BEBERAPA CATATAN
“Yang Mahaluhur, Mahakuasa, Tuhan yang baik, milik-Mulah pujaan, kemuliaan dan hormat dan segala pujian.
Kepada-Mu saja, Yang Mahaluhur, semuanya itu patut disampaikan, namun tiada insan satu pun layak menyebut nama-Mu.
Terpujilah Engkau, Tuhanku, bersama semua makhluk-Mu, terutama Tuan Saudara Matahari; dia terang siang hari, melalui dia kami Kauberi terang.
Dia indah dan bercahaya dengan sinar cahaya yang cemerlang; tentang Engkau, Yang Mahaluhur, dia menjadi lambang.
Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari Bulan dan bintang-bintang, di cakrawala Kaupasang mereka, gemerlapan, megah dan indah”
(Sebagian dari “Nyanyian Saudara Matahari” atau “Puji-pujian Makhluk-makhluk” atau “Gita Sang Surya”; NyaMat 1-5 dalam buku “Karya-karya Fransiskus dari Asisi, suntingan Sdr. Leo Laba Ladjar OFM).
Orang kudus pelindung ekologi. Sejak abad yang lalu, Fransiskus barangkali lebih dikenal dalam hal cintanya kepada alam ciptaan daripada unsur tunggal lainnya dalam kehidupannya. Pada tanggal 29 November 1979, Paus Yohanes Paulus II mengangkatnya sebagai orang kudus pelindung ekologi. Banyak sekali patung dan jendela-kaca gereja-gereja yang menunjukkan orang kudus ini bersama burung-burung (1Cel 58) atau serigala dari Gubbio (Fioretti, 21).
Ada banyak cerita tentang Fransiskus dan perjumpaan-perjumpaannya dengan macam-macam makhluk ciptaan: dengan binatang/hewan seperti burung-burung, ikan, bahkan serangga. Ia melangkah di atas batu-batu dengan penuh hormat; dia merasa gembira bila mendengar suara air yang mengalir atau angin yang bertiup. Fransiskus memang memiliki suatu kecintaan yang istimewa kepada makhluk-makhluk hidup, yang kehadirannya dirasakan olehnya sebagai sesuatu yang indah. Di atas segalanya, ketika Fransiskus berpaling kepada Allah tanpa mengenakan topeng dan dirinya diliputi ketakjuban akan misteri inkarnasi, maka alam ciptaan menjadi kudus baginya. Segala hal yang diciptakan oleh Allah juga telah disentuh oleh kehadiran “Sabda yang menjadi daging” (Yoh 1:14). Dengan demikian, Fransiskus tidak hanya seorang pencinta alam dan seorang penyair yang menyaksikan keindahan dari semua hal yang ada di sekeliling dirinya. Secara lebih mendalam, dia sebenarnya terpesona dengan kehadiran Allah dalam tatanan ciptaan-Nya. Orang kudus ini memang mengawali suatu cara baru bagi umat Kristiani untuk memahami dunia ciptaan.[1]
Rasa takjub orang kudus ini terhadap alam ciptaan dapat kita baca dalam riwayat hidupnya, misalnya dalam 1Cel, 53-54 dan 1Cel, 72-73. Namun sekarang saya mengajak para pembaca untuk membaca dan merenungkan apa yang ditulis dalam riwayat hidupnya yang disusun oleh Santo Bonaventura: “Ia bersorak-sorai atas segala perbuatan tangan Tuhan; dan lewat pemandangan-pemandangan yang menyenangkan itu hatinya bangkit kepada Dasar dan Sebab yang menghidupkan itu. Dalam hal-hal yang indah dilihatnya Yang Mahaindah. Ia mengikuti sang Kekasih di mana-mana lewat jejak-jejak yang ditinggalkan-Nya pada benda-benda; dari semuanya dibuatnya bagi dirinya tangga yang dapat dinaikinya untuk sampai kepada Dia, yang sepenuhnya amat menarik itu. Dengan perasaan bakti yang hingga itu belum terkenal ia mengenyam Sumber segala kebaikan dalam tiap-tiap makhluk bagaikan dalam aliran-aliran. Dan seakan-akan ia mengenali lagu surgawi dalam perpaduan daya-daya serta tingkah-tingkah laku yang dicurahkan Tuhan kepada mereka, maka seperti nabi Daud ia menganjurkan kepada makhluk-makhluk itu dengan ramah-tamah untuk memuji Tuhan (Legenda Maior IX, 1; terjemahan P. Y. Wahyosudibyo OFM).
Bapa kami yang ada di surga. Ketika Fransiskus mendeklarasikan bahwa bapaknya adalah “Bapa kami yang ada di surga”, selagi dia melepaskan pakaiannya di hadapan uksup Assisi (1Cel 15), tentunya dia tidak menyadari segala implikasi dari deklarasinya itu. Apabila Allah adalah Bapa dari semua umat manusia dan tentunya juga dari semua hal yang ada, maka semua makhluk ciptaan Allah juga mempunyai hubungan satu sama lain sebagai saudara karena mempunyai satu Bapa yang sama. Jadi, Fransiskus sampai kepada pemahaman bahwa keluarga Allah termasuk juga burung, semut, batu, dlsb. seperti juga semua manusia, apakah kaya, miskin, perempuan, laki-laki, berwarna kulit putih, kuning, sawo matang, hitam dlsb.[2] Bagaimana tepatnya Fransiskus sampai kepada wawasan seperti ini tidak secara terinci dijelaskan dalam dokumen-dokumen yang ada. Benih-benih dari pandangan tentang alam semesta memang dapat kita temukan dalam bab-bab awal Kitab Kejadian, dan Fransiskus sangat akrab dengan Kitab Suci dan dapat dikatakan merupakan salah seorang penafsir Kitab Suci yang cemerlang. Jadi, kiranya ada peranan Kitab Suci juga dalam hal ini. Ketika Fransiskus berjalan melalui hutan atau mendengarkan siulan seekor burung, hal tersebut bukanlah sekadar suatu perjumpamaan antara dirinya dengan makhluk yang lain; melainkan ini adalah suatu perjumpaan yang senantiasa dimediasikan oleh apa yang Fransiskus pahami tentang Allah dan alam ciptaan seperti dibaca dan direnungkannya dari Kitab Suci.
Fransiskus bukanlah secara khusus meminati burung-burung dlsb., melainkan karena semua itu merepresentasikan kualitas-kualitas moral dan ajaran-ajaran moral, dan semua itu juga menolong membawa Fransiskus kepada suatu pemahaman yang lebih besar akan Bapa surgawi dan pengalaman akan Dia yang disyeringkan olehnya dengan mereka. Fransiskus tidak secara khusus meminati perilaku hewan atau benda-benda tak bernyawa demi hewan atau benda-benda itu. Sebaliknya, dia menemukan dalam alam ciptaan berbagai jawaban atau petunjuk berkaitan dengan kodrat Sang Pencipta dan suatu pemahaman tentang hukum-hukum-Nya.
Luka-luka lingkungan hidup yang disebabkan ulah manusia. Fransiskus memiliki pemahaman mendalam tentang kehadiran Ilahi dalam alam ciptaan. Sebaliknya, kebanyakan dari umat manusia zaman modern telah kehilangan kepekaan akan kehadiran Ilahi tersebut, dan kecenderungan mereka adalah merusak lingkungan hidup. Industrialisasi memang merupakan suatu keharusan untuk pembangunan ekonomi sebuah negara, namun proses ini harus disertai dengan sikap dan perilaku yang tidak merugikan alam ciptaan. Laba tidaklah boleh menjadi motif satu-satunya untuk berbisnis, karena perusahaan dan para pemiliknya tidaklah hidup sendiri di atas bumi ini. Umat manusia di mana saja harus berjuang melawan bencana alam dalam berbagai bentuknya, juga wabah penyakit dll., namun perjuangan tersebut tidak boleh membuat manusia menjadi penindas alam. Dengan bantuan teknologi yang cocok dan memadai, manusia dapat memanfaatkan alam/lingkungan hidup tanpa harus merusak atau menghancurkannya. Manusia harus sadar bahwa mereka tidak tinggal sendiri di atas muka bumi. Lihatlah apa yang terjadi dengan orang-utan dan gajah Sumatera sekarang ini, misalnya. Dramanya masih berlangsung dan sedang ditayangkan oleh beberapa stasiun televisi internasional.
Luka-luka atas alam ciptaan yang disebabkan oleh tangan-tangan manusia telah menggiring dunia kepada krisis ekologi yang semakin mendalam dan semakin meluas. Krisis ekologi yang tidak main-main ini, teristimewa sejak paruhan kedua abad ke-20 telah membuat komunitas-komunitas iman (gereja-gereja) menjadi bersikap kritis terhadap tradisi dan praktek teologi selama ini. Kita harus bertanya kepada diri kita sendiri bagaimana pandangan dunia dari Gereja berkontribusi terhadap krisis yang semakin mendalam berkaitan dengan ecosystem. Dalam artian tertentu, krisis ekologi yang dihadapi dunia berarti juga krisis di bidang teologi bagi kita. Patut kita ketahui bahwa dokumen Konsili Vatikan II yang berjudul “Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja di Dunia Dewasa ini” (7-12-65) juga luput membahas dan memberi pengarahan pastoral tentang masalah lingkungan hidup.[3] Sebagai Gereja, kita harus bergumul dengan realitas menyakitkan bahwa teologi, kita, penyembahan kita, dan pelayanan kita tidak hanya gagal untuk mempertahankan alam ciptaan, namun telah berkontribusi terhadap eksploitasi dan penghancuran.[4]
Sekarang, petunjuk-petunjuk apa saja kita miliki dari kehidupan Santo Fransiskus dari Assisi berkaitan dengan relasi yang benar antara manusia dan selebihnya dari ciptaan Allah? Jawaban Fransiskus adalah “persaudaraan dengan segenap alam ciptaan”. Cukuplah bagi kita untuk membaca “Gita Sang Surya” yang disusunnya dan dihayati juga olehnya secara penuh dan total sepanjang hidupnya. Dalam kidungnya itu, Fransiskus bahkan menyebut kematian sebagai saudarinya.
Gita Sang Surya. Dalam “Gita Sang Surya”, Fransiskus menyebut semua ciptaan sebagai saudari dan saudara, hal mana mengungkapkan inti pandangan Fransiskus (dan kemudian para anggota keluarga Fransiskan) tentang dunia dan alam semesta, yaitu bahwa Allah adalah sumber segala hal yang ada. Sang Pencipta, Allah, adalah Orangtua, baik Ibu maupun Bapa, dari segala makhluk ciptaan yang dengan demikian menjadi saudari-saudara satu sama lain. Karena semua ciptaan adalah sebagian dari keluarga ilahi ini, maka segala yang diciptakan – bernyawa atau tidak bernyawa – pantas memperoleh kasih persaudaraan dan respek. Gambaran ilahi (imago Dei) yang ada dalam diri manusia, terdapat juga dalam segala makhluk ciptaan.
Fransiskus merasa takjub terhadap kemuliaan Allah dalam alam ciptaan. Ia merasakan kehadiran Allah dalam segala hal. Ia menyapa seluruh dunia dengan sapaan hangat: Saudari! Saudara! Sifat dari perjumpaan ini dapat digambarkan dalam bahasa teolog Yahudi Martin Buber sebagai suatu perjumpaan “Aku-Engkau”. Buber melihat bahwa realitas pada dasarnya terdiri dari dua macam relasi. Relasi yang bersifat impersonal, yaitu antara subjek dan objek, “Aku-itu” meluas kepada apa yang dinamakan objek-objek, malah kepada sebagian besar manusia; dan relasi “Aku-Engkau” dialami pada saat-saat yang menghormati kesucian identitas manusia dan relasi pribadi. Fransiskus memperluas relasi “Aku-Engkau” ini ke ruang lingkup yang jauh lebih luas, yaitu segalanya yang ada. Orang kudus ini mengundang kita untuk bersamanya melihat bahwa sifat sesungguhnya dari realitas diungkapkan dalam relasi “Aku-Engkau” antara Allah sang Pencipta dan semua ciptaan. Allah adalah Allah langit, tanah, air dan semua kehidupan. Segalanya mempunyai suatu relasi dengan Allah. Melihat hal ini, kita diundang untuk menyapa dengan rasa syukur semua hal karena semua hal itu dilihatnya sebagai memancarkan kebaikan Allah.
“Gita Sang Surya” sesungguhnya bukanlah sekadar sebuah syair atau sebuah kidung-nyanyian yang indah. Karya Fransiskus ini adalah suatu perayaan mendalam penuh-makna mengenai alam ciptaan sebagai apa adanya dan seperti dimaksudkan oleh sang Pencipta. “Gita Sang Surya” menamakan realitas yang dibentuk dalam hubungannya dengan semua hal sebagai saudari dan saudara. Kidung ini mengundang kita untuk memahami tujuan kita dalam dunia tercipta sebagai sesuatu yang sederhana, yaitu berjalan dalam firdaus. Sdr. Murray Bodo OFM, dalam kata pengantarnya dalam buku karangan Susan Saint Sing, “St. Francis, Poet of Creation – The story of The Canticle of Brother Sun”, menulis sebagai berikut: “St. Francis’ Canticle of Brother Sun is a profound articulation of his journey to God. He enters into creatures, becomes one with them, and praises God through them” (Kidung Saudara Matahari dari St. Fransiskus adalah sebuah artikulasi yang mendalam tentang perjalanannya menuju Allah. Dia masuk ke dalam (dunia) makhluk-makhluk ciptaan, menjadi satu dengan mereka, dan memuji-muji Allah melalui mereka).[5]
Visi Fransiskus tentang alam ciptaan. Fransiskus mempunyai visi yang hakiki tentang firdaus, visi tentang desain orijinal dari Allah untuk ciptaan dan apa yang akan terjadi apabila Sang Pencipta dan ciptaan-Nya direkonsiliasikan, ketika Allah menjadi “Segala dalam segalanya”. Sebagai Ciptaan Baru yang sedang menjadi, kita harus sebisa-bisanya hadir ketika hal itu berkembang; kita harus mencari tanda-tanda heran yang ditunjukkannya dan mendengar keluhannya (Rm 8:23). Fransiskus melakukan hal ini; yang berada di atas segala hal yang lain, inilah yang membedakan dirinya dari orang-orang lain: di dalam dunia seperti ini dia “menembus dengan ketajaman hatinya sampai ke dalam rahasia sekalian makhluk” (1Cel 81); dia mampu melihat keindahan menakjubkan dari dunia kelak. Inilah yang dimaksudkan oleh Thomas Celano ketika dia mengatakan bahwa Fransiskus “sudah meningkat masuk sampai ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah” (1Cel 81). Jadi Fransiskus mengalami secara antisipatif masa depan untuk mana kita dipanggil. Fransiskus hadir pada Ciptaan Baru karena transformasi pada dirinya sendiri. Semangat atau roh dari “Gita Sang Surya” adalah untuk menyalakan dalam diri kita suatu kerinduan baru akan firdaus sebagai persekutuan harmonis segala makhluk ciptaan. Kita bergabung dengan Fransiskus dipenuhi pengharapan bahwa persekutuan dan keterhubungan segala pihak dalam firdaus yang primordial akan eksis kembali bila perjuangan sejarah dipecahkan pada saat eskatologis di mana segala sesuatu dibuat menjadi baru.
Teman seperjalanan dan seorang pemandu. Dalam diri Santo Fransiskus dari Assisi kita mempunyai seorang teman seperjalanan dan pemandu yang mengajar kita untuk berjalan di atas muka bumi ini dengan kerendahan hati (kedinaan) dan hati yang terbuka dan penuh syukur, sadar sepenuhnya akan keberadaan kebaikan ilahi dalam segala ciptaan. Untuk melakukan hal ini, pertama-tama kita harus membuang pemahaman diri kita sendiri yang berlebihan. Untuk mengetahui dan mengenal tempat kita di atas muka bumi ini berarti kita harus menaruh respek terhadap kenyataan adanya batasan-batasan yang telah ditetapkan untuk kita. Apabila kita berpikir bahwa diri kita melebihi ciptaan, jika kita berpikir bahwa dunia ini terdiri dari koleksi “itu, itu dan itu” yang disediakan bagi kita untuk diekploitasi secara “semau gue”, maka hal ini berarti kita berpartisipasi dalam pandangan banyak orang yang memperkenankan, merasionalisasikan, bahkan mendorong eksploitasi alam ciptaan. Untuk memulihkan kerusakan ekologis, kita harus meneguhkan nilai kita sebagai individu-individu dan sebagai spesies, dan pada saat yang sama, kita mengakui insignikansi (ketidakberartian) kita di hadapan kosmos. Kerendahan hati baru ini secara historis analog dengan saat di mana Copernicus mengatakan kepada Gereja dan masyarakat Eropa bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta.
Hanya dengan sikap rendah hati dan kedinaan. Sekali lagi, kita dipanggil untuk menerima sebuah tempat bagi kita sendiri dalam alam ciptaan – yang walaupun istimewa – namun tidaklah sentral. Sebagai makhluk ciptaan, kita harus lengser dari takhta kita sebagai penguasa alam semesta. Hanya dengan kerendahan hati inilah kita dapat mengenali kerumitan dari jaringan-kehidupan yang kepadanya kita dan makhluk-makhluk lainnya bergantung. Kesaksian hidup Fransiskus dari Assisi mendesak kita untuk melakukan pertobatan teristimewa dari kesombongan manusiawi kita yang mendorong kita untuk mendominasi dan mengalienasi makhluk-makhluk ciptaan lainnya dan tentunya alam ciptaan itu sendiri. Dengan kedinaan Fransiskan sejati, kita dapat melakukan pertobatan yang bergerak “dari kesombongan kepada rasa syukur” dan “dari eksploitasi kepada rasa percaya (trust)”. Dengan berjalannya waktu hidup pertobatan kita, maka kita dapat memulihkan rasa kesakralan hidup, tempat dan benda. Selagi kita mengucapkan terima kasih kita dengan penuh syukur untuk segala hal yang datang dari tangan Allah, kita dapat mengenali bahwa berkat-berkat alam ciptaan itu dimaksudkan untuk semua makhluk, manusia dan makhluk-makhluk bukan manusia.
Contoh rasa hormat yang ditunjukkan oleh Fransiskus dari Assisi terhadap alam ciptaan berbicara kepada kita manusia abad ke-21 dengan cara-cara yang senantiasa baru. Alasannya adalah bahwa Santo Fransiskus dari Assisi adalah orang kudus pelindung ekologi, pelindung dari mereka yang memiliki keterampilan dan panggilan untuk membuat kebanyakan orang sadar akan keindahan yang menakjubkan dari bumi dan pada saat sama juga kerapuhannya.
Panggilan untuk bertanggung-jawab. Karunia ciptaan juga merupakan sebuah panggilan bagi kita umat manusia untuk bertanggung-jawab. Kita mengetahui bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (lihat Kej 1:26.27). Oleh karena itu panggilan umat manusia adalah untuk secara penuh berpartisipasi dengan Allah dalam proses penciptaan sebuah dunia di mana damai-sejahtera dan keadilan itulah yang memerintah, dan untuk mengklaim “gambaran Ilahi” dalam diri kita agar dengan demikian kita dapat menemukan relasi kita yang benar dan tepat vis-á-vis alam ciptaan.
Debat panjang masih akan terus berlangsung di kalangan para ahli teologi dan ekologi berkaitan dengan peranan umat manusia sehubungan dengan alam ciptaan. Ada ahli-ahli ekologi yang memandang konsep alkitabiah “kepengurusan” (stewardship) bumi sebenarnya sekadar sebuah kompromI karena memandang diri manusia unik sebagai makhluk-makhluk ciptaan, yang memperoleh kebebasan-kebebasan istimewa dan tanggungjawab-tanggungjawab istimewa untuk mengendaklikan dan memanipulasi alam ciptaan. Bagi para pendukungnya, ide stewardship menyampaikan pengertian bahwa kepada kita-manusia telah dipercayakan untuk menjadi “tukang kebun” di dalam taman bumi – bahwa kita dipanggil tidak untuk memanipulasi, melainkan untuk menyuburkan dan melindungi alam ciptaan. Dalam setiap posisi lingkungan hidup terdapat pemahaman dasar bahwa manusia memiliki kapasitas untuk berefleksi dengan kesadaran diri dan kesadaran moral; kita mampu untuk mengetahui dampak dari berbagai pilihan kita dan mengubahnya. Kita harus menggunakan karunia kesadaran itu dengan baik. Kita harus melanjutkan pengujian secara kritis atas bayangan pemahaman teologis yang kita gunakan untuk memahami relasi kita dengan tatanan tercipta. Ini adalah suatu dialog yang penting dan belum selesai yang menduduki tempat sentral dalam misi kita untuk merawat dan melestarikan bumi dan untuk melakukan ecojustice (keadilan dalam bidang ekologi). Bagaimana kita memahami gambaran ilahi dalam diri kita masing-masing sangat mempengaruhi bagaimana kita melakukan pekerjaan kita. Catatan Penutup. Pada hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun 1982, Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa cinta dan perhatian Santo Fransiskus dari Assisi terhadap alam ciptaan merupakan suatu tantangan bagi umat Katolik zaman modern ini dan suatu peringatan agar mereka jangan berperilaku seperti predator dalam berurusan dengan alam, akan tetapi bertanggung jawab terhadap alam itu dan mengurusnya sehingga semuanya tetap sehat dan utuh, agar menyediakan lingkungan hidup yang menyambut baik dan bersahabat bahkan bagi mereka yang menyusul kita (generasi mendatang).
Beliau juga menulis berkaitan dengan peringatan Hari Perdamaian Sedunia tanggal 1 Januari 1990 sebagai berikut: “Santo Fransiskus dari Assisi memberikan kepada umat Kristiani sebuah contoh bagaimana menaruh respek yang tulus dan mendalam terhadap integritas ciptaan.” ……. “Sebagai seorang sahabat dari kaum miskin yang dicintai oleh makhluk-makhluk Allah, Santo Fransiskus mengundang segenap ciptaan, apakah hewan/binatang, tetumbuhan, kekuatan-kekuatan alam, bahkan Saudara Matahari dan Saudari Bulan – untuk memberi penghormatan dan puji-pujian kepada Tuhan. Orang miskin dari Assisi ini memberikan kepada kita kesaksian yang mencolok bahwa apabila kita berada dalam keadaan berdamai dengan Allah, maka kita akan lebih mampu untuk mengabdikan diri kita dalam membangun damai-sejahtera dengan segenap ciptaan yang tidak dapat dipisahkan dari damai-sejahtera di tengah semua orang” (Sumber: Wikipedia).
Masalah ekologi – teristimewa di negeri kita – merupakan masalah serius. Kita harus ikut serta memecahkannya sesuai kemampuan kita ...... sesuai dengan berbagai karunia dan talenta yang telah diberikan kepada kita masing-masing. Cara pandang Santo Fransiskus dalam hal ini merupakan sebuah pilihan yang patut dipertimbangkan.
Cilandak, 23 Oktober 2013 [Pesta S. Yohanes dari Capistrano]
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
[1] William R. Cook, FRANCIS OF ASSISI, Collegeville, Minnesota: A Michael Glazier Press, The Liturgical Press, 1989, hal. 52.
[2] Dalam hal ini, bdk. apa yang ditulis oleh Hilarin Felder, O.M. Cap., THE IDEALS OF ST. FRANCIS OF ASSISI, (translated by Berchmans Bittle OMCap.), Chicago, Ill.: Franciscan Herald Press, 1982, hal. 414.
[3] Bacalah tulisan saya yang berjudul “BEBERAPA CATATAN TAMBAHAN MENGENAI SIKAP TERHADAP ALAM SEMESTA SESUDAH ‘GAUDIUM ET SPES’” (dalam situs/blog SANG SABDA http://sangsabda.wordpress.com; posting tanggal 5 Juni 2010).
[4] Marie Dennis, Joseph Nangle OFM, Cynthia Moe-Lobeda, Stuart Taylor, ST, FRANCIS AND THE FOOLISHENSS OF GOD, Maryknoll, New York: Orbis Books, 1993, hal. 107.
[5] Susan Saint Sing, St. Francis, Poet of Creation – The story of The Canticle of Brother Sun, Chicago, Ill.: Franciscan Herald Press, 1985, hal. 1.