Pada tanggal 17 November, Gereja dan teristimewa keluarga Fransiskan merayakan Pesta Santa Elisabet dari Hungaria, Ratu dan Pelindung dari Ordo Fransiskan Sekular (bersama Santo Ludovikus IX). Tidak seperti yang disebutkan dalam penanggalan liturgi, Santa Elisabet bukanlah seorang biarawati, melainkan seorang anggota Ordo Ketiga S. Fransiskus yang sekular. Bagi kita yang hidup di abad ke-21 ini, orang kudus ini tetap merupakan suatu model kekudusan yang relevan. Walaupun ia hidup di abad ke-13, tantangan-tantangan yang dihadapinya terkesan begitu familiar bagi banyak dari kita dewasa ini.
Santa Elisabet menikah pada usia yang muda belia, dengan suaminya yang bernama Ludwig dan pasutri ini dianugerahi dengan tiga orang anak. Pernikahan mereka sugguh terberkati, berbahagia dan sungguh merupakan suatu ikatan persatuan kasih. Namun demikian Elisabet tidak luput dari tragedi yang menimpa diri dan keluarganya. Anaknya yang ketiga, Gertrudis, dilahirkan setelah Ludwig meninggal dunia di Otranto selagi bersiap-siap bergabung dengan pasukan perang salib dari Frederick II. Pada waktu Elisabet baru berumur 20 tahun, ia “ditakdirkan” untuk hidup sebagai seorang single mother dari tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Dalam kesedihan yang mendalam, Santa Elisabet, seorang janda berumur 20 tahun berseru nyaring, “Dunia dengan segala sukacitanya sekarang mati bagi diriku.”
Namun beban penderitaan belumlah berlalu bagi Elisabet. Salah seorang pelayannya mengklaim bahwa ipar laki-laki Elisabet, wali dari anak laki-lakinya yang berumur lima tahun, mengusir Elisabet keluar dari puri kerajaan ke tengah-tengah dinginnya musim dingin. Lagipula anak-anaknya dipisahkan dari dirinya untuk diurus di tempat lain. Ada juga yang mengklaim bahwa Elisabet meninggalkan puri tempat kediamannya secara sukarela karena alasan-alasan moral, namun kenyataannya adalah bahwa sekarang Elisabet adalah seorang janda, tanpa rumah, dan tanpa anak-anaknya.
Akankah ada orang yang menuduh Elisabet berbuat kesalahan apabila dia mengambil sejumlah kecil uang yang diterimanya sebagai “mas kawin” (mahar) sebagaimana diinginkan pamannya, dan kemudian hidup bahagia dalam kenyamanan? Sebaliknya, Elisabet malah bermaksud mengikuti jejak Tuhan. Ia berjanji tidak akan menikah lagi dan mengabdikan dirinya dalam memelihara serta merawat orang-orang sakit, teristimewa mereka yang menderita penyakit-penyakit yang paling “menghebohkan”. Elisabet dengan sadar sesadar-sadarnya menolak hidup privilese dan memilih menjadi miskin bersama orang-orang miskin.
Kita juga acapkali menghadapi keadaan-keadaan di mana kita tidak memegang kendali, dan kita juga harus membuat pilihan seturut Injil dan kehendak Allah bagi hidup kita.
· Berapa banyak orang yang masa kecilnya secara tiba-tiba diubah oleh keadaan di luar kendali mereka, namun demikian terus mempunyai iman kepada Kristus?
· Berapa banyak orang yang telah begitu mengasihi pasangan hidupnya dan ditinggalkan karena kematian, namun menemukan kenyamanan dalam kasih kepada Allah?
· Berapa banyak orang yang anak-anaknya direbut dari pelukan mereka karena nasib buruk atau kematian pasangan hidup mereka, namun tetap teguh berpengharapan dalam Kristus?
· Berapa banyak yang menderita karena dihina dan dicerca dst., sebab mereka tidak mau berkompromi dalam ketaatan melaksanakan perintah-perintah Allah?
· Berapa banyak orang yang dalam kesulitan hidup terus mengikuti jejak Kristus yang miskin dan tersalib?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini adalah:
· Semua orang, seperti Santa Elisabet dari Hungaria, yang memiliki suatu relasi dengan Allah secara mendalam dan tak kunjung hilang.
· Semua orang, seperti Santa Elisabet dari Hungaria, yang percaya akan suatu rasa keadilan dan kesetaraan bagi semua makhluk Allah.
· Semua orang, seperti Santa Elisabet dari Hungaria, dan memperoleh jawaban terhadap kesulitan-kesulitan hidup dengan memberikan diri mereka kepada penyelenggaraan Allah dalam sukacita dan ketakjuban.
· Semua orang, seperti Santa Elisabet dari Hungaria, yang menemukan kekuatan untuk maju terus mengikuti jejak Kristus seturut teladan Santo Fransiskus dari Assisi.
Saudari dan Saudariku, demikian catatan singkat mengenai seorang kudus yang masa hidupnya di dunia ini relatif singkat. Seorang ratu yang sempat hidup miskin tidak bedanya dengan pengemis, namun tetap setia kepada Kristus, sang Tersalib, Tuhan dan Juruselamatnya. Semoga hidupnya yang padat dengan karya kasih dalam Kristus dapat menjadi contoh konkret untuk diteladani, juga oleh kita-kita yang sudah “lansia” ini.
Cerita yang lebih terinci dengan judul “SANTA ELISABET DARI HUNGARIA [1207-1231], (tulisan tanggal 13 November 2009) dapat anda temukan dalam situs/blog PAX ET BONUM http://catatanseorangofs.wordpress.com tanggal 20 Januari 2010; kategori ORANG-ORANG KUDUS FRANSISKAN.
Bahan utama yang digunakan untuk “surat” ini adalah tulisan dari Sdri. Anne Mulqueen, OFS yang terdapat dalam situs CIOFS www.ciofs.org. Selamat Pesta !!!
Cilandak, 17 November 2011
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS