(Pendiri ordo biarawan-biarawati dan anggota Ordo Ketiga Sekular S. Fransiskus)
Peringatan: 23 Juli
Pada tanggal 23 Juli, Gereja memperingati Santa Birgitta dari Swedia. Santa Birgitta dilahirkan kira-kira pada tahun 1302 di Swedia, dia berasal dari sebuah keluarga terkemuka dan juga suci. Tidak lama setelah kelahirannya, ibunya meninggal dunia. Ayahnya mengambil alih tugas mengasuh anak ini dengan bantuan seorang tantenya. Sejak usianya yang masih sangat muda, Birgitta sudah memperlihatkan kecenderungan akan hal-hal yang bersifat spiritual. Ketika dia baru berumur 10 tahun, Allah menganugerahkan kepadanya penglihatan Yesus yang tersalib. Pemikiran akan penderitaan tak terperikan yang ditanggung oleh Yesus begitu dalam mempengaruhi dirinya, sehingga dia menangis sedih sambil mengucurkan air mata untuk waktu lama. Dari sejak saat itu Sengsara Suci merupakan pokok meditasinya.
Birgitta berkeinginan untuk mempersembahkan keperawanannya bagi Tuhan, namun demi ketaatan kepada keinginan ayahnya, dia dinikahi oleh Pangeran Ulf, seorang muda yang memiliki keutamaan yang kokoh dan dalam setiap hal memang pantas bagi Birgitta. Baik Ulf maupun Birgitta kemudian bergabung dengan Ordo Ketiga Sekular S. Fransiskus, agar supaya dapat memperkuat diri mereka dalam pekerjaan saleh dan praktek pertobatan. Allah memberkati perkawinan mereka dengan 8 orang anak. Brigitta memandang tugasnya untuk mendidik dan membesarkan anak-anak agar takut akan Allah sebagai suatu tugas suci. Salah satu karya karitatifnya yang menonjol adalah pelayanannya bagi orang-orang miskin dan cacat. Brigitta melayani mereka dengan penuh perhatian, kadang-kadang dengan membasuh kaki mereka dan mencium mereka.
Dalam perjalanan pulang mereka dari ziarah ke Compostela, di mana mereka mengunjungi makam Rasul Santo Yakobus, Ulf jatuh sakit serius di tempat yang bernama Arras. Santo Denis (Dionisius dari abad ke-3) menampakkan diri kepada Brigitta di malam hari dan memberi jaminan kepadanya bahwa suaminya akan sembuh kembali. S. Denis juga meramalkan peristiwa-peristiwa akan terjadi dalam kehidupan Ulf dan Birgitta. Ulf tidak lama kemudian bergabung dengan para rahib Cistercian (Trapis) di biara monastik di Alvastra. Dia mati suci di situ pada tahun 1344. Setelah kematian sang suami, Brigitta melakukan hidup pertobatan yang keras.
Brigitta sendiri [dia seorang pengiring ratu], yang selama hidup perkawinannya tetap tinggal dalam istana Raja Magnus II berusaha terus mempengaruhi raja untuk memperbaiki diri. Meskipun kurang berhasil dalam usahanya memperbaiki diri raja itu, raja tetap menyumbangkan kepadanya sebidang tanah dan bangunan-bangunan untuk mendirikan biara.
Kemudian Brigitta membagi-bagikan harta kekayaannya kepada anak-anaknya dan orang-orang miskin, sedangkan dia sendiri mengenakan jubah kasar dengan seutas tali pengikat (cord) sebagai ikat pinggang. Ia mendirikan sebuah biara untuk para biarawati/biarawan di Vadstena dan memberikan kepada mereka aturan hidup/regula dari Santo Augustinus. Ordo yang didirikan ini bernama “Ordo Juruselamat kita” [Birgittin atau Bridgetines dalam bahasa Inggris]. Ordo ini sampai hari ini masih ada.
Pada tahun Yubileum 1350, atas perintah Allah, Birgitta pergi berziarah Roma padahal Eropa sedang dilanda wabah penyakit. Ia tidak pernah kembali lagi ke Swedia dan tahun-tahun menetapnya di Roma bukanlah tahun-tahun yang membahagiakan karena dia hidup dikejar-kejar hutang dan pihak-pihak yang menentang karyanya untuk membenahi penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam Gereja. Dia berupaya keras agar Sri Paus yang berkedudukan di Avignon dapat kembali ke Roma. Atas inspirasi Ilahi dia juga menyampaikan pesan-pesan kepada Paus Innocentius VI, Urbanus V dan Gregorius XI.
Pada tahun 1371, dia melakukan perjalanan ziarah yang terakhir ke Tanah Suci, hal mana dilakukannya berdasarkan inspirasi Ilahi juga. Di Tanah Suci Birgitta dianugerahi secara luarbiasa dengan pengetahuan akan misteri-misteri suci Kristus. Perjalanan ziarah kali ini terganggu oleh kandasnya kapal layar yang ditumpanginya dan kematian anak laki-lakinya, Charles. Begitu sampai kembali di Italia, Brigitta jatuh sakit parah karena penyakit yang sudah dideritanya selama satu tahun. Ia meninggal dunia pada tanggal 23 Juli 1373 pada usia 71 tahun. Jenazahnya disemayamkan di biara suster-suster Klaris Santo Laurensius di Panisperna. Tahun berikutnya jenazahnya dipindahkan ke biara di Vadstena, Swedia. Banyak mukjizat terjadi sebagai permohonan umat untuk doa syafaat Birgitta. Dia diangkat menjadi seorang santa oleh Paus Bonifasius IX [1389-1404]. Seorang anak perempuannya yang menggantikan Birgitta sebagai pemimpin biara juga menjadi seorang santa, yaitu Santa Katarina dari Swedia [1332-1380].
Untuk renungan pribadi:
1. Penglihatan-penglihatan yang dianugerahkan Tuhan kepada S. Birgitta tidak membuat dirinya melakukan isolasi dari hal-ikhwal dunia, malah melibatkan dia ke dalam banyak isu kontemporer pada zamannya, termasuk melibatkan diri untuk membenahi ketidakberesan yang terjadi pada tingkat pimpinan Gereja yang tertinggi. S. Birgitta tidak melihat adanya kontradiksi antara pengalaman mistik dan kegiatan sekular. Hidup S. Birgitta merupakan testimoni otentik dari adanya kemungkinan suatu kehidupan suci dalam dunia aktual. Bukankah ini panggilan bagi para Fransiskan, khususnya para Fransiskan Sekular?
2. Cinta kasih dan bela rasa mendorong S. Birgitta untuk terus menerus memeditasikan serta mengkontemplasikan penderitaan Kristus. Kita yang menamakan diri Fransiskan diajak untuk melakukan hal yang sama. Karena dosa-dosa kita menjadi berada dalam posisi sebagai seorang debitur (yang berhutang) di hadapan Allah. Hutang kita begitu besar sehingga pantas mendapatkan hukuman kekal. Namun di sana berdirilah sang Putera Allah yang membela kita. Lewat sengsara dan kematian-Nya di kayu salib, Dia malah membayar lunas seluruh hutang kita. Tirulah S. Birgitta dan teruslah mengenang kebaikan Tuhan Yesus Kristus itu karena Dia telah memberikan hidup-Nya guna menebus kita. Seperti ditulis oleh Santo Paulus: “Dalam Dia kita memperoleh penebusan oleh darah-Nya, yaitu pengampunan dosa …” (Ef 1:7).
3. Meskipun menghadapi kesulitan hidup yang tidak tanggung-tanggung dan anak-anaknya yang tidak patuh dan suka melawan, Margery Kempe dari Lynn mengatakan bahwa “Birgitta baik hati dan lemah lembut kepada setiap makhluk” dan dia “mempunyai wajah yang (terus) tertawa”. Menjadi orang kudus bukan berarti harus kelihatan angker, bukan? Tidak mustahil pula kebaikan hati dan kelemah-lembutannya kepada setiap makhluk adalah berkat warisan dari Bapak Fransiskus.
Sumber: Marion A. Habig OFM, A FRANCISCAN BOOK OF SAINTS, dan Leonard Foley OFM (Editor), SAINT OF THE DAY.
Cilandak, 22 Juli 2010 [Pesta S. Laurensius dari Brindisi, Imam Kapusin & Pujangga Gereja]
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS