‘Maria membawa kita kepada Kristus’, inilah yang sudah menjadi keyakinan umat Katolik sepanjang masa. Dalam peristiwa pesta pernikahan di Kana yang di Galilea, kata-kata yang disampaikan Maria kepada para pelayan di pesta itu sungguh menjadi suatu ‘petunjuk abadi’ bagi kita anak-anaknya yang masih melakukan ‘perjalanan ziarah’ di dunia ini. Pada pesta pernikahan itu Maria berkata kepada para pelayan: “Apa yang dikatakan-Nya kepadamu, lakukanlah itu!” [Yoh 2:5]. Setelah itu Yesus memberikan instruksi-instruksinya kepada pelayan-pelayan itu, kemudian mukjizat ‘air menjadi anggur’ terjadi… “tanda yang pertama dari tanda-tanda-Nya dan dengan itu Ia telah menyatakan kemuliaan-Nya, dan murid-murid-Nya percaya kepada-Nya” [Yoh 2:11]. Memang sungguh demikian adanya: ‘Maria membawa kita kepada Kristus!’
Sdr. Frans Indrapradja, OFS *
Santa Perawan Maria, di antara wanita di dunia tidak dilahirkan seorang pun yang sama dengan dikau. Puteri serta hamba Raja dan Bapa Surgawi Yang Mahatinggi dan Mahaluhur, bunda Tuhan kita Yesus Kristus Yang Mahakudus, mempelai Roh Kudus: doakanlah kami bersama dengan Santo Mikael Malaikat agung dan semua balatentara surga serta semua orang kudus, pada Puteramu terkasih yang mahakudus, Tuhan dan Guru. Kemuliaan kepada Bapa dan Putera dan Roh Kudus seperti pada permulaan, sekarang, selalu dan sepanjang segala abad. Amin. [IbSeng Antifon SPM 1-2]
Maksud-tujuan tulisan ini sederhana, yaitu ingin menunjukkan dan menguraikan sedikit tentang hubungan antara Bunda Maria dan Ordo Fransiskan Sekular sebagai anggota keluarga besar Fransiskan, dan tempat Bunda Maria dalam spiritualitas Fransiskan pada umumnya dan para Fransiskan sekular khususnya. Tulisan ini sebenarnya diperuntukkan bagi para novis OFS dalam rangka pembinaan mereka, namun tidak ada larangan bagi para anggota OFS yang sudah berprofesi untuk membaca dan mempelajari juga isinya.
Sumber utama yang digunakan untuk tulisan ini adalah Kitab Suci, ‘Anggaran Dasar dan Cara Hidup Ordo Fransiskan Awam’ (AD OFS), disusul kemudian dengan ‘Konstitusi Umum Ordo Fransiskan Sekular’. Sambil berjalan, di sana-sini akan dirujuk juga berbagai sumber Fransiskan, terutama tulisan-tulisan Santo Fransiskus sendiri dan juga uraian-uraian yang ada dalam beberapa riwayat hidupnya yang awal. Berbagai tulisan dari tokoh-tokoh Fransiskan berbagai zaman juga sekali-sekali dipetik untuk memperjelas pokok yang sedang diuraikan. Tulisan ini juga menggunakan beberapa dokumen Gereja sebagai bacaan acuan kepada ajaran Gereja yang berlaku, teristimewa yang membahas peranan Bunda Maria dalam tata penyelamatan Allah dan devosi-devosi kepadanya.
MARIA DAN KRISTUS
Dalam bagian ini diuraikan hubungan antara Maria dan Kristus, dan peranan mereka masing-masing dalam tata penyelamatan Allah. Pemahaman seorang Fransiskan sekular yang benar-tepat (correct) tentang hal ini, akan membimbingnya ke arah devosi atau kebaktian kepada Bunda Maria yang sehat-berbuah dan tetap berada pada rel ajaran Gereja serta sesuai dengan tradisi Fransiskan yang sejati.
Maria membawa kita kepada Kristus
‘Maria membawa kita kepada Kristus’, inilah yang sudah menjadi keyakinan umat Katolik sepanjang masa. Dalam peristiwa pesta pernikahan di Kana yang di Galilea, kata-kata yang disampaikan Maria kepada para pelayan di pesta itu sungguh menjadi suatu ‘petunjuk abadi’ bagi kita anak-anaknya yang masih melakukan ‘perjalanan ziarah’ di dunia ini. Pada pesta pernikahan itu Maria berkata kepada para pelayan: “Apa yang dikatakan-Nya kepadamu, lakukanlah itu!” [Yoh 2:5]. Setelah itu Yesus memberikan instruksi-instruksinya kepada pelayan-pelayan itu, kemudian mukjizat ‘air menjadi anggur’ terjadi… “tanda yang pertama dari tanda-tanda-Nya dan dengan itu Ia telah menyatakan kemuliaan-Nya, dan murid-murid-Nya percaya kepada-Nya” [Yoh 2:11]. Memang sungguh demikian adanya: ‘Maria membawa kita kepada Kristus!’
Penghormatan kepada Bunda Maria memang sudah merupakan suatu kewajiban bagi semua umat beriman, termasuk kita, para Fransiskan sekular. Berkenaan dengan hal ini Konsili Vatikan II, dalam ‘Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium tentang Gereja’ [LG][1] mengatakan: “Sementara ia (Maria) diwartakan dan dihormati, ia mengundang umat beriman untuk mendekati Puteranya serta kurban-Nya, pun cinta kasih Bapa” [LG, 65].
Leonard Foley, OFM & Jovian Weigel, OFM mencatat, bahwa di samping membawa kita kepada Yesus Kristus, Maria membantu kita bertumbuh dalam Kristus, karena:
1. Maria adalah citra (gambaran) sempurna dari cinta kasih kebapaan Allah;
2. Maria mengasihi kita sebagai seorang ibu yang sejati;
3. Maria memimpin kita dalam cara kerendahan hatinya;
4. Maria mendorong kita dalam doa, dengan kegembiraannya – bahkan dalam penderitaan [LFJW, hal. 24].
Rencana penyelamatan Allah dan misteri inkarnasi
Kodrat manusiawi Yesus Kristus merupakan masterpiece yang kekal-abadi dari Allah. Kemudian dalam rencana Allah yang indah itu tibalah giliran Maria. Dalam rencana Allah itu Maria akan menerima kepenuhan rahmat melalui Kristus. Kristus adalah ‘Adam yang baru’ [bacalah Rm 5: 12-21]. Hanya Dia-lah yang dapat menyelamatkan umat manusia. Di lain pihak, karena kedosaan Adam-lah maka umat manusia kehilangan warisan rahmat. Seperti juga ‘Adam pertama’ mempunyai Hawa di sampingnya, maka ‘Adam yang baru’ juga didampingi ‘Hawa yang baru’[2], yaitu Maria. Maria tidak pernah dapat menyelamatkan kita, namun Yesus Kristus memperkenankan ibu-Nya untuk bekerja sama membantu karya penyelamatan-Nya [lihat LFJW, hal. 23]. Konsili Vatikan II mengatakan:
Maka memang tepatlah pandangan para Bapa suci, bahwa Maria tidak secara pasif belaka digunakan oleh Allah, melainkan bekerja sama dalam penyelamatan umat manusia dengan iman serta kepatuhannya yang bebas. Sebab, seperti dikatakan oleh Santo Ireneus, ‘dengan taat Maria menyebabkan keselamatan bagi dirinya maupun bagi segenap umat manusia. Maka tidak sedikitlah para Bapa zaman kuno, yang dalam pewartaan mereka dengan rela hati menyatakan bersama Ireneus: ‘Ikatan yang disebabkan oleh ketidak-taatan Hawa telah diuraikan karena ketaatan Maria; apa yang diikat oleh perawan Hawa karena ia tidak percaya, telah dilepaskan oleh Perawan Maria karena imannya’ [LG, 56].
Maria memang mempunyai andil dalam misteri penyelamatan, namun sebelum kita membahas hal ini dengan lebih mendalam, terlebih dahulu baiklah kita merujuk pada apa yang dikatakan Konsili Vatikan II:
Ketika Allah yang mahabaik dan mahabijaksana hendak melaksanakan penebusan dunia, ‘setelah genap waktunya, Ia mengutus Putera-Nya, yang lahir dari seorang wanita … supaya kita diterima menjadi anak’ [Gal 4:4-5]. ‘Untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita Dia turun dari surga, dan Dia menjadi daging oleh Roh Kudus dari Perawan Maria’. Misteri ilahi keselamatan itu diwahyukan kepada kita dan tetap berlangsung dalam Gereja, yang oleh Tuhan dijadikan Tubuh-Nya. Di situ kaum beriman, dalam persatuan dengan Kristus Kepala, dan dalam persekutuan dengan semua para kudus-Nya, wajib pula merayakan kenangan ‘pertama-tama Maria yang mulia dan tetap Perawan, Bunda Allah serta Tuhan kita Yesus Kristus’ [LG, 52].
A. Eddy Kristiyanto, OFM, mengatakan, bahwa salah satu cara yang paling tepat untuk membicarakan misteri penyelamatan ialah menentukan lebih dahulu siapa gerangan yang sepantasnya dan senyatanya menduduki tempat utama dalam misteri penyelamatan, atau siapakah subjek penyelamatan itu. Bagian awal petikan dari dokumen Gereja di atas boleh, menurut A. Eddy Kristiyanto, OFM, dipakai sebagai jawabannya [AEK, hal. 15-16]. Allah sajalah yang bertindak sebagai sumber keselamatan. Keselamatan memang hanya berasal dari Allah, yang oleh Yesus Kristus disapa sebagai Abba, Bapa [Mat 7:11; Mrk 13:32; Luk 22:42; Yoh 10:15 dlsb.]. Kepercayaan tentang Allah Bapa sebagai sumber keselamatan diungkapkan secara sangat jelas dalam Kitab Suci [misalnya Kel 14:30; Ayb 5:15; Mzm 107:13; Yes 35:4; Yer 30:10; Yoh 12:27; Ibr 5:7 dlsb.].
Berikut ini adalah butir-butir tentang tata penyelamatan Allah yang harus kita ketahui sebagai umat beriman; dengan demikian kita akan memperoleh keyakinan yang benar tentang peranan utama Yesus Kristus dalam tindakan penyelamatan Allah tersebut:
1. Kasih adalah satu-satunya alasan mengapa Allah berkenan menyelamatkan umat manusia: “Karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” [Yoh 3:16]. Dengan kasih yang sama Dia rela mewahyukan Diri-Nya dan menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada manusia [bdk. Ef 1:9].
2. Dengan tindakan penyelamatan-Nya Allah sebenarnya menginginkan agar semua manusia pada akhirnya dapat ikut serta dalam kehidupan ilahi. Untuk mencapai tujuan itu manusia lebih dahulu harus dimerdekakan dari kuasa dosa yang telah menghalangi dan memustahilkan partisipasi manusia dalam kehidupan ilahi tersebut.
3. Tindakan penyelamatan Allah terhadap umat manusia dinyatakan secara tuntas dalam dan melalui Sabda-Nya. Sabda atau Firman yang bersama-sama dengan Allah dan adalah Allah [lihat Yoh 1:1] itulah Anak Tunggal-Nya, Yesus Kristus (bdk. Yoh 1:18; Ibr 1:1].
4. Kalau pun umat manusia mampu memahami rencana penyelamatan Allah, hal itu hanyalah disebabkan karena Allah sendiri telah menyatakannya.
5. Hanya melalui Anak Tunggal-Nya manusia dapat menemukan jalan kepada Allah dan berpartisipasi dalam kodrat ilahi [bdk. Ef 2:18; 2Ptr 1:14].
6. Maka harus dikatakan, bahwa pewahyuan diri Allah kepada umat manusia merupakan misteri ilahi. Dalam konteks ini ‘misteri’ dimaksudkan sebagai sifat hakiki pewahyuan diri Allah yang telah terjadi dalam bentuk insani; dan sifat ini menekankan dimensi ‘tersembunyi’ karya Allah [lihat AEK, hal. 16].
7. Tata penyelamatan yang dikehendaki Allah sejak kekal itu dilaksanakan sepenuhnya dalam dan melalui Yesus Kristus (Ef 1:9-10; Rm 16:25-27] dan memuncak dalam tindakan pengutusan Anak Tunggal-Nya.
8. Melalui pewahyuan (revelatio) Allah dalam diri Yesus Kristus, yang bertindak sebagai pengantara satu-satunya dan kepenuhan seluruh wahyu[3] [bdk. Mat 11:27; Yoh 1:14,17; 14:6’ 17:1-3; 2 Kor 3:16; 4:6’ Ef 1:3-14], maka kebenaran sejati baik tentang Allah maupun tentang keselamatan manusia menjadi jelas bagi umat manusia.
9. Pewahyuan diri Allah dalam Putera-Nya yang menjadi daging dan tinggal di antara manusia [Yoh 1:14] dipercaya sebagai peristiwa ‘inkarnasi’. Pengutusan Putera Allah yang tunggal menjadi manusia dalam misteri inkarnasi ini telah memperbaiki hubungan antara manusia dengan Allah, dan memungkinkan manusia menikmati hidup ilahi seperti Putera itu sendiri. Dengan menjadi manusia, Sang Putera bertindak, antara lain sebagai ‘penghapus dosa’ dan ‘penumbang kekuasaan jahat’ [Mat 8:18.23-27; Mrk 2:1-12; 5:1-20; Luk 4:33-37 dlsb.].
10. Dalam kerangka keselamatan, inkarnasi merupakan ‘tindakan’ Allah yang mutlak perlu bagi manusia. Karena yang hendak diselamatkan Allah adalah manusia, maka Putera Allah de facto harus menjadi manusia dan tinggal di antara manusia [Yoh 1:14]. Dengan demikian Putera Allah itu mengalami sendiri berbagai situasi kemanusiaan, namun kemanusiaan-Nya bersifat serba unik, karena tidak ada satu ciptaan lainpun yang dapat dan boleh disetarakan dengan Dia. “… sama seperti kita, Ia telah dicobai, hanya saja Ia tidak berbuat dosa” [Ibr 4:15]. Kesempurnaan Putera Allah ini mengangkat-Nya menjadi satu-satunya pengantara Allah dan manusia [1 Tim 2:5-6; Ibr 7:25; 8:6; 9:15; 12:24; 1 Yoh 2:1].
11. Rencana penyelamatan Allah untuk menyelamatkan umat manusia, dengan demikian berpusat pada Yesus Kristus. Rencana itu diwujudkan melalui hidup, sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Oleh karena itu orang boleh mengatakan, bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya causa efficiens, yang menjadi ‘asal-usul’ keselamatan umat manusia. Jadi, tindakan Allah menyelamatkan umat manusia terjadi hanya ‘dalam dan melalui Yesus Kristus’, sehingga di luar dan tanpa Yesus Kristus tidak terjadi keselamatan. Yesus Kristus adalah satu-satunya wujud keselamatan yang paripurna [Kol 1:19; 2:9-10]. Dengan demikian jelaslah apa yang dikatakan oleh Leonard Foley, OFM & Jovian Weigel, OFM di atas, yaitu bahwa “Maria tidak pernah dapat menyelamatkan kita…” [ LFJW, hal. 23]. Yang ditulis oleh Pater A. Eddy Kristiyanto, OFM terasa lebih keras-tegas lagi: “… tak seorang pun yang tidak tergantung pada Yesus Kristus, kendati ia bernama Santa Perawan Maria” [AEK, hal. 18].
Dari bacaan di atas (lihat butir 10) terlihat, bahwa Maria tergantung pada Puteranya, namun dalam artian tertentu rencana penyelamatan Allah juga tergantung pada Maria, yakni jawaban “ya” dari Maria sebagai pengejawantahan kesediaannya menjadi Bunda Penebus, sehingga memungkinkan terbukanya keselamatan umat manusia secara universal. Santo Paulus menulis: “… setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak” [Gal 4:4]. Maria, ‘Bunda Sabda yang menjadi daging’ adalah jaminan ‘realitas’ peristiwa inkarnasi. Kesediaan perempuan muda dari Nazaret untuk menjadi ibu-Nya berarti suatu pemberian kesempatan kepada Allah untuk ‘menyejarah’, artinya ‘masuk ke dalam situasi dan mengalami sejarah manusia’.
Kelahiran Putera Allah dari seorang perempuan juga menandaskan, bahwa Allah begitu dekat (imanensi Allah). Ia rela bersatu dengan manusia dan solider dengan umat manusia, baik dalam ‘untung maupun malang’ jalan hidup manusia. Solidaritas-Nya dalam situasi malang manusia – mau tidak mau – harus diartikan, bahwa ‘manusia mempunyai arti (berharga) di mata Allah’, bahkan melalui iman di dalam Yesus Kristus ‘manusia diangkat menjadi anak-anak Allah’ [lihat Yoh 1:12-13; bdk. Gal 3:26]. Dengan menjadi manusia keallahan Putera Allah tidak dikurangi atau berkurang [AEK, hal. 19].
Sebagai manusia biasa dan Bunda Kristus, Bunda Maria juga melakukan ‘peziarahan iman’ di dunia ini dengan penuh ketaatan, kesetiaan dan kerendahan hati. Marilah kita baca apa yang dikatakan oleh Konsili Vatikan II sehubungan dengan peziarahan iman Maria ini:
Demikianlah Santa Perawan juga melangkah maju dalam peziarahan iman. Dengan setia dia mempertahankan persatuannya dengan Puteranya hingga di salib, ketika dia sesuai dengan rencana Allah berdiri didekatnya [lihat Yoh 19:25]. Di situlah dia menanggung penderitaan yang dahsyat bersama dengan Puteranya yang tunggal. Dengan hati keibuannya dia menggabungkan diri dengan kurban-Nya, dan penuh kasih menyetujui persembahan kurban yang dilahirkannya. Dan akhirnya oleh Yesus Kristus itu juga, menjelang wafat-Nya di kayu salib, dia dikaruniakan kepada murid menjadi Bundanya dengan kata-kata ini: ‘Wanita, inilah anakmu’ [lihat Yoh 19:26-27] [LG, 58].
Sehubungan dengan uraian di atas ini, dalam ‘Surat Ensiklik Bapa Suci Yohanes Paulus II REDEMPTORIS MATER (IBUNDA SANG PENEBUS), tanggal 25 Maret 1987’ [RM], dikatakan:
Jelas, bahwa kita menemukan di sini suatu ungkapan keprihatinan khusus Sang Putera terhadap ibu-Nya, yang akan ditinggalkan-Nya dalam duka yang demikian besar. Dan toh ‘warisan salib Kristus’ menyatakan lebih banyak lagi. Yesus menjelaskan hubungan baru antara Ibu dan Putera, seluruh kebenaran dan kenyataan yang diteguhkan-Nya secara meriah. Orang dapat mengatakan bahwa bila keibuan Maria untuk bangsa manusia telah digariskan, sekarang dengan jelas diumumkan dan ditetapkan. Hal itu timbul dari pemenuhan definitif ‘Misteri Paskah Juru Selamat’. Bunda Kristus, yang berdiri pada pusat misteri-misteri yang memeluk setiap individu dan seluruh umat manusia – dianugerahkan sebagai ibu kepada setiap individu dan seluruh umat manusia. Pria yang berdiri pada kaki Salib adalah Yohanes, ‘murid yang Ia cintai’. Tetapi dia bukannya sendirian. Selaras dengan tradisi, Konsili tidak ragu-ragu menyebut Maria ‘Bunda Kristus dan Bunda umat manusia’: karena dia ‘keturunan Adam, maka Maria adalah satu dengan umat manusia … Memang dia senyatanya Ibu dari seluruh anggota Kristus … karena bekerja sama berdasarkan cinta kasih, sehingga dengan demikian di dalam Gereja terlahirlah umat beriman. Maka ‘keibuan baru Maria’, yang terlahir dari iman, merupakan buah cinta kasih ‘baru’ yang menjadi masak secara definitif dalam diri Maria pada kaki Salib, karena keikutsertaannya dalam cinta kasih penyelamatan Sang Putera [RM, 23].
Wilfried Stinissen, O.Carm. [WS, hal. 7-8] mengatakan, bahwa Maria tidak hanya menjadi Ibu Yesus. Di kaki salib ia menjadi ‘Hawa yang baru’.[4] Di situ ia bersatu dengan Adam yang baru, sebagai mempelai-Nya. Menurut rencana Allah, Gereja itu menjadi mempelai Kristus [bdk. 2 Kor 11:2; Ef 5:32]. Gereja itu bukan suatu himpunan orang banyak saja. Gereja sendiri di-‘ringkas’ dalam seorang pribadi, yang nyata hidup. Waktu Yesus menyerahkan diri di kayu salib, Gereja juga hadir; di dalam pribadi Maria Gereja itu hadir. Seandainya Maria tidak diluputkan dari noda dosa, bagaimana mungkin ia menjadi ‘gambar Gereja, mempelai yang cemerlang, tanpa cacat atau kerut atau apa yang serupa, kudus dan tak bercela’ [Ef 5:27].
Maria melahirkan Yesus di Betlehem. Akan tetapi, begitu Yesus mulai hidup di dunia ini, Tubuh-Nya mulai hidup juga – pokok anggur dan ranting-rantingnya. Dengan gembira Maria mengatakan “ya” kepada kedatangan Yesus – oleh karena itu juga “ya” kepada Tubuh Mistik-Nya, yaitu Gereja. Ia adalah bunda dari semua orang yang hidup dalam Kristus. Maria diberikan oleh Yesus Kristus kepada kita sebagai ibu. Ketika Maria berkata: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” [Luk 1:38], maka pada saat itu sebenarnya dia juga memberikan persetujuan untuk menjadi ibu bagi semua anak Allah. Maria sebagai ibu merupakan citra/gambaran yang paling dapat dipahami mengenai cinta kasih Allah bagi kita. “Apabila setiap ibu mengasihi anaknya, maka betapa hangat seharusnya cinta kasih dari ibu yang sempurna itu kepada Puteranya dan putera-puterinya seperti kita. Dan … cinta kasih ini hanyalah dapat merupakan suatu pencerminan kasih tak terbatas dari Bapa surgawi kepada anak-anak-Nya” [lihat LFJW, hal. 23].
AJARAN GEREJA MENGENAI MARIA DAN DEVOSI KEPADANYA
Beberapa petikan dari dokumen-dokumen Gereja
Di atas telah dipetik bacaan dari Lumen Gentium, butir 52 yang digunakan sebagai titik tolak uraian tentang tata penyelamatan Allah bagi umat manusia. Lumen Gentium, bab 8 (delapan) berjudul ‘Santa Perawan Maria Bunda Allah dalam Misteri Kristus dan Gereja’ [LG, 53-69]. Hal-ikhwal Bunda Maria dan uraian mengenai devosi umat kepadanya dapat kita lihat dalam bab 8 ini, khususnya butir 66 dan 67.
Seperti kita akan lihat di bagian lain tulisan ini, ‘Konstitusi Umum OFS tahun 2001” Artikel 16 butir 1 menetapkan, bahwa devosi para Fransiskan sekular kepada Bunda Maria harus dinyatakan dengan ungkapan-ungkapan iman yang sejati dalam bentuk-bentuknya yang diterima oleh Gereja. Maka pentinglah bagi para Fransiskan sekular untuk pertama-tama mengetahui dulu ketentuan-ketentuan apa saja yang ditetapkan Gereja sehubungan dengan devosi kepada Bunda Maria ini. Konsili Vatikan II mengatakan sebagai berikut:
Berkat rahmat Allah Maria telah diangkat di bawah Puteranya, di atas semua malaikat dan manusia, sebagai Bunda Allah yang tersuci, yang hadir pada misteri-misteri Kristus; dan tepatlah bahwa dia dihormati oleh Gereja dengan kebaktian yang istimewa. Memang sejak zaman kuno Santa Perawan dihormati dengan gelar ‘Bunda Allah’; dan dalam segala bahaya serta kebutuhan mereka Umat beriman sambil berdoa mencari perlindungannya. Terutama sejak Konsili di Efesus kebaktian Umat Allah terhadap Maria meningkat secara mengagumkan, dalam penghormatan serta cinta kasih, dengan menyerukan namanya dan mencontoh teladannya, menurut ungkapan profetisnya sendiri: ‘Segala keturunan akan menyebutku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan karya-karya besar padaku’ [Luk 1:48]. Meskipun kebaktian itu, seperti selalu dijalankan dalam Gereja, memang bersifat istimewa, namun secara hakiki berbeda dengan bakti sembah-sujud, yang dipersembahkan kepada Sabda yang menjelma seperti juga kepada Bapa dan Roh Kudus, lagi pula sangat mendukungnya. Sebab ada pelbagai ungkapan sikap bakti terhadap Bunda Allah, yang dalam batas-batas ajaran yang sehat serta benar, menurut situasi semasa dan setempat serta sesuai dengan tabiat dan watak-perangai kaum beriman, telah disetujui oleh Gereja. Dengan ungkapan-ungkapan itu, bila Bunda dihormati, Puteranya pun – segala sesuatu diciptakan untuk Dia [lihat Kol 1:15-16], dan Bapa yang kekal menghendaki agar seluruh kepenuhan-Nya diam dalam Dia [Kol 1:19], – dikenal, dicintai dan dimuliakan sebagaimana harusnya, serta perintah-perintah-Nya dilaksanakan [LG, 66].
Devosi kepada Bunda Maria merupakan ‘penghormatan’ (dulia), dan ‘penghormatan’ ini harus tetap terjaga agar tidak kebablasan menjadi ‘pemujaan atau penyembahan’ (latria) yang adalah sepenuhnya hak Allah. Karena devosi kepada Bunda Maria itu bersifat istimewa, maka disebut sebagai hyperdulia atau ‘adi-kebaktian’ [MM, khususnya hal. 9-17; bdk. AEK, hal. 78-79; CG, hal. 149]. Ada berbagai bentuk devosi yang berada dalam koridor ajaran yang sehat-benar dan telah disetujui oleh Gereja. Devosi yang sehat-benar inilah yang harus diikuti.
Para Fransiskan sekular juga harus mengingat apa yang dikatakan oleh Konsili Vatikan II dalam ‘Dekrit Apostolicam Actuositatem tentang Kerasulan Awam’ [AA][5];
“Suri teladan yang sempurna bagi hidup rohani dan hidup merasul itu ialah Santa Perawan Maria, Ratu para Rasul. Selama di dunia dia menjalani hidup kebanyakan orang, penuh kesibukan keluarga dan jerih payah, tetapi selalu mesra bersatu dengan Puteranya, dan dengan cara yang sangat istimewa dia bekerja sama dengan karya Sang Penyelamat. Tetapi sekarang dia telah diangkat ke surga, dan dengan cinta kasih keibuannya dia memperhatikan saudara-saudara Puteranya, yang masih dalam peziarahan dan menghadapi bahaya-bahaya serta kesukaran-kesukaran, sampai mereka mencapai tanah air yang penuh kebahagiaan [lihat LG 62 dan 65]. Hendaknya semua saja penuh khidmat berbakti kepadanya, dan menyerahkan hidup serta kerasulan mereka kepada perhatiannya yang penuh rasa keibuan” [AA, 4].
Dokumen tentang kerasulan awam ini menyatakan, bahwa setiap anggota Gereja harus melakukan suatu devosi yang sejati kepada Bunda Maria dan mempercayakan hidupnya kepada perhatian Bunda Maria yang penuh rasa keibuan.
Dokumen pertama yang diterbitkan oleh Konsili Vatikan II adalah ‘Konstitusi Sacrosanctum Concilium tentang Liturgi Suci’ [SC][6], yang mengakui, bahwa “… hidup rohani tidak tercakup seluruhnya dengan hanya ikut serta dalam Liturgi” [SC, 12]. Dalam beberapa butirnya, dokumen Gereja ini berbicara mengenai devosi pada umumnya dan devosi kepada Bunda Maria khususnya:
Ulah kesalehan umat Kristiani, asal saja sesuai dengan hukum-hukum dan norma-norma Gereja, sangat dianjurkan, terutama bila dijalankan atas penetapan Takhta Apostolik. Begitu pula ulah kesalehan yang khas bagi Gereja-Gereja setempat memiliki makna istimewa, bila dilakukan atas penetapan para Uskup, menurut adat-kebiasaan atau buku-buku yang telah disahkan. Akan tetapi, sambil mengindahkan masa-masa Liturgi, ulah kesalehan itu perlu diatur sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan Liturgi suci; sedikit banyak harus bersumber pada Liturgi, dan menghantar Umat kepadanya; sebab menurut hakekatnya Liturgi memang jauh lebih unggul dari semua ulah kesalehan itu [SC, 13].
Dalam merayakan lingkaran tahunan misteri-misteri Kristus itu Gereja suci menghormati Santa Maria Bunda Allah dengan cinta kasih yang istimewa, karena secara tak terceraikan terlibat dalam karya penyelamatan Puteranya. Dalam diri Maria Gereja mengagumi dan memuliakan buah Penebusan yang serba unggul, dan dengan gembira merenungkan apa yang sepenuhnya dicita-citakan dan didambakannya sendiri bagaikan dalam citra yang paling jernih [SC, 103].
Mengenai devosi kepada Bunda Maria dan para kudus lainnya, ‘Kitab Hukum Kanonik’ tahun 1983 [KHK] menyatakan:
Untuk menunjang pengudusan umat Allah, Gereja menganjurkan agar umat beriman Kristiani secara khusus dan dengan sikap seorang anak menghormati Santa Maria selalu Perawan dan Bunda Allah, yang diangkat oleh Kristus menjadi Bunda semua orang; Gereja juga memajukan penghormatan yang benar dan sejati kepada Orang-orang Kudus lain yang membangkitkan semangat kaum beriman Kristiani dengan teladan serta membantu mereka dengan pengantaraannya [KHK, Kanon 1186].
Yang harus digarisbawahi dari ketentuan ini dalam ‘Kitab Hukum Kanonik’ ini adalah agar kita menghormati Bunda Maria dengan sikap seorang anak kepada bundanya, karena bunda yang satu ini telah diangkat Kristus menjadi Bunda semua orang.
Uraian penjelasan
Lumen Gentium, butir 66 mengungkapkan, bahwa Bunda Maria sudah sejak lama dihormati dalam umat Allah. Salah satu indikasinya dapat diasalkan dari kesaksian iman yang terdapat dalam ‘Kidung Maria’ (Magnificat): “… sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan kuduslah nama-Nya” [Luk 1:48-49]. Sebenarnya kesaksian iman tersebut merupakan keyakinan dan sikap umat Allah yang diletakkan penulis Injil Lukas pada mulut Maria. Kesaksian itu rupanya dimaksudkan untuk memperlihatkan, bahwa peranan Maria (akan) senantiasa dihormati dan dikagumi [lihat AEK, hal. 79].
Di bagian depan tulisan ini kita telah lihat, bahwa peranan Maria itu dimungkinkan oleh rahmat Allah semata-mata. Rahmat Allah yang dilimpahkan kepada Maria dan menjadi nyata dalam ‘perbuatan-perbuatan besar’ [lihat Luk 1:50]. Hal ini memberikan cukup alasan bagi Gereja untuk menghormati Maria. Penghormatan ini diungkapkan melalui tata peribadatan yang sangat khusus. Peranan Maria sebagai Bunda Allah dan kesempurnaan yang dianugerahkan Allah kepadanya ‘tidak akan tertandingi’ oleh makhluk yang mana pun, melampaui semua malaikat dan manusia lainnya. Jadi fokus ibadat khusus atau devosi ini adalah, bahwa Maria adalah manusia yang telah dikehendaki Allah untuk berpartisipasi secara aktif dalam misteri Kristus yang secara konkret adalah ‘misteri inkarnasi’. Partisipasi Maria ini memungkinkan Allah Putera menjadi manusia Yesus Kristus. Menurut Pater A. Eddy Kristiyanto, OFM, “Justru karena itulah Yesus Kristus bukan Allah yang berpura-pura menjadi manusia. Yesus Kristus bukan setengah Allah dan setengah manusia, melainkan Allah sejati sekaligus manusia sejati oleh karena Ia, Allah Putera, yang dikandung dan dilahirkan oleh Perawan Suci” [AEK, hal. 80].
Dalam devosi tersebut peranan Maria adalah sebagai ‘wakil seluruh umat Allah’, yakni yang bertindak demi kepentingan manusia lain berkenaan dengan keselamatan. Dalam peranannya itu Maria mendoakan kepentingan Gereja, dan dengan mendoakan Gereja, dia yang sudah bersatu dengan Kristus melayani Allah Tritunggal dalam Gereja Kristus. Dan di dalam Maria, Gereja memperoleh ‘tanda harapan yang pasti serta hiburan di tengah ziarahnya di dunia ini’ [LG, 68-69]. Pemahaman tentang peranan Maria dalam devosi seperti itu tidak mungkin menggeser fungsi dan peranan Yesus Kristus sebagai Pengantara, sebab devosi gerejawi dalam rangka menghormati Maria tidak pernah dimaksudkan untuk menjadikannya sebagai tujuan terakhir. Dapat dikatakan, bahwa ibadat penghormatan kepada Maria merupakan ‘tujuan’ sejauh diabdikan untuk kemuliaan nama Allah, sehingga pada dirinya sendiri devosi ini mempunyai tujuan yang relatif saja. Artinya, jika Gereja menghormatinya dengan devosi, tujuan devosi itu selalu melampaui dan mengatasi Maria sendiri. Tujuan devosi itu ialah untuk memuliakan dan meluhurkan nama Allah yang mahakudus. Allah yang menjadi nyata dalam Yesus Kristus itulah ‘objek’ ibadat gerejawi.
Dalam prakteknya, memang tidak sedikit jumlah anggota Gereja yang sangat dibantu dalam mencintai dan berbakti kepada Allah dengan devosi ini. Paus Paulus VI dalam ensikliknya, Ecclesiam Suam, mengatakan: “Ia (Maria) memperlihatkan gambaran kesempurnaan yang lengkap dan mengagumkan; ia telah menghayati cita-cita itu di dunia dan sekarang telah merasakan cahayanya dan kebahagiaannya di surga. Adalah menjadi keyakinan kami, bahwa penghormatan kepada Bunda Allah banyak memberi pertolongan dalam melaksanakan ajaran Injil” [catatan kaki no. 92 dalam AEK, hal. 86]. Namun devosi yang sangat dianjurkan Gereja karena dapat memupuk hormat bakti kepada Allah, secara hakiki berbeda dengan adorasi/sembah sujud kepada Yesus Kristus. Perbedaan hakiki ini secara pasti menyangkut siapa Maria dan siapa Yesus Kristus [lihat uraian di atas, dalam bagian yang membahas ‘Maria dan Kristus’.
Maria, Bunda Yesus, adalah seorang manusia. Yesus Kristus adalah Allah Putera, yang diserahkan Bapa surgawi kepada kematian demi penebusan semua orang dari kuasa maut. Dengan demikian Maria adalah seorang yang ditebus oleh Puteranya. Implikasinya, keselamatan ilahi yang dialami Maria sepenuhnya tergantung pada Yesus Kristus. Maria tidak pernah boleh ditempatkan di samping Yesus, Puteranya pada tingkatan sama tinggi, seakan-akan dia dapat menggantikan peranan Yesus. Pada prinsipnya, Maria tidak mutlak perlu agar keselamatan sampai kepada manusia. De facto Maria hanya perlu bagi Gereja. “Maria dari dirinya sendiri tidaklah perlu bagi Allah seakan-akan Allah tergantung pada seorang manusia Maria” [AEK, hal. 81].
Agar keselamatan dapat terwujud, diperlukanlah pengantaraan Yesus Kristus. Maka dalam iman Kristiani, Yesus Kristus adalah pusatnya. Santo Paulus merumuskannya dengan jelas, “… bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari Dia berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang melalui Dia segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup” [1 Kor 8:6]. “Pusat iman inilah yang sesungguhnya dikontak umat beriman melalui ungkapan iman yang khas, yakni ibadat resmi gerejawi” [AEK, hal. 82].
Devosi kepada Maria termasuk yurisdiksi Gereja, artinya Gereja berwenang melayani, mengatur dan menentukan batas-batas tertib peribadatan tersebut. Dengan perkataan lain, Gereja sangat mendukung dan menganjurkan berbagai bentuk kesalehan terhadap Bunda Allah, asal saja bentuk-bentuk itu dalam batas-batas doktrin yang ‘ortodoks’ dan sehat. Berkat sikap Gereja inilah diperkecil kemungkinan tumbuhnya peribadatan yang liar dan acak dalam Gereja [AEK, hal. 83].
Kadar devosi kepada Maria ini sekunder terhadap liturgi resmi. Devosi kepada Bunda Maria seharusnya memang mengalir dari ‘roh’ liturgi resmi dan mengantar kembali ke ‘roh’ liturgi resmi. Apabila devosi ini dipraktekkan dengan melepas ‘roh’ liturgi resmi, maka dikuatirkan akan muncul bahaya ‘marianisme’ A. Eddy Kristiyanto, OFM berpendapat, bahwa jika umat beriman mengindahkan hakikat dan bobot liturgi resmi (kudus) dalam Gereja [SC, 5-13], maka tidak ada tempat lagi bagi munculnya berbagai bentuk/praktek devosional yang berakar pada perasaan religius yang berlebih-lebihan dan bersifat emosional belaka. Boleh diharapkan, jikalau dalam penghayatan iman liturgi menjadi utama dan primer dibandingkan devosi dan praktek kesalehan sebagai cultus privatus, maka jemaat beriman akan semakin terarah dalam menyerahkan diri kepada Allah yang hadir dan tindakan-Nya dirayakan dalam ‘puncak’ liturgi resmi, yaitu perayaan Ekaristi [AEK, hal. 83].[7]
Meskipun devosi kepada Bunda Maria seharusnya ditempatkan dalam kategori cultus privatus yang dianjurkan Gereja, dalam liturgi resmi Gereja sepanjang tahun dirayakan pesta-pesta atau peringatan-peringatan yang berkenaan dengan Bunda Maria. Dengan demikian penghormatan kepada Bunda Maria diangkat martabatnya menjadi cultus publicus, dengan konsekuensi seluruh Gereja terlibat dalam mengenangkan peranan/tugas Maria dalam peristiwa-peristiwa yang dirayakan. Perayaan/peringatan peristiwa-peristiwa itu tidak dimaksudkan berakhir sampai di sana saja, melainkan berkesudahan pada hormat bakti kepada Allah sendiri [AEK, hal. 84].
Hendaknya jelas dari uraian di atas, bahwa devosi kepada Bunda Maria wajar bahkan seharusnya ditempatkan dalam kerangka liturgi resmi. Secara mendasar devosi yang diungkapkan dalam bentuk doa rosario, litani, ziarah dlsb. lebih bersifat pribadi (privatus) dibandingkan ibadat publik (publicus), yang dirayakan seluruh Gereja dan berciri mengikat. Devosi kepada Bunda Maria yang dihayati oleh anggota Gereja demi penghormatan, cinta, permohonan bantuan, merupakan salah satu sarana kesalehan yang dianjurkan demi sembah bakti dan pemuliaan Tuhan Yesus. Sarana sendiri, dengan demikian dapat bermakna menyuburkan tanggapan orang beriman terhadap panggilan Allah. Namun sehubungan dengan sarana dan bentuk kesalehan/peribadatan kepada Bunda Maria ini Lumen Gentium, butir 66 tidak menetapkan secara pasti dan terinci, kecuali bahwa hal-hal itu hendaknya disesuaikan dengan ciri, kemampuan/bakat umat beriman, tempat dan waktu di mana umat Allah berakar [AEK, hal. 85].
Semangat devosional yang otentik
Dalam Surat Apostolik TERTIO MILLENNIO ADVENIENTE (KEDATANGAN MILENIUM KETIGA) yang dialamatkannya kepada para uskup, para rohaniwan dan kaum awam, tentang ‘persiapan menyambut Yubileum Agung tahun 2000 [TMA], Paus Yohanes Paulus II menulis tentang Bunda Maria sebagai berikut:
“Dalam rahimnyalah Sabda menjadi daging! Maka dari itu, penegasan tentang tempat sentral Kristus tidak dapat dipisahkan dari pengakuan akan peranan yang dimainkan oleh Ibu-Nya yang tersuci. Penghormatan kepada Maria, bila dipahami dengan benar, sama sekali tidak mengurangi ‘martabat serta daya guna Kristus satu-satunya Pengantara’ [LG 62]. Sesungguhnya, Maria senantiasa menunjuk kepada Putera Ilahinya dan ia diberikan kepada semua orang beriman sebagai ‘teladan iman’ yang diwujudnyatakan. ‘Penuh khidmat Gereja mengenangkan Maria, serta merenungkannya dalam terang Sabda yang menjadi manusia, dan dengan demikian ia penuh hormat makin mendalam menyelami misteri Penjelmaan yang termulia, serta makin hari makin menyerupai Mempelainya [LG, 65]” [TMA, 43].
Devosi kepada Bunda Maria yang dipahami dan dipraktekkan dengan benar memang sama sekali tidak akan mengurangi martabat Kristus sebagai satu-satunya Pengantara. Jadi ‘kata kunci’ untuk pembahasan selanjutnya tentang devosi yang benar atau otentik adalah ‘pemahaman yang benar’.
Dari sikap yang ditunjukkan dalam anggota Gereja dalam melakukan devosi mereka kepada Bunda Maria terlihat adanya dua macam bentuk ekstrim, yakni (1) sikap yang terlalu menekankan faktor lahiriah dalam penghayatan iman mereka dengan pengungkapan yang cenderung berlebih-lebihan; (2) sikap yang terlalu menekankan faktor batiniah dalam penghayatan iman, artinya semuanya direduksikan menjadi urusan batin melulu. Kedua macam sikap itu, menurut A. Eddy Kristiyanto, OFM, berkembang dengan caranya sendiri sepanjang sejarah Gereja dan eksistensinya tidak dikutuk. Namun, sadar akan hal yang sebaiknya tidak ada ini, Konsili Vatikan II menyatakan yang berikut ini:
Kepada para teolog serta pewarta sabda Allah Gereja menganjurkan dengan sangat, supaya dalam memandang martabat Bunda Allah yang istimewa mereka pun dengan sungguh-sungguh mencegah segala ungkapan berlebihan yang palsu seperti juga kepicikan sikap batin [LG, 67].[8]
Ada dua fenomena yang diindikasikan dalam petikan di atas, yaitu adanya usaha-usaha yang berlebihan dan kesempitan pandangan yang keterlaluan dalam mengulas martabat khusus Bunda Allah. Rupa-rupanya kedua fenomena itu dikembangkan oleh sementara teolog dan pewarta sabda yang kurang arif. Ada rasa kekuatiran, bahwa usaha-usaha itu membingungkan sebagian besar umat yang tidak banyak menggali dan mengkonfrontasikan penghayatan iman mereka dengan sumber-sumber kebenaran dalam Gereja Kristus. Masalahnya sekarang adalah mengetahui patokan dasar untuk menilai apakah suatu praktek penghayatan iman itu otentik atau tidak otentik? Dalam hal ini kita dapat merujuk kepada Konsili Vatikan II:
Hendaklah mereka (maksudnya: para teolog dan pewarta sabda Allah) mempelajari Kitab Suci, ajaran para Bapa dan Pujangga suci serta liturgi-liturgi Gereja di bawah bimbingan Wewenang mengajar Gereja (magisterium), dan dengan cermat menjelaskan tugas-tugas serta karunia-karunia istimewa Santa Perawan, yang senantiasa tertujukan kepada Kristus, sumber segala kebenaran, kesucian dan kesalehan [LG, 67].
Dengan menggunakan kata-kata Pater A. Eddy Kristiyanto, OFM sendiri:
“… kebaktian yang otentik kepada Perawan Suci hendaknya sesuai dengan amanat Kristus pada anggota Gereja-Nya. Inti sari devosi dalam Gereja Kristus kepada Perawan Suci adalah hal meneladan hidup beriman Maria. Hidup beriman Maria telah ditampilkan Injil serta dikaji oleh para bapak dan pujangga Gereja. Inti sari ini harus diungkapkan dalam liturgi. Maksudnya, supaya matra kelihatan manusiawi dari kegiatan anggota Gereja yang mencintai Perawan Suci dapat menjadi tanda dan sarana pengharapan eskatologis dalam himpunan Umat Allah” [AEK, hal. 89].
Tujuan terakhir semua devosi yang benar seharusnya adalah Yesus Kristus, karena Dia adalah seperti yang dinyatakan oleh Kitab Suci (sebanyak sembilan contoh saja):
- “… janganlah kamu disebut ‘Rabi’; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. Janganlah kamu menyebut siapa pun ‘bapak’ di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di surga. Janganlah kamu disebut pemimpin, karena hanya ada satu Pemimpinmu, yaitu Mesias” [Mat 23:8-10].
- “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan” [Yoh 13:13].
- “Yesus adalah batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan – yaitu kamu sendiri – namun ia telah menjadi batu penjuru. Tidak ada keselamatan di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” [Kis 4:11-12].
- “… tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain daripada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus” [1 Kor 3:11].
- “… bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari Dia berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang melalui Dia segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup” [1 Kor 8:6].
- “Ia (Kristus) yang telah turun, Ia juga yang telah naik jauh lebih tinggi daripada semua langit, untuk memenuhi segala sesuatu. Dialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh berbagai angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan” [Ef 4:10-14].
- “Dialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Dialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Dialah yang lebih utama dalam segala sesuatu” [Kol 1:18].
- “Sebab dalam Dia (Kristus)-lah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan keilahian, ……” [Kol 2:9].
- “Akulah Alfa dan Omega, firman Tuhan Allah, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, Yang Mahakuasa” [Why 1:8].
Di sisi lain, otentik-tidaknya devosi dapat diamati dengan mengacu kepada ‘ortodoksi’ dan ‘ortopraksis’ Gereja. Devosi yang benar pertama-tama dan terutama merupakan ‘produk dari iman sejati’ atau ‘keluar dari iman sejati’. Inilah sebuah patokan yang diberikan oleh Konsili Vatikan II seperti telah dikutip di atas:
“Selanjutnya hendaklah kaum beriman mengingat, bahwa bakti yang sejati tidak terdiri dari perasaan yang mandul dan bersifat sementara, tidak pula dalam sikap mudah percaya tanpa dasar. Bakti ini bersumber pada iman yang sejati, yang mengajak kita untuk mengakui keunggulan Bunda Allah, dan mendorong kita untuk sebagai putera-puteri mencintai Bunda kita dan meneladan keutamaan-keutamaannya” [LG, 67].
Konsili Vatikan II mengingatkan, bahwa devosi yang benar kepada Bunda Maria harus berdasarkan iman yang sejati … yang pada akhirnya berwujud pada upaya umat untuk meneladan keutamaan-keutamaan Maria. Memang devosi yang benar harus didasarkan pada dan mulai dari iman sejati. Devosi yang benar akan menjadi cinta kasih yang tulus dan komitmen yang sungguh-sungguh serta berkembang secara spontan dari keyakinan iman. Pusat iman Kristiani adalah Tritunggal Maha Kudus dan tidak terbagi. Orang yang melakukan devosi kepada Bunda Maria dengan benar, mengetahui di mana tempat Maria dalam karya penyelamatan Allah, yaitu di bawah Kristus. Lihatlah lagi apa saja yang telah ditulis di atas dalam bagian yang membahas “Maria dan Kristus’.
Sebagai penutup bagian yang membicarakan peranan Gereja dalam hal ‘Devosi kepada Bunda Maria’ ini, perlu dicatat apa yang dikatakan oleh Paus Paulus VI dalam Wejangan Apostolik MARIALIS CULTUS tertanggal 2 Februari 1974. Dalam dokumen ini, Paus Paulus VI memberikan beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh mereka yang bertugas di lapangan pada waktu melakukan pembaharuan atas ‘Devosi kepada Bunda Maria’ atau melakukan revisi. Prinsip-prinsip itu menyangkut aspek Trinitaris, Kristologis dan Eklesial dari devosi itu.
Kemudian Sri Paus memberikan empat buah panduan untuk devosi ini, yaitu:
- Setiap devosi kepada Bunda Maria harus mempunyai jejak alkitabiah.
- Devosi kepada Bunda Maria juga harus selaras dengan dan menimba inspirasinya dari masa-masa liturgis Gereja.
- Devosi kepada Bunda Maria harus mengindahkan aspek ekumenisme.
- Devosi kepada Bunda Maria harus sangat memperhatikan dimensi antropologis.
MARIA DAN DEVOSI KEPADANYA
DALAM AD OFS DAN KONSTITUSI UMUM OFS
AD OFS
AD OFS, Artikel 9 dalam bahasa Inggris dan Indonesia berbunyi sebagai berikut:
The virgin Mary, humble servant of the Lord, was open to his every word and call. She was embraced by Francis with indescribable love and declared the protectress and advocate of his family. The Secular Franciscans should express their ardent love for her by imitating her complete self-giving and by praying earnestly and confidently.
Perawan Maria, hamba Tuhan yang rendah hati, yang terbuka kepada Sabda dan semua dorongan-Nya, dirangkul oleh Fransiskus dengan cinta yang tak terkatakan dan dinyatakannya sebagai Pelindung dan Pembicara baik bagi keluarganya. Para Fransiskan Awam seharusnya memperlihatkan cinta mereka yang berkobar-kobar terhadap dia, dengan meneladani kerelaan hatinya yang utuh dan doanya yang bersungguh-sungguh serta penuh kepercayaan.
Teks dalam bahasa Inggris di atas adalah versi resmi terjemahan ke dalam bahasa Inggris dari aslinya yang menggunakan bahasa Latin. Versi bahasa Inggris ini digunakan di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi, atau di negara-negara di mana bahasa Inggris digunakan juga sebagai bahasa dalam proses belajar-mengajar, seperti di India dan Filipina.
Terjemahan saya pribadi atas teks AD OFS Artikel 9 versi bahasa Inggris ini ke dalam bahasa Indonesia adalah seperti berikut:
Perawan Maria, hamba Tuhan yang rendah hati, terbuka kepada setiap Sabda dan panggilan-Nya. Ia dirangkul oleh Fransiskus dengan cinta yang tak terkatakan dan dinyatakannya sebagai pelindung dan pembela keluarganya. Para Fransiskan Sekular harus mengungkapkan cinta mereka yang berkobar-kobar kepadanya, dengan meneladani pemberian-dirinya yang utuh dan dengan berdoa secara bersungguh-sungguh serta dengan penuh kepercayaan.
Jadi, memang ada perbedaan terjemahan yang dapat menimbulkan perbedaan tafsir, namun hal tersebut masih tetap dapat direkonsiliasikan dan tidak perlu dibesar-besarkan.
Komentar singkat dari Cornelio Mota Ramos, OFM dan Felipe Baldonado, OFM sehubungan dengan AD OFS Artikel 9 ini, adalah sebagai berikut: “… pemberian-diri Maria dan doanya dikedepankan (dalam AD OFS) sebagai contoh utama hidup Injili. Devosi kepadanya selalu telah menjadi ‘tanda resmi’ panggilan Fransiskan (hallmark of the Franciscan calling), baik sebagai suatu cara pengungkapan cinta kepadanya maupun sebagai suatu cara penting untuk menemukan Yesus sendiri” [ZG, hal. 27]. Sejalan dengan komentar ini, Adelaide N. Sabath, SFO, mengatakan, bahwa ditempatkannya refleksi tentang Santa Perawan Maria di tengah Fasal 2 AD OFS adalah seperti sebutir berlian yang ditaruh di tengah-tengah sejumlah intan permata, seperti sebuah mercu suar yang memancarkan sinar cahaya dalam kegelapan, karena Maria adalah contoh dari hidup Injili yang penuh kesetiaan. Hidup Injili Maria ini diwujudkan, dalam dimensi interior doa-doanya yang sungguh-sungguh serta dilakukan dengan penuh kepercayaan, dan dalam dimensi eksternal tanggapannya kepada Allah dengan ‘pemberian dirinya secara utuh’. Dalam hidupnya sendiri, Maria mewujudkan puncak kesempurnaan Injili, membawa ‘Sabda yang menjadi daging’ kepada dunia, dan memimpin semua orang kepada Puteranya melalui doa-doa pengantaraannya yang tak kunjung padam [BAF I, hal. 50].
Menurut Adelaide N. Sabath, SFO, dalam visi Fransiskan Maria dipilih oleh Allah untuk menjadi Bunda Yesus semenjak segala keabadian dan sebelum segala makhluk lainnya. Oleh karena itu dia terkandung tanpa dosa dan dimuliakan dengan diangkatnya ke surga. Ia adalah Perawan-Bunda, orang satu-satunya yang memegang martabat sedemikian sesuai dengan pendirian yang tetap/tak berubah-ubah dari kuasa mengajar Gereja (magisterium), karena tanggapannya yang terbuka dan penuh kasih terhadap undangan Allah [lihat BAF I, hal. 50].
Perawan Maria adalah hamba Tuhan yang rendah hati
Yang sangat memberikan kesan mendalam kepada saya – dan tentunya kepada para pembaca tulisan ini juga – tentang Bunda Maria, adalah penyerahan dirinya kepada Tuhan tanpa syarat sebagai seorang hamba. Maria memberikan dirinya kepada Allah secara utuh, sehingga dengan demikian melibatkan dirinya dalam karya penebusan Puteranya.
Sikapnya yang ‘benar-tepat’ untuk mengikuti kehendak Allah tanpa reserve, tanpa memikirkan kesulitan-kesulitannya, ketaatan total yang ditunjukkannya kepada Allah sebagai suatu tanda iman dan kepercayaannya, merupakan keutamaan-keutamaan agung yang sungguh layak untuk diteladani. Keutamaan-keutamaan ini membuat Maria tidak hanya menjadi seorang ‘Bunda dan Saudari’ bagi kita, tetapi juga menjadikannya juga ‘Bunda dan Model Gereja’ [VL, hal. 57-58].
Memang, tanggapan Maria terhadap panggilan Allah adalah jawaban “ya” yang diberikannya. Ini adalah “ya” keibuan/kebundaan yang menjadi suatu tindakan iman. Dalam tindakan iman ini, Maria ‘terbuka kepada setiap Sabda dan panggilan-Nya’ [AD OFS, Artikel 9]. Sehubungan dengan persetujuan atau fiat Maria, Lumen Gentium menyatakan, bahwa sesudah warta Malaikat, Santa Perawan Maria menerima Sabda Allah dalam hati maupun tubuhnya, serta memberikan Hidup kepada dunia [lihat LG, 53]. Baiklah saya ulangi frase terakhir dari pernyataan di atas: “… memberikan Hidup kepada dunia!”
Dipenuhi dengan Roh Kasih sebagai ‘seorang hamba Tuhan yang rendah hati’, Maria menjawab panggilan Allah. Di bawah naungan Roh Allah, Maria – oleh Roh Kudus – menerima kekuatan untuk menepati komitmennya sebagai Bunda Yesus. ‘Sabda menjadi daging’ terlaksana melalui jawaban “ya” dari Maria yang lemah lembut, namun sungguh mempunyai kekuatan: “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” [Luk 1:38]. Ini adalah perwujudan suatu penyerahan diri seseorang yang konstan terus-menerus – dalam doa – kepada rancangan suci Allah. Maria mengalami cinta kasih yang dipenuhi kekuatan dalam hidupnya, sehingga dia dimampukan untuk mengatakan fiat-nya yang terkenal itu. Dengan “ya”-nya, Maria menyerahkan dirinya secara utuh bagi pelayanan Sabda Allah. Baik “ya”-nya maupun pelayanan Sabda Allah yang menyebabkan cinta kasih yang penuh kekuatan dalam diri Sang Perawan dari Nazaret menjadi suatu realitas empiris dalam kehidupan Fransiskus. Fransiskus membuat Maria menjadi pembela Ordo-nya [lihat 2 Cel 198].
Santo Lukas sangat menggaris-bawahi peristiwa yang dipenuhi rahmat ini – tanggapan Maria dan keibuannya yang terjadi oleh kuasa ilahi – ketika dia menulis dalam Injilnya: “Tetapi Maria menyimpan segala perkataan itu di dalam hatinya dan merenungkannya” [Luk 2:19; bdk. 2:51]. Jadi, Maria menolong kita menemukan jalan-jalan menuju Allah, yaitu mendengarkan, menyimpan segala perkataan di dalam hati, merenungkannya, dan membawakan semuanya dalam doa-doa seturut kehendak Allah. Maria juga memahami sampai berapa jauh hidupnya dikaitkan dengan hidup Yesus. Maria menerima segala misteri iman yang tidak mampu dipahaminya. Misalnya, pada saat mendengar jawaban yang terasa ‘keras-memedihkan setiap hati orangtua’ dari Yesus yang di kala itu baru berumur dua belas tahun ditemukan di Bait Allah, Lukas cuma menulis sebuah kalimat singkat: “Tetapi mereka (Yusuf dan Maria) tidak mengerti apa yang dikatakan-Nya kepada mereka” [Luk 2:50]. Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Adelaide N. Sabath, SFO: “Iman menyatakan fakta tanpa selalu menjelaskan faktor ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’-nya” [BAF I, hal. 51].
Maria adalah Bunda Yesus dan Bunda semua orang
Karena imannya dan tanggapannya terhadap kehendak Allah, Maria menjadi Bunda Allah dan bunda semua orang. Ia adalah bunda Yesus dan bunda dari saudara-saudari-Nya dalam Roh. Dengan demikian Maria adalah Bunda Gereja. Martabat Maria sebagai seorang ibu melambangkan semua kemuliaannya. Seorang ibu adalah seseorang yang memberi, dalam hal ini Maria adalah seorang ibu sempurna karena dia memberikan dirinya sendiri secara total kepada Allah [lihat Luk 1:38] dan secara total pula dia memberikan dirinya kepada anak-anaknya. Yesus yang tergantung di kayu salib berkata kepada ibu-Nya, “Wanita, inilah anakmu!” dan kepada Yohanes, Ia berkata: “Inilah ibumu!” [lihat Yoh 19:26.27].
Yesus mengatakan kepada kita, bahwa kebundaan spiritual lebih sempurna daripada kebundaan alamiah: “… Siapa saja yang melakukan kehendak Bapa-Ku di surga, dialah saudara-Ku laki-laki, saudara-Ku perempuan dan ibu-Ku” [Mat 12:50]. Kesempurnaan kebundaan Maria adalah kebundaan spiritualnya, tindakan nyata dari dirinya untuk melakukan kehendak Bapa surgawi. Santo Paulus tidak salah pada waktu dia mengatakan, bahwa dirinya adalah ibu dari para pentobat yang menjadi pengikut Kristus: “Hai anak-anakku, karena kamu aku menderita sakit bersalin lagi, sampai rupa Kristus menjadi nyata di dalam kamu” [Gal 4:19]. Dalam artian seperti ini, semua orang Kristiani, baik lelaki maupun perempuan, menikah atau jomblo, semua dipanggil untuk menjadi ‘ibu-ibu’ Kristus dan seorang Kristiani menjadi ‘ibu’ bagi orang Kristiani lainnya [lihat Mukadimah AD OFS]. Kita semua dipanggil untuk menepati Injil dan memberikan diri kita sendiri kepada Allah dan sesama kita, sehingga dengan demikian Kristus dapat ‘lahir’ kembali di tengah-tengah umat-Nya [lihat BAF I, hal. 51].
Maria dirangkul oleh Fransiskus dengan cinta yang tak terkatakan
Mengapa dikatakan, bahwa Fransiskus merangkul bunda Yesus dengan cinta kasih yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata? Karena Maria telah memberikan kepada kita Tuhan Yang Maha Agung sebagai Saudara kita dan telah memperoleh belaskasihan bagi kita [2 Cel 198]. Hal ini disebabkan oleh kebundaan ilahinya, namun diungkapkan dengan cara yang luarbiasa dan menyentuh hati: Maria adalah seorang ibu yang telah memberikan kepada kita seorang Saudara yang bukan sekadar Saudara biasa, melainkan seorang Saudara yang adalah Tuhan Yang Maha Agung.
Fakta Maria menjadi bunda Yesus – Firman yang menjadi manusia [Yoh 1:14] – merupakan pesan Injil yang agung. Itulah alasannya mengapa Fransiskus memilih Maria sebagai pelindung dan pembela keluarga besar Fransiskan. Maria adalah seorang ibu par excellence (sempurna) yang menghayati Injil dalam arti menjadi bunda Kristus. Dia adalah seorang ibu yang ideal bagi Fransiskus dan keluarga rohaninya. Atas dasar semua ini pula, maka Fransiskus sangat mencintai gereja Porziuncula yang didedikasikan kepada Bunda Maria dengan nama gereja ‘Santa Maria para Malaikat’. Fransiskus mencintai gereja kecil ini lebih daripada gereja manapun juga di dunia ini. Fransiskus