Doa “Bapa Kami” ini, yang diberikan kepada kita oleh Yesus sendiri, tidak hanya merupakan sebuah pernyataan mengenai bagaimana kita seharusnya berdoa, melainkan juga merupakan sebuah refleksi tentang bagaimana Yesus sendiri berdoa (lihat Luk 11:1-4).
BAPA KAMI YANG ADA DI SURGA
Lagi pula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa dengan banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan. Jadi, janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya. Karena itu, berdoalah demikian: Bapa kami yang di surga, Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami dari kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskankanlah kami daripada yang jahat. [Karena Engkaulah yang punya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.] Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” (Mat 6:7-15)
Doa “Bapa Kami” ini, yang diberikan kepada kita oleh Yesus sendiri, tidak hanya merupakan sebuah pernyataan mengenai bagaimana kita seharusnya berdoa, melainkan juga merupakan sebuah refleksi tentang bagaimana Yesus sendiri berdoa (lihat Luk 11:1-4). Sungguh lebih menakjubkan apabila kita mempertimbangkan bagaimana Yesus – yang tanpa dosa – berdoa, “Ampunilah kami dari kesalahan kami”! Inilah contoh bagaimana Yesus secara begitu penuh mengidentifikasikan diri-Nya dengan kita-manusia biasa. Yesus malah melangkah lebih jauh lagi, yaitu menyerahkan hidup-Nya sendiri untuk menjamin pengampunan yang didoakan-Nya. Sebagai seorang murid Yesus yang setia, dalam hal ini Santo Fransiskus menulis: “Dan ampunilah kesalahan kami: karena belaskasih-Mu yang tak terperikan, karena daya kekuatan sengsara Putera-Mu yang terkasih, dan karena jasa serta perantaraan Santa Perawan Maria dan semua orang pilihan-Mu” (UrBap 7).
“...... seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami”! Permohonan pengampunan di atas tidak terbatas pada pengharapan akan belas kasihan Allah. Yesus wafat di kayu salib bukan sekadar untuk menebus dosa-dosa kita. Kita juga mati bersama Dia dalam baptisan, seperti telah ditulis Santo Paulus: “Kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus telah dibaptis dalam kematian-Nya” (Rm 6:3; lihat seluruh teks Rm 6:1-4). Sekarang, oleh iman dalam Yesus, kita dapat bangkit bersama-Nya dan mengampuni seperti Dia mengampuni. Janji Injil adalah, bahwa kalau kita memperkenankan Yesus diam dalam diri kita dengan mati terhadap kehidupan lama kita (dosa), kita juga dapat menjadi lebih berbelas kasih. Dalam hal ini, Bapak Fransiskus menulis: “Seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami: apa yang tidak kami ampuni sepenuhnya, buatlah, ya Tuhan, agar kami ampuni sepenuhnya; agar kami sungguh-sungguh mengasihi musuh kami karena Engkau dan dengan bakti berdoa bagi mereka di hadapan-Mu, dan tidak membalas kejahatan seorang pun dengan kejahatan, tetapi mengusahakan apa yang menguntungkan bagi semuanya di dalam Engkau” (UrBap 8).
Mengampuni orang-orang yang telah menyakiti hati kita memang dapat sangat sulit, bahkan kadang kala terasa tak mungkin. Kita membutuhkan rahmat Allah hanya untuk mengkontemplasikan kemungkinan untuk mengampuni. Namun, inilah jalan yang diminta Yesus untuk kita ikuti dan lalui. Santo Paulus malah menulis, bahwa kita harus mendoakan dan bahkan memberkati para penganiaya kita. Inilah yang ditulis oleh Paulus: “Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengeluh!” (Rm 12:14). Bukankah Yesus juga menyerukan kepada kita untuk mengasihi para musuh kita (lihat Mat 5:44)? Sebelumnya, dalam sebuah tulisan tertua Perjanjian Baru, Paulus sudah dengan jelas menulis: “Perhatikanlah, supaya jangan ada orang yang membalas yang jahat dengan yang jahat, tetapi usahakanlah senantiasa yang baik, terhadap kamu masing-masing dan terhadap semua orang” (1Tes 5:15).
Sekarang, kita harus mengingat satu hal: Kita harus selalu bersikap hati-hati namun juga berbelas kasihan pada saat bersamaan. Mengampuni bukan berarti melupakan kewaspadaan kita dan mengabaikan masa lalu. Mengampuni berarti membuang penghukuman dan melepaskan seseorang sehingga dia dapat mengalami belas kasih Allah. Yesus memang sangat berbelas-kasihan, namun Dia juga realistis tentang keadaan hati seorang insan manusia. Dalam Injil Yohanes kita dapat membaca bagaimana Yesus sangat berhati-hati tentang siapa yang akan dipercayainya (lihat Yoh 2:24-25). Apabila kita dipanggil untuk berbelas kasih seperti Yesus, maka hal ini berarti bahwa kita pun dipanggil untuk menjadi bijak dan penuh hikmat seperti Dia.
Yesus tidak pernah kaget atau terkejut dengan dosa yang dijumpai-Nya, dengan demikian tentunya Dia pun tidak akan terkejut dengan dosa-dosa kita. Kegelapan apa pun yang dilihat-Nya dalam hati kita, Dia tidak pernah akan menyerah untuk mengundang kita kembali ke jalan-Nya. Ia juga tidak akan pernah bersikap sinis dan pesimis terhadap berbagai potensi yang dimiliki kita masing-masing sebagai seorang pribadi. Dia selalu melihat kemungkinan bahwa mereka yang telah diampuni oleh-Nya akan melakukan pertobatan dan bangkit dalam kemuliaan bersama-Nya. Sekarang pertanyaannya adalah: Dapatkah kita mempunyai pandangan yang sama tentang setiap orang di sekeliling kita? Bapak Fransiskus telah membuktikan bahwa dirinya mampu memandang semua orang seperti diajarkan oleh sang Guru, Tuhan Yesus Kristus.
DOA: Tuhan Yesus, Engkau sudi memilih untuk merangkul penderitaan dan dosa kami, sehingga Kaudapat membangkitkan kami untuk menikmati hidup kekal bersama dengan-Mu. Ajarlah kami agar dapat menjadi pribadi-pribadi yang berbelas kasih kepada sesama kami, seperti Engkau sendiri berbelas kasih kepada mereka. Amin.
Catatan: Untuk para Fransiskan, bacalah dan renungkanlah lagi tulisan Bapak Fransiskus, URAIAN DOA BAPA KAMI, dalam KARYA-KARYA FRANSISKUS DARI ASISI (Terjemahan, Pengantar dan Catatan oleh Leo Laba Ladjar OFM, Jakarta: SEKAFI, Cetakan Pertama 2001, hal. 280-283.
Cilandak, 7 Februari 2013
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
Lagi pula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa dengan banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan. Jadi, janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya. Karena itu, berdoalah demikian: Bapa kami yang di surga, Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami dari kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskankanlah kami daripada yang jahat. [Karena Engkaulah yang punya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.] Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” (Mat 6:7-15)
Doa “Bapa Kami” ini, yang diberikan kepada kita oleh Yesus sendiri, tidak hanya merupakan sebuah pernyataan mengenai bagaimana kita seharusnya berdoa, melainkan juga merupakan sebuah refleksi tentang bagaimana Yesus sendiri berdoa (lihat Luk 11:1-4). Sungguh lebih menakjubkan apabila kita mempertimbangkan bagaimana Yesus – yang tanpa dosa – berdoa, “Ampunilah kami dari kesalahan kami”! Inilah contoh bagaimana Yesus secara begitu penuh mengidentifikasikan diri-Nya dengan kita-manusia biasa. Yesus malah melangkah lebih jauh lagi, yaitu menyerahkan hidup-Nya sendiri untuk menjamin pengampunan yang didoakan-Nya. Sebagai seorang murid Yesus yang setia, dalam hal ini Santo Fransiskus menulis: “Dan ampunilah kesalahan kami: karena belaskasih-Mu yang tak terperikan, karena daya kekuatan sengsara Putera-Mu yang terkasih, dan karena jasa serta perantaraan Santa Perawan Maria dan semua orang pilihan-Mu” (UrBap 7).
“...... seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami”! Permohonan pengampunan di atas tidak terbatas pada pengharapan akan belas kasihan Allah. Yesus wafat di kayu salib bukan sekadar untuk menebus dosa-dosa kita. Kita juga mati bersama Dia dalam baptisan, seperti telah ditulis Santo Paulus: “Kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus telah dibaptis dalam kematian-Nya” (Rm 6:3; lihat seluruh teks Rm 6:1-4). Sekarang, oleh iman dalam Yesus, kita dapat bangkit bersama-Nya dan mengampuni seperti Dia mengampuni. Janji Injil adalah, bahwa kalau kita memperkenankan Yesus diam dalam diri kita dengan mati terhadap kehidupan lama kita (dosa), kita juga dapat menjadi lebih berbelas kasih. Dalam hal ini, Bapak Fransiskus menulis: “Seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami: apa yang tidak kami ampuni sepenuhnya, buatlah, ya Tuhan, agar kami ampuni sepenuhnya; agar kami sungguh-sungguh mengasihi musuh kami karena Engkau dan dengan bakti berdoa bagi mereka di hadapan-Mu, dan tidak membalas kejahatan seorang pun dengan kejahatan, tetapi mengusahakan apa yang menguntungkan bagi semuanya di dalam Engkau” (UrBap 8).
Mengampuni orang-orang yang telah menyakiti hati kita memang dapat sangat sulit, bahkan kadang kala terasa tak mungkin. Kita membutuhkan rahmat Allah hanya untuk mengkontemplasikan kemungkinan untuk mengampuni. Namun, inilah jalan yang diminta Yesus untuk kita ikuti dan lalui. Santo Paulus malah menulis, bahwa kita harus mendoakan dan bahkan memberkati para penganiaya kita. Inilah yang ditulis oleh Paulus: “Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengeluh!” (Rm 12:14). Bukankah Yesus juga menyerukan kepada kita untuk mengasihi para musuh kita (lihat Mat 5:44)? Sebelumnya, dalam sebuah tulisan tertua Perjanjian Baru, Paulus sudah dengan jelas menulis: “Perhatikanlah, supaya jangan ada orang yang membalas yang jahat dengan yang jahat, tetapi usahakanlah senantiasa yang baik, terhadap kamu masing-masing dan terhadap semua orang” (1Tes 5:15).
Sekarang, kita harus mengingat satu hal: Kita harus selalu bersikap hati-hati namun juga berbelas kasihan pada saat bersamaan. Mengampuni bukan berarti melupakan kewaspadaan kita dan mengabaikan masa lalu. Mengampuni berarti membuang penghukuman dan melepaskan seseorang sehingga dia dapat mengalami belas kasih Allah. Yesus memang sangat berbelas-kasihan, namun Dia juga realistis tentang keadaan hati seorang insan manusia. Dalam Injil Yohanes kita dapat membaca bagaimana Yesus sangat berhati-hati tentang siapa yang akan dipercayainya (lihat Yoh 2:24-25). Apabila kita dipanggil untuk berbelas kasih seperti Yesus, maka hal ini berarti bahwa kita pun dipanggil untuk menjadi bijak dan penuh hikmat seperti Dia.
Yesus tidak pernah kaget atau terkejut dengan dosa yang dijumpai-Nya, dengan demikian tentunya Dia pun tidak akan terkejut dengan dosa-dosa kita. Kegelapan apa pun yang dilihat-Nya dalam hati kita, Dia tidak pernah akan menyerah untuk mengundang kita kembali ke jalan-Nya. Ia juga tidak akan pernah bersikap sinis dan pesimis terhadap berbagai potensi yang dimiliki kita masing-masing sebagai seorang pribadi. Dia selalu melihat kemungkinan bahwa mereka yang telah diampuni oleh-Nya akan melakukan pertobatan dan bangkit dalam kemuliaan bersama-Nya. Sekarang pertanyaannya adalah: Dapatkah kita mempunyai pandangan yang sama tentang setiap orang di sekeliling kita? Bapak Fransiskus telah membuktikan bahwa dirinya mampu memandang semua orang seperti diajarkan oleh sang Guru, Tuhan Yesus Kristus.
DOA: Tuhan Yesus, Engkau sudi memilih untuk merangkul penderitaan dan dosa kami, sehingga Kaudapat membangkitkan kami untuk menikmati hidup kekal bersama dengan-Mu. Ajarlah kami agar dapat menjadi pribadi-pribadi yang berbelas kasih kepada sesama kami, seperti Engkau sendiri berbelas kasih kepada mereka. Amin.
Catatan: Untuk para Fransiskan, bacalah dan renungkanlah lagi tulisan Bapak Fransiskus, URAIAN DOA BAPA KAMI, dalam KARYA-KARYA FRANSISKUS DARI ASISI (Terjemahan, Pengantar dan Catatan oleh Leo Laba Ladjar OFM, Jakarta: SEKAFI, Cetakan Pertama 2001, hal. 280-283.
Cilandak, 7 Februari 2013
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS