Peringatan: 22 Juni
Sekitar lima abad lalu ada seorang saksi Kristus dari negeri Inggris yang sangat dicintai umat di mana-mana sampai hari ini. Dia adalah S. Thomas More, contoh ideal seorang saksi Kristus zaman modern. Sebagai seorang anggota Ordo Ketiga S. Fransiskus, Thomas More bertekad untuk setiap harinya menepati Injil Yesus Kristus seturut jejak langkah Bapa Rohaninya, Santo Fransiskus dari Assisi. Orang kudus awam ini adalah tanda-lawan pada zamannya, kehidupan-saleh yang dijalaninya, kesetiaannya kepada Gereja yang tak tergoyahkan; dan semuanya itu dibayar dengan darahnya sendiri. Kehidupannya seharusnya menjadi teladan bagi para awam Katolik yang berkiprah di dunia sosial-politik.
Ia adalah putera dari seorang ksatria dan sejak kecil sudah hidup saleh, meskipun penuh dengan humor-humor yang sehat. Setelah menjadi ahli hukum yang penuh kesibukan, Thomas More masih menyempatkan diri untuk mengikuti perayaan Misa harian di samping praktek-praktek keagamaan lainnya. Sebagai seorang bapak keluarga, Thomas More membimbing hidup rohani anak-anaknya agar senantiasa “takut akan Allah”.
Karir Thomas More sebagai negarawan dimulai pada tahun 1510, karir ini terus menanjak dengan pesat sampai mencapai puncaknya pada tahun 1529 ketika dia diangkat menjadi Lord High Chancellor menggantikan Kardinal Wolsey. Thomas More banyak mengarang tulisan-tulisan bermutu. Sebuah buku karangannya berjudul UTOPIA, yang kemudian menjadi sangat terkenal.
Meskipun sudah menjadi pejabat negara puncak, dia masih menjalankan hidup rohaninya seperti sediakala. Setiap hari Jumat adalah hari baginya untuk melakukan introspeksi diri. Karya-karya karitatifnya pun luarbiasa. Thomas More sangat bersukacita manakala dia berkesempatan membantu imam dalam perayaan Misa Kudus, … sebagai pelayan Misa. Ada orang yang mengkritisi orang kudus ini, bahwa sebagai seorang awam tidak mungkinlah bagi dirinya untuk melaksanakan tugas-tugas dunia yang sedemikian banyak dan kompleksnya, dan pada saat yang sama menekuni hidup rohani guna mencapai kesucian. Menanggapi kritik itu Thomas More mengatakan, bahwa Komuni Kudus-lah yang membuat dirinya tetap fokus dan untuk meringankan beban-beban pekerjaannya dia akan mendekat kepada Juru Selamat-Nya, minta nasehat dan terang (pencerahan) daripada-Nya. Yesus Kristus adalah tempat pelariannya. Pada suatu hari, ketika Thomas More sedang menghadiri Misa Kudus seorang petugas istana mendekatinya dan berbisik kepadanya: “Tuanku, Sri Paduka Raja menginginkan agar Tuanku menghadapnya dengan segera.” Thomas More menjawab: “Aku tidak dapat menghadap sekarang. Katakanlah kepada Sri Paduka Raja, bahwa aku sedang menghadap seorang Raja yang lebih besar daripadanya. Begitu tugas-kewajibanku kepada Raja yang lebih besar ini selesai, aku akan langsung menghadap Sri Paduka Baginda.” Petugas istana itu pun pergi dan Thomas More, sang Lord High Chancellor, melanjutkan doa-doanya dengan khusyuk sampai Misa Kudus berakhir.
Sementara itu raja Henry VIII sudah merasa bosan dengan permaisurinya yang sah (Katarina dari Aragon) dan dia berahi pada salah seorang dayang-dayang di istana (sudah menikah) yang bernama Anna Boleyn dan ingin menikahinya. Henry VIII sudah mencoba mendapatkan izin dari Sri Paus agar dia boleh menceraikan permaisurinya dan menikah dengan Anna Boleyn. Sri Paus tidak setuju. Takhta Suci dengan benar menghukum Henry VIII itu, namun sang raja malah memperburuk hubungannya dengan Takhta Suci dan mengangkat dirinya menjadi kepala Church of England (Gereja Inggris = Anglikan). Persetujuan atas undang-undang yang mengatur pengangkatan raja sebagai kepala Gereja Inggris dimungkinkan karena parlemen yang lemah. Para uskup dan imam harus mengangkat sumpah untuk mengakui sang raja sebagai atasan mereka. Siapa saja yang tidak setuju dengan keputusan raja ini akan dihukum mati. Orang pertama yang menentang raja adalah pejabat tinggi negara yang selama ini sangat setia kepada raja, Thomas More. Suara hatinya menang, dia memilih untuk setia kepada Yesus Kristus! Dia melepaskan jabatannya pada tanggal 16 Mei 1532, karena oposisinya terhadap perceraian raja sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi. Dia menarik diri dari kehidupan politik, tetapi cukup menderita karena kehilangan penghasilannya yang utama.
Kemudian Thomas More dipanggil ke kantor pengadilan di Lambeth untuk mengangkat sumpah termaksud. Ia pergi menghadiri Misa Kudus, menerima komuni kudus, kemudian pergi ke Lambeth. Ketika sidang pengadilan melihat bahwa Thomas More tidak dapat dipaksa untuk mengangkat sumpah, dia pun dijebloskan ke dalam penjara. Dalam penjara dia menulis risalah yang berjudul “Kematian Demi Iman Tidak Perlu Ditakuti” dan sejumlah tulisan bermutu lainnya. Ketika isterinya membujuk Thomas More untuk menghentikan perlawanannya terhadap raja agar dapat memperpanjang hidupnya, maka dia bertanya kepada isterinya, berapa tahun lagi kiranya (menurut isterinya) dia masih dapat hidup? Isterinya menjawab: “Paling sedikit dua puluh tahun.” “Tentu!”, kata Thomas More. “Seandainya engkau mengatakan beberapa ribu tahun, mungkin hal itu membuat perbedaan. Namun, dia pun akan seperti seorang saudagar yang patut dikasihani karena mau mengambil risiko kehilangan hidup kekal demi memperoleh hidup sepanjang seribu tahun.”
Dari penjara Thomas More menulis sepucuk surat kepada Margaret, puterinya. Dia menulis: “Aku tahu ketidakpantasan hidupku di masa lampau, sehingga pantaslah Allah meninggalkanku. Namun aku hanya dapat menaruh kepercayaan dalam kebaikan-Nya yang penuh kerahiman, karena rahmat-Nyalah yang telah menguatkan aku sehingga dapat bertahan sampai hari ini. Rahmat-Nya telah menolong aku menyerahkan harta-bendaku, tanahku, bahkan kehidupanku, daripada aku mengangkat sumpah yang melawan hati nuraniku sendiri …” “Margaret, aku juga tahu sekali, bahwa kecuali untuk beberapa kesalahanku Allah tidak akan pernah meninggalkanku. Maka aku mempercayakan diriku sendiri sepenuhnya kepada-Nya dengan pengharapan yang baik. Dan kalau pun Ia memperkenankan aku binasa karena kesalahanku, paling sedikit aku akan melayani-Nya dengan puji-pujian untuk keadilan-Nya. Akan tetapi aku percaya, bahwa rasa kasihan-Nya yang lemah lembut akan menjaga jiwaku yang malang ini agar selamat dan akan membuat aku melayani untuk menunjukkan kerahiman-Nya dan bukan keadilan-Nya. … Janganlah kuatir terhadap apa saja yang akan terjadi terhadap diriku dalam dunia ini. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi kalau Allah tidak memperkenankannya. Dan segala hal yang diperkenankannya, betapa buruk sekali pun kelihatannya, sesungguhnya adalah yang terbaik bagi kita semua.”
Thomas More dijatuhi hukuman pancung pada tanggal 1 Juli 1535, banyak disebabkan oleh kesaksian palsu Richard Rich (yang kemudian menjadi Chancellor). Ketika dikeluarkan dari penjara untuk dibawa ke tempat pemancungan, kondisi kesehatan Thomas More sudah sangat lemah karena begitu lama dia berada dalam penjara. Thomas More berdoa sebentar, kemudian menutupi matanya dengan sepotong kain yang sudah tersedia sambil mengikatnya. Sesaat sebelum lehernya dipancung, dia masih sempat melontarkan sebuah humor: “Hati-hatilah, jangan sampai terpotong janggutku. Sebab, dia toh tidak bersalah melawan raja.” Setelah mengucapkan kata-kata penuh humor itu, maka kepala dari seorang pribadi terbesar pada zaman itu terjatuh dan tubuhnya pun rebah terkulai. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 6 Juli 1535 di Tower Hill, London, Inggris.
Orang kudus ini yakin dan percaya, bahwa tidak seorang pun pemimpin negara yang dapat mempunyai yurisdiksi atas Gereja Kristus. Hal inilah yang menjadi “biaya kemuridan” bagi dirinya dalam mengikuti jejak sang Guru, Yesus Kristus. Meskipun berhadapan dengan raja sebagai penguasa tertinggi negeri Inggris yang juga menguasai parlemen yang lemah, sebagai pejabat tinggi negara Thomas More dengan gigih menolak memberi persetujuannya atas perceraian raja Henry VIII. Ia juga tidak mau mengakui Henry VIII sebagai kepala Gereja Inggris yang memutuskan hubungan dengan Takhta Suci di Roma dan menolak Sri Paus sebagai pemimpin Gereja, padahal banyak sekali uskup dan imam memberi persetujuan mereka …… karena takut mati.
Kita lihat Thomas More tetap setia kepada Kristus dengan cara hidupnya, bukan sekedar lewat kata-katanya. Ia bertindak seperti apa yang dikerjakan dan diajarkan Yesus (lihat Kis 1:1). Keseluruhan pribadinya, sikap dan perilakunya menunjukkan bahwa dia adalah milik Kristus. Dia sering mengatakan: “Ada banyak orang yang membeli neraka dengan upaya yang begitu banyak, padahal dengan upaya yang separuh banyaknya sudah cukup bagi mereka untuk memperoleh surga.” Thomas More juga mengasihi Kristus lewat devosinya kepada Sakramen Mahakudus, menghadiri Misa Kudus secara harian dan melayani imam dalam Perayaan Ekaristi, dan tentunya dengan menerima Komuni Kudus secara teratur. Dia setia kepada Kristus lewat kesetiaannya kepada Gereja (lihat Ef 5:25 dsj). Thomas More tidak mau mundur sedikit pun dalam kesetiaannya kepada Kristus, sikap dan perilaku ini membawanya ke dalam kegelapan ruang penjara dan akhirnya kematian. Thomas More dibeatifikasikan pada tahun 1886 dan dikanonisasikan oleh Paus Pius XI pada tahun 1935, meskipun sudah sejak jauh lama sebelumnya dia dihormati sebagai seorang martir besar. Setiap tanggal 22 Juni Gereja memperingati S. Thomas More bersama S. John Fisher, seorang uskup jujur-setia kepada Roma yang dipancung di tempat yang sama dua minggu sebelum pemancungan S. Thomas More.
Diambil dari tulisan Sdr. F.X. Indrapradja, OFS yang berjudul: “Beranikah Anda menjadi Saksi Kristus?”, dalam majalah MediaPASS, edisi November 2008.
Cilandak, 21 Juni 2010
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS