SEBUAH PERKENALAN *)
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
Sebuah perjalanan kembali kepada Santo Fransiskus selalu berarti sebuah perjalanan kembali kepada Injil: dan inilah yang dibutuhkan oleh dunia modern masa kini. (Ernesto Caroli, OFM – 1975)
Orang kudus yang unik ini lahir lebih dari delapan abad lalu di sebuah kota kecil di Lembah Umbria, namun pengaruhnya sungguh luar biasa. Pada saat ini ada jutaan orang di segala penjuru dunia yang menyatakan diri mereka sebagai para pengikut dari “Si Kecil Miskin dari Assisi” ini, tidak terbatas pada para pemeluk agama Katolik Roma saja, tetapi juga anggota-anggota jemaat Kristen lainnya, antara lain Gereja Anglikan dan Lutheran. Keluarga Fransiskan merupakan keluarga rohani terbesar dalam Gereja Katolik.
Kelahiran Sang Calon Santo dan Masa Remajanya
Orang kudus ini lahir di Assisi pada akhir tahun 1181 atau awal tahun 1182, tapi tanggalnya tidak pernah jelas. Tanggal 26 September 1181? Ataukah Februari 1182? Entahlah! Pada waktu kelahirannya, yang duduk di Tahkta Suci adalah Paus Lucius III dan yang memegang tampuk pemerintahan adalah Kaisar Frederick I Barbarossa. Ayahnya bernama Pietro Bernardone dan ibunya bernama Donna Pica. Pak Petrus adalah seorang pedagang kain sukses di kota Assisi, yang selalu sibuk berbisnis. Meski kaya raya Pak Petrus tidak tergolong kaum bangsawan (majores).[1] Di lain pihak Nyonya atau Ibu Pica yang berasal dari Perancis (mungkin dari Provence), adalah seorang ibu rumah tangga yang baik.
Dia melahirkan anaknya – yang nantinya menjadi orang kudus ini – pada saat suaminya sedang dalam perjalanan bisnis ke Perancis. Dia ingin agar anaknya yang baru lahir ini dinamakan Giovanni (Yohanes), demikianlah nama baptis yang diberikan kepada bayi yang baru lahir ini. Alkisah, pada hari Yohanes dibaptis ada seorang peziarah datang mengemis ke rumah keluarga Pak Petrus. Setelah menerima derma dari pembantu/pelayan rumah tangga (PRT) Pak Petrus, orang asing itu berkata kepada PRT itu: “Saya mohon anda menunjukkan anak yang lahir hari ini karena saya ingin sekali melihat anak itu.” Sang PRT menjawab bahwa bahwa hal itu tidak mungkin, namun peziarah itu bersikukuh mau melihat anak itu. Dia tidak akan pergi kalau permohonannya tidak dikabulkan. PRT tadi sungguh merasa kesal, maka dia pun meninggalkan peziarah itu dan bergegas masuk kembali ke dalam rumah. Ketika Ibu Pica mendengar apa yang terjadi, dia tertegun dan menyuruh PRT-nya itu untuk menunjukkan bayi itu kepada sang peziarah. Sang peziarah menyambut bayi mungil itu dan menggendongnya. Seperti Simeon yang menggendong kanak-kanak Yesus (lihat Luk 1:21-35), sang peziarah dengan penuh bakti dan suka cita menggendong bayi anak Pak Petrus dan Ibu Pica ini. Peziarah itu berkata; “Pada hari ini dua orang anak lahir di kota ini, yang satu ini akan menjadi di antara yang terbaik bagi umat manusia dan yang lainnya di antara yang terburuk.” Seluruh dunia telah melihat bahwa “nubuat” peziarah itu tentang “salah seorang yang terbaik bagi umat manusia” memang sudah terwujud dalam diri Bapak Serafik kita, tetapi kita sungguh tidak tahu siapa “salah seorang terburuk” yang lahir pada hari bersamaan itu.
Ketika Pak Petrus kembali dari Perancis, dalam kegembiraan meluap-luap dia “ngotot” agar anaknya ini dinamakan Francesco (Fransiskus)[2], artinya “anak kecil Perancis”, mungkin karena kesukaannya pada apa saja yang berbau Perancis. Menurut para penulis, sebelumnya tidak ada orang yang memakai nama itu. Wah, betapa orijinal Pak Petrus ini! Pietro Bernardone adalah seorang pedagang yang sibuk. Dia mempercayakan Ibu Pica untuk terlibat dalam pendidikan awal Fransiskus. Sebagai seorang ibu yang baik dan sungguh mengasihi puteranya yang satu ini, Ibu Pica melibatkan diri dalam membimbing anaknya di bidang rohani. Tak diragukan lagi, dialah orang yang menaburkan benih untuk kesucian anaknya di masa depan. Tidak jauh dari rumah keluarga mereka ada sebuah sekolah yang terletak di samping gereja San Giorgio. Di sinilah Fransiskus kecil sedikit dibekali dengan bahasa Latin, pelajaran membaca, menulis dan berhitung, agar kelak dia dapat mengikuti jejak sang ayah. Memang itulah yang sudah sejak awal tertanam dalam benak Pak Petrus, dia memang ingin agar anak yang satu ini menjadi pewaris bisnisnya. Lihat saja, pada usia lima belas tahun Fransiskus sudah mulai terlibat dalam bisnis Pak Petrus. Dengan cepat terlihat bahwa dia memang berbakat sebagai seorang pedagang yang lihai dan praktis. Kemampuannya berbahasa Perancis tentunya diperoleh dari Ibu Pica dan mungkin juga ayahnya, karena bahasa Perancis memang diperlukan kalau mau menggeluti dunia bisnis pada masa itu.
Masa remaja Fransiskus penuh dengan kemewahan, kegembiraan, pesta pora dan musik. Dia juga menjadi pemimpin teman-teman sebayanya. Dia adalah seorang muda yang penuh daya tarik, berhati baik, penuh humor, kaya dan dimanja orang tuanya. Ambisinya adalah untuk menjadi seorang ksatria seturut pahlawan-pahlawan dalam angan-angannya, yaitu para ksatria di sekitar Raja Arthur (knights of the round table). Dalam kehidupan masa mudanya yang penuh kesenangan itu Fransiskus menjadi idola dari muda-mudi kota kecil Assisi, antara lain karena dia cukup baik dalam “membuang-buang uang ayahnya.”
Sebuah Selingan (intermezzo)
Pada tahun 1198 Kardinal Lothair dari Segni[3] yang baru berusia 37 tahun dipilih menjadi Paus Innocentius III (+ 1216). Pada waktu yang bersamaan rakyat Assisi memberontak terhadap Conrad dari Lutzen, Adipati Agung (Grand duke) dari Spoleto yang merupakan orang kepercayaan Barbarossa dan keluarganya. Rakyat Assisi menyerbu Rocca, tempat Conrad tinggal dan mengawasi kota Assisi. Rocca ini tetap dalam keadaan hancur berantakan dan tak dihuni untuk waktu yang lama, sampai dibangun kembali oleh Kardinal Legatus Egidius dari Albomoz di paruhan kedua abad ke 14.
Dari tahun 1199 sampai 1200 rakyat dan para burghers dari Assisi menyerang istana-istana milik para bangsawan. Pada tahun 1200 Klara (Chiara – lahir tahun 1193), puteri dari Favorino dari Offreducci dan Tuan Puteri Ortolana Fiumi, meninggalkan Assisi bersama keluarga dan para bangsawan lainnya untuk mengungsi ke Perugia. Keluarga Offreducci mempunyai sebuah rumah di Assisi dekat sudut jalan di San Rufino. Rumah itu diserbu dan dijarah oleh para pemberontak seperti rumah-rumah lain yang dimiliki para bangsawan. Tiga bersaudara Offreducci, yaitu Favorino, Monaldo dan Scipione meninggalkan Assisi dan pindah ke Perugia. Permusuhan yang penuh kekerasan antara kedua kota itu berlangsung sampai 31 Agustus 1205, bahkan sampai tahun 1210. Jadi banyak dari masa kecil Klara dialaminya di Perugia. Pada tahun 1202 Favorino dan Monaldo berperang bersama orang-orang Perugia melawan pasukan-pasukan komunal Assisi. Ada seorang muda yang ikut bertempur dalam pasukan Assisi itu, ………namanya Fransiskus.
Pertobatannya
Pada bulan Januari 1202 Pak Petrus Bernardone membeli sebidang kebun anggur dan sebidang tanah dari seseorang yang bernama Falamanza. Pada tanggal 12 September tahun yang sama pecah pertempuran antara orang-orang Assisi dan orang-orang Perugia di medan yang terletak antara Collestrada dan Ponte San Giovanni, sebuah desa kecil yang terletak antara Assisi dan Perugia. Pasukan Assisi dipimpin oleh Girard dari Gilbert, konsul dari kota Assisi. Pasukan Assisi menderita kekalahan berat dan Fransiskus turut menjadi tawanan perang di Ponte San Giovanni. Namun karena harta-kekayaan ayahnya, Fransiskus tidak dijebloskan ke dalam sel yang diperuntukkan bagi serdadu biasa, tetapi ditempatkan bersama para ksatria. Pemisahan antara rakyat biasa dan bangsawan seperti ini mulai menghantui pikiran dan menggelisahkan pemuda Fransiskus. Fransiskus ditawan hampir satu tahun lamanya. Selama di penjara (tahun 1202 – 1203) Fransiskus menghibur para tawanan dan pada umumnya membuat yang terbaik dari suatu situasi yang sulit, sebuah pola-laku yang akan berulang terus selama hidupnya.
Meskipun lebih baik jika dibandingkan dengan sel tahanan untuk serdadu biasa, sel tahanan bagi para bangsawan yang lembab dan jorok akhirnya berdampak pada kesehatan anak muda itu. Juga dapat dikatakan di sini bahwa sistem penjara pada waktu itu cukup keras dan pemberian hukuman di depan publik bukan sesuatu yang aneh. Pak Petrus pada akhirnya berhasil menebus puteranya atas dasar pertimbangan kesehatan. Ada penulis yang mengatakan bahwa fakta Fransiskus dilepaskan dari penjara selagi perang masih berlangsung menunjukkan bahwa Pak Petrus datang menolong puteranya yang sedang sakit itu dengan membayar uang tebusan. Pada kenyataannya tawanan yang sakit dititipkan pada kongregasi-kongregasi dan konfraternitas-konfraternitas yang mendedikasikan diri pada kerja pelayanan ini, sehingga akhirnya para tawanan sakit yang dirawat dapat ditolong oleh orangtua mereka.
Fransiskus kembali ke Assisi sebelum tahun 1203 berakhir. Penyakit yang mulai diidapnya di penjara dekat Perugia itu membutuhkan waktu lama untuk disembuhkan. Oleh karena itu tahun 1204 dijalaninya sambil terbaring di atas tempat tidur,… seperti penjara lagi, sebuah masa pencobaan lagi. Ketika akhirnya sembuh dari penyakitnya, dia berjalan-jalan di bukit-bukit Assisi dengan hati sedih, seakan dunia telah kehilangan kemegahannya. Namun secercah sinar telah menyusup ke dalam diri Fransiskus; dia tidak lagi melihat dengan mata cerah seorang anak. Di sini, di padang gurun desolasinya, dia mulai mendengar suara-suara dan melihat visi-visi yang akan mengubah hidupnya, yang membuat dirinya kembali menjadi seorang anak lagi.
Suara pertama terdengar dalam sebuah mimpi di kota Spoleto di tahun 1205. Pada waktu itu Fransiskus sedang menuju Apulia untuk bergabung dengan pasukan ekspedisi yang dipimpin oleh Walter dari Brienne.[4] Cita-citanya untuk menjadi seorang ksatria memang belum hilang. Dalam mimpinya Fransiskus melihat sebuah ruangan luas dari sebuah istana yang tembok-temboknya dipenuhi dengan perisai-perisai. Lalu terdengar suara yang mengatakan semua perisai itu milik Fransiskus dan para pengikutnya. Karena salah menafsirkan mimpi itu, Fransikus siap untuk percaya akan “nubuat” untuk menjadi ksatria yang penuh kemuliaan, namun tidak lama kemudian dia mendengar suara lain:
“Fransiskus, mana yang lebih baik, melayani Tuan atau seorang hamba?”
“Oh, Tuan tentunya.”
“Kalau begitu, mengapa engkau mencoba untuk membuat Tuan-mu menjadi seorang hamba?”
Dan seperti Nabi Samuel (lihat 1 Sam 3:1-10.19), Fransiskus mengenali suara yang sedang berbicara kepadanya itu.
“Tuhan, apa yang kaukehendaki untuk aku lakukan?”
“Kembalilah ke Assisi. Di sana akan dinyatakan kepadamu apa yang engkau harus lakukan, dan engkaupun akan mengerti makna dari visi ini.”
Mulai saat itu Fransiskus mulai mendengarkan suara Allah, bukan lagi hasrat hatinya sendiri yang tidak sabar ingin meraih kemuliaan di medan pertempuran. Dia memulai perjalanan kembalinya yang panjang ke Assisi. Tentunya sebuah perjalanan yang penuh dengan pergumulan batianiah juga.
Ujian tertinggi seorang ksatria adalah keberaniannya; dia akan memilih mati di medan tempur daripada mengambil tindakan apa saja yang menunjukkan kepengecutan. Dengan demikian kita dapat membayangkan betapa berat penghinaan dan cemoohan yang harus ditanggung oleh Fransiskus ketika dia memasuki kota Assisi sendirian. Namun demikian, dalam ketaatannya pada sabda Allah, Fransiskus pulang ke kotanya sebagai seorang ksatria yang melakukan disersi, yang lari dari medan pertempuran. Keberaniannya untuk teguh pada keyakinannya dalam menghadapi rasa malu dan penghinaan seperti ini menjadi “cap” yang tidak dapat hilang dari kepribadian Fransiskus. Sampai akhir hayatnya Fransiskus tidak pernah mundur, sekali dia yakin bahwa tindakan atau tindakan-tindakan tertentu merupakan kehendak Allah.
Tentu saja meninggalkan medan pertempuran tidaklah merupakan keputusan yang diambil dengan mudah dan cepat oleh Fransiskus. Keputusan sedemikian mengandung biaya. Biayanya di sini adalah penderitaan mental yang sangat berat. Sepanjang tahun setelah kembalinya dari Spoleto digunakan oleh Fransiskus untuk berdoa dalam sebuah gua di luar kota Assisi. Dalam suasana doa dia berusaha mengenali kehendak Allah dan memperkenankan Dia memurnikan hatinya. Dalam proses perjuangan batin yang diawali oleh sebuah mimpi itu, Fransiskus menemukan sesuatu yang mengubah inti dasar dari cita-citanya semula untuk menjadi seorang ksatria. Cita-citanya sekarang menjadi lebih murni dan agung, namun pada saat yang sama kelihatan bodoh dan penuh paradoks. Hatinya tidak lagi tertarik pada busana yang indah-mahal, emas, perak atau pesta pora dengan para sahabatnya yang dulu. Ketertarikannya pada Sang Penebus sejak masa kecilnya sekarang berkobar-kobar menjadi cinta kasih pribadi kepada Yesus yang meluap-luap. Inilah kiranya awal dari perjalanan panjang pertobatan Fransiskus.
Ketika ziarah ke Roma pada tahun 1206 Fransiskus saling bertukar pakaian dengan seorang pengemis miskin agar dapat mengalami secara langsung kemiskinan yang ekstrim, meskipun untuk sesaat saja. Dia ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi pengemis, apa yang dirasakan dalam hati ketika seseorang mengulurkan tangan untuk minta-minta derma dari orang lain, mohon belas kasihan orang lain. Sepulangnya dari ziarah, dia berteman dengan mereka yang miskin dan terbuang. Dia memang ingin menjadi seperti mereka. Dia pun lalu mulai menyibukkan dirinya dengan orang-orang miskin dan para penderita kusta yang dulu memuakkan dan menjijikkan baginya. Dalam Wasiat-nya yang jauh kemudian ditulisnya, Fransiskus mengatakan:
“Beginilah Tuhan menganugerahkan kepadaku, Saudara Fransiskus, untuk mulai melakukan pertobatan. Ketika aku dalam dosa, aku merasa amat muak melihat orang kusta. Akan tetapi Tuhan sendiri menghantar aku ke tengah mereka dan aku merawat mereka penuh kasihan. Setelah aku meninggalkan mereka, apa yang tadinya terasa memuakkan, berubah bagiku menjadi kemanisan jiwa dan badan; dan sesudahnya aku sebentar menetap, lalu aku meninggalkan dunia” (Was 1-3).
Dia merendahkan dirinya sebagai seorang pengemis yang meminta-minta sisa-sisa makanan dari pintu ke pintu. Tidak ada yang diinginkan Fransiskus, selain sedapat mungkin meniru Kristus yang miskin dan menderita seperti dikisahkan dalam Injil. Konsekuensinya? Seperti seorang penderita sakit jiwa dia ditimpuki oleh anak-anak, dijauhi teman-teman lamanya, dipukuli ayahnya sendiri karena dianggap memalukan keluarga. Sementara itu Fransiskus berpuasa, berdoa dan mengalami malam-malam kegelapan mistik. Namun dia belum juga menemukan apa yang diinginkan Tuhan dari dirinya.
Sejak awal perkenalan anda dengan orang kudus ini, dapatlah dicatat bahwa pada puncak kehidupannya kelak Fransiskus menjadi orang yang sangat dihormati dan pandangannya diperhatikan dan didengarkan orang. Dia menjadi seorang pribadi yang kebodohannya lebih arif daripada hikmat orang-orang bijak. Apa yang terjadi dengan Fransiskus adalah akibat dari beberapa peristiwa penting yang efek kumulatifnya menunjukkan kepadanya gerakan hatinya yang lebih dalam, arah jalannya selama itu. Efek dari pengalamannya itu sangat kuat sehingga Fransiskus mulai mendengar dalam suara tertentu hal-hal yang lebih benar daripada suara-suara lain di sekelilingnya, yakni suara-suara dari lingkungannya sendiri dan nilai-nilai dari lingkungan tersebut. Dan suara yang didengarnya pada suatu hari adalah di kapel San Damiano, ketika dia sedang khusuk berdoa.
Hidup sebagai seorang Pertapa
Pada suatu hari ketika berdoa di depan salib Kristus di gereja kecil (kapel) San Damiano yang sudah rusak dan mau runtuh, Fransiskus mendengar suara yang datang dari salib Kristus[5]: “Pergilah Fransiskus, perbaikilah gereja-Ku yang sudah reyot dan mau runtuh ini.” Maka jadilah Fransiskus seorang tukang reparasi gereja, karena dia berpikir Tuhan Yesus meminta kepadanya untuk memperbaiki bangunan gedung gereja-gereja. Pada akhirnya dia berhasil memperbaiki tiga gereja, yakni San Damiano, S. Pietro della Spina dan S. Maria degli Angeli.
Tetapi jalan ceritanya tidak selancar itu. Begitu mendengar suara dari salib Kristus tadi, Fransiskus, si anak pedagang kaya di Assisi itu, langsung pulang ke rumahnya. Diambilnya sejumlah kain dagangan ayahnya, dibawanya semua itu sambil memacu kudanya ke Foligno. Di kota Foligno dijualnya kain dagangan sekaligus beserta kudanya, kemudian dia bergegas menuju gereja San Damiano. Dia mempersembahkan uang hasil penjualannya kepada imam yang menjaga gereja itu. Imam itu kaget karena dia mengenali Fransiskus. Dia menolak uang yang diberikan Fransiskus karena dia sudah merasa curiga bahwa Fransiskus melakukan semua ini tanpa persetujuan dari ayahnya. Fransiskus yang kecewa kemudian melemparkan uang itu ke atas ambang jendela gereja dan berangkat lagi ke Assisi untuk meminta-minta batu guna memperbaiki gereja Allah. Sang imam menolak uang dari Fransiskus, tetapi dia menaruh kepercayaan kepadanya sehingga dia pun memperkenankan orang muda itu tinggal bersamanya di gereja kecil itu.
Ini adalah satu lagi titik balik dalam kehidupan Fransiskus. Seolah-olah terdengar suara dari keheningan: “Engkau memperbaiki rumah Allah tidak dengan uang, tetapi dengan batu-batu yang kauperoleh dengan mengemis sambil mengatasi rasa malumu. Dan batu-batu yang diberikan orang-orang kepada seorang pengemis berubah menjadi Gereja yang hidup.”
Setelah mengetahui apa yang telah dilakukan Fransiskus, Pak Petrus mulai mencari puteranya itu. Fransiskus kemudian pergi menyembunyikan diri ke sebuah gua yang memang sudah dipersiapkan olehnya. Dia bersembunyi di gua itu selama satu bulan penuh. Di situ dia terus berdoa agar Tuhan membebaskan dirinya dari pengejaran ayahnya dan agar Tuhan sudi memperkenankan supaya maksud sucinya dapat diwujudkan olehnya. Doanya diiringi puasa dan tangisan yang tulus. Fransiskus menaruh seluruh pengharapannya pada Tuhan. Tuhan pun melimpahkan rahmat suka cita kepadanya.
Setelah itu Fransiskus meninggalkan gua tempat persembunyiannya dan dengan penuh semangat dia bergegas menuju Assisi. Namun tidak ada seorang pun yang dapat berjalan berkeliling meminta-minta batu dan berpakaian seperti seorang pengemis tanpa menarik perhatian orang-orang; dan ketika pengemis itu adalah pemuda terkaya di kota Assisi, maka perhatian itu tentu saja berubah menjadi ejekan, cemoohan dan caci maki. Teman-temannya mengolok-olok Fransiskus dan memandangnya sebagai sungguh seorang bodoh dan menderita sakit jiwa. Orang-orang melemparinya dengan batu dan lumpur, tetapi Fransiskus tidak patah semangat. Dia malah bersyukur kepada Allah atas segala perlakuan buruk yang diterimanya dari orang ramai itu. Kabar tentang keberadaan Fransiskus di kota akhirnya sampai juga ke telinga Pak Petrus. Dia menangkap Fransiskus dengan kasar dan menyeretnya pulang ke rumah, lalu menjebloskannya ke sebuah ruangan gelap dan merantainya seperti layaknya seorang tawanan. Pak Petrus berusaha keras dengan segala cara meyakinkan Fransiskus agar berganti haluan dari cara hidupnya yang “gila” itu, kalau perlu dengan memukuli puteranya itu. Tetapi semua usahanya itu ternyata sia-sia saja. Pada suatu hari ketika Pak Petrus bepergian, Ibu Pica yang tidak setuju melihat perlakuan buruk Pak Petrus itu, kemudian membebaskan puteranya. Fransiskus lalu pergi untuk tinggal bersama imam di gereja San Damiano. Apa yang dicari Fransiskus sekarang adalah sepenuhnya nilai-nilai rohani. Dengan tekun dia berdoa dan melakukan pertobatan.
Begitu pulang dari perjalanan bisnisnya, Pak Petrus melihat puteranya sudah tidak ada dalam ruang tahanan. Dia naik pitam, dan Ibu Pica pun termasuk salah seorang korban kemarahannya. Tanpa membuang-buang waktu Pak Petrus pergi ke tribunal pemerintah kota Assisi agar Fransiskus dipaksa untuk mengembalikan uang ayahnya dan melepaskan haknya atas warisan keluarga. Tetapi pada waktu itu Fransiskus sudah menjadi oblatus Gereja San Damiano, dengan demikian dia sudah menjadi “hamba Allah” yang secara eksklusif berada di bawah kekuasaan Gereja dan tidak lagi berada di bawah kekuasaan pemerintahan sipil kota. Oleh karena itu pemerintah kota tidak berani memaksa Fransiskus, lalu mengatakan kepada Pak Petrus bahwa Fransiskus berada di luar kekuasaan mereka. Itulah sebabnya mengapa Pak Petrus membawa perkaranya kepada Uskup Guido II dari Assisi sebagai ketua tribunal gerejawi di Assisi.
Ketika utusan Bapa Uskup datang menemui Fransiskus dan menjelaskan maksud kedatangannya, dia menjawab, “Saya akan menghadap Paduka Uskup karena Paduka Uskup adalah bapa dan pengurus jiwa.” Di istananya, Bapa Uskup membujuk sambil memberi petuah-petuah rohani agar Fransiskus mengembalikan uang Pak Petrus. Untuk singkatnya marilah kita langsung amati peristiwa menyusul ini yang terjadi di pelataran keuskupan. Beginilah kira-kira kejadiannya. Dengan tenang Fransiskus melepaskan pakaiannya dalam suatu tindakan ritual yang mengingatkan kita pada baptis umat kristiani perdana. Di hadapan orang banyak yang berkerumun dia meletakkan pakaiannya di dekat kaki ayahnya, kemudian mengucapkan kata-kata paling dramatis dalam hidupnya: “Dengarkanlah saya, siapa saja! Sampai sekarang, saya memanggil Pietro Bernardone bapa saya. Tetapi sekarang, karena saya bermaksud melayani Allah, saya tidak hanya mengembalikan uangnya, tetapi semua pakaian yang saya terima darinya! Mulai saat ini, saya dapat berjalan dengan telanjang di hadapan Tuhan dan tidak lagi berkata, ‘bapa saya Pietro Bernardone,’ tetapi Bapa kami yang ada di surga!” Pada puncak peristiwa dramatis ini Bapa Uskup menarik Fransiskus dan mengenakan mantolnya sendiri pada anak muda itu. Peristiwa ini sungguh mengagetkan orang-orang yang hadir dan banyak yang menangis karena rasa terharu. Bagaimana dengan Pak Petrus sendiri? Diselimuti rasa tidak bahagia dan marah yang belum hilang, dia mengambil kantong uang dan pakaian Fransiskus dan cepat-cepat pergi dari tempat itu. Peristiwa dramatis yang terjadi sekitar bulan Januari/Februari 1207 ini menunjukkan saat pertobatan sempurna dari Fransiskus. Fransiskus “meninggalkan dunia” (lihat Was 3) dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah.
Dengan menolak ayahnya sendiri di depan publik secara dramatis seperti diceritakan di atas, Fransiskus menjadi seorang tokoh publik. Dia mau setiap orang yang hadir menjadi saksi atas apa yang dilakukannya. Secara publik dia meninggalkan ayahnya demi Kerajaan Allah. Dalam kehidupan selanjutnya dia bertingkah laku sebagai seseorang yang mengharapkan orang-orang lain memandang dirinya sebagai pribadi yang bertanggung jawab atas segala tindakannya.
Akan tetapi, Fransiskus masih seorang ksatria dalam hati. Kehidupan religiusnya akan ditandai dengan kehormatan dan integritas. Cara hidupnya adalah seperti layaknya seorang ksatria dan ketulusan Injili. Dia mengharapkan dunia untuk membuatnya setia pada komitmennya. Maka mulailah salah satu pengembaraan spiritual paling agung yang pernah tercatat dalam sejarah umat manusia: perjalanan Fransiskus dari rumah ayahnya ke rumah Bapa surgawi. Bagi Fransiskus Bapa surgawi adalah Bapa yang dinyatakan oleh Yesus, dan perjalanan menuju Bapa surgawi adalah cara yang mengikuti jejak langkah Yesus Kristus.
Fransiskus mulai dengan segenap ketulusan hati menepati Injil secara literal dan tanpa kompromi. Sekali peristiwa sambil bernyanyi memuji-muji Tuhan dalam bahasa Perancis, dia melintasi sebuah hutan dan di sana disergap oleh penyamun-penyamun dan ditanyakanlah kepadanya siapa dia sebenarnya. Fransiskus menjawab: “Saya adalah bentara Sang Raja Agung.” Sebagai reaksinya, dia pun dipukuli dan dilemparkan ke dalam sebuah lubang dalam yang penuh salju. Memang, dia selalu memandang dirinya sebagai bentara Yesus Kristus sepanjang hidupnya dan dia ingin agar para pengikutnya kelak juga seperti itu. Fransiskus menjalani hidup sebagai seorang pertapa (hermit) sekitar dua tahun lamanya.
Dia menetap di sebuah gereja kecil Porziuncola milik para rahib Benediktin dari Gunung Subasio. Dia berhasil memugar gereja ini pada tahun ketiga pertobatannya, yakni tahun 1209. Pada hari pesta Rasul S. Matias tanggal 24 Februari 1209[6], selagi mengikuti Misa Kudus di Porziuncola, Fransiskus mendengar bacaan Injil yang diambilnya sebagai peraturan hidupnya. Teks yang dibacakan adalah dari Injil Matius 10:1-13 yang mengisahkan bahwa Yesus memberi pesan kepada para rasul ketika Dia mengutus mereka mewartakan Kabar Baik ke segenap penjuru dunia. Untuk lebih memahami lagi pesan Injil ini, Fransiskus minta tolong kepada sang imam (barangkali seorang Benediktin dari Gunung Subasio) untuk menjelaskan bacaan Injil tadi. Imam itu menjelaskan bahwa para murid Kristus diperintahkan untuk memberitakan pertobatan ke mana-mana, tidak membawa apa-apa dan percaya sepenuhnya bahwa Allah akan memenuhi kebutuhan mereka. Setelah mendengar penjelasan dari imam tadi, Fransiskus dengan penuh gairah dan suka cita mengatakan: “Inilah yang saya inginkan! Inilah yang saya cari! Saya akan melakukannya dengan segenap hati saya!” Pada saat itulah dia memahami makna panggilan bagi dirinya. Dalam sekejab mata dia melemparkan tongkatnya, membuka sepatunya, melepaskan mantolnya, melepaskan ikat pinggang kulitnya dan menggantikan-nya dengan seutas tali yang kasar. Sebagai gantinya sekarang dia mengenakan jubah yang kasar, jubah petani di lembah Umbria; kelihatan begitu miskin dan dijahit dengan buruk. Tidak seorang pun akan iri hati melihat jubah seperti itu. Dia pun mengucapkan salam damai kepada siapa saja yang ditemui seperti yang diminta Yesus kepada para rasul: “Allah memberi engkau damai sejahtera!”
Terbentuknya Persaudaraan
Otentisitas kesaksian hidup Fransiskus menarik perhatian dan minat orang-orang lain. Mereka melepaskan harta kekayaan mereka dan bergabung dengan dia, mengenakan jubah yang sama dan mengikuti cara hidup yang sama. Pada tanggal 16 April 1209 seorang pedagang muda dan kaya dari Assisi yang bernama Bernardo (Bernardus) dari Quintavalle bergabung. Sehari kemudian, yaitu pada tanggal 17 April 1209 seorang ahli hukum dan seorang kanon dari gereja St. Rufino bergabung, namanya Pietro (Petrus) Catanii. Jadi pada tahun 1209 itu lahirlah Persaudaraan Saudara Dina, meskipun belum diresmikan oleh Sri Paus.
Cerita bergabungnya Bernardus menarik sekali. Bernardus begitu tertarik pada perubahan yang terjadi dalam hidup Fransiskus. Maka dia mengundang Fransiskus untuk menginap di rumahnya. Setelah makan malam kedua orang itu pergi tidur. Fransiskus pura-pura tidur. Lalu Bernardus pun pura-pura tidur dan mulai mendengkur. Mendengar Bernardus sudah mendengkur, Fransiskus bangkit dari tempat tidurnya dan mulai berlutut di lantai, dan mengulang-ulang doa singkat sepanjang malam yang berbunyi “DEUS MEUS ET OMNIA” (Allahku dan segala[nya]ku). Setelah menyaksikan itu semua hati Bernardus sungguh tergerak. Pada pagi harinya dia bertanya kepada Fransiskus apa yang harus dilakukannya untuk menjadi pelayan Allah.
Tanggapan Fransiskus terhadap pertanyaan Bernardus merupakan kunci bagaimana caranya dia mencari kehendak Allah (discernment). Dia minta Bernardus untuk ikut menghadiri Misa Kudus di Gereja S. Nikolaus. Setelah Misa selesai, Fransiskus minta imam membuka kitab Injil sebanyak tiga kali. Berikut ini adalah bacaan-bacaannya:
Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, … kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku (Mat 19:21).
Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan, jangan membawa tongkat atau kantong perbekalan, roti atau uang, atau dua helai baju (Luk 9:3).
Jika seseorang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku (Mat 16:24).
Inilah yang dilakukan oleh Bernardus yang kaya raya itu, … dia bergabung dengan Fransiskus: Sebuah awal dari gerakan perempuan dan laki-laki yang akan menjadi tiga Ordo Santo Fransiskus.[7]
Fakta bahwa Fransiskus minta imam untuk membuka kitab Injil bukanlah tidak ada atau kecil artinya. Dari sejak awal Si Kecil Miskin dari Assisi ini adalah seorang “Manusia Gereja”, sebuah kenyataan yang mudah luput dari perhatian dari orang-orang yang berusaha meromantisasikan perjalanan pribadinya menuju Allah. Fransiskus adalah seorang radikal, akan tetapi dia radikal dalam lingkup Gereja. Secara konsisten dia kembali ke Gereja untuk mencari tahu kehendak Allah dalam dirinya maupun para pengikutnya. Dia menulis dalam Wasiat-nya:
Lalu Tuhan menganugerahkan dan masih menganugerahkan kepadaku kepercayaan yang sedemikian besar juga kepada para imam, yang hidup menurut peraturan Gereja Roma yang kudus, karena tahbisan mereka, sehingga kalaupun mereka mengejar-ngejar aku, aku tetap mau minta perlindungan pada mereka (Was 6).
Sedemikian besar rasa hormat Fransiskus pada para imam (imamat), sampai-sampai dia memandang dirinya sendiri tak pantas menjadi imam dan tidak pernah menerima tahbisan bagi dirinya sendiri. Dia adalah seorang diakon tertahbis dari Gereja, namun tidak pernah menjadi imam. Dia juga berniat agar Ordo-nya ini menjadi Ordo non-klerus yang terdiri dari para saudara.
Pada tanggal 23 (21?) April 1209 bergabunglah Egidius, juga dari kota Assisi. Beato Thomas dari Celano menulis yang berikut mengenai Egidius:
… orang yang sederhana dan jujur dan takut kepada Tuhan. Ia telah lama berada di tengah-tengah kita dan hidup suci, jujur dan saleh, dan memberi kita teladan ketaatan sempurna, pekerjaan tangan, hidup bertapa dan kontemplasi suci (1 Cel 25).
Setelah itu menyusul Sabbatino, Morico, Yohanes della Capella, Yohanes dari St. Constance, Barbaro, Bernardus di Vigilante, Angelo Tancredi dan Filipus Longo. Ada tercatat bahwa dalam menghayati hidup Injili, mereka berdoa, bekerja dengan tangan mereka, mereka mengajak orang-orang untuk melakukan pertobatan dan mereka menamakan diri mereka “para pentobat dari Assisi”. Mereka melakukan studi, hidup dalam kasih persaudaraan dan ketaatan sempurna, mereka tidak ingin memiliki apa-apa dan dengan penuh kemauan mereka menolong orang-orang miskin dan sakit, mereka mengikuti jalan salib dan jalan keadilan Kristus, secara akrab mereka menyatukan diri dengan Allah, mereka berkonsultasi dengan Uskup Guido II dari Assisi dan mereka menghormati semua imam.
Sebagai catatan dapatlah dikatakan, bahwa sebagian besar cerita-cerita menarik tentang Santo Fransiskus muncul dari tahun-tahun awal persaudaraannya, pada waktu dia dan saudara-saudaranya berkeliling dari satu tempat ke tempat lain sambil berkhotbah dan menyembuhkan banyak orang, bekerja di ladang dan meminta-minta derma. Menurut Murray Bodo, [8]
pesona dari cerita-cerita ini adalah karena semuanya adalah kisah-kisah cinta, sebuah kombinasi yang “aneh” antara kisah-kisah cinta istana dan Kisah Para Rasul yang diceritakan oleh seorang badut istana dengan menggunakan perumpamaan-perumpamaan atau alegori-alegori abad pertengahan. Selalu ada kisah kepahlawanan dan tindakan berani mati dan kebaikan yang dilatarbelakangi oleh upaya membangun Kerajaan [Allah] dengan kebodohan salib.
Kisah-kisah yang penuh pesona itu dapat dibaca dan didalami oleh anda dalam kesempatan lain.
Pada tanggal 16 April 1210 Fransiskus pergi ke Roma bersama sebelas orang pengikutnya yang pertama untuk mohon persetujuan Sri Paus atas peraturan hidup mereka. Peraturan hidup ini sebenarnya sebuah tulisan sederhana yang terdiri dari petikan ayat-ayat Injil dan beberapa kaidah yang diperlukan untuk mempraktekkan hidup bersama dalam persaudaraan. Approbatio atas aturan hidup primitif itu diberikan oleh Paus Innocentius III secara lisan. Sri Paus juga memberi izin kepada Fransiskus dan saudara-saudaranya untuk mewartakan pertobatan kepada umat beriman. Fransiskus berjanji untuk taat dan hormat kepada Sri Paus, sedangkan para saudaranya melakukan yang sama kepada dia. Dengan demikian kelompok kecil ini menjadi sebuah ordo religius, Ordo Pertama Santo Fransiskus, yang kemudian dikenal sebagai Ordo Saudara-saudara Dina (Ordo Fratrum Minorum).
Sekembalinya mereka di Assisi, Fransiskus dan para saudaranya berkhotbah dengan sukses yang mengagumkan. Mereka berkhotbah ke seantero Italia, menjadi duta damai, mengajak para pendosa untuk bertobat dan kembali ke sakramen-sakramen Gereja, mempengaruhi orang-orang untuk menghayati ajaran-ajaran moral Sang Juru Selamat, teristimewa praktek-praktek cinta kasih dan pengampunan. Khotbah-khotbah para Saudara Dina ini ditandai dengan kesetiaan yang mereka tanamkan ke dalam diri orang-orang pada ajaran-ajaran Gereja dan kepada para gembalanya. Fransiskus kemudian dikenal sebagai “pribadi yang sepenuhnya Katolik dan sepenuhnya apostolik.” Apostolik di sini berkaitan dengan hormat luar biasa yang diberikannya kepada Sri Paus.
Stigmata di La Verna
Berkisah tentang Santo Fransiskus dari Assisi tidak lengkap kalau tidak berkisah mengenai peristiwa dramatis yang terjadi di sebuah gunung sunyi yang kurang lebih seratus mil jauhnya dari Assisi. Peristiwa itu sendiri terjadi dua tahun sebelum wafatnya. Gunung itu dinamakan La Verna. Pada awal September 1224 Fransiskus menyepi ke sana untuk menyiapkan diri menghadapi Pesta Santo Mikael Malaikat Agung. Doa Fransiskus di La Verna adalah bukti otentik siapa sebenarnya dia dan mengapa dia membawa dampak begitu besar pada sejarah umat manusia. Berikut ini isi doanya:
Tuhanku Yesus Kristus, saya mohon kepada-Mu karuniakanlah dua anugerah sebelum saya meninggal. Yang pertama ialah agar Kauizinkan merasakan – dalam jiwa ragaku – sebanyak mungkin penderitaan hebat yang Engkau, Yesus Yang Manis, telah rasakan pada saat sengsara-Mu yang amat pahit itu. Yang kedua ialah agar saya boleh merasakan dalam hatiku sebanyak mungkin cinta yang tak terbatas, dengan mana Engkau, Putera Allah, tergerak dan mau menanggung sengsara sedemikian itu bagi kami para pendosa.[9]
Murray Bodo[10] menulis lagi: Hanya seorang pencinta yang dapat memahami kata-kata seperti ini, dan hanya seorang yang memiliki hati ksatria yang dapat mengucapkannya. Di Gunung La Verna, Fransiskus sang ksatria dan Fransiskus sang pencinta bergabung dalam permintaan bodoh terakhir ini. Hanya kerendahan hati dan keaslian atau orijinalitas Fransiskus sajalah yang menyelamatkan doa ini dari semacam bravado gaya Don Quixote. Seluruh hidup Fransiskus membuktikan bahwa doa ini dihaturkannya tanpa pamrih dari hatinya yang terdalam dengan mata yang terarah kepada Tuhan Yesus, tanpa larak-lirik ke sana kemari untuk mengetahui apakah ada orang yang sedang memperhatikan. Seperti doa yang didengar oleh Bernardus dari Quintavalle sepanjang malam dulu di rumahnya, “Allahku dan segala[nya]ku,” maka doa permohonan Fransiskus di La Verna adalah permohonan seorang pecinta agar dapat bersatu secara total dengan yang dicintainya. Dan “ya” dari Dia yang dicintainya adalah sebuah rangkulan yang begitu lengkap, sehingga anggota-anggota tubuh Fransiskus dimeteraikan dengan luka-luka cinta kasih, tanda-tanda Sengsara Kristus dalam dagingnya. Dalam arti yang riil Fransiskus menjadi pendagingan lebih lanjut dari Allah yang hidup. Hampir seakan-akan Bapa angkatnya, tidak puas sekedar dengan adopsi, telah membuat Fransiskus menjadi anak-Nya secara fisik, dengan memeteraikannya dengan tanda-tanda dari Putera Tunggal-Nya sendiri, Yesus Kristus.
Janji Tuhan dan Nyanyian Saudara Matahari
Fransiskus masih hidup dua tahun lagi setelah menerima stigmata di La Verna. Ketika dia meninggalkan La Verna, penyakit trachoma yang sudah lama dideritanya menjadi semakin memburuk. Dia minta untuk dibawa ke San Damiano, di sebuah bilik dekat biara suster-suster Klara. Di sana Fransiskus mengalami kegelapan fisik dan spiritual selama lima puluh hari. Sepanjang waktu itu, siang dan malam, Yesus merangkul jiwa Fransiskus seperti telah dilakukan-Nya dengan tubuhnya di La Verna. Di situ juga Fransiskus mengalami apa yang dirasakan oleh Yesus di atas kayu salib ketika Dia berseru, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (lihat Mrk 15:34; bdk. Mzm 22:2).
Fransiskus merasa ditinggalkan oleh Kekasih Ilahinya, yang pelukannya dirasakan olehnya begitu total di Gunung La Verna. Dalam kegelapan, dibayangi keraguan-raguannya sendiri, dalam kelemahan fisiknya yang tak terkira dan hanya ditemani oleh luka-luka stigmata, Fransiskus tetap mempertahankan perisai kesabaran tak tergoyahkan dengan berdoa tak hentinya kepada Kristus. Akhirnya Tuhan memberikan kepadanya sebuah janji akan hidup kekal. Suara dari keheningan itu berkata: “Seandainya sebagai imbalan atas penderitaan berat yang kaualami ini engkau akan menerima harta kekayaan begitu besar dan penuh kemuliaan, sehingga kalau pun seluruh bumi dan alam semesta terbuat dari emas tidak akan ada artinya – bahkan tidak usah disebut, ketimbang harta yang akan diberikan itu, apakah engkau tidak akan bersuka cita karena berbahagia, dan apakah engkau tidak mau memikul penderitaan seperti yang sekarang kaupikul?” Fransiskus menjawab: “Tentu Tuhan, saya akan sangat berbahagia.” “Bersuka citalah!,” kata Tuhan, “karena sakitmu adalah janji akan kerajaan-Ku. Oleh karena itu nantikanlah warisan kerajaan itu, setia dan pasti, karena jasa kesabaranmu.” (lihat 2 Cel 213). Hati Fransiskus dipenuhi sukacita. Harta yang dicarinya ketika bersembunyi di gua di masa mudanya, sekarang menjadi miliknya. Sekarang dia mengetahui dengan sempurna, tetapi masih belum mampu mengekspresikan sepenuhnya apa yang dirasakannya. Pada waktu itulah dia menyusun sebuah kidung agung dalam hidupnya, “Nyanyian Saudara Matahari”, sebuah kidung sebagai rasa syukur kepada Bapa surgawi. Dalam kidung ini Fransiskus mengungkapkan kedalaman jiwanya, di mana terjadi rekonsiliasi mendalam antara hal-hal yang berlawanan. Di sini Fransiskus mengambil empat unsur abad pertengahan, bumi, air, udara dan api, kemudian menggabungkan semua itu sebagai suatu kombinasi pasangan seksual. Unsur-unsur itu menjadi saudara dan saudari, suatu kesatuan simbolis antara dimensi lelaki dan perempuan dari jiwanya yang telah menyatu dalam suatu keutuhan terintegrasi. Kita akan mendalami “Nyanyian Saudara Matahari” dalam kesempatan lain.
Akhir Hidup Fransiskus di Dunia
Dalam dua tahun terakhir setelah mendapat stigmata, Fransiskus – yang praktis sudah buta – tetap melanjutkan karyanya dengan berkhotbah dan memberi kesaksian hidup sebagai seorang bentara Raja Agung. Fransiskus akhirnya berjumpa dengan Saudari Maut badani pada tanggal 3 Oktober 1226. Untuk kita semua yang menamakan diri Fransiskan, berikut ini adalah salah satu pesannya yang berlaku sepanjang masa: “Aku telah melakukan apa yang mesti kulakukan, semoga Kristus mengajar kamu apa yang harus kamu lakukan” (2 Cel 214; bdk. LegMaj XIV:3).
Pertanyaan – pertanyaan untuk refleksi pribadi dan/atau sharing kelompok:
- Pertobatan Santo Fransiskus tidak terjadi dalam sekejab mata, meskipun hal itu dimulai ketika dia dipenjara dekat Perugia dan menderita sakit. Bagaimana anda mau membandingkan pertobatanmu dengan pertobatan Fransiskus?
- Pada akhirnya Santo Fransiskus dibimbing oleh Roh Allah untuk menghayati suatu hidup pelayanan dalam Gereja. Menurut anda, kepada pelayanan perbaikan Gereja yang mana anda khususnya dipanggil?
- Agar dapat menepati Injil, Santo Fransiskus membuat beberapa perubahan radikal dalam gaya hidupnya. Perubahan-perubahan apa saja yang anda sudah siap lakukan dalam hidupmu?
- Peristiwa yang mana saja dalam kehidupan Santo Fransiskus yang menyentuh hatimu? Jelaskan!
- Dapatkah seseorang (Fransiskan atau bukan) mewartakan pertobatan kepada orang-orang lain, kalau dirinya sendiri belum melakukan pertobatan secara kontinyu? Diskusikanlah jawaban anda!
- Kisah 3 Sahabat – Riwayat Hidup Santo Fransiskus dari Asisi (terjemahan, pengantar dan catatan oleh Cletus Groenen, OFM atas asli buku dalam bahasa Latin yang berjudul Legenda Trium Sociorum ), Jakarta: Sekafi, 2000.
- Thomas dari Celano, St. Fransiskus dari Asisi, Jakarta: Sekafi, 1981 (Terjemahan P.J. Wahjasudibja, OFM).
- Thomas of Celano, Saint Francis of Assisi, Chicago, IL: Franciscan Herald Press, 1988 (Translation from the Latin into English with introduction and footnotes by Placid Hermann, OFM).
- Santo Bonaventura, Riwayat Hidup St. Fransiskus, Jakarta: Sekafi,1990 (Terjemahan P. Y. Wahyosudibyo, OFM).
- Fioretti dan Lima Renungan tentang Stimata Suci (saduran bebas dari buku Leo Sherley-Price, The Little Flowers of Saint Francis with Five Considerations on the Sacred Stigmata), Jakarta: Sekafi, 1997.
- Cornelio Mota Ramos, OFM et al, The Rule of the Secular Franciscan Order with a Catechism and Instructions, Chicago, IL: Franciscan Herald Press, 1981.
- Lombardi, OFM, Introduction to the Study of Franciscanism, terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh Joseph Nacua, OFMCap. dari buku asli dalam bahasa Italia, Introduzione allo studio del Francescanesimo (1975), Quezon City: Franciscan Institute of Asia, 1993.
- Murray Bodo, OFM, The Way of St. Francis – The Challenge of Franciscan Spirituality for Everyone, Cincinnati, OH: St. Anthony Messenger Press, 1995.
- Omer Englebert, St. Francis of Assisi – A Biography (terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh Eve Marie Cooper, 2nd English edition yang direvisi dan ditambah oleh Ignatius Brady, OFM dan Raphael Brown), Ann Arbor, Michigan: Servant Books, 1979.
- Paul M. Allen & Joan deRis Allen, Francis of Assisi’s Canticle of the Creatures, New York: Continuum, 1996.
- Karya-Karya Fransiskus dari Asisi (Terjemahan, Pengantar dan Catatan oleh Leo Laba Ladjar, OFM), Jakarta: Sekafi, 2001.
*) Untuk pertama kalinya digunakan sebagai bahan pembinaan para aspiran Persaudaraan OFS Santo Ludovikus IX, Jakarta pada hari Minggu, tanggal 2 April 2006. Beberapa perbaikan kecil dilakukan kemudian, yaitu pada tanggal 12 September 2008.
[1] Masyarakat feudal di sana pada waktu itu terdiri dari dua kelas: Yang pertama adalah kaum majores atau boni homines yang terdiri dari kaum bangsawan, para ksatria, dlsb. Yang kedua adalah rakyat biasa, yaitu kaum minores. Kaum minores sendiri terdiri dari dua kelompok. Ada kelompok yang dinamakan serfs yang praktis merupakan hamba sahaya atau budak dari para bangsawan. Di sisi lain ada kelompok yang dinamakan villeins, misalnya para pedagang di kota, para pengrajin atau para petani di luar perkotaan. Mereka adalah orang-orang bebas, tetapi harus membayar pajak dan juga dapat disuruh untuk kerja paksa. Pietro Bernardone adalah seorang minores yang termasuk golongan kedua ini. Pada waktu itu para majores, yang bersama gereja-gereja dan biara-biara memiliki kekayaan, tidak dikenakan pajak. Mereka cuma harus membayar upeti kepada tuan mereka masing-masing (Raja dsb.). Dengan kekuasaan uang, seorang minores dapat menjadi majores. Misalnya, pada awal mulanya Fransiskus juga bercita-cita untuk menjadi seorang ksatria.
[2] Ada kemungkinan bahwa nama Francesco itu digunakan belakangan karena orang melihat dia senang berbicara dalam bahasa Perancis dan menyanyikan lagu-lagu para troubadour Perancis. Nama baptisnya tak pernah dapat diubah: Yohanes Pembaptis. Lihat apa yang ditulis oleh Thomas dari Celano: “… pesta St. Yohanes Pembaptis dirayakannya jauh lebih meriah daripada pesta orang-orang kudus lainnya, karena harkat nama tersebut menerakan jejak kekuatan mistik padanya. Dst. (2 Cel 3-4).
[3] Lothair dari Segni adalah anggota keluarga Pangeran dari Segni dan seorang keponakan dari Paus Clement III. Setelah menyelesaikan studinya di Paris dan Bologna, dia diangkat oleh pamannya itu menjadi kardinal diakon pada tahun 1190. Dikenal karena inteleknya, pada tanggal 8 Januari 1198 dia dipilih menjadi Paus yang baru dengan suara bulat karena wafatnya Paus Celestine pada hari yang sama. Pada waktu itu dia bahkan belum ditahbiskan sebagai imam.
[4] Walter dari Brienne adalah seorang ksatria Perancis yang menjadi komandan pasukan Sri Paus untuk berperang melawan pasukan para bangsawan Jerman. Ada yang mengatakan dia adalah Pangeran Gentile dari Manopello, saudara dari Kanselir Kerajaan Sicilia dan Apulia. Pangeran ini menjadi terkenal karena berjaya dalam pertempuran di Palermo melawan Marcovaldo von Anweiler. Cukup banyak orang menegaskan bahwa sang pangeran memiliki aspirasi untuk kelak memegang mahkota kekaisaran Italia Selatan. Fransiskus semula mengharapkan untuk diangkat menjadi ksatria oleh pangeran ini.
[5] Sebuah ikon salib bergaya Byzantin.
[6] Ada penulis-penulis lain yang menyebutkan tahun 1208. Saya mengikuti tulisan Lombardi, OFM, Introduction to the Study of Franciscanism (hal. 53) dan Lazaro Iriarte, OFMCap., Franciscan History: The Three Orders of St. Francis of Assisi (hal. 5, berdasarkan bukti dari seorang Dominikan dan dicatat oleh P.J. Olivi).
[7] Banyak orang mengatakan bahwa Bernardus adalah pengikut Fransiskus yang pertama, namun Thomas dari Celano mengatakan lain. Pengikut pertama berasal dari Assisi yang tak disebutkan namanya, seorang yang saleh dan sederhana hatinya; dialah yang pertama-tama mengikut Fransiskus (lihat 1 Cel 24 dan juga Omer Englebert, St. Francis of Assisi – A Biography, hal. 45. Dalam catatan kaki 1 Cel terjemahan Pater Wahjasudibja OFM, dikatakan bahwa orang ini tidak diketahui namanya; boleh jadi salah tafsir oleh Celano (hal. 97).
[8] Murray Bodo, OFM, The Way of St. Francis – The Challenge of Franciscan Spirituality for Everyone, hal.xiv.
[9] Lihat Fioretti, Lima Renungan tentang Stigmata Suci, Permenungan Ketiga: Fransiskus Mendapat Stigmata.
[10] Murray Bodo, OFM, hal. xiv.