secara berbarengan dalam sebuah mazmur adalah karena pembagian mazmur-mazmur yang berbeda-beda, yaitu (1) menurut Septuaginta (Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani, yang diikuti oleh Vulgata – Kitab Suci dalam bahasa Latin yang digunakan Gereja Roma) dan (2) menurut Perjanjian Lama bahasa Ibrani (nomor yang berada di antara kurung) yang digunakan praktis di mana-mana, termasuk dalam Alkitab terbitan LAI. Saya menggunakan angka-angka yang di dalam tanda kurung karena lebih lazim digunakan dalam buku-buku introduksi dan/atau tafsir Mazmur. Perbedaan ini dijelaskan dalam buku Pater Leopold Sabourin SJ, THE PSALMS – THEIR ORIGIN AND MEANING, Bangalore, India: The Theological Publications in India, St. Peter’s Seminary, 1971, hal. 4-6. Lihat juga WW, hal. 50.
[18] ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI menyajikan teks yang lebih greget dan cocok dalam konteks ini: “Dari terbitnya sampai kepada terbenamnya matahari terpujilah nama TUHAN.”
[19] Santo Basilius M., Regulae fusius tractatae, Resp. 37:3; PG 31, 1014. Dipetik dari PIH 38).
[20] Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI berbunyi: “Ya Tuhan, bukalah bibirku, supaya mulutku memberitakan puji-pujian kepada-Mu”. Menarik adalah teks dari ALKITAB KABAR BAIK terbitan LAI yang berbunyi seperti berikut: “Ya Tuhan, tolonglah aku berbicara, maka aku akan memuji-muji Engkau” (Mzm 51:15).
[21] Menarik untuk membandingkan teks dalam buku Ibadat Harian dengan teks yang terdapat dalam ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI yang berbunyi: “Haleluya! Nyanyikanlah bagi TUHAN nyanyian baru! Pujilah Dia dalam jemaah orang-orang saleh”.
[22] Teks dari PERJANJIAN BARU (edisi TB II) terbitan LAI yang digunakan berbunyi sebagai berikut: “Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang …”
[23] Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI berbunyi: “surya kebenaran”.
[24] Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI berbunyi: “surya pagi dari tempat yang tinggi”.
[25] Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI berbunyi: “Tetapi aku mau menyanyikan kekuatan-Mu, pada waktu pagi aku mau bersorak-sorai karena kasih setia-Mu; sebab Engkau telah menjadi kota bentengku, tempat pelarianku pada waktu kesesakanku. Ya kekuatanku, bagi-Mu aku mau bermazmur; sebab Allah adalah kota bentengku, Allahku dengan kasih setia-Nya.
[26] Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI berbunyi: “TUHAN, pada waktu pagi Engkau mendengar seruanku, pada waktu pagi aku mengatur persembahan bagi-Mu, dan aku menunggu-nunggu.”
[27] Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI berbunyi: “Bangunlah, hai jiwaku, bangunlah, hai gambus dan kecapi, aku mau membangunkan fajar!”
[28] Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI berbunyi: “Pagi-pagi buta aku bangun dan berteriak minta tolong; aku berharap kepada firman-Mu.”
[29] Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI berbunyi: “Hatiku siap, ya Allah, aku mau menyanyi, aku mau bermazmur. Bangunlah, hai jiwaku, bangunlah, hai gambus dan kecapi, aku mau membangunkan fajar.”
[30] Teks dari ALKITAB (edisi TB) berbunyi: “Perdengarkanlah kasih setia-Mu kepadaku pada waktu pagi, sebab kepada-Mulah aku percaya!” Mzm 143:1-11 digunakan juga sebagai mazmur kedua dalam Ibadat Sore Sabtu suci dan sebagai mazmur dalam Ibadat Penutup hari Selasa.
[31] Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI berbunyi: “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!”
[32] Kita dapat saja mendoakan/mendaraskan kidung-kidung Perjanjian Lama tanpa mendalaminya pesan yang ingin disampaikannya. Namun demikian pengetahuan dasar tentang konteksnya sungguh membantu. Pengetahuan tentang latar belakang teks tertentu dan hal-hal yang perlu diketahui, biasanya dapat dibaca dalam buku tafsir yang baik.
[33] Teks dari ALKITAB (edisi TB) berbunyi sebagai berikut: “Ketika TUHAN memulihkan keadaan Sion, keadaan kita seperti orang-orang yang bermimpi. Pada waktu itu berkatalah orang di antara bangsa-bangsa: ‘TUHAN telah melakukan perkara besar kepada orang-orang ini!’ TUHAN telah melakukan perkara besar kepada kita, maka kita bersukacita.”
[34] Teks dari ALKITAB (edisi TB) berbunyi sebagai berikut: “Tuhan, Engkaulah tempat perteduhan kami turun-temurun. Sebelum gunung-gunung dilahirkan, dan bumi dan dunia diperanakkan, bahkan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya Engkaulah Allah.”
[35] Itulah sebabnya mengapa kita mendarasnya sambil berdiri dan mengapa kita membuat tanda salib sebelum mendarasnya.
[36] Teks dari PERJANJIAN BARU (edisi TB II) terbitan LAI berbunyi: “… oleh rahmat dan belas kasihan dari Allah kita, yang dengannya Ia akan datang untuk menyelamatkan kita, Surya pagi dari tempat yang tinggi, untuk menyinari mereka yang tinggal dalam kegelapan dan dalam naungan maut untuk mengarahkan kaki kita kepada jalan damai sejahtera.”
[37] Santo Basilius M., Regulae fusius tractatae, Resp. 37:3; PG 31, 1015. Dipetik dari PIH 39.
[38] Cassianus, De institutione coenob., lib. 3, c.3: PL 49, 124.125. Dipetik dari PIH 39.
[39] S. Cyprianus, De oratione dominica, 35: PL 4, 560. Dipetik dari PIH 39.
[40] Teks dari PERJANJIAN BARU (edisi TB II) berbunyi: “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Jurusselamatku.”
[41] Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI berbunyi: “Biarlah doaku adalah bagi-Mu seperti persembahan ukupan, dan tanganku yang terangkat seperti persembahan korban pada waktu petang.”
[42] Uraian berikutnya tentang kehendak Allah memanfaatkan pikiran dari Pater Charles E. Miller, CM (CEM, hal. 44-45).
[43] Teks dari ALKITAB (edisi TB) berbunyi: “Inilah hari yang dijadikan TUHAN, marilah kita bersorak-sorak dan bersukacita karenanya!”
[44] Tujuan dari responsorium ini adalah: (1) memberi penerangan atas Bacaan yang baru dibacakan; (2) menempatkan Bacaan yang baru dibacakan ke dalam Sejarah Penyelamatan; (3) memproyeksikan dalam Bacaan isi daripada Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru; (4) membuat Bacaan menjadi doa dan kontemplasi (AMB, hal. 123).
20 January 2010 sangsabda
Categories: DOA-DOA
…….. semua orang yang mendoakan Ibadat Harian, menunaikan tugas Gereja, maupun ikut serta dalam kehormatan tertinggi Mempelai Kristus. Sebab seraya melambungkan pujian kepada Allah mereka berdiri di hadapan takhta Allah atas nama Bunda Gereja. (Sacrosanctum Concilium 85)
Tujuan utama tulisan ini adalah untuk memperkenalkan IBADAT HARIAN (Latin: Liturgia Horarum; Inggris: Liturgy of the Hours)[1] kepada para anggota OFS Persaudaraan Santo Thomas More, Jakarta Selatan.
Pendekatan yang saya gunakan dalam tulisan ini cukup sederhana karena sasaran utamanya adalah para postulan dan aspiran. Bagi para anggota Persaudaraan Santo Thomas More yang sudah biasa dengan tekun mendoakan IBADAT HARIAN ini, pandanglah tulisan ini sebagai bahan untuk penyegaran kembali.
OFS DAN PANGGILAN UNTUK HIDUP SUCI
Agar efektif dan bertumbuh dengan baik, maka kegiatan kerasulan seorang Kristiani harus memperoleh dukungan kuat dari spiritualitasnya, atau katakanlah hidupnya sehari-hari sebagai seorang Kristiani, antara lain seperti ditunjukkan dalam kekudusan hidupnya, sejauh Allah yang kudus memanggil manusia untuk menjadi kudus, yakni hidup bersatu dengan Allah.[2] Mengenai hal ini, Konsili Vatikan II mengatakan:
Jadi bagi semua jelaslah, bahwa semua orang Kristiani, bagaimanapun juga status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cintakasih. Dengan kesucian itu juga dalam masyarakat di dunia ini cara hidup menjadi lebih manusiawi. Untuk memperoleh kesempurnaan itu hendaklah kaum beriman mengerahkan tenaga yang mereka terima menurut ukuran yang dikurniakan oleh Kristus, supaya dengan mengikuti jejak-Nya dan menyerupai citra-Nya, dengan melaksanakan kehendak Bapa dalam segalanya, mereka dengan segenap jiwa membaktikan diri kepada kemuliaan Allah dan pengabdian terhadap sesama (LG 40).
Apakah yang dikatakan dalam Kitab Suci[3] perihal panggilan kepada kesucian atau kekudusan ini? Berikut ini disajikan beberapa petikan bacaan, baik dari Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru:
Perjanjian Lama:
1. Sebab Akulah TUHAN, Allahmu, maka haruslah kamu menguduskan dirimu dan haruslah kamu kudus, sebab Aku ini kudus, dan janganlah kamu menajiskan dirimu ……… Sebab Akulah TUHAN yang telah menuntun kamu keluar dari tanah Mesir, supaya menjadi Allahmu; jadilah kudus, sebab Aku ini kudus (Im 11:44-45).
2. TUHAN berfirman kepada Musa: “Berbicaralah kepada segenap jemaah Israel dan katakan kepada mereka: Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus…” (Im 19:2).
3. Maka kamu harus menguduskan dirimu, dan kuduslah kamu, sebab Akulah TUHAN, Allahmu. Demikianlah kamu harus berpegang pada ketetapan-Ku dan melakukannya; Akulah TUHAN yang menguduskan kamu (Im 20:7-8).
Perjanjian Baru:
1. Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus (1Ptr 1:14-16).
2. Kuasa ilahi-Nya telah menganugerahkan kepada kita segala sesuatu yang berguna untuk hidup yang saleh oleh pengenalan kita akan Dia yang telah memanggil kita oleh kuasa-Nya yang mulia dan ajaib. Dengan jalan itu Ia telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan sangat besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi, dan luput dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia (2Ptr 1:3-4).
3. Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain; sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, perbuatlah juga demikian. Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil dalam satu tubuh. Dan bersyukurlah (Kol 3:12-15).
4. Karena inilah kehendak Allah: Pengudusanmu, ……… Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus (1Tes 4:3.7).
5. Sebab di dalam Dia (Kristus) Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya (Ef 1:4).
6. Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah (Mat 5:8).
7. …… bahwa kamu, berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama, yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan, supaya kamu dibarui di dalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (Ef 4:22-24).
8. Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan (Ibr 12:14).
Seperti umat Kristiani lainnya, seorang Fransiskan sekular juga dipanggil kepada kesucian. Dan … apabila kita berbicara mengenai spiritualitas, kesalehan, atau kesucian seseorang – siapapun dia –, maka kehidupan doa orang itu sangat penting karena merupakan bagian hakiki dari spiritualitasnya, kesalehannya atau kesucian pribadinya. Dari berbagai macam bentuk doa, ada satu macam doa yang tersedia bagi orang itu, doa mana bersifat sangat khas dan kuat berakar pada tradisi Gereja, yaitu IBADAT HARIAN.
Nah, IBADAT HARIAN ini juga tersedia bagi kita para anggota OFS sebagai satu sarana efektif (ampuh) dalam membantu kita mengayunkan langkah-langkah kita menuju kekudusan! Pegangan kita adalah AD OFS, KU OFS – 2001, tulisan-tulisan Santo Fransiskus sendiri dan tentunya dokumen-dokumen resmi Gereja yang berlaku.
APA YANG DIKATAKAN OLEH AD OFS DAN KU OFS – 2001?
AD OFS Fasal II Artikel 8 berbunyi sebagai berikut:
As Jesus was the true worshipper of the Father, so let prayer and contemplation be the soul of all they are and do. Let them participate in the sacramental life of the Church, above all the Eucharist. Let them join the liturgical prayer in one of the forms proposed by the Church, reliving the mysteries of the life of Christ (INGGRIS).
Sebagaimana Yesus menjadi penyembah sejati bagi Bapa, demikian pula mereka hendaknya membuat doa dan kontemplasi menjadi jiwa bagi kehidupan dan tingkah laku mereka. Hendaklah mereka ambil bagian dalam kehidupan sakramental Gereja, terutama Sakramen Ekaristi, dan menggabungkan diri dengan doa-doa liturgis dalam satu bentuk yang dianjurkan Gereja; supaya dengan demikian mereka menghidupkan kembali misteri-misteri kehidupan Kristus (INDONESIA).
Dari kutipan ini kita lihat, bahwa AD OFS menganjurkan kepada para Fransiskan sekular untuk ikut serta dalam doa-doa liturgis dalam salah satu bentuk yang dianjurkan Gereja. “Konstitusi Umum OFS – 2001” menegaskan artikel AD OFS ini dengan pernyataan sebagai berikut: “Para saudara dan saudari serta persaudaraan-persaudaraan harus mentaati indikasi-indikasi dalam Rituale sehubungan dengan bentuk-bentuk yang berbeda-beda dari keikutsertaan dalam doa liturgis Gereja, dengan memberikan prioritas kepada perayaan Ibadat Harian” (KU OFS Artikel 14.4).[4] Jadi disamping Ekaristi Kudus sebagai yang utama, Ibadat Harian sebagai salah satu doa liturgis, haruslah diprioritaskan. Namun sebelum kita membicarakan Ibadat Harian itu sendiri, marilah kita menengok sejenak kehidupan doa Bapak Serafik kita, karena bagaimana pun juga dia adalah panutan kita.
KEHIDUPAN DOA SANTO FRANSISKUS
Uraian relatif singkat tentang kehidupan doa Fransiskus berikut ini bertujuan untuk mengingatkan kita semua kepada kenyataan, bahwa kita pertama-tama adalah Fransiskan (anggota keluarga besar Santo Fransiskus dari Assisi). Dengan demikian kehidupan doa kita pun harus meneladan kehidupan doa Santo Fransiskus.
Kehidupan doa bersifat sentral dalam kehidupan Fransiskus. Bagi Fransiskus, Klara dan para saudara-saudari yang pertama, kehidupan doa merupakan sesuatu hal yang sentral, karena komunikasi dengan Allah melalui doa memberikan kepada mereka pengalaman “menghidupkan kembali” atau “menyatukan kembali” diri mereka dengan misteri-misteri Kristus, dan karenanya memberikan makna dan tujuan keberadaan mereka dan kegiatan mereka. Thomas dari Celano menulis, bahwa Fransiskus mengarahkan segenap perhatiannya kepada Tuhan dan dia “bukan berdoa, namun dirinya sendiri menjadi sebuah doa” (2Cel 95).[5] Bagi Fransiskus (dan Klara) doa merupakan sebuah pengalaman mendasar dan pengungkapan iman. Semoga demikian pulalah halnya bagi kita yang menamakan diri Fransiskan sekular.
Kehidupan Santo Fransiskus menunjukkan kepada kita bahwa doa menempatkan kita ke dalam komunikasi akrab dengan Allah, membuat kita mengenal identitas diri kita sendiri, memberikan kita energi, kekuatan dan determinasi untuk menghayati hidup Injili dengan lebih efektif. Fransiskus sendiri mengalami Allah sebagai seorang Pribadi yang keberadaan-Nya dan keagungan-Nya sangat berkelimpahan (lihat AngTBul XXIII).
Fransiskus memiliki keyakinan teguh akan kebaikan Allah. Pastilah dia mengenal Bapa melalui Putera dalam Roh Kudus. Dengan penuh keyakinan dia berkata, “Beginilah Tuhan menganugerahkan kepadaku, Saudara Fransiskus, untuk mulai melakukan pertobatan” (Was 1); “Tuhan memberi aku anugerah dalam gereja-gereja, kepercayaan yang sedemikian besar, sehingga aku biasa berdoa secara sederhana dengan kata-kata ini, “Kami menyembah Engkau, Tuhan Yesus Kristus, ………” (Was 4-5), karena memang semua itulah yang sesungguhnya terjadi. Fransiskus memandang tindakan dan inspirasi Allah sebagai karunia bebas dan anugerah-Nya yang sangat istimewa. Fransiskus memiliki kesadaran yang begitu mendalam di dalam dirinya, bahwa Tuhan telah menyentuh/menjamah hatinya, aktif serta hadir pula dalam diri pribadi-pribadi dan komunitas. Hal ini membawa dia kepada suatu keyakinan mendalam, bahwa kebersatuannya dengan Allah yang sangat mempribadi dan akrab-mendalam, menjadi sumber, tujuan, dan kekuatan pemberdaya keseluruhan hidupnya.
Dengan memiliki Kristus dalam hatinya dan dengan mengikuti Kristus dalam perasaan, pikiran, sikap dan tindakannya, maka Fransiskus secara spiritual menyatu dengan Tuhan. Dapat dikatakan, bahwa keseluruhan hubungan orang kudus ini dengan Tuhan Yesus Kristus merupakan sebuah love story yang sungguh indah. Dalam menanggapi tawaran kasih Allah, Fransiskus berupaya terus untuk mengasihi Allah dan menyerahkan dirinya sendiri sepenuhnya kepada Allah. Oleh karena itu dia mengikuti jejak Kristus secara langsung dan membuat Tuhan Yesus sebagai pusat dan inspirasi (inspirator) hidupnya (AD OFS Fasal II Artikel 4). Hal yang sama terjadi dengan pengikutnya yang paling sempurna, yaitu Santa Klara.
Ekaristi Kudus. Sepanjang hidupnya, Ekaristi Kudus menjadi titik-temu (point of contact) antara Fransiskus dan Kristus yang dikasihinya dengan begitu intens dan intim, karena dalam Ekaristilah dia melihat Putera Allah Yang Mahatinggi secara jasmaniah (Was 10). Dalam Ekaristi dan melalui Ekaristi, Kristus menjadi realitas pribadi yang hidup bagi Fransiskus (dan juga bagi Klara). Ekaristi merupakan fokus keseluruhan hidup kedua orang kudus ini.
Ibadat Harian. Fransiskus dan Klara juga memiliki keterlekatan sangat erat dengan Ibadat Harian berdasarkan beberapa alasan: Jenis doa ini merupakan sebuah cara untuk menyucikan keseluruhan hari dengan suatu gaya doa yang berkelanjutan. Ibadat Harian adalah sebuah sarana untuk membuat kata-kata dalam Kitab Suci menjadi ungkapan doa mereka sendiri. Ibadat Harian merupakan kesempatan bagi para saudara-saudari berkumpul untuk berdoa dalam komunitas yang bersatu dengan seluruh Gereja. Ibadat Harian adalah cara mereka menunjukkan secara konkrit kesatuan mereka dengan Gereja universal dan secara khusus kesetiaan mereka pada Gereja Roma (BAF, hal. 10-4).
Arti “Ofisi Ilahi” bagi Santo Fransiskus seturut pengamatan John Peter OFM. Dahulu “Ibadat Harian” disebut “Ofisi Ilahi” (lihat catatan kaki No. 1). Dari uraian di atas kita mengetahui, bahwa Fransiskus mendoakan Ofisi Ilahi ini. Dalam “Anggaran Dasar Tanpa Bulla” dia mengharuskan para saudara, baik rohaniwan maupun awam (bruder), untuk melakukan ibadat harian (AngTBul III:3).
John Peter OFM menulis tentang hal-ikhwal Ofisi Ilahi dan Fransiskus dalam artikelnya yang berjudul FRANCISCAN TEXT STUDY – CONCERNING THE DIVINE OFFICE.[6] Dalam artikelnya tersebut, John Peter OFM mengungkapkan apa yang menurut dia merupakan makna Ofisi Ilahi bagi Fransiskus:
1. Ofisi Ilahi menduduki suatu tempat penting dalam kehidupan Santo Fransiskus, teristimewa dalam kehidupan spiritualnya.
2. Ofisi Ilahi merupakan sebuah sarana-pengikat Fransiskus dan persaudaraannya secara erat dengan Gereja Roma.
3. Ofisi Ilahi dinilai oleh Fransiskus sebagai doa komunitas dari persaudaraannya dan sebagai sebuah pengungkapan persaudaraan dan sarana memajukan persaudaraan ini.
4. Ofisi Ilahi harus didaras secara spiritual oleh para saudaranya: dengan semangat batiniah yang selaras dengan pengungkapan eksternal dan menjadi sungguh senada dengan (kehendak) Allah.
5. Penggunaan Ofisi Ilahi oleh Fransiskus menggambarkan cintanya kepada doa dan pentingnya doa menurut dia sebagai sumber/mata air bagi kerasulan Ordonya.
6. Fransiskus memelihara gagasannya perihal kemiskinan spiritual dan meluaskannya sampai pada kewajiban untuk mendoakan Ofisi.
7. Praktek pendarasan Ofisi Ilahi telah diikat dengan penggunaan-penggunaannya dalam biara monastik. Perkembangannya di dalam Ordo Fransiskan berakar dalam kharisma unik dari sang Poverello sendiri (JP, hal. 124-125).
Semoga hasil pengamatan John Peter OFM ini dan keterlekatan Santo Fransiskus dan Santa Klara pada Ibadat Harian seperti diuraikan sebelumnya dapat memacu kita semua – para Fransiskan sekular – untuk lebih giat mendoakan Ibadat Harian ini sebagai bagian penting dan tak terpisahkan dari kehidupan doa kita sehari-hari.
Pengalaman Fransiskus dan Klara akan Allah begitu kuat sehingga tak dapat ditahan-tahan atau disembunyikan. Pengalaman akrab ini memancar keluar dalam doa, apakah dalam kontemplasi di tempat-tempat sunyi di gunung, gua atau dalam biara, dalam irama lagu atau kata-kata petuah/wejangan yang keluar lewat bibir mereka dan dalam perayaan liturgi suci. Fransiskus dan Klara begitu hidup bersama Allah sehingga kapan dan di mana saja mereka mendengarkan dan berbicara dengan Allah dalam semangat puji dan syukur, dan dalam permohonan penuh percaya seorang anak kepada bapanya.
Hasil dari kehidupan doa seperti ditunjukkan Fransiskus dan Klara di atas adalah suatu pengalaman baru berkenan dengan kebersatuan dengan Allah yang bersifat pribadi dan intim, serta evaluasi jujur atas kondisi batiniah diri sendiri.
Kehidupan doa ini bertumbuh dari beberapa sikap dasar:
1. Kesadaran (Awareness) – bahwa kita bersama Allah setiap saat, tahu bahwa kita selalu berada dalam hadirat Allah dan Allah selalu hadir bagi kita.
2. Puji dan syukur (Praise and thanksgiving) – suatu kesadaran mengenai semua hal yang telah dilakukan Tuhan bagi kita, suatu rasa takjub terhadap pemberian-pemberian-Nya yang indah sekali, suatu perasaan syukur yang besar sekali atas karunia-karunia-Nya yang tak terhitung banyaknya.
3. Mendengarkan (Listening) – suatu kemauan dan kemampuan untuk berhenti berbicara dan membuka telinga kita supaya memperkenankan pesan dari Allah datang kepada kita melalui Kitab Suci dan Sakramen-sakramen, ajaran dan tradisi Gereja, orang-orang lain, karunia penciptaan, tanda-tanda zaman, situasi-situasi di sekeliling kita, atau bahkan dorongan-dorongan hati dan kehendak kita.
4. Keterbukaan (Openness) – suatu gambaran di mana kita berdiri di depan Tuhan dengan tangan-tangan terbuka; Allah dapat mengambil apa saja yang dikehendaki-Nya dan memberi apa saja yang diinginkan-Nya.
5. Kepercayaan atau keyakinan (Confidence) – tahu dengan pasti bahwa karena Tuhan telah begitu baik dan murah hati di masa lampau, maka Dia akan terus memelihara kita dan memberikan kepada kita segala kebutuhan kita.
6. Ketekunan (Persistence atau perseverance) – sikap ulet dan tabah hati dalam berkomunikasi dengan Tuhan kapan saja dan di mana saja, pada saat-saat baik maupun buruk, waktu sehat maupun sakit.
KEHIDUPAN DOA SEORANG FRANSISKAN AWAM
Di atas tadi – secara singkat – kita sudah mempeladjari kehidupan doa Bapak Fransiskus dan juga Ibu Klara. Bagaimana dengan kehidupan doa kita sendiri? Masing-masing kita berdoa sebagai individu-individu, sebagai anggota komunitas (misalnya Persaudaraan OFS, lingkungan/wilayah dalam paroki tertentu atau dalam keluarga), dapat juga sebagai anggota seluruh Gereja pada pertemuan-pertemuan khusus.
Doa Pribadi
Kehidupan doa seorang pribadi mencerminkan relasi seseorang dengan Tuhan yang disembahnya. Hal ini merupakan barometer dari kondisi spiritualnya sendiri. Doa pribadi yang sehat merupakan suatu campuran (composite) atau mosaik yang kaya dari cara berdoa yang bermacam-macam, apakah doa hening, spontan, atau terstruktur; apakah diucapkan, dengan pikiran, atau dengan hati.
Doa kontemplatif selalu mengambil suatu tempat istimewa dalam kehidupan doa pribadi para Fransiskan. Kontemplasi di sini bukanlah dimaksudkan suatu saat sunyi untuk melarikan diri dari hiruk-pikuk atau hingar-bingar keberadaan yang biasa, melainkan kemampuan untuk terus-menerus takjub, terpesona atau terkesima di hadirat dan pada kuasa Yesus dalam setiap aspek kehidupan kita sehari-hari.
Sebagian besar uraian tentang doa-doa pribadi yang diperlukan untuk membekali para Fransiskan sekular anggota OFS Persaudaraan Santo Thomas More telah diberikan dalam tulisan saya No. UMUM/OFS/S. THOMAS MORE/2009/02 dengan judul: “DOA-DOA PRIBADI DALAM KEHIDUPAN SEORANG FRANSISKAN SEKULAR”.
Doa komunal
Doa suatu komunitas yang khusus menunjukkan hubungan yang unik dan istimewa dari sebuah kelompok orang beriman dengan Allah. Cara sebuah persaudaraan OFS tertentu, atau sebuah keluarga tertentu, atau sebuah persekutuan/kelompok doa (prayer-group) tertentu dalam berdoa, dapat cukup berbeda dengan persaudaraan OFS, atau keluarga, atau persekutuan/kelompok doa lain tatkala mengekspresikan dirinya dalam doa. Hal seperti itu dapat diterima, OK dan tidak salah. Doa sedemikian memberikan isi dan arah kepada identitas kelompok sebagai komunitas iman khusus yang sedang berupaya mencapai kekudusan.
Doa komunitas (komunal; berjemaah) sedemikian dapat diekspresikan dalam bentuk refleksi bersama, doa-doa spontan dalam pertemuan kelompok, penggunaan rituale-rituale atau rumusan-rumusan doa, misalnya penggunaan rosario atau devosi-devosi tertentu atau Rituale OFS sendiri.
Doa Liturgis
Kita tidak hanya dipanggil untuk mengekspresikan diri kita dalam doa sebagai individu-individu atau sebagai anggota-anggota berbagai komunitas iman, melainkan kita juga harus menyatukan diri dengan Kristus yang menyembah dan mengikuti perintah-Nya untuk berdoa dalam sebuah cara resmi sebagai anggota-anggota Tubuh Kristus secara keseluruhan, yaitu Gereja. Doa jenis ini disebut “liturgi” (berasal dari kata Yunani leiturgia yang berarti suatu pelayanan publik, suatu kegiatan umat, suatu penyembahan bersama (a common worhip) karena ini merupakan karya umat Allah, untuk umat Allah, dan oleh umat Allah. Kita tidak pernah diharapkan untuk menghadiri sebuah perayaan liturgi tertentu sekedar sebagai pengamat; kita harus turut ambil bagian secara aktif. Sebuah perayaan liturgi merupakan kegiatan partisipatif (participatory activity) di mana setiap orang memainkan sebuah peran aktif. Perayaan Ekaristi dan sakramen-sakramen lainnya serta Ibadat Harian (Ofisi Ilahi) merupakan doa-doa liturgis.
Ekaristi. Apabila kita berpartisipasi dalam perayaan Ekaristi dan menerima Komuni, hal inilah yang terjadi: Kita berdoa sedapat mungkin dengan cara yang paling baik dan paling intens karena kita mempersembahkan kepada Allah Bapa segala puji dan syukur kita yang pantas diterima-Nya sebagai Tuhan dan Pencipta melalui Yesus Kristus yang sungguh hadir. Kita mempersatukan diri kita dengan Yesus dalam suatu cara yang paling intim, dan menjadi satu dengan hidup-Nya dan misi-Nya. Kita telah berkesempatan untuk melihat bagaimana Roh Kudus mengubah (mentransformir) kita yang sekedar manusia biasa menjadi umat kudus Allah, seperti Dia mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus, dan bagaimana kita harus menanggapi dengan membentuk komunitas dan membawa kebahagiaan dan kekudusan kepada semua orang. Kita menjadi apa yang kita terima: perjanjian (covenant), penyatuan (union), kurban (sacrifice), makanan (nourishment), perayaan (celebration), pen-damaian/perukunan-kembali (reconciliation) dan kehadiran (presence) (BAF, hal. 10-7).
Maka melalui Ekaristi kita melihat diri kita sebagai bagian dari seluruh Gereja dan juga sebagai seluruh Gereja secara miniatur. Seperti Fransiskus dan Klara, kita para Fransiskan mengalami Ekaristi sebagai pengalaman yang intens dan intim secara istimewa akan kehadiran-nyata dan kegiatan Tuhan. Lewat puncak perayaan-iman yang paling penting ini, kita menjadi berada dalam situasi berhadapan secara face-to-face dengan kehadiran-nyata Allah secara penuh. Kita kemudian melanjutkan perjumpaan dengan Dia yang hadir-nyata tersebut melalui pelbagai kegiatan “pembasuhan kaki” pada waktu-waktu yang tersedia antara dua perayaan liturgis, sehingga dengan demikian kita membuat nyata kata-kata yang diucapkan Yesus: “Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (Yoh 13:15); agar supaya sabda Yesus: “…perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Luk 22:19; bdk 1Kor 11:24) yang menjadi bagian dari “Doa Syukur Agung” dipahami sebagai suatu gaya-hidup (life-style) dan bukan sekedar sebuah kegiatan ritual yang terkait dengan gereja.
Ibadat Harian. Apabila kita – para Fransiskan sekular – mendoakan Ibadat Harian dari hari ke hari (khususnya Ibadat Pagi dan Ibadat Sore), maka berkat rahmat Allah kita dapat mencapai tujuan-tujuan berikut ini:
1. Kita bersatu dalam doa dengan orang-orang lain di seluruh dunia dan dengan Yesus Kristus sebagai “kurban pujian yang hidup” bagi Allah Bapa dan untuk menghidupkan kembali misteri-misteri kehidupan Kristus dalam hidup sehari-hari kita sendiri (lihat AD OFS Fasal II Artikel 8);
2. Kita menguduskan/menyucikan waktu-waktu dalam satu hari (teristimewa waktu puncak pagi dan sore hari) untuk melayani Allah dan kepada partisipasi sadar kita dalam karya keselamatan;
3. Kita mengukur hari kita untuk memberikan kepada keberadaan kita di bumi ini suatu orientasi-ilahi (orientasi kepada Allah) yang tetap dan konsisten;
4. Kita menjadi satu dengan umat di zaman-zaman lampau dalam mengungkapkan puja-pujian, dedikasi, tobat, dan syafaat melalui kelanjutan suatu bentuk doa yang sudah dimulai pada masa Perjanjian Lama yang menggunakan mazmur dan kidung, bacaan Kitab Suci dan responsorium (tanggapan atas bacaan dalam Ibadat Bacaan, termasuk “lagu singkat” (responsorium breve) sebagai tanggapan terhadap Bacaan Singkat (Lectio Brevis) dalam Ibadat Pagi dan Ibadat Sore), doa-doa permohonan dan doa-doa lainnya;
5. Kita menerima tradisi-tradisi Fransiskus dan Klara yang menggunakan Ibadat Harian sebagai sarana untuk menghasilkan solidaritas dari sebuah “komunitas yang tengah berdoa” (community-at-prayer) dan sebagai sebuah simbol kesatuan para saudara-saudari Fransiskan dengan Gereja Roma (lihat BAF, hal. 10-7s/d 10-8).
Meskipun kita sudah akrab dengan perayaan Sakramen-sakramen melalui partisipasi yang teratur (teristimewa Ekaristi dan Rekonsiliasi/Tobat), seringkali pada awalnya banyak orang memandang perayaan Ibadat Harian sebagai sesuatu bentuk doa yang membingungkan dan membuat frustrasi, karena perayaan Ibadat Harian bukanlah sesuatu yang familiar di mata orang Katolik yang awam. Dengan demikian, perlulah Ibadat Harian ini diajarkan, misalnya bagaimana cara mendoakannya dan lain sebagainya, karena Ibadat Harian merupakan sarana penting untuk “menghidupkan kembali misteri-misteri kehidupan Kristus” (lihat AD OFS Fasal II Artikel 8).
APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN “IBADAT HARIAN”?
Saudara dapat bertanya: “Apa sih IBADAT HARIAN itu? Apakah perbedaan antara Ibadat Harian dengan doa-doa lainnya, misalnya doa-doa pribadi? Jawabnya: Doa Ibadat Harian adalah doa liturgis.” Yang dimaksudkan dengan doa liturgis adalah doa harian Gereja yang bersifat publik, artinya doa Kristus dan umat-Nya. Dalam liturgi, Kristus hadir secara aktif !!!
Dokumen pertama hasil Konsili Vatikan II, “Konstitusi Sacrosanctum Concilium [SC] tentang Liturgi Suci”, berkata seperti berikut ini berkenan dengan kehadiran Kristus dalam liturgi:
Kristus selalu mendampingi Gereja-Nya, terutama dalam kegiatan-kegiatan liturgis. Ia hadir dalam Kurban Misa, baik dalam pribadi pelayan, …… maupun terutama dalam (kedua rupa Ekaristi. …… Ia hadir dalam Sakramen-sakramen …… Ia hadir dalam sabda-Nya, ……Akhirnya Ia hadir, sementara Gereja memohon dan bermazmur, karena Ia sendiri berjanji: Bila dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situlah Aku berada di antara mereka (Mat 18:20).
……Kristus selalu menggabungkan Gereja, Mempelai-Nya yang amat terkasih, dengan diri-Nya, Gereja yang berseru kepada Tuhannya dan melalui Dia berbakti kepada Bapa yang kekal.
Maka …… Liturgi dipandang bagaikan pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus; di situ pengudusan manusia dilambangkan dengan tanda-tanda lahir serta dilaksanakan dengan cara yang khas bagi masing-masing; di situ pula dilaksanakan ibadat umum yang seutuhnya oleh Tubuh mistik Yesus Kristus, yakni Kepala beserta para anggota-Nya.
Oleh karena itu setiap perayaan liturgis, sebagai karya Kristus sang Imam serta Tubuh-Nya yakni Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkatan yang sama [SC 7].
Dokumen yang sama juga menggaris-bawahi partisipasi umat yang penuh, sadar dan aktif dalam berbagai perayaan liturgi, seturut hakekat liturgi itu sendiri dan karena merupakan hak-kewajiban umat berdasarkan baptisan yang telah diterima:
Bunda Gereja sangat menginginkan, supaya semua orang beriman dibimbing ke arah keikut-sertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan Liturgi. Keiikut-sertaan seperti itu dituntut oleh hakekat Liturgi itu sendiri, dan berdasarkan Baptis merupakan hak serta kewajiban Umat Kristiani sebagai “bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, Umat kepunyaan Allah sendiri (1Ptr 2:9; lihat 2:4-5) [SC 14].
Dengan berpegang teguh pada catatan tentang liturgi di atas tadi, maka kita sekarang melihat apa yang dimaksud dengan Ibadat Harian. Suster Janet Baxendale SC (JB, hal. 1-2), memberikan beberapa indikasi tentang apa yang dimaksud dengan doa Ibadat Harian ini:
1. Doa yang secara akrab berhubungan dengan Ekaristi dan yang dipahami oleh Gereja sebagai suatu persiapan untuk Ekaristi dan suatu kelanjutan dari tindakan Ekaristi sepanjang hari.
2. Doa tentang pengudusan waktu setiap hari, dan dikaitkan dengan Pesta dan Masa-masa Tahun Liturgi, dan juga ritme-ritme alami dari suatu hari, teristimewa perubahan dalam terang dan gelap.
3. Doa yang sangat berdasarkan Kitab Suci …… mazmur-mazmur dan kidung-kidung serta bacaan-bacaan dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang menjadi sebagian besar isinya.
4. Doa yang mempunyai sebuah sejarah panjang dalam Gereja, sejak abad-abad pertama; doa yang berasal-usul dalam pertemuan-pertemuan umat dengan uskup mereka dan kemudian menyebar kepada para rahib dalam biara –biara (monastik) dan kelompok-kelompok keagamaan lainnya.
5. Doa yang memiliki sebuah struktur formal mendasar, baik dalam suatu hari maupun dalam masing-masing waktu.
6. Doa yang didoakan secara komunal dalam pertemuan-pertemuan formal Gereja, dalam kelompok-kelompok umat beriman yang bersifat informal, bahkan dalam keluarga-keluarga, namun boleh juga didoakan secara pribadi bagi mereka yang tidak dapat berdoa secara bersama-sama. Apakah didoakan secara komunal atau secara individual, Ibadat Harian selalu merupakan doa liturgi Gereja: Doa Kristus sang Imam dan Tubuh Kristus, Gereja di seluruh dunia dan Persekutuan Orang Kudus di surga.
Dalam Ibadat Harian pelayanan imamat Kristus terlaksana karena Dia hadir dalam misteri paskah-Nya manakala Gereja berkumpul dalam sidang jemaat untuk memuliakan Bapa surgawi. Jadi Gereja melaksanakan fungsi imamat Kristus sang Kepala, dengan tanpa henti-hentinya (lihat 1Tes 5:17) mempersembahkan suatu kurban pujian – suatu kurban yang dipersembahkan lewat ucapan mulut manusia untuk kemuliaan nama Allah (lihat PIH 15; bdk Ibr 13:15).
Hakekat terdalam doa liturgis sebagai doxologia kelihatan jelas dalam Ibadat Harian karena di dalamnya Gereja menggabungkan diri dalam melambungkan kidung pujian yang dinyanyikan di surga sepanjang masa (lihat PIH 16; bdk SC 83). Hal ini berarti, bahwa Gereja sudah menikmati pujian surgawi, yang dengan tak henti-hentinya menggema di hadapan takhta Allah dan Anakdomba, seperti dilukiskan dalam Kitab Wahyu (PIH 16).
“Pedoman Ibadat Harian” berulang kali menyatakan, bahwa Ibadat Harian adalah cermin liturgi surgawi karena Ibadat Harian begitu sempurna sebagai sebuah doa pujian sebelum yang lain-lainnya, sebuah pujian dalam dimensi eskatologis-nya:
Liturgi surgawi ini telah dilihat oleh para nabi laksana siang tanpa malam, dan cahaya tanpa kegelapan: “Matahari tidak lagi akan menjadi terangmu di siang hari dan cahaya bulan tidak akan menerangi engkau, sebab Tuhanlah yang menjadi terang kekal bagimu” (Yes 60:19; lihat juga Why 21, 23, 25). “Hari itu hari yang ajaib – Tuhan mengetahuinya! – tanpa pergantian siang dan malam, sebab pada waktu senja menyingsinglah fajar” (Zak 14:7). Adapun akhir zaman itu telah tiba (lihat 1Kor 10:11) dan pembaharuan dunia telah ditetapkan dengan pasti dan telah mulai dialami dengan nyata di dunia ini (LG 48). Dengan demikian iman kita mengajarkan arti hidup di dunia ini, agar kita bersama segala makhluk mengharapkan pernyataan anak-anak Allah (lihat Rm 8:19). Dalam Ibadat Harian, kita memaklumkan kepercayaan ini, kita mengungkapkan dan memupuk harapan ini, kita boleh mengambil bagian dalam kegembiraan pujian kekal dan menikmati hari yang tak mengenal senja (PIH 16).
Dengan demikian waktu sepanjang hari dikuduskan/disucikan melalui pelayanan imamat Gereja, yang mempersembahkan puji-pujian tanpa henti-hentinya kepada Allah. Tidak ada siang atau malam hari, tidak ada awal maupun akhir: suatu pujian tanpa henti karena kita “tertangkap” dalam pujian kekal-abadi takhta surgawi.
Dalam Ibadat Harian kita sudah hidup dalam zaman eskatologis. Oleh karena itu Ibadat Harian disebut “Ofisi Ilahi”. Ofisi berasal dari kata Latin officium, yang berarti “jabatan” atau “pekerjaan”, yaitu suatu kegiatan komunitas yang bersifat publik dan ritual. “Ilahi” berarti seluruhnya terdiri dari pujian kepada Allah. Ofisi Ilahi atau Ibadat Harian adalah pemenuhan tugas hakiki Gereja: pujian kepada Allah tanpa henti oleh umat Allah yang imamat.
Untuk mendoakan IBADAT HARIAN, kita menggunakan buku yang berjudul “IBADAT HARIAN – OFISI BARU MENURUT RITUS ROMA” yang diterbitkan oleh PWI-Liturgi, meskipun dapat juga menggunakan PUJI SYUKUR (hal. 24 s/d 85). Khusus untuk para Fransiskan sekular terdapat “IBADAT HARIAN FRANSISKAN” yang diterbitkan oleh Pater Polykarp OFMCap. Sibolga, Sumut (280 halaman).
Antara lain karena faktor keterbatasan waktu, dalam tulisan ini kita akan soroti beberapa pokok penting saja dari IBADAT HARIAN. Jadi tulisan ini tidak memuat atau mencakup segalanya tentang Ibadat Harian.
HUBUNGAN “IBADAT HARIAN” DENGAN EKARISTI
Perayaan Ekaristi merupakan “pusat dan puncak seluruh kehidupan jemaat Kristiani” (PIH 12; bdk CD 30; PO 5). Dalam Ekaristi dipersembahkan pujian syukur, kenangan akan misteri keselamatan, doa permohonan dan pendahuluan kemuliaan surgawi. Ibadat harian meluaskan semuanya sehingga meliputi seluruh hari (PIH 12). Seperti dikatakan oleh Anthony M. Buono: “Ibadat Harian menaruh dalam tangan kita suatu instrumen yang dahsyat untuk melanjutkan penyembahan kepada Bapa dan Putera untuk sepanjang masa, yang dikenang dalam Ekaristi” (AMB, hal. 116).
Para imam sendiri meluas-ratakan puji-pujian serta ucapan syukur yang mereka lambungkan dalam perayaan Ekaristi dengan mendoakan Ibadat Harian pada jam-jam tertentu. Dengan ibadat itu mereka memanjatkan doa-doa kepada Allah atas nama Gereja, bagi segenap jemaat yang dipercayakan kepada mereka, bahkan bagi seluruh dunia (PO 5). Di sisi lain perayaan Ekaristi juga dipersiapkan secara baik sekali oleh Ibadat Harian, karena Ibadat Harian mampu membina sikap-sikap yang diperlukan untuk merayakan Ekaristi dengan manfaat, seperti misalnya sikap iman, harapan, cinta kasih, sikap takwa dan semangat berkorban (PIH 12).
Dalam merenungkan hubungan antara Ibadat Harian dan Ekaristi Kudus, seorang Trapistin dari Biara Gedono, Suster Martha E. Driscoll OCSO, mengatakan yang berikut ini:
Semua liturgi Gereja adalah partisipasi pada Paskah Yesus yang hadir dan terlaksana hari ini. Ekaristi adalah lebih dari suatu perjamuan. Liturgi berdasar kesengsaraan seorang manusia … Dia adalah Putera. Dia menghayati apa yang kita semua diundang menghayati bersama Dia. Dia mati bagi kita dan kita yang diwakili di dalam kematian-Nya di salib, berpartisipasi dalam Paskah-Nya melalui liturgi. Perayaan liturgi bukan hanya suatu ritus melainkan transformasi kehidupan kita sampai kita serupa dengan Allah. Persembahan saya dan persembahan Kristus terjadi pada saat yang sama.
Ekaristi – sumber dan puncak dari hidup Kristiani – terarah kepada hidup sehari-hari, kepada saya dalam hidup pribadi saya, agar tubuh kita – yaitu hidup kita di dunia ini – menjadi korban hidup dalam komunio dengan korban Kristus (Rm 12:1). Tuhan telah mendahului kita, telah membuat bagian kita, telah membuka jalan yang kita tidak mampu membukanya. Dia telah menjadi jembatan. Sekarang kita harus membiarkan diri diserap dalam Dia yang hidup bagi yang lain, membiarkan diri dirangkul oleh tangan-Nya yang terentang, yang membawa kita kepada yang lain. Dia Yang Kudus, menguduskan kita dengan kekudusan yang kita sendiri tidak bisa memberikan kepada diri kita. Kita dimasukkan dalam proses kosmik dan historik di mana seluruh alam semesta dibawa kepada Allah sampai Dia menjadi semua dalam semua.
Hidup moral kita adalah: hidup searah dengan proses itu – membangun komunio. Ibadat Harian adalah sekolah menghayati Ekaristi – menyiapkan dan mewujudkan perayaan Ekaristi sepanjang hari. Tujuan kita dalam doa dan dalam semua tugas sama: belajar mempersembahkan diri kepada Allah dalam Kristus. Itulah ibadat dalam Roh dan kebenaran. Kristus berdoa melalui kita: kita berpartisipasi dalam imamat-Nya yang mempersembahkan seluruh umat manusia bersama Kristus pada Bapa dan memohon belaskasihan-Nya bagi seluruh dunia. … Harapan Gereja Vatikan II adalah bahwa Ibadat Harian dapat sungguh-sungguh menyuburkan hidup rohani umat Allah (MED, hal. 8-10).
Renungan Suster Martha di atas dapat juga menjadi bahan permenungan kita sekalian. Kalau Ibadat Harian yang begitu erat hubungannya dengan Ekaristi dianjurkan oleh Gereja untuk didoakan oleh umat Kristiani (Katolik) pada umumnya, maka betapa lebih mendesak lagi kiranya anjuran itu bagi para Fransiskan, di mana Ekaristi Kudus merupakan salah satu dari lima pilar spiritualitas mereka.
PENGUDUSAN SELURUH HARI
Lewat “perumpamaan tentang hakim yang tidak adil” Yesus sebenarnya mengharuskan para murid-Nya untuk selalu berdoa tanpa jemu-jemu (Luk 18:1). Gereja menanggapi perintah Yesus itu dengan setia (lihat Ibr 13:15). Sejak abad-abad pertama sejarah kekristenan, umat melakukan apa yang diminta Yesus tadi, teristimewa pada waktu berkumpul untuk Perayaan Ekaristi, dan untuk berdoa bersama di pagi dan sore hari. Begitulah caranya umat Kristiani perdana menyucikan/menguduskan hari. Di kalangan para rahib penyucian hari dilaksanakan dengan lebih jelas lagi, yaitu melalui irama tujuh ibadat dengan Perayaan Ekaristi di tengah-tengahnya.[7] Gereja tiada putus-putusnya memuji Tuhan dan memohonkan keselamatan seluruh dunia bukan hanya dengan merayakan Ekaristi, melainkan dengan cara-cara lain juga, terutama dengan mendoakan Ibadat Harian (SC 83).
Tujuan Ibadat Harian adalah pengudusan seluruh hari (lihat SC 88). Berdasarkan Tradisi Kristiani yang kuno, Ibadat Harian disusun sedemikian rupa, sehingga seluruh kurun hari dan malam disucikan dengan pujian kepada Allah (lihat SC 84). Mengenai pengudusan hari, “Pedoman Ibadat Harian” (PIH) mengatakan hal yang berikut ini:
Penyucian hari dan seluruh kegiatan manusia termasuk tujuan ibadat harian, maka susunannya harus diperbaharui sedemikian rupa, hingga masing-masing ibadat sedapat mungkin dirayakan pada waktu yang sesuai, dengan memperhatikan cara hidup dewasa ini (lihat SC 88). Maka dari itu, untuk menyucikan seluruh hari dan menimba manfaat dari masing-masing ibadat, hendaknya waktu yang tepat diindahkan (lihat SC 94) [PIH 11).
Pembaharuan oleh Konsili Vatikan II bertujuan untuk mengembalikan fungsi Ibadat Harian sebagai penyucian waktu, pengudusan hari. Dengan demikian Ibadat Harian (pasca Konsili Vatikan II) berurusan dengan restorasi dari waktu kanonik yang benar, sehingga masing-masing waktu dapat dirayakan dengan manfaat rohani. Tradisi dalam Gereja yang kuat untuk berdoa pada waktu-waktu (jam-jam) tertentu setiap hari, khususnya pada waktu pagi dan sore memang harus dipelihara. Waktu dikuduskan lewat perayaan Ibadat Harian, karena hal tersebut merupakan pelaksanaan puji-pujian kemuliaan Kristus sendiri sebagai imam (lihat John Gurrieri Pr. dalam NB, hal. 77).
Ibadat Harian “menemani” hari kita dengan suatu ritme doa di mana dipilih ciri-ciri (karakteristik) momen-momen hidup sehari-hari kita. Ibadat Harian memberikan kepada Yang Ilahi suatu kesempatan untuk masuk ke dalam jaringan hidup keseharian kita (lihat AMB, hal. 117). Fokus atau pusat perhatian Ibadat Harian (Ofisi Ilahi) ini adalah terang hari dan membuatnya menjadi “tanda kelihatan” dari dua aspek “kenangan” akan Kristus. Pertama-tama Kristus adalah terang dari pengetahuan ilahi yang ditanamkan ke dalam diri kita masing-masing: Yesus Kristus “yang memimpin kita dalam iman dan membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan, dengan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah” (Ibr 12:2). Dia juga adalah sang Terang yang oleh-Nya kemuliaan Allah dikomunikasikan kepada kita melalui kebangkitan-Nya (lihat AMB, hal. 117).[8] Dengan demikian waktu/jam yang ditandai oleh doa dibawa ke luar dari aliran-hampa waktu kosmik ke dalam lingkungan atau ruang-lingkup ilahi, dan mereka yang mengalami waktu/jam sedemikian memperoleh akar-akarnya dalam keabadian. Pada saat yang sama, waktu/jam termaksud menerapkan signifikansinya yang spesifik dan daya-tarik /pesona alamiahnya ke dalam doa.
Pagi hari (pada saat matahari terbit), menciptakan dunia yang baru setelah malam panjang yang diliputi kegelapan dan ketiadaan-kegiatan. Kita juga dipenuhi dengan energi spiritual yang baru. Dalam Ibadat Pagi kita berdoa agar terang dapat menyinari hati kita, agar dengan demikian kita mengalami suatu kebangkitan dan suatu keyakinan yang diperbaharui.
Siang hari mempunyai konotasi panas dan terang, yang mau tak mau akan mengingatkan kita kepada Allah, sang Terang. Kita melihat terang ini sebagai lambang Roh Kudus, kebenaran dan rahmat, yang melimpahi jagat-raya dengan suatu pancaran sinar spiritual.
Senja hari membawa kegelapan dan istirahat dari kerja seharian. Hal ini mengingatkan kita, bahwa Allah tidak mengenal istirahat dari kerja-Nya. Yesus bersabda: “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga” (Yoh 5:17). Bahkan dalam kegelapan malam pun, Dia menjaga kita. Ingat apa yang didaraskan oleh sang pemazmur: “Sebab Engkau yang menolong aku, di bawah naungan sayap-Mu aku bersorak” (Mzm 63:8).[9]
Setelah senja, malam hari pun tiba, namun bagi kita suasana terang-benderang masih terpelihara seperti siang hari karena Kristus sang Terang dunia selalu beserta kita. Perpindahan dari terang menjadi kegelapan malam mengingatkan kita akan tidak adanya sesuatu yang tetap/konstan dalam hal apa saja yang menyangkut kehidupan manusia. Namun hal sedemikian menolong kita untuk lebih berpegang teguh pada penyelenggaraan ilahi.
Dengan menggunakan Ibadat Harian, kita dapat menghargai “bekas-bekas” atau “jejak-jejak” yang ditinggalkan oleh Allah dalam alam ciptaan. Sesungguhnya kita dapat memampukan alam ciptaan untuk melambungkan puji-pujian kepada Allah bersama kita dan para malaikat. Untuk meneguhkan kenyataan ini, baiklah saya kutip prefasi dalam Doa Syukur Agung IV:
“…… Engkaulah satu-satunya Allah yang hidup dan benar. Sebelum awal zaman Engkau sudah ada dan akan tetap ada selama-lamanya; Engkau bersemayam dalam cahaya yang tak terhampiri. Hanya Engkaulah yang baik, sumber kehidupan, Pencipta segala sesuatu. Engkau melimpahkan berkat-Mu dan membahagiakan segala makhluk dengan terang cahaya-Mu. Di hadirat-mu para malaikat yang tak terbilang jumlahnya siang-malam berbakti kepada-Mu, dan sambil memandang wajah-Mu yang mulia tak henti-hentinya memuliakan Dikau. Bersama mereka, dan atas nama segala ciptaan di bawah langit, kami pun melambungkan pujian bagi nama-Mu ……”[10]
Ibadat Harian juga memberikan kepada kita suatu cara untuk menghidupkan kembali semua tahapan misteri Kristus (lihat AD OFS Fasal II Artikel 8). Waktu-waktu (jam-jam) doa ditetapkan sesuai dengan berjalannya matahari pada suatu hari tertentu, dan kita tahu matahari adalah sebuah lambang Kristus (AMB, hal. 118). Saat terbitnya matahari di pagi hari merupakan gambaran mencolok dari Kristus, sang Penyelamat, yang bangkit dari maut – dan ini memang adalah sebuah kenyataan Injili (Mat 28: 1 dsj.; Mrk 16:1 dsj.; Luk 24:1 dsj.; Yoh 20:1 dsj.).
Di masa lampau, untuk waktu siang sesungguhnya terdapat tiga ibadat, yaitu Tertia (jam 9 pagi), Sexta (jam 12 siang/tengah hari), dan Nona (jam 15). Jam 9 pagi adalah waktu Yesus dipaku pada kayu salib (lihat Mrk 15:25); jam 12 siang adalah saat kegelapan mulai meliputi seluruh daerah penyaliban Yesus dan berlangsung sampai jam 15 (lihat Mat 27:45; Mrk 15:33; Luk 23:44); jam 15 adalah saat Yesus wafat di kayu salib (Mat 27:46; Mrk 15:34).[11] Jam 9 pagi juga dipercaya sebagai saat “Roh Kudus turun atas para rasul” (lihat Doa Penutup I Ibadat Siang, hari Selasa masa Biasa). Tengah hari juga dipercaya sebagai saat Yesus Kristus diangkat ke surga (lihat AMB, hal. 118).
Dengan demikian, setiap momen dalam kehidupan kita menjadi “saat keselamatan” bagi kita lewat Ibadat Harian, seandainya saja kita mau “memanfaatkannya”dengan cara menggunakannya/mendoakannya secara teratur.
MAZMUR – MAZMUR
Dalam butir ketiga dari pokok-pokok yang dikemukakan oleh Sr. Janet Baxendale SC di atas, dikatakan bahwa Ibadat Harian adalah doa yang sangat berdasarkan Kitab Suci. Bacaan-bacaan dari Kitab Suci, seperti Mazmur dan Kidung, Bacaan Singkat merupakan bagian terbesar dari Ibadat Harian, terutama mazmur-mazmur. Oleh karena itu Nancy Benvenga memberi dalil sebagai berikut: Kalau kita mau merasa feel at home dengan doa Ibadat Harian, maka (pertama-tama) kita harus feel at home dengan mazmur-mazmur (Nancy Benvenga dalam NB, hal. 17).
Dalam bahasa Ibrani kumpulan mazmur disebut tehillim (=kitab puji-pujian). Menurut Mgr. Suharyo, sebetulnya judul semacam itu hanya cocok untuk kira-kira sepertiga dari seluruh mazmur. Maka cukup berarti kalau keseluruhan kitab itu disebut kitab puji-pujian. Kalau seorang Yahudi menyampaikan permohonan, keluhan, ratapan, ia juga memuji Tuhan (mis Mzm 22:2.26; 106:47-48). Dalam bahasa Yunani, kitab ini disebut Psalterion, yang secara harafiah berarti alat musik bertali yang dipakai untuk mengiringi nyanyian. Sementara itu yang paling kerap dipakai sebagai judul ialah Mizmor. Dari sinilah berasal kata Arab-Indonesia Mazmur, yang dapat diartikan sebagai nyanyian dengan iringan musik dawai (IS, hal. 17-18).
Mazmur-mazmur adalah doa-doa Umat Perjanjian, dengan demikian adalah doa-doa Gereja. Mazmur-mazmur bersifat universal, karena dalam mazmur-mazmur seseorang dapat merasakan situasi eksistensial dan penyelamatan dari sebuah umat yang tertindas, sebuah umat yang berseru kepada Allah, sebuah umat yang diselamatkan, sebuah umat yang menyembah Allah, sebuah umat di tengah sebuah prosesi yang penuh sukacita. Meskipun banyak mazmur ditulis dengan menggunakan kata “aku”, pengalamannya lebih daripada sekedar pengalaman seorang pribadi. Dalam mazmur-mazmur kita tidak berdoa untuk orang-orang lain, juga bukan atas nama orang lain, tetapi sebagai umat, yaitu Umat Perjanjian Allah, …… Gereja Allah-lah yang berdoa. Bahkan seorang pribadi yang berdoa, dengan mazmur, misalnya dalam sebuah retret pribadi, sesungguhnya berada dalam persekutuan (communio) dengan Umat Mazmur-mazmur.
Dalam artian ini, mudahlah bagi kita untuk melihat signifikansi Kristologis dari mazmur-mazmur: Kristus-Mesias adalah harapan dari Perjanjian dan pemenuhan Perjanjian tersebut. Kristus jugalah yang berdoa dengan mazmur (mendoakan mazmur); dan bagi kita para murid-Nya (bukan pandangan agama Yahudi)…… mazmur-mazmur adalah juga tentang Yesus Kristus.
Biar bagaimanapun juga, kalau kita mengatakan bahwa mazmur-mazmur adalah doa Kristiani bukanlah berarti kita secara otomatis mengalaminya sedemikian. Misalnya pada waktu mendoakan mazmur mungkin saja perasaan hati kita sangat berbeda dengan perasaan yang diungkapkan dalam mazmur, antara lain misalnya pada saat-saat kesusahan dan kesedihan, kita menjumpai mazmur yang bernada gembira. Atau sebaliknya, pada waktu penuh kegembiraan, kita menjumpai mazmur ratapan. Namun semua ini dapat diatasi seandainya kita berpegang teguh pada catatan di atas, yaitu kalau kita mendoakan mazmur-mazmur atas nama Gereja, umat Allah.
Apabila kita mendoakan mazmur atas nama Gereja, kita selalu dapat menemukan alasan untuk bergembira atau berdukacita, sebab kata-kata rasul Paulus juga berlaku bagi keadaan ini: “Bersukacitalah dengan yang bersukacita, dan menangislah dengan yang menangis!” (Rm 12:15). Dengan demikian kerapuhan manusia yang terluka karena cinta-diri, disembuhkan karena cinta-kasih, asal dalam menyanyikan mazmur itu hati kita selaras dengan suara kita[12] (PIH 108). Apabila kita mendoakan mazmur atas nama Gereja, kita harus memahami mazmur itu dalam artinya yang sepenuh-penuhnya, terutama dalam hubungannya dengan Kristus/Mesias/Almasih. Hubungan itulah yang menyebabkan Gereja menggunakan mazmur. Hubungan dengan Kristus itu dalam Perjanjian Baru tampak dengan jelas. Kristus yang bangkit bersabda kepada para murid: “Inilah perkataan-Ku, yang telah Kukatakan kepadamu ketika Aku masih bersama-sama dengan kamu, yakni bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kita Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur” (Luk 24:44).
Sebuah contoh terkenal tentang hal itu terdapat dalam Injil Matius mengenai Kristus, Putera dan Tuhan Daud (lihat Mat 22:44). Di situ Mzm 110 ditafsirkan tentang Kristus. Sejalan dengan itu, para Bapa Gereja menganggap dan menafsirkan seluruh kitab mazmur sebagai nubuat tentang Kristus dan Gereja. Dengan pertimbangan yang sama, mazmur-mazmur dipilih dalam liturgi. Pada umumnya, baik para Bapa Gereja maupun liturgi mendengar dalam mazmur seruan Kristus kepada Bapa atau sabda Bapa kepada Kristus, dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan cara yang sama seringkali baik para Bapa Gereja maupun liturgi mengenal dalam mazmur suara Gereja, para rasul atau para martir.[13]
Metode penafsiran seperti ini juga berkembang dalam abad pertengahan; sebab dalam banyak naskah masa itu makna Kristologis masing-masing mazmur bagi mereka yang berdoa disajikan dengan judul tertentu. Suatu makna Kristologis tidak hanya dibatasi pada mazmur-mazmur mesianis (yang jelas menunjuk kepada Kristus), melainkan juga diterapkan pada banyak mazmur lain, yang tidak langsung berhubungan dengan Kristus, meskipun dalam tradisi Gereja dihubungkan. Teristimewa pada hari-hari raya/pesta-pesta Gerejawi, pilihan mazmur-mazmur seringkali didasarkan pada makna Kristologis mazmur-mazmur tersebut; dan antifon-antifon yang diambil dari mazmur-mazmur itu seringkali digunakan untuk memberi penerangan atas makna mazmur-mazmur bersangkutan.[14]
“Pedoman Ibadat Harian” mendorong (seperti juga halnya dengan “Konstitusi SACROSANCTUM CONCILIUM tentang Liturgi Suci”) tidak hanya pendidikan tentang Kitab Suci dan mazmur-mazmur, namun juga inisiasi ke dalam signifikansi mistagogis yang lebih mendalam (lihat PIH 102; bdk SC 90).
Suatu penghargaan atas makna literer (arti hurufiah) mazmur-mazmur penting karena di sanalah kita menemukan emosi-emosi sang pemazmur yang paling menyentuh hati dan paling menyerupai pengalaman kita sendiri. Kita harus selalu mengingat, bahwa setiap mazmur disusun dalam konteks historis, tetapi secara universal berdasarkan pengalaman pribadi sang pemazmur. Arti literer diperlukan tidak hanya untuk pemahaman kita yang benar atas mazmur-mazmur, tetapi juga untuk cara yang benar menyanyikan dan merayakan mazmur-mazmur tersebut.
Dalam Gereja Latin (Katolik Roma) ada tiga unsur penting yang dapat membantu kita memahami mazmur-mazmur serta membuatnya menjadi doa Kristiani yang sejati, yakni judul, doa sesudah mazmur dan teristimewa antifon-antifon (lihat PIH 110):
1. Judul mazmur sehubungan dengan maksud mazmur dan artinya bagi kehidupan orang beriman ditempatkan pada awal setiap mazmur. Judul ini dicantumkan dalam Ibadat Harian untuk mempermudah doa mazmur. Kecuali itu ditambahkan juga kalimat dari Perjanjian Baru atau petikan dari tulisan para Bapa Gereja. Kalimat termaksud menghubungkan mazmur dengan Kristus. Dengan demikian kita dapat mendoakan mazmur dalam terang wahyu Perjanjian Baru (lihat PIH 111).
2. Doa sesudah mazmur menolong kita untuk menyelami mazmur dalam arti Kristiani. Doa sesudah mazmur itu disediakan untuk tiap mazmur dalam jilid tambahan tersendiri. Jilid tambahan ini belum tersedia dalam bahasa Indonesia. Namun saya menganjurkan anda untuk menggunakan doa-doa yang terdapat dalam buku yang berjudul “Mazmur dan Kidung” untuk keperluan doa dan ibadat terjemahan PWI-Liturgi, Ende-Flores: Percetakan Arnoldus Ende (1978-Cetakan II). Caranya: sesudah mazmur selesai didaraskan, sediakanlah waktu untuk hening sejenak. Kemudian doa sesudah mazmur dibawakan untuk menutup dan menyimpulkan isi hati para hadirin (lihat PIH 112).
3. Antifon. Dimaksudkan untuk minta perhatian kepada ayat tertentu dari mazmur atau kepada suatu misteri yang sedang dirayakan. Antifon diucapkan/dinyanyikan sebelum dan sesudah mazmur/kidung yang bersangkutan. Dalam perayaan bersama, antifon dapat dipakai sebagai refren. Dalam pendarasan mazmur lingkaran empat pekan, antifon dapat diganti dengan membaca judul atau kutipan yang dicantumkan di atas mazmur/kidung yang bersangkutan, terutama dalam pendarasan perorangan.
Walaupun Ibadat Harian diselenggarakan tanpa nyanyian, antifon yang disediakan untuk mazmur tertentu harus diucapkan. Antifon menjelaskan jenis sastra mazmur dan mengarahkan doa pribadi. Antifon menyoroti kalimat yang pantas diperhatikan. Dalam berbagai kesempatan, antifon memberikan warna khusus kepada mazmur tertentu sesuai dengan pesta yang berbeda-beda (lihat PIH 113). Uraian tentang antifon secara lengkap dapat dilihat dalam PIH 113 s/d 120).
KIDUNG-KIDUNG PERJANJIAN LAMA MAUPUN PERJANJIAN BARU
Dalam Ibadat Pagi, antara mazmur pertama dan mazmur kedua disisipkan sebuah kidung Perjanjian Lama, sesuai dengan adat kebiasaan. Khusus pada hari Minggu, kedua bagian kidung Daniel digunakan silih berganti (lihat PIH 136). Kidung-kidung Daniel termaksud diambil dari Dan 3:57-88.56 (Septuaginta dan Vulgata) atau TamDan 3:57-88.56 (Deuterokanonika dalam Alkitab terbitan LAI) dan Dan 3:52-57 (Septuaginta dan Vulgata) atau TamDan 3:52-57 (Deuterokanonika dalam Alkitab terbitan LAI).
Dalam Ibadat Sore, sesudah dua mazmur ditambahkan kidung Perjanjian Baru, yang diambil dari surat-surat (epistola) atau dari Kitab Wahyu. Untuk masing-masing hari dalam pekan disediakan kidung tersendiri. Tetapi dalam Ibadat Sore II pada hari-hari Minggu dalam masa Prapaskah, sebagai ganti Alleluya dari kitab Wahyu (Why 19:1-7), didaraskan kidung dari surat pertama Santo Petrus (1Ptr 2:21-24). Pada hari Penampakan Tuhan dan pada pesta Pembaptisan Tuhan, disediakan kidung dari surat pertama kepada Timotius (1Tim 3:16), baik untuk Ibadat Sore I maupun Ibadat Sore II (lihat PIH 137).
Kidung-kidung dari Injil Lukas yang didaraskan/dinyanyikan setiap hari sepanjang tahun adalah Kidung Zakharia atau Benedictus (Luk 1:68-79) untuk Ibadat Pagi, Kidung Maria atau Magnificat (Luk 1:46-55) untuk Ibadat Sore, dan Kidung Simeon atau Nunc Dimittis (Luk 2:29-32) untuk Ibadat Penutup (lihat PIH 138).
DOA DENGAN STRUKTUR FORMAL
“Tujuh kali sehari aku memuji Engkau karena keputusan-Mu yang tepat.”
Mzm 119:164 – Mazmur Pertama dalam Ibadat Siang, hari Jumat IV
Ibadat Harian memiliki suatu struktur formal, baik struktur untuk sepanjang hari maupun struktur untuk masing-masing waktu doa. Sebagai doa harian Gereja, Ibadat Harian didoakan pada waktu-waktu penting sepanjang hari, termasuk “Pembukaan Ibadat Harian”.
Ibadat-ibadat (Latin:Horae) dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Ada dua IBADAT UTAMA (SC 89a; lihat juga SC100; PIH 37), yaitu
§ Ibadat Pagi (Latin: Laudes; Inggris: Morning Prayer): sebelum waktu kerja.
§ Ibadat Sore (Latin: Vesperae; Inggris: Evening Prayer): pada waktu senja.
2. Ada dua IBADAT SEDERHANA, yaitu
§ Ibadat Siang (Latin: Hora media; Inggris: Prayer during the Day): sebelum tengah hari, tengah hari atau sesudah tengah hari.
§ Ibadat Penutup (Latin: Completorium; Inggris: Night Prayer): sebelum pergi tidur, meskipun sudah lewat tengah malam.
3. Ibadat Bacaan (Latin: Officium Lectionis; Inggris: The Office of Readings): tidak ditentukan waktunya; dapat didoakan siang hari, atau sebelum Ibadat Pagi, pagi atau waktu malam.
Pembukaan Ibadat Harian (Invitatorium)
§ Ini adalah ibadat pertama setiap hari, entah kita mulai Ibadat Harian kita dengan Ibadat Pagi ataupun dengan Ibadat Bacaan (lihat PIH 35).
§ Dibuka sebagai berikut:
P: Ya Tuhan, sudilah membuka hatiku.
U: Supaya mulutku mewartakan pujian-Mu.
§ Kemudian disusul dengan antifon pembukaan yang berlaku untuk hari bersangkutan[15] dan mazmur 95.[16] Jika doa Ibadat Harian dilakukan dalam komunitas, maka antifon diulangi sesudah masing-masing bait mazmur. Tetapi dalam pendarasan pribadi cukuplah antifon diucapkan pada awal mazmur saja.
§ Mzm 95 ini boleh diganti dengan Mzm 100, Mzm 67 atau Mzm 24. Akan tetapi kalau mazmur yang dipilih itu kemudian termasuk dalam salah satu pada hari itu, hendaknya digunakan Mzm 95 saja[17] (lihat PIH 34).
IBADAT PAGI DAN IBADAT SORE
STRUKTUR IBADAT PAGI:
- Pembukaan
- P: Ya Allah, bersegeralah menolong aku. U: Tuhan, perhatikanlah hamba-Mu. Disusul dengan doxology: Kemuliaan kepada Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Seperti pada permulaan, sekarang, selalu dan sepanjang segala abad. Amin. Alleluya. Dalam masa Prapaskah, alleluya tidak diucapkan. Pembukaan ini tidak perlu diucapkan lagi kalau Doa Pagi ini menjadi ibadat pertama untuk hari bersangkutan, karena sudah diucapkan pembukaan Ibadat Harian di atas: “Ya Tuhan, sudilah membuka hatiku ……..”
- Madah memberi warna kepada ibadat dan pesta, lebih-lebih dalam perayaan bersama, sebagai introduksi sederhana dan menyenangkan terhadap doa (lihat PIH 42).
- Untuk masa biasa: terdapat dalam lingkaran satu pekan (halaman 346 s/d 381 dalam buku IBADAT HARIAN).
- Untuk masa-masa istimewa: dalam rumus umum masa yang bersangkutan, misalnya pada masa Adven (hal. 11 s/d 12), masa Natal (hal. 48 s/d 49), masa Prapaskah (hal. 116 s/d 117) dan masa Paskah (hal. 200 s/d 221).
- Terdapat dalam lingkaran empat pekan (Psalterium).
- Untuk hari raya dan pesta diambil mazmur dan kidung hari Minggu Pekan I. Lihat hal. 390 dsj. dalam buku IBADAT HARIAN atau pada lembaran lepas khusus yang dilampirkan pada buku itu.
- Dalam ibadat arwah dan trihari suci, ada mazmur dan kidung khusus.
- Diucapkan/dinyanyikan sebelum dan sesudah tiap mazmur/kidung.
- Untuk hari biasa dan peringatan, terdapat dalam lingkaran empat pekan; ada khusus untuk masa Paskah.
- Untuk hari raya dan pesta, terdapat dalam rumus khusus atau rumus umum yang bersangkutan.
- Bacaan Singkat disediakan sesuai dengan sifat hari, masa atau pesta. Bacaan ini harus dibawakan dan didengarkan sebagai pewartaan benar dari sabda Allah, yang menekankan pemikiran suci atau menyoroti bacaan-bacaan singkat yang mungkin kurang mendapatkan perhatian dalam bacaan bersambung Kitab Suci (PIH 45).
- Untuk hari biasa dalam masa biasa: terdapat dalam lingkaran empat pekan.
- Untuk hari biasa dalam masa istimewa: dalam rumus umum masa yang bersangkutan.
- Untuk hari raya, pesta dan peringatan: dalam rumus khusus atau rumus umum yang bersangkutan.
- Untuk hari biasa dalam masa biasa: terdapat dalam lingkaran empat pekan.
- Untuk hari biasa dalam masa istimewa: dalam rumus khusus masa yang bersangkutan.
- Untuk hari raya, pesta dan peringatan: dalam rumus khusus atau rumus umum yang bersangkutan.
- Terdapat dalam lingkaran harian atau pada lembaran lepas khusus yang dilampirkan pada buku IBADAT HARIAN.
- Terdapat di tempat yang sama dengan bacaan singkat dan lagu singkat.
- Terdapat dalam lingkaran harian.
- Terdapat di tempat yang sama dengan antifon kidung Zakharia.
- Dalam perayaan meriah, kalau ada Imam atau diakon, umat dibubarkan sebagai berikut à P: Semoga Tuhan beserta kita. (Atau: Tuhan sertamu). U: Sekarang dan selama-lamnya. (Atau: Dan sertamu juga). P: Semoga saudara sekalian diberkati oleh Allah yang mahakuasa, Bapa dan Putera dan Roh Kudus. U: Amin. Akhirnya, kalau ada umat hadir, diteruskan à P: Saudara sekalian, dengan ini ibadat pagi sudah selesai. U: Syukur kepada Allah.
- Dalam perayaan sederhana dan pendarasan pribadi, ibadat pagi ditutup sebagai berikut à P: Semoga Tuhan memberkati kita, melindungi kita terhadap dosa dan menghantar kita ke hidup kekal. U: Amin.
- Struktur Ibadat Sore praktis sama dengan struktur Ibadat Pagi.
- Kalau dalam Ibadat Pagi terdapat “Kidung Zakharia”, maka dalam Ibadat Sore kita mendaraskan/menyanyikan “Kidung Maria”.
- Untuk hari Minggu dan hari raya ada dua ibadat sore, yaitu Ibadat Sore I, pada sore hari sebelumnya, dan Ibadat Sore II.
Menurut tradisi seluruh Gereja, Ibadat Pagi dan Ibadat Sore merupakan dua sendi Ibadat Harian, yang harus dipandang dan dirayakan sebagai dua ibadat yang utama (PIH 37; bdk SC 89a). Sejak awal sejarah Gereja, kedua ibadat ini merupakan inti dan bagian terpenting dari seluruh Ibadat Harian karena merangkum seluruh hari. “Dari timur sampai ke barat terpujilah nama Tuhan” (Mzm 113:3).[18]
Ibadat Pagi dimaksudkan dan diatur untuk menyucikan pagi hari, seperti ternyata dari kebanyakan unsur-unsurnya. Santo Basilius Agung (c.329-379) mengatakan:
“Maksud Ibadat Pagi ialah supaya gerakan pertama hati dan budi kita disucikan bagi Allah; janganlah kita menerima tugas sesuatu pun sebelum kita disegarkan oleh pemikiran akan Allah, seperti tertulis: ‘Apabila aku ingat akan Allah, aku disegarkan (Mzm 77:4); jangan sampai badan kita digerakkan untuk bekerja, sebelum kita melakukan yang dikatakan dalam mazmur: ‘Kepada-Mu aku berdoa, ya Tuhan, waktu pagi Engkau mendengar seruanku, sejak pagi aku mengharapkan belaskasih-Mu’ (Mzm 5:4-7)”.[19]
Kata Latin Ibadat Pagi adalah Laudes, karena pada dasarnya Ibadat Pagi adalah sebuah doa pujian (a prayer of praise). Ingatlah bahwa pada waktu pembukaan ibadat setiap hari, sambil membuat tanda salib kecil pada bibir, kita telah mengatakan: “Ya Tuhan, sudilah membuka hatiku; supaya mulutku mewartakan pujian-Mu”. Ini sebenarnya diambil dari Mzm 51:17 yang berbunyi: “Ya Tuhan, sudilah membuka bibirku, supaya mulutku mewartakan pujian-Mu”.[20] Makna doa pujian dapat kita pelajari dari Mzm 150, yang selalu didaraskan pada Ibadat Pagi Hari Minggu II. Setiap kalimat dalam mazmur itu dimulai dengan kata-kata “Pujilah Tuhan!”
Yang tergolong dalam “nyanyian pujian” adalah Mzm 8, 19A, 29, 33, 65, 66:1-7, 89:5-18, 100, 103, 104, 105, 107, 111, 113, 117, 134, 135, 136, 139, 145, 146, 147, 148, 149, dan 150. Mazmur-mazmur pujian yang pendek lazimnya dipakai sebagai mazmur ketiga dalam Ibadat Pagi (huruf miring). Yang agak panjang lazimnya mengisi Ibadat Bacaan (yang digaris-bawahi). Beberapa mazmur pujian digunakan dalam Ibadat Sore (111, 113 dan 139) atau Ibadat Penutup (134). Mazmur-mazmur yang tergolong “Mazmur Tuhan Raja” mencakup Mzm 47, 93, dan 96-99 (lihat MH, hal. 94). Semua mazmur ini mendapat tempat dalam Ibadat Pagi sebagai mazmur ketiga (setelah Kidung Perjanjian Lama) yang selalu bernada pujian. Hanya Mzm 93 yang berperan sebagai mazmur pertama, yaitu pada hari Minggu III.
Sekarang perhatikanlah dua mazmur dan satu kidung Perjanjian Lama dalam Ibadat Pagi yang terdapat pada hari Minggu I. Dalam mazmur pertama ada ayat yang berbunyi: “Aku akan memuji Engkau seumur hidupku, menadahkan tangan kepada-Mu. Hatiku Kaukenyangkan dengan santapan lezat, mulutku memuji Engkau sambil bersyukur. Di tempat tidur aku memuji Engkau, aku merenungkan Dikau sepanjang malam” (Mzm 63:5-7). Mazmur pertama ini disusul oleh “Kidung Daniel” yang setiap ayatnya dimulai dengan kata “Pujilah Tuhan”, termasuk doxology-nya yang berbunyi “Marilah kita memuji Bapa, Putera dan Roh Kudus, memuji dan meluhurkan Dia selama-lamanya” (TamDan 3:57-88.56). Pada awal mazmur ketiga kita mendaras: “Nyanyikanlah bagi Tuhan lagu baru, pujilah Dia dalam himpunan umat-Nya” (Mzm 149:1).[21] Selanjutnya dalam mazmur yang sama kita baca: “Hendak mereka memuji Nama-Nya dengan tari-tarian, bermazmur bagi-Nya dengan rebana dan kecapi. …… Hendaknya mereka memuji Tuhan dengan suara lantang …” (Mzm 149:3.6).
Dalam arti tertentu semua mazmur merupakan lagu pujian, namun 23 (dua puluh tiga) mazmur yang masing-masing berbeda, yang dipilih sebagai mazmur akhir (setelah Kidung Perjanjian Lama) dalam Ibadat Pagi, merupakan mazmur dengan penekanan istimewa pada pujian kepada Tuhan Allah. Sebagai latihan pendalaman, saudara-saudari dapat membuka buku Ibadat Harian saudara dan mulai mempelajari mazmur-mazmur termaksud, satu-satu dan tahap demi tahap (Latin/Jawa?: ora grusa grusu!).
Apa yang dimaksudkan dengan doa pujian atau puji-pujian kepada Tuhan Allah? Marilah kita merenungkan sebuah perikop dalam Injil Lukas (17:11-19). Satu orang kusta yang disembuhkan – dia seorang Samaria – kembali sambil memuliakan (=memuji-muji) Allah dengan suara nyaring, lalu sujud di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Yesus sendiri menafsirkan doa pujian orang ini sebagai suatu bentuk pengungkapan syukur: “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah sembuh? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain orang asing ini?” Pada awal Prefasi, misalnya, ketika Imam selebran berkata: “Marilah bersyukur kepada Tuhan Allah kita,” maka umat yang hadir menanggapi: “Sudah layak dan sepantasnya.” Sesungguhnya memang layak dan pantaslah untuk bersyukur dan memuji Allah.” Itulah sebabnya, mengapa Gereja menaruh di depan kita semua tema puji-pujian sebagai doa kita yang pertama dalam satu hari tertentu.
Ibadat Pagi ini didoakan pada waktu fajar menyingsing dan mengingatkan kita juga akan kebangkitan Tuhan Yesus dari alam maut., cahaya benar yang menerangi semua orang (lihat Yoh 1:9)[22], dan “matahari keadilan” (Mal 4:2)[23], yang “terbit laksana fajar cemerlang (Luk 1:78)[24] (Lihat uraian dalam PIH 38). Ibadat pagi juga mengingatkan kita akan karya penyelamatan Allah: Bani Israel pagi-pagi menyeberangi Laut Teberau menuju kepada kebebasan (lihat Kel 14). Dalam banyak mazmur keluhan/permohonan dari orang-orang yang diseret ke pengadilan atas dasar tuduhan palsu, pagi hari dipandang sebagai saat Tuhan akan datang menolong dan membebaskan mereka dari ancaman maut. Oleh karena itu Ibadat Harian membantu si pendoa untuk mengingat dengan rasa puji-syukur karya penyelamatan Allah pada masa lampau, serta memulai hari yang baru dengan kepercayaan yang besar kepada Sang Penyelamat (lihat WW, hal. 28 dan 85). Renungkanlah, misalnya, ayat-ayat dari sebuah “mazmur mohon pertolongan melawan musuh” berikut ini: “Aku menyanyikan kekuasaan-Mu, pagi-pagi sudah memuji kasih setia-Mu. Sebab engkaulah pelindungku, tempat pengungsian pada waktu kesesakan. Engkaulah kekuatanku, aku bernyanyi bagi-Mu, Engkaulah pelindungku, Allah yang penuh kasih setia” (Mzm 59:17-18).[25]
Mazmur pertama dalam Ibadat Pagi tergolong “Mazmur Pagi”, dalam arti dipilih karena kecocokannya dengan pagi hari (lihat PIH 43). Ibadat Pagi (dan Ibadat Sore) lebih dimaksudkan untuk perayaan umat (bersifat komunal). Oleh karena itu untuk Ibadat Pagi (dan Ibadat Sore) dipilihkan mazmur-mazmur yang lebih cocok untuk perayaan umat (lihat PIH 127).
Kendati dipertimbangkan kecocokannya dengan suasana pagi hari, hanya sekali-kali saja ada acuan kepada “pagi hari” dalam mazmur-mazmur pertama tersebut. Beberapa contoh:
- “Kepada-Mu aku berdoa, ya Tuhan, waktu pagi Engkau mendengar seruanku, sejak pagi aku mengharapkan belaskasih-Mu” (Mzm 5:4; hari Senin I).[26]
- “Bangunlah, hai jiwaku, kumandangkanlah bunyimu, hai kecapi, menyingsinglah, hai fajar” (Mzm 57:9; hari Kamis I).[27]
- “Pagi-pagi buta aku telah bangun dan memohon pertolonganmu, aku berharap pada firman-Mu” (Mzm 119:147; hari Sabtu I & III).[28]
- “Hatiku siap sedia, ya Allah, untuk bernyanyi dan melagukan mazmur. Bangunlah, hai hatiku, berkumandanglah, hai kecapi, menyingsinglah, hai fajar” (Mzm 108:1-2; hari Rabu IV).[29]
- “Semoga aku mengalami kasih setia-Mu di waktu fajar, sebab kepada-Mu aku percaya” (Mzm 143:8; hari Kamis IV).[30]
Mengapa engkau tertekan dan gelisah, wahai jiwaku?
Berharaplah kepada Allah, aku akan bersyukur lagi kepada Allah, penolongku.[31]
Mazmur-mazmur ratapan/keluhan menempatkan kita dalam “keadaan sulit dan berbahaya” sebagai manusia, sementara dimulainya hari yang baru. Semua itu langsung mengingatkan kita betapa kita, manusia, membutuhkan Allah (lihat CEM, hal. 39-40).
Dengan sedikit kekecualian, mazmur pertama pada hari Jumat adalah Mzm 51 (Miserere), yaitu mazmur Daud mohon pengampunan Allah atas segala dosanya.
Tema Perjanjian Lama. Di antara dua mazmur “diselipkanlah” sebuah kidung yang diambil dari salah satu kitab Perjanjian Lama. Kidung-kidung Perjanjian Lama tersebut adalah madah-madah yang ditujukan kepada Allah.[32] Penggunaan kidung-kidung ini adalah berdasarkan kenyataan, bahwa jam-jam pagi hari menyarankan tema sejarah keselamatan Perjanjian Lama. Pada awal hari kita merayakan awal-awal rencana Allah. Gerakan-gerakan penyelenggaran ilahi dalam sejarah pentinglah bagi kita dalam era Kekristenan. Paus Pius XI menyatakan, bahwa kita semua secara spiritual adalah bangsa Semit; Abraham adalah bapak kita dalam iman. Kedatangan Kristus adalah suatu pemenuhan perjanjian yang dibuat dengan Abraham, dan keseluruhan Perjanjian Lama adalah tindakan penyelamatan Allah yang mencapai klimaksnya dalam diri Yesus Kristus. Tindakan-tindakan Allah juga tidak dikubur dalam masa lampau. Kita dipersatukan dengan umat terpilih Perjanjian Lama sebagai satu umat Allah dan berbagi dengan mereka kebaikan-penuh-kasih Allah kepada mereka. Orang-orang Kristiani harus mengidentifikasikan diri mereka dengan kata-kata “kita” dalam Mzm 126:1-3 berikut ini:
Ketika Tuhan memulangkan tawanan Sion,
kita seperti orang yang bermimpi.
Pada waktu itu mulut kita penuh dengan tertawa
dan lidah kita dengan sorak-sorai.
Bahkan bangsa-bangsa kafir mengakui:
“Agunglah karya Tuhan bagi mereka.”
Sungguh agung karya Tuhan bagi kita,
sebab itu kita bersukacita.[33]
Allah Perjanjian Lama adalah satu dan sama dengan Allah Perjanjian Baru. Allah Israel adalah Allah umat Kristiani:
Tuhan, Engkaulah pelindung kami turun-temurun.
Sebelum gunung-gemunung dijadikan,
Sebelum bumi dan jagat dilahirkan,
dari kekal sampai kekal Engkaulah Allah (Mzm 90:1-2).[34]
Kidung Zakharia dan kebangkitan Kristus. Pater Charles E. Miller CM menyatakan, bahwa tema Perjanjian Lama mencapai titik puncaknya dan perspektifnya dalam Kidung Zakharia (Benedictus) yang digunakan setiap kali kita mendoakan Ibadat Pagi. Secara hurufiah, kata Zakharia berarti “Allah telah mengingat,” hal mana merupakan perlambangan bahwa Allah memenuhi janji-janji yang dibuat-Nya dalam Perjanjian Lama. Kidung Zakharia ini menggemakan nama-nama penting dalam Perjanjian Lama: Daud, para nabi, Abraham, perjanjian. Allah memang patut dipuji karena telah mengingat segala janji-Nya kepada umat-Nya, dalam janji mana Yohanes Pembaptis, putera Zakharia, adalah nabi terakhir dalam deretan panjang orang-orang terkemuka yang diangkat oleh Allah untuk melaksanakan rencana-Nya ke depan guna menyambut hari Kristus (CEM, hal.41).
Gereja tidak merayakan tema-tema Perjanjian Lama seakan-akan Kristus belum datang atau seakan-akan Kristus belum mati dan bangkit-mulia. Kidung Zakharia menolong untuk membantu memberi perspektif kepada tema-tema Perjanjian Lama. Kita harus ingat, bahwa Kidung Zakharia adalah sebuah kidung Injil.[35] Seperti diuraikan di atas, Gereja sudah lama memandang saat terbitnya matahari sebagai lambang saat kebangkitan Yesus Kristus. Kidung Zakharia yang menggunakan simbolisme saat terbitnya matahari, dengan demikian langsung menyadarkan kita akan kemenangan Kristus yang penuh kemuliaan, seperti terang-cahaya matahari yang menerangi dunia:
Sebab Allah kita penuh rahmat dan belaskasihan;
Ia mengunjungi kita laksana fajar cemerlang.
Untuk menyinari orang yang meringkuk dalam kegelapan maut
dan membimbing kita ke jalan damai sejahtera (Luk 1:78-79).[36]
Kepenuhan tema Kristiani diekspresikan dalam “kesimpulan” doa penutup: “Demi Yesus Kristus, Putera-Mu dan pengantara kami, yang hidup dan berkuasa bersama Engkau dalam persekutuan Roh Kudus, sepanjang segala masa. Amin.”
Catatan penutup tentang Ibadat Pagi. Kita lihat dari uraian di atas, bahwa meskipun Gereja jelas berniat agar kita mengawali hari dengan puji-pujian kepada Allah, dia (Gereja) tidak mengabaikan sepenuhnya orientasi popular untuk memanjatkan permohonan pertolongan Allah selama berjalannya hari. Oleh karena itu setelah Kidung Zakharia, Gereja memberikan kepada kita serangkaian doa permohonan yang tujuan utamanya adalah penyucian hari bagi Allah. Doa-doa permohonan ini membawa kita kepada “Doa Bapa Kami” pertama yang resmi didoakan oleh Gereja untuk hari bersangkutan. Dua “Doa Bapa Kami” resmi lainnya adalah masing-masing dalam Perayaan Ekaristi dan Ibadat Sore. Ibadat Pagi ditutup dengan sebuah doa penutup seperti dalam Misa.
Kita harus mengusahakan dengan serius agar kita merayakan Ibadat Pagi sebagai doa pertama hari bersangkutan. Sebelum kita melaksanakan pekerjaan atau kegiatan lainnya kita harus menghadirkan diri kita di hadapan Allah dengan semangat yang ditunjukkan sang pemazmur: “TUHAN, pada waktu pagi Engkau mendengar seruanku, pada waktu pagi aku mengatur persembahan bagi-Mu, dan aku menunggu-nunggu.” (Mzm 5:4; teks TB, LAI).
Idealnya, kita mendoakan Ibadat Pagi sebelum Perayaan Misa Kudus di pagi hari. Meskipun “Pedoman Ibadat Harian” memperkenankan dilakukannya kombinasi antara Ibadat Pagi dan Perayaan Ekaristi (Lihat PIH 93 dsj.), kiranya lebih baik untuk memisahkan antara keduanya, karena tujuan masing-masing tidaklah sama. Ibadat Pagi menguduskan momen-momen pertama dari hari yang bersangkutan, sedangkan Perayaan Ekaristi merupakan kulminasi keseluruhan hari, tak peduli pada jam berapa dirayakannya.
Pujian kepada Allah tetap harus kita lakukan, meskipun kita hidup di tengah dunia yang begitu penuh dengan kesibukan dan berorientasi kepada tugas-kerja. Kita diciptakan untuk menyanyikan puji-pujian kepada Allah sepanjang masa, dan hal itu dimulai selagi kita hidup di atas muka bumi ini. Memang benar Allah tidak membutuhkan puja-pujian kita dan doa kita pun tidak akan membuat Allah menjadi lebih agung, lebih besar dan sebagainya. Sebaliknya yang sesungguhnya terjadi adalah, bahwa kita masing-masinglah yang bertumbuh dalam suatu hidup penuh puja-pujian kepada Allah. Karena kebaikan-Nya Allah menakdirkan kita untuk memuja-muji kemuliaan-Nya, untuk dapat menyerupakan diri dengan gambaran Putera-Nya, yang keseluruhan hidup-Nya adalah hidup imamat penuh pujian kepada Bapa-Nya. Seperti halnya dengan Yesus, semua pujian kita haruslah merupakan afeksi lemah-lembut dari seorang anak kepada seorang ayah yang baik. Pujian kita adalah ekspresi cinta-kasih kepada pribadi yang adalah Allah.
Penuh bahagia dan kuduslah hari yang dimulai dengan Ibadat Pagi Gereja!
BEBERAPA CATATAN TENTANG IBADAT SORE
Ibadat Sore dirayakan waktu matahari terbenam dan hari sudah senja. Seturut yang telah dikatakan Santo Basilius, yaitu untuk “bersyukur atas anugerah yang telah kita terima pada hari itu atau atas kebaikan yang telah kita perbuat”.[37] Kita juga mengenang kembali penebusan kita dengan doa, yang kita panjatkan “bagaikan dupa ke hadirat Tuhan, dengan tangan yang kita tadahkan bagaikan kurban petang” (Mzm 141:2). Ini juga dapat diartikan sebagai “kurban petang sejati, yang diwariskan oleh Tuhan penyelamat waktu sore ketika sedang mengadakan perjamuan dengan para rasul untuk memulai misteri suci Gereja. Dapat juga diartikan sebagai kurban petang untuk hari berikutnya, ketika Penyelamat kita menadahkan tangan untuk dipersembahkan kepada Bapa demi keselamatan seluruh dunia”[38].
Untuk mengarahkan harapan kita kepada cahaya yang tak kunjung terbenam, “kita berdoa dan memohon, agar cahaya terbit lagi bagi kita, kita berdoa untuk kedatangan Kristus, yang akan menganugerahkan rahmat cahaya kekal”[39].
Pada waktu Ibadat Sore itu pun kita menggabungkan diri dengan Gereja-gereja Timur sambil berseru: “Terang kegembiraan Bapa surgawi yang suci, mulia dan kekal, yaitu Yesus Kristus; pada waktu matahari terbenam kami memandang terang senja dan bermadah kepada Bapa, Putera dan Roh Kudus sebagai Allah ……” (PIH 39).
Tema kepenuhan. Kalau Ibadat Pagi merupakan suatu perayaan wahyu Perjanjian Lama yang memimpin kita kepada Kristus, maka Ibadat Sore adalah suatu perayaan kepenuhan wahyu dalam diri Kristus. Setiap Ibadat Sore ditetapkan pada “jam makan malam” ketika Yesus mengasihi orang-orang milik-Nya yang di dunia ini, dan Ia mengasihi mereka sampai kesudahannya (Yoh 13:1).
Dalam Ibadat Sore, dua buah mazmur disusul dengan sebuah Kidung Perjanjian Baru. Dari mazmur-mazmur yang dipilih untuk Ibadat Sore, 12 (dua belas) di antaranya adalah yang tergolong “Mazmur Rajawi”, yang memperingati peristiwa tertentu yang berlatarbelakang pengalaman seorang raja. Mazmur-mazmur rajawi seperti didoakan oleh Gereja dipahami dalam terang pewahyuan selanjutnya yang membawa pribadi Kristus sang Raja ke dalam fokus yang lebih tajam sebagai pemenuhan martabat raja. Mazmur Rajawi termaksud adalah Mzm 20 (hari Selasa I); Mzm 21 (hari Selasa I); Mzm 45 (hari Senin II); Mzm 72 (hari Kamis II); Mzm 110 (Ibadat Sore II Natal 25 Desember; Hari Raya Paskah; Ibadat Sore II hari Minggu I; Ibadat Sore II hari Minggu II; Ibadat Sore II hari Minggu III; Ibadat Sore II hari Minggu IV; Ibadat Sore II “Hari Raya Semua Orang Kudus”); Mzm 132 (hari Kamis III).
Dalam Ibadat Sore kita juga dapat melihat sejumlah mazmur “Nyanyian Ziarah”. Misalnya Mzm 121 (hari Jumat II; Ibadat Arwah; Ibadat Sore II “Pesta Yesus Menampakkan Kemuliaan-Nya”, 6 Agustus); Mzm 122 (Ibadat Sore I hari Minggu IV; Ibadat Sore II Pemberkatan Gereja; Ibadat Sore II “Santa Perawan Maria”); Mzm 123 (hari Senin III); Mzm 124 (hari Senin III); Mzm 125 (hari Selasa III); Mzm 126 (hari Rabu III; Ibadat Sore II Para Rasul); Mzm 127 (hari Rabu III; Ibadat Sore II “Santa Perawan Maria”); Mzm 128 (hari Kamis IV); Mzm 129 (hari Kamis IV); Mzm 130 (Ibadat Sore II Natal 25 Desember; Ibadat Sore I hari Minggu IV; Ibadat Arwah); Mzm 131 (hari Selasa III); Mzm 132 (hari Kamis III). Menurut Pater Martin Harun OFM, Mzm 120-134 semuanya berjudul “Nyanyian Ziarah”, namun selain Mzm 120-122 dan 132-134, dalam koleksi itu tidak ada apa-apa yang berkaitan dengan tema ziarah. Satu-satunya nyanyian yang sungguh jelas bertemakan ziarah dalam koleksi ini adalah Mzm 122 (MH, hal 122). Pater Charles E. Miller CM mengatakan, bahwa Mzm 120-125 (gradual psalms) mungkin merupakan doa para peziarah selagi mereka naik menuju Yerusalem untuk berpartisipasi dalam pesta-pesta keagamaan Israel. Bagian yang lebih besar, yaitu Mzm 120-136 (Great Hallel Psalms) membentuk satu bagian dari perayaan Perjamuan Paskah. Oleh karena itu, menurut dia, ada alasan baik untuk percaya bahwa Yesus mendoakan mazmur-mazmur ini dengan para rasul pada Perjamuan Terakhir. Mazmur-mazmur ini memang paling cocok untuk digunakan dalam Ibadat Sore (CEM, hal. 50).
Dalam setiap Ibadat Sore, dua mazmur disusul oleh sebuah kidung Perjanjian Baru. Kidung-kidung tersebut adalah madah-madah indah yang terdapat dalam Perjanjian Baru yang dimasukkan oleh Gereja ke dalam liturgi, beberapa di antaranya telah digunakan dalam ibadat komunitas-komunitas Kristiani awal. Kidung-kidung ini diambil dari beberapa surat Santo Paulus (Kol; Ef; Flp), Santo Petrus (1Ptr) dan Kitab Wahyu. Tiga kidung yang seringkali muncul, yang sangat penting untuk pertumbuhan spiritualitas kita yang Kristosentris sebagai Fransiskan sekular adalah Ef 1:3-10, Kol 1:12-20 (Madah keutamaan Kristus) dan Flp 2:6-11 (Madah perendahan/pengosongan diri Allah).
Kidung Maria (Magnificat). Tema Perjanjian Baru mencapai puncaknya dalam “Kidung Maria”. Kidung yang sederhana namun baik sekali ini merupakan sebuah mosaik dari teks-teks Perjanjian Lama (bdk “Puji-pujian Hana/1Sam 2:1-10), sebuah permenungan atas kebaikan Allah dan tindakan penyelamatan-Nya yang penuh kasih-sayang bagi umat-Nya sepanjang sejarah, yang mencapai kepenuhan dalam diri Yesus Kristus. Dari permenungan ini mengalirlah semangat puji dan syukur penuh kegembiraan dan sukacita: “Aku mengagungkan Tuhan, hatiku bersuka ria karena Allah, penyelamatku” (Luk 1:46-47).[40]
Lukas menempatkan kata-kata dari kidung ini pada bibir Maria bukan hanya karena dia adalah seorang pribadi, atau lebih tepatnya karena dia adalah ibunda sang Juruselamat. Dalam konteks keseluruhan Injil Lukas, Maria adalah personifikasi Gereja dan model bagi Gereja dalam hal doa. Mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh Santo Lukas, Konsili Vatikan II mendeklarasikan sebagai berikut: “…… ia (Maria) menerima salam sebagai anggota Gereja yang serba unggul dan sangat istimewa, pun sebagai pola-teladannya yang mengagumkan dalam iman dan cinta kasih” (LG 53).
Sebagai konsekuensinya, selagi kita mendoakan Kidung Maria, kita harus sadar bahwa bersama Maria kita sebagai anggota-anggota Gereja adalah hamba-hamba yang hina yang “diangkat” oleh Tuhan. Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan besar bagi kita yang takut akan Dia. Dengan demikian kita memproklamasikan keagungan Tuhan dan hati kita bersuka ria karena Allah, Penyelamat kita.
Catatan penutup tentang Ibadat Sore. Doa-doa permohonan dalam Ibadat Sore berbeda dengan doa-doa permohonan yang terdapat dalam Ibadat Pagi. Doa-doa permohonan dalam Ibadat Pagi dimaksudkan untuk menyucikan hari, memper-sembahkan hari bersangkutan kepada Allah. Di lain pihak doa-doa permohonan dalam Ibadat Sore dimaksudkan sebagai doa-doa syafaat untuk kebaikan seluruh dunia. Doa-doa syafaat ini didoakan dalam kebersatuan kita Yesus Kristus yang “merentangkan tangan di kayu salib” untuk merangkul seluruh umat manusia. Doa-doa syafaat seperti ini mencerminkan aspek “kekatolikan” doa Kristiani dan memenuhi ajakan/nasihat Rasul Paulus:
Karena itu, pertama-tama aku menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan semua pembesar, agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan. Itulah yang baik dan berkenan kepada Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1Tim 2:1-4).
Doa-doa spontan dapat saja dihaturkan setelah permohonan-permohonan yang sudah tercetak dalam buku IBADAT HARIAN, namun permohonan-permohonan spontan tersebut harus mencerminkan suatu keprihatinan universal. Misalnya ada seorang yang mau mendoakan seorang anggota keluarganya yang akan menjalani operasi; maka doanya dapat disampaikan seperti berikut: “Saya berdoa untuk seorang saudaraku yang akan menjalani operasi klep-jantung besok dan juga semua orang yang menderita sakit serius, kami mohon …”
Seperti halnya dengan Ibadat Pagi, Perayaan Ekaristi biasanya harus dipisahkan dari Ibadat Sore. Idealnya begitu karena masing-masing mempunyai tujuan yang berlainan. Apabila Ibadat Sore langsung disusul oleh Perayaan Ekaristi, maka doa-doa permohonan dalam Ibadat Sore tidak dibacakan, demi dibacakannya doa-doa permohonan dalam Misa Kudus.
Doa Sore menyucikan “jam-jam penutup” hari bersangkutan. Inilah cara Gereja menghayati doa sang pemazmur: “Semoga doaku membubung ke hadapan-Mu bagaikan dupa, semoga tangan yang kutadahkan Kauterima bagaikan kurban petang” (Mzm 14:2; Ibadat Sore I hari Minggu I).[41]
Meskipun idealnya ibadat-ibadat didoakan secara komunal, situasi praktis kadang-kadang menjadi penghalang, apalagi bagi kita yang bukan orang-orang biara. Namun sedapat-dapatnya kita mengupayakan agar Ibadat Sore dilaksanakan secara komunal/ berjemaah. Mengapa? Karena pada waktu itulah, dalam tema Perjanjian Baru yang terdapat dalam Ibadat Sore, dengan sangat jelas tercermin sifat Gereja sebagai umat Allah yang baru (lihat CEM, hal. 52). Masing-masing kita harus memiliki keinginan untuk bergabung dengan saudara-saudari rohani kita dalam Kristus untuk melambungkan puji-pujian kepada Allah yang begitu mengasihi dunia, sehingga pada kepenuhan waktu Dia mengutus Putera-Nya yang tunggal kepada kita (lihat Yoh 3:16).
IBADAT PAGI DAN IBADAT SORE ADALAH DOA JEMAAT KRISTIANI
Ibadat Pagi dan Ibadat Sore harus dijunjung tinggi sekali sebagai doa jemaat Kristiani (to be accorded the highest importance as the prayer of the Christian community). Oleh karena itu ibadat-ibadat tersebut hendaknya dirayakan bersama (secara komunal; berjemaah), teristimewa oleh mereka yang hidup dalam komunitas. Sesungguhnya, pendarasan kedua ibadat (utama) ini harus direkomendasikan juga kepada setiap anggota umat beriman yang tidak dapat mengambil bagian dalam suatu perayaan bersama (lihat PIH 40).
Dalam Ibadat Pagi didaras atau dinyanyikan Kidung Zakharia dan dalam Ibadat Sore Kidung Maria, beserta antifonnya masing-masing. Kidung-kidung ini sudah digunakan berabad-abad lamanya oleh umat dalam Gereja Roma, keduanya mengungkapkan pujian dan syukur atas penebusan kita. Untuk kedua kidung ini disediakan antifon menurut sifat hari, masa atau pesta (lihat PIH 50).
Ibadat Pagi dan Ibadat Sore diuraikan secara mendetil dalam PIH 37 s/d 54.
IBADAT SIANG
STRUKTUR IBADAT SIANG:
- Pembukaan
- P: Ya Allah, bersegeralah menolong aku. U: Tuhan, perhatikanlah hamba-Mu. Kemuliaan ……Amin. Alleluya. Dalam masa Prapaskah, alleluya tidak diucapkan.
- Madah
- Terdapat dalam lingkaran satu pekan (halaman 346 s/d 381 dalam buku IBADAT HARIAN).
- Terdapat dalam lingkaran empat pekan.
- Untuk hari raya dan beberapa pesta, antifon tersendiri.
- Untuk hari raya, dapat digunakan mazmur tambahan yang terdapat dalam buku IBADAT HARIAN, halaman 820.
- Untuk masa biasa, terdapat dalam lingkaran empat pekan.
- Untuk masa istimewa, terdapat dalam rumus umum masa yang bersangkutan.
- Untuk hari raya dan pesta, terdapat dalam rumus khusus.
- Untuk peringatan: seperti hari biasa.
- Untuk hari biasa dalam masa biasa dan untuk peringatan, terdapat dalam lingkaran satu pekan.
- Untuk lain-lainnya sama dengan doa penutup Ibadat Pagi.
- P: Marilah memuji Tuhan. U: Syukur kepada Allah.
Menurut tradisi yang sangat tua orang-orang Kristiani mempunyai kebiasaan berdoa beberapa kali sehari sebagai devosi pribadi, juga di tengah-tengah kesibukan kerja, sesuai dengan teladan Gereja para rasul. Lambat laun tradisi itu diperkaya dengan bermacam-macam perayaan liturgi (lihat PIH 74). Baik di timur maupun di barat diselenggarakan ibadat sebelum tengah hari, pada tengah hari dan sesudah tengah hari. Ibadat-ibadat itu dihubungkan dengan kenangan akan sengsara Tuhan dan akan masa penyebaran Injil (lihat PIH 75). Ketiga ibadat termaksud adalah Tertia (Jam ketiga = jam 9 pagi), Sexta (Jam keenam = jam 12 tengah hari)dan Nona (Jam kesembilan = jam 3 siang). Pasca Konsili Vatikan II, ketiga ibadat itu dijadikan satu menjadi IBADAT SIANG Hora Media).
Jika ada yang ingin tetap mendoakan tiga ibadat, misalnya para rahib dan biarawati kontemplatif, maka untuk ibadat yang satu dapat dipakai mazmur-mazmur yang disediakan untuk Ibadat Siang, sedangkan untuk dua ibadat lainnya, dapat dipakai mazmur-mazmur ziarah yang terdapat dalam bagian mazmur tambahan, buku IBADAT HARIAN, hal. 820 dan selanjutnya. Kalau kita mendoakan Ibadat Siang hanya sebagai satu ibadat saja, maka ideal-nya dilakukan antara jam 11.00 dan jam 13.00.
Tema dari Ibadat Siang adalah kehendak Allah.[42] Tujuannya adalah mengingatkan kita, bahwa apa pun pekerjaan kita, kita sudah membuat komitmen untuk mengikuti kehendak Allah dengan meneladan “Yesus yang taat, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp 2:8). Ibadat Siang juga merupakan suatu jalan bagi kita menguduskan diri kita lagi terhadap kata-kata yang kita sebut dalam doa Bapa Kami pada Misa Kudus, Ibadat Pagi dan Ibadat Sore: “Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga!” Ekaristi adalah perayaan kita tentang ketaatan Kristus yang ditinggikan oleh Bapa (Flp 2:9). Oleh karena itu Ibadat Siang mempunyai suatu hubungan istimewa dengan Ekaristi. Ibadat Harian dapat menoleh kepada Ekaristi di pagi hari sebagai suatu peneguhan kembali atas pengabdian kita kepada kehendak Allah seperti yang diungkapkan dalam Misa, atau Ibadat Harian dapat memandang ke depan, yaitu persiapan Ekaristi di sore/senja hari.
Mazmur pertama dalam Ibadat Siang adalah Mazmur 119 (kekecualian adalah hari-hari Minggu, Senin I dan Jumat III). Mazmur 119 adalah mazmur terpanjang dalam Kitab Mazmur karena terdiri dari 176 ayat. Mazmur ini dibagi-bagi ke dalam beberapa bagian, setiap bagian terdiri dari 8 ayat, untuk didaraskan sepanjang empat minggu dengan tema yang sama, yaitu kehendak Allah. Sang Pemazmur menyebut “kehendak Allah” dalam setiap ayat yang berjumlah 176 itu, tanpa kecuali. Agar tidak mengulang-ulang kata yang sama, maka digunakanlah sinonim. Kita lihat Mzm 119:97-104 yang kita daraskan dalam Ibadat Siang hari Selasa III:
Betapa besar cintaku kepada hukum-Mu,
aku merenungkannya sepanjang hari.
Aku menjadi lebih bijaksana dari pada musuhku,
sebab perintah-Mu selalu ada padaku.
Aku lebih arif dari pada semua pengajarku,
sebab aku merenungkan sabda-Mu.
Aku lebih berbudi dari pada orang-orang tua,
sebab aku berpegang pada perintah-Mu.
Aku tidak melangkahkan kaki ke jalan kejahatan,
agar firman-Mu tetap kupegang.
Aku tidak menyimpang dari ketetapan-Mu,
sebab Engkaulah yang mengajar aku.
Betapa manisnya janji-Mu bagiku,
melebihi madu di mulutku.
Aku menimba pengertian dari titah-Mu,
maka aku benci akan segala kebohongan.
Perhatikanlah kata-kata yang digaris-bawahi. Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI menggunakan kata “Taurat-Mu” untuk “hukum-Mu” (ayat 97); kata “peringatan-peringatan-Mu” untuk “sabda-Mu” (ayat 99); kata “titah-titah-Mu” untuk “perintah-Mu” (ayat 100); kata “hukum-hukum-Mu” untuk “ketetapan-Mu” (ayat 102). Semua kata ini adalah sinonim dengan “kehendak Allah”.
Kekecualian (di luar Mzm 119). Mazmur pertama pada hari Senin I adalah Mzm 19 yang juga bertemakan “kehendak Allah”. Pada hari Jumat III, Mzm 22 digunakan untuk ketiga bacaan mazmur. Ini adalah mazmur yang oleh Matius ditaruh pada bibir Yesus yang tergantung di kayu salib: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27:46). Mazmur ini digunakan oleh Gereja karena setiap hari Jumat selalu dikaitkan dengan hari Jumat Agung, hari wafat Yesus Kristus.
Ibadat Siang pada hari-hari Minggu memuat mazmur-mazmur yang cocok dengan perayaan Hari Tuhan. Hari Minggu I dan III menggunakan Mzm 118 untuk ketiga bacaan mazmur. Mazmur 118 ini merupakan sebuah lagu indah yang mengungkapkan syukur kepada Allah untuk kuasa penyelamatan-Nya. Perjanjian Baru memandang mazmur ini sudah digenapi dalam diri Kristus (Mat 21:24 dan Kis 4:11). Gereja juga telah memasukkan ayat 24 (“Pada hari inilah Tuhan bertindak, mari kita rayakan dengan gembira”)[43] ke dalam perayaan Paskah, untuk mana setiap hari Minggu adalah sebuah cerminannya. Mazmur pertama dalam Ibadat Siang hari Minggu II dan IV adalah Mzm 23 (Gembala baik); kemudian disusul dengan Mzm 76 yang dipecah menjadi dua bacaan mazmur. Mazmur 76 adalah sebuah madah puji-syukur kepada Allah untuk kehadiran-Nya yang melindungi umat-Nya.
Catatan penutup tentang Ibadat Siang. Ibadat Siang merupakan doa yang sangat praktis dan diperlukan dalam dunia kita yang penuh kesibukan dan hingar-bingar ini, karena mengingatkan kita bahwa seluruh kesibukan kerja kita sehari-hari adalah untuk melakukan kehendak Allah. Meskipun berada di tengah-tengah kesibukan kerjanya, seseorang yang sudah yakin bahwa Ibadat Siang ini penting, akan mencari jalan bagaimana mendoakannya dengan teratur setiap hari. Di mana ada kemauan, tentunya ada jalan! Semakin hidup kita dipenuhi kesibukan, semakin diperlukanlah doa ini – sederhana namun sangat berarti – yang diberikan kepada kita oleh Gereja melalui bimbingan Roh Kudus yang menolong kita dalam kelemahan kita, untuk berdoa semestinya agar membuat suci hari yang bersangkutan.
Uraian lebih mendetil tentang IBADAT SIANG dapat dibaca dalam PIH 74 s/d 83).
IBADAT BACAAN
STRUKTUR IBADAT BACAAN:
- Pembukaan
- P: Ya Allah, bersegeralah menolong aku. U: Tuhan, perhatikanlah hamba-Mu. Kemuliaan ……Amin. Alleluya. (Dalam masa Prapaskah, alleluya tidak diucapkan).
- Bila didoakan sebelum Ibadat Pagi à P: Ya Tuhan, sudilah membuka hatiku. U: Supaya mulutku mewartakan pujian-Mu. Disusul dengan Mazmur 95.
- Untuk masa biasa: terdapat dalam lingkaran satu pekan (halaman 346 s/d 381 dalam buku IBADAT HARIAN).
- Untuk masa-masa istimewa: dalam rumus umum yang bersangkutan, misalnya pada masa Adven (hal. 10 s/d 11), masa Natal (hal. 47 s/d 48), masa Prapaskah (hal. 115 s/d 116).
- Untuk hari raya dan hari pesta: dalam rumus umum. Dalam rumus khusus, biasanya ditunjuk pada madah Ibadat Sore atau Ibadat Pagi perayaan yang bersangkutan.
- Untuk peringatan: dapat diambil dari rumus umum orang kudus yang diperingati, atau dari hari biasa.
- Terdapat dalam lingkaran empat pekan.
- Untuk hari raya dan pesta, ibadat arwah, trihari suci, dan beberapa hari lainnya, dipakai mazmur-mazmur khusus seperti ditunjuk pada rumus umum atau rumus khusus yang bersangkutan.
- Diucapkan/dinyanyikan sebelum dan sesudah tiap mazmur.
- Terdapat dalam lingkaran empat pekan.
- Untuk hari raya, hari pesta ibadat arwah, trihari suci, disediakan khusus atau ditunjuk pada antifon Ibadat Sore atau Ibadat Pagi, seperti dapat dibaca dalam rumus umum atau rumus khusus yang bersangkutan.
- Ditunjuk dalam bagian khusus masa-masa liturgi, tetapi boleh juga memilih bacaan lain dari Kitab Suci.
- Untuk hari raya dan pesta, ditunjuk bacaan khusus.
- Sesudah bacaan, sebaiknya diadakan saat hening atau dinyanyikan suatu lagu yang sesuai.
- Belum disediakan dalam bahasa Indonesia. Dapat diganti dengan bacaan rohani lain dari pilihan sendiri, disusul dengan saat hening.
- Diucapkan/dinyanyikan pada hari Minggu (kecuali dalam masa Prapaskah), hari raya, pesta, hari-hari dalam oktaf Natal dan Paskah.
- Untuk hari biasa dalam masa biasa: dalam lingkaran empat pekan.
- Untuk hari biasa dalam masa istimewa: dalam rumus khusus masa yang bersangkutan.
- Untuk hari raya, pesta dan peringatan: dalam rumus umum atau rumus khusus yang bersangkutan.
- P: Marilah memuji Tuhan. U: Syukur kepada Allah.
“Berbicaralah, TUHAN, sebab hamba-Mu ini mendengar” (1Sam 3:9). Karena penekanan Ibadat Bacaan adalah pada proses mendengarkan secara reflektif, maka ingin cepat-cepat selesai dalam mendoakan Ibadat Bacaan ini akan hampir tidak menghasilkan apa-apa. Ibadat Bacaan harus didoakan pada waktu dan suasana yang cocok untuk refleksi.
Maksud Ibadat Bacaan ialah memberi kesempatan lebih melimpah kepada umat Allah untuk merenungkan Kitab Suci dan karangan para penulis rohani, lebih-lebih kepada mereka yang membaktikan diri kepada Tuhan secara khusus. Dalam misa-misa harian memang dibacakan lingkaran Kitab Suci yang sangat kaya. Meskipun demikian, kekayaan wahyu dan tradisi yang dimuat dalam Ibadat Bacaan, amat besar gunanya bagi perkembangan rohani (lihat PIH 55).
Ibadat Bacaan ini dapat didoakan siang hari atau malam hari. Dalam pendarasan perorangan, dapat dipakai susunan lebih bebas. Ibadat Bacaan bersifat unik karena berbeda dengan ibadat-ibadat lainnya yang dikaitkan dengan waktu-waktu tertentu. Pada ibadat-ibadat lainnya dapat dikatakan, bahwa pada dasarnya manusia berbicara kepada Allah, meskipun Gereja sangat hati-hati mempertahankan aspek dialogis dari doa (artinya manusia kepada Allah dan Allah kepada manusia), sedangkan mendengarkan masih kurang mendapat perhatian penuh. Sebaliknyalah dengan Ibadat Bacaan, karena penekanannya adalah pada proses mendengarkan (Lihat CEM, hal. 54).
Responsorium[44] seharusnya diucapkan/dinyanyikan sesudah bacaan-bacaan dalam Ibadat Harian. Tetapi dalam buku IBADAT HARIAN tidak disediakan responsorium. Sebagai gantinya dapat diadakan saat hening atau dinyanyikan sesuatu dari buku nyanyian yang memakai imprimatur. Nyanyian ini hendaknya cocok dengan masa liturgi atau perayaan yang bersangkutan.
IBADAT PENUTUP
STRUKTUR IBADAT PENUTUP:
- Pembukaan
- P: Ya Allah, bersegeralah menolong aku. U: Tuhan, perhatikanlah hamba-Mu. Kemuliaan ……Amin. Alleluya. (Dalam masa Prapaskah, alleluya tidak diucapkan).
- Terdapat dalam lingkaran harian.
- Terdapat dalam lingkaran harian.
- Terdapat dalam lingkaran satu pekan.
- Terdapat dalam lingkaran satu pekan.
- Terdapat dalam lingkaran harian.
- Terdapat dalam lingkaran harian.
- Terdapat dalam lingkaran satu pekan.
- P: Semoga Allah yang mahakuasa menganugerahkan istirahat dalam naungan belaskasihan-Nya. U: Amin.
- Sesudah itu, dinyanyikan/diucapkan salah satu dari antifon penutup untuk menghormati Santa Maria, seperti dicantumkan dalam lingkaran harian.
Ibadat Penutup adalah doa terakhir, yang didoakan sebelum istirahat malam, meskipun sudah lewat tengah malam. Sangat dianjurkan supaya sesudah pembukaan diadakan pemeriksaan batin. Dalam perayaan bersama pemeriksaan batin ini dapat dilakukan dengan diam. Dapat juga digabungkan dengan doa tobat seperti terdapat dalam buku misa (lihat PIH 84 s/d 86).
Simbolisme dalam Ibadat Penutup jelas indah dan berdaya-kuat. Kegelapan dan tidur adalah simbol-simbol kematian, baik secara alkitabiah maupun sastra. Ibadat Penutup menyiapkan kita tidak hanya untuk tidur, melainkan juga untuk kematian. Ini adalah Ibadat Penutup untuk hari bersangkutan dan juga kehidupan itu sendiri (CEM, hal. 57).
Dalam masa Paskah selalu dipakai antifon “Ratu Surga”. Selain antifon yang terdapat dalam buku IBADAT HARIAN, boleh juga diucapkan antifon lain yang diambil dari buku nyanyian yang memakai “Imprimatur” (lihat PIH 92).
BUKU-BUKU DALAM BAHASA INDONESIA YANG BAIK UNTUK DIBACA
Ada beberapa buku berbahasa Indonesia yang baik untuk dibaca dalam rangka memperdalam praktek doa IBADAT HARIAN ini. Baik untuk semua orang yang berminat, termasuk para anggota OFS:
- Martin Harun OFM, BERDOA BERSAMA UMAT TUHAN – BERGURU PADA KITAB MAZMUR, Jakarta/Yogyakarta: Lembaga Biblika Indoneasia/ Penerbit Kanisius, 1998.
- PEDOMAN IBADAT HARIAN (Institutio Generalis De Liturgia Horarum), Konggregasi Ibadat, Roma, 2 Februari 1971, diindonesiakan oleh PWI-Liturgi, Yogyakarta: Penerbitan Yayasan Kanisius, 1973. Versi dalam Bahasa Inggris: GENERAL INSTRUCTION OF THE LITURGY OF THE HOURS, Congregation for Divine Worship, 2 February 1971.
- I. Suharya Pr., MEMAHAMI SERTA MENGHAYATI MAZMUR DAN KIDUNG – KOMENTAR ATAS MAZMUR DAN KIDUNG, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1989 (Cetakan Pertama).
- Dr. Wim van der Weiden MSF, MAZMUR DALAM IBADAT HARIAN – PEDOMAN PRAKTIS UNTUK MENGHAYATI MAZMUR DALAM IBADAT HARIAN, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991 (Cetakan Pertama).
- MAZMUR DAN KIDUNG untuk keperluan doa dan ibadat, terjemahan PWI-Liturgi, Ende-Flores: Percetakan Arnoldus Ende (1978-Cetakan II).
Konsili Vatikan II menganjurkan agar para awam pun mendaras Ibadat Harian, entah bersama para imam, entah antar mereka sendiri, atau bahkan secara perorangan (lihat SC 100). Bagi kita, Konstitusi Umum OFS – 2001 Artikel 14.4 sudah jelas isinya!
Ibadat Harian ini dapat saja dipandang sebagai sekedar salah satu bentuk doa yang ada dalam Gereja, namun Ibadat Harian sangat istimewa kedudukannya karena erat berhubungan dengan Ekaristi Kudus, dan Ibadat Harian sendiri merupakan doa liturgis, doa Gereja, doa Yesus sendiri. Dalam setiap macam doa, sikap tubuh si pendoa adalah penting. Apalagi dalam doa liturgis seperti Ibadat Harian ini. Dalam kesempatan ini kita hanya menyinggung sedikit saja soal sikap tubuh yang diperlukan (misalnya berdiri, duduk lain-lain). Namun sebuah ketentuan yang harus kita pegang teguh adalah, bahwa dalam Ibadat Harian suara si pendoa harus diperdengarkan (mendaras, membaca, menyanyikan).
Bagi anda yang biasa melakukan Lectio Divina, maka Ibadat Bacaan adalah tempatnya untuk itu. Mohonlah kepada Roh Kudus untuk mengingatkan anda akan datangnya waktu-waktu untuk mendoakan Ibadat Harian. Bagi para aspiran dan postulan yang baru mau memulai melakukan Ibadat Harian ini, saya ingatkan bahwa apabila pada awalnya terjadi sedikit salah di sana-sini, maka hal tersebut bukanlah masalah; tidak mengapa! Roh Kudus sangat memahami! Janganlah cepat ciut hati atau malas, karena si Jahat senang sekali kalau kita begitu.
Sebagai para Fransiskan sekular, kita dapat melakukan Ibadat Harian secara bersama, misalnya dalam pertemuan persaudaraan. Karena pertemuan persaudaraan OFS Santo Thomas More dimulai di tengah hari, maka Ibadat Siang-lah yang didoakan, didahului oleh sebuah doa tradisi Fransiskan, yaitu “Doa Malaikat Tuhan” (Angelus). Cuma untuk itu kita jangan sampai datang terlambat karena pertemuan dimulai pada jam 12 siang.
Dari informasi yang saya peroleh dari seorang saudara, persaudaraan OFS Cibinong dahulu mendoakan Ibadat Penutup (Completorium) secara bersama di salah satu rumah anggotanya (dilakukan secara bergilir). Hal itu dimungkinkan karena para anggotanya adalah anggota lingkungan yang sama dengan rumah yang (agak) saling berdekatan. Saya tidak tahu apakah mereka masih melakukan praktek doa seperti itu lagi, namun ini baik juga untuk kita tiru, terutama bagi para anggota yang tinggal saling berdekatan.
Saya sendiri percaya pada proses learning by doing, di mana jatuh-bangun adalah lumrah, apalagi kalau proses learning by doing itu senantiasa dinaungi Roh Kudus. Dengan berjalannya waktu, ketekunan dalam mendoakan Ibadat Harian secara bersama itu secara bertahap membangun sense of community/fraternity secara sehat … maka pada suatu ketika – pada waktu-Nya – terciptalah sebuah persaudaraan OFS yang sejati, karena ada kasih Yesus Kristus di dalamnya. Semoga! Ya Semoga, Amin! Pax et Bonum!
Cilandak, 5 April 2009 (HARI MINGGU PALMA MENGENANGKAN SENGSARA TUHAN)
KEPUSTAKAAN
- Sr. Janet Baxendale SC, LITURGY OF THE HOURS, Federation of Diocesan Liturgical Commissions representing Roman Catholic Diocesan Offices of Worship and Liturgical Commisions throughout the United States (originally composed for the Archdiocese of New York Liturgical Commision. [JB]
- Nancy Benvenga (Series Editor), THE LITURGY OF THE HOURS: YOUR GUIDE TO PRAYING AT HOME AND YOUR PARISH COMMUNITY, Metro Manila, Philippines: St. Pauls Philippines, 1994. [NB]
- Anthony M. Buono, PRAYING WITH THE CHURCH, Makati, Philippines: St. Paul Publications, 1990. [AMB]
- “Dekrit CHRISTUS DOMINUS tentang Tugas Pastoral Para Uskup dalam Gereja” (28 Oktober 1965) dalam DOKUMEN KONSILI VATIKAN II (terjemahan R. Hardawiryana SJ), Jakarta: Dokpen KWI/ Obor, 1993. [CD]
- “Dekrit PRESBYTERORUM ORDINIS tentang Pelayanan dan Kehidupan para Imam” (7 Desember 1965) dalam DOKUMEN KONSILI VATIKAN II (terjemahan R. Hardawiryana SJ), Jakarta: Dokpen KWI/ Obor, 1993. [PO]
- Sr. Martha E. Driscoll OCSO, SPIRITUALITAS PENGHAYATAN IBADAT HARIAN, Seri Gedono no. 4, Pertapaan Bunda Pemersatu, Genono, Salatiga, tanpa tahun. [MED]
- Hilarin Felder OFMCap., THE IDEALS OF ST. FRANCIS OF ASSISI (translated by Berchmans Bittle, OFMCap.), 800th Edition, Chicago Illinois: Fransciscan Herald Press, 1982. [HF]
- Benet A. Fonck OFM, FULLY MATURED WITH THE FULLNESS OF CHRIST – AN INITIAL FORMATION PROGRAM FOR SECULAR FRANCISCANS MODELED ON THE STRUCTURE OF THE RITE OF CHRISTIAN INITIATION OF ADULTS [RCIA], 3rd Edition, Chicago, Illinois: Franciscan Province of Sacred Heart, 1995, khususnya Session 4 yang berjudul THROUGH A LIFE OF PRAYER, Candidacy #4, hal. 10-1 s/d 10-24. [BAF]
- Dr. Piet Go O.Carm, SPIRITUALITAS AWAM, Malang, Jatim: Penerbit Dioma, 1990 (Cetakan V). [PG I]
- Dr. Piet Go O.Carm, BAHAN PENGEMBANGAN KERASULAN AWAM, Malang, Jatim Penerbit Dioma, 1993 (Cetakan Pertama). [PG II]
- Martin Harun OFM, BERDOA BERSAMA UMAT TUHAN – BERGURU PADA KITAB MAZMUR, Jakarta/Yogyakarta: Lembaga Biblika Indonesia/Penerbit Kanisius, 1998. [MH]
- Komisi Kerasulan Awam KAJ, KERASULAN AWAM DALAM MASYARAKAT (BAHAN PENATARAN), Jakarta: Desember 1991 (Cetakan ketiga). [KADM]
- “Konstitusi SACROSANCTUM CONCILIUM tentang Liturgi Suci” (4 Desember 1963) dalam DOKUMEN KONSILI VATIKAN II (terjemahan R. Hardawiryana SJ), Jakarta: Dokpen KWI/ Obor, 1993. [CD]
- “Konstitusi Dogmatis LUMEN GENTIUM tentang Gereja” (21 November 1964) dalam DOKUMEN KONSILI VATIKAN II (terjemahan R. Hardawiryana SJ), Jakarta: Dokpen KWI/ Obor, 1993. [LG]
- Michael Kwatera OSB, THE MINISTRY OF COMMUNION, Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 1983. [MK]
- J.R. Lilburne, THE LITURGY OF THE HOURS, August 2005.
- Brian McNeil, CHRIST IN THE PSALMS, Dublin, Ireland: Veritas Publications, 1980.
- Charles E. Miller CM, MAKING HOLY THE DAY – A COMMENTARY ON THE LITURGY OF THE HOURS, New York, NY: Catholic Book Publishing Co., 1975. [CEM]
- PEDOMAN IBADAT HARIAN (Institutio Generalis De Liturgia Horarum), Konggregasi Ibadat, Roma, 2 Februari 1971, diindonesiakan oleh PWI-Liturgi, Yogyakarta: Penerbitan Yayasan Kanisius, 1973. Versi dalam Bahasa Inggris: GENERAL INSTRUCTION OF THE LITURGY OF THE HOURS, Congregation for Divine Worship, 2 February 1971. [PIH]
- John Peter OFM, FRANCISCAN TEXT STUDY – CONCERNING THE DIVINE OFFICE, dalam TAU- Review on Franciscanism, Vol. X, No: 4, December 1985. [JP]
- Leopold Sabourin SJ, THE PSALMS – THEIR ORIGIN AND MEANING, Bangalore, India: The Theological Publications in India, St. Peter’s Seminary, 1971.
- I. Suharya Pr., MEMAHAMI SERTA MENGHAYATI MAZMUR DAN KIDUNG – KOMENTAR ATAS MAZMUR DAN KIDUNG, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1989 (Cetakan Pertama). [IS].
- Dr. Wim van der Weiden MSF, MAZMUR DALAM IBADAT HARIAN – PEDOMAN PRAKTIS UNTUK MENGHAYATI MAZMUR DALAM IBADAT HARIAN, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991 (Cetakan Pertama). [WW]
- WIKIPEDIA, LITURGY OF THE HOURS.
*) Disusun oleh Sdr. Frans Indrapradja, OFS untuk pertemuan persaudaraan OFS Santo Thomas More pada hari Minggu Paskah III, tanggal 26 April 2009.
[1] Nama yang lebih kuno dari IBADAT HARIAN adalah OFISI ILAHI (Latin: Officium Divinum; Inggris: Divine Office).
[2] Lihat PG I, hal. 10-12 dan PG II, hal. 23-24.
[3] Teks-teks Kitab Suci Perjanjian Baru dalam tulisan ini diambil dari PERJANJIAN BARU (edisi TB II), LAI, 1997, sedangkan teks-teks Perjanjian Lama diambil dari ALKITAB (edisi TB), LAI, 1992.
[4] “The brothers and sisters as well as the fraternities should adhere to the indications of the Ritual with respect to the different forms of participating in the liturgical prayer of the Church, giving priority to the celebration of the Liturgy of the Hours” (General Constitutions of the Secular Franciscan Order-2001. Article 14.4).
[5] “Totus non tam orans, quam oratio factus” (dipetik dari HF, hal. 386).
[6] TAU-Review on Franciscanism, Vol. X, Number 4, December 1985, hal. 118-125.
[7] Tradisi kuno untuk menyucikan saat-saat tertentu dalam irama harian melalui ibadat-ibadat yang khusus, hampir tidak berpengaruh lagi selama abad-abad terakhir (sebelum Konsili Vatikan II), ketika muncul kebiasaan untuk berdoa brevier secara pribadi tanpa banyak mempedulikan saat yang tepat (lihat WW, hal 27).
[8] Sejak awal Injilnya, Yohanes menulis tentang Yesus: “Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia” (Yoh 1:9). Yesus sendiri bersabda: “Akulah terang dunia; siapa saja yang mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang kehidupan” (Yoh 8:12).
[9] Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI berbunyi: “sungguh Engkau telah menjadi pertolonganku, dan dalam naungan sayap-Mu aku bersorak-sorai.”
[10] TATA PERAYAAN EKARISTI (BUKU IMAM), Yogyakarta: KWI/Penerbit Kanisius, 2005, hal. 143-145.
[11] Tidak mengherankanlah kalau Tuhan Yesus Kristus mengingatkan kepada Santa Faustina dari Polandia, bahwa pukul 3 siang adalah “Jam kerahiman Ilahi” dan kita para murid-Nya haruslah mensyukuri kenyataan tersebut dalam doa.
[12] S. Benedictus, Regula monaster., c. 19.
[13] Bagi saudara-saudari yang berminat untuk mendalami hubungan antara mazmur-mazmur dengan Kristus, saya menganjurkan membaca dan mempelajari buku kecil (90 halaman) karangan Pater Brian McNeil, CHRIST IN THE PSALMS, Dublin, Ireland: Veritas Publications, 1980.
[14] Untuk uraian yang lebih komprehensif, dapat dilihat dalam PIH, 109.
[15] Antifon pembukaan Ibadat Harian berbeda-beda menurut hari liturgi, sebagaimana dicantumkan dalam buku IBADAT HARIAN (PIH 36).
[16] Dalam buku IBADAT HARIAN tertulis Mzm 94 (95).
[17] Dalam PIH dan buku IBADAT HARIAN mazmur-mazmur ini disebut sebagai Mzm 94 (95), Mzm 99 (100), Mzm 66 (67) atau Mzm 23 (24). Untuk sementara dapatlah dikatakan bahwa munculnya dua angka secara berbarengan dalam sebuah mazmur adalah karena pembagian mazmur-mazmur yang berbeda-beda, yaitu (1) menurut Septuaginta (Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani, yang diikuti oleh Vulgata – Kitab Suci dalam bahasa Latin yang digunakan Gereja Roma) dan (2) menurut Perjanjian Lama bahasa Ibrani (nomor yang berada di antara kurung) yang digunakan praktis di mana-mana, termasuk dalam Alkitab terbitan LAI. Saya menggunakan angka-angka yang di dalam tanda kurung karena lebih lazim digunakan dalam buku-buku introduksi dan/atau tafsir Mazmur. Perbedaan ini dijelaskan dalam buku Pater Leopold Sabourin SJ, THE PSALMS – THEIR ORIGIN AND MEANING, Bangalore, India: The Theological Publications in India, St. Peter’s Seminary, 1971, hal. 4-6. Lihat juga WW, hal. 50.
[18] ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI menyajikan teks yang lebih greget dan cocok dalam konteks ini: “Dari terbitnya sampai kepada terbenamnya matahari terpujilah nama TUHAN.”
[19] Santo Basilius M., Regulae fusius tractatae, Resp. 37:3; PG 31, 1014. Dipetik dari PIH 38).
[20] Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI berbunyi: “Ya Tuhan, bukalah bibirku, supaya mulutku memberitakan puji-pujian kepada-Mu”. Menarik adalah teks dari ALKITAB KABAR BAIK terbitan LAI yang berbunyi seperti berikut: “Ya Tuhan, tolonglah aku berbicara, maka aku akan memuji-muji Engkau” (Mzm 51:15).
[21] Menarik untuk membandingkan teks dalam buku Ibadat Harian dengan teks yang terdapat dalam ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI yang berbunyi: “Haleluya! Nyanyikanlah bagi TUHAN nyanyian baru! Pujilah Dia dalam jemaah orang-orang saleh”.
[22] Teks dari PERJANJIAN BARU (edisi TB II) terbitan LAI yang digunakan berbunyi sebagai berikut: “Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang …”
[23] Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI berbunyi: “surya kebenaran”.
[24] Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI berbunyi: “surya pagi dari tempat yang tinggi”.
[25] Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI berbunyi: “Tetapi aku mau menyanyikan kekuatan-Mu, pada waktu pagi aku mau bersorak-sorai karena kasih setia-Mu; sebab Engkau telah menjadi kota bentengku, tempat pelarianku pada waktu kesesakanku. Ya kekuatanku, bagi-Mu aku mau bermazmur; sebab Allah adalah kota bentengku, Allahku dengan kasih setia-Nya.
[26] Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI berbunyi: “TUHAN, pada waktu pagi Engkau mendengar seruanku, pada waktu pagi aku mengatur persembahan bagi-Mu, dan aku menunggu-nunggu.”
[27] Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI berbunyi: “Bangunlah, hai jiwaku, bangunlah, hai gambus dan kecapi, aku mau membangunkan fajar!”
[28] Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI berbunyi: “Pagi-pagi buta aku bangun dan berteriak minta tolong; aku berharap kepada firman-Mu.”
[29] Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI berbunyi: “Hatiku siap, ya Allah, aku mau menyanyi, aku mau bermazmur. Bangunlah, hai jiwaku, bangunlah, hai gambus dan kecapi, aku mau membangunkan fajar.”
[30] Teks dari ALKITAB (edisi TB) berbunyi: “Perdengarkanlah kasih setia-Mu kepadaku pada waktu pagi, sebab kepada-Mulah aku percaya!” Mzm 143:1-11 digunakan juga sebagai mazmur kedua dalam Ibadat Sore Sabtu suci dan sebagai mazmur dalam Ibadat Penutup hari Selasa.
[31] Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI berbunyi: “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!”
[32] Kita dapat saja mendoakan/mendaraskan kidung-kidung Perjanjian Lama tanpa mendalaminya pesan yang ingin disampaikannya. Namun demikian pengetahuan dasar tentang konteksnya sungguh membantu. Pengetahuan tentang latar belakang teks tertentu dan hal-hal yang perlu diketahui, biasanya dapat dibaca dalam buku tafsir yang baik.
[33] Teks dari ALKITAB (edisi TB) berbunyi sebagai berikut: “Ketika TUHAN memulihkan keadaan Sion, keadaan kita seperti orang-orang yang bermimpi. Pada waktu itu berkatalah orang di antara bangsa-bangsa: ‘TUHAN telah melakukan perkara besar kepada orang-orang ini!’ TUHAN telah melakukan perkara besar kepada kita, maka kita bersukacita.”
[34] Teks dari ALKITAB (edisi TB) berbunyi sebagai berikut: “Tuhan, Engkaulah tempat perteduhan kami turun-temurun. Sebelum gunung-gunung dilahirkan, dan bumi dan dunia diperanakkan, bahkan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya Engkaulah Allah.”
[35] Itulah sebabnya mengapa kita mendarasnya sambil berdiri dan mengapa kita membuat tanda salib sebelum mendarasnya.
[36] Teks dari PERJANJIAN BARU (edisi TB II) terbitan LAI berbunyi: “… oleh rahmat dan belas kasihan dari Allah kita, yang dengannya Ia akan datang untuk menyelamatkan kita, Surya pagi dari tempat yang tinggi, untuk menyinari mereka yang tinggal dalam kegelapan dan dalam naungan maut untuk mengarahkan kaki kita kepada jalan damai sejahtera.”
[37] Santo Basilius M., Regulae fusius tractatae, Resp. 37:3; PG 31, 1015. Dipetik dari PIH 39.
[38] Cassianus, De institutione coenob., lib. 3, c.3: PL 49, 124.125. Dipetik dari PIH 39.
[39] S. Cyprianus, De oratione dominica, 35: PL 4, 560. Dipetik dari PIH 39.
[40] Teks dari PERJANJIAN BARU (edisi TB II) berbunyi: “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Jurusselamatku.”
[41] Teks dari ALKITAB (edisi TB) terbitan LAI berbunyi: “Biarlah doaku adalah bagi-Mu seperti persembahan ukupan, dan tanganku yang terangkat seperti persembahan korban pada waktu petang.”
[42] Uraian berikutnya tentang kehendak Allah memanfaatkan pikiran dari Pater Charles E. Miller, CM (CEM, hal. 44-45).
[43] Teks dari ALKITAB (edisi TB) berbunyi: “Inilah hari yang dijadikan TUHAN, marilah kita bersorak-sorak dan bersukacita karenanya!”
[44] Tujuan dari responsorium ini adalah: (1) memberi penerangan atas Bacaan yang baru dibacakan; (2) menempatkan Bacaan yang baru dibacakan ke dalam Sejarah Penyelamatan; (3) memproyeksikan dalam Bacaan isi daripada Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru; (4) membuat Bacaan menjadi doa dan kontemplasi (AMB, hal. 123).
20 January 2010 sangsabda
Categories: DOA-DOA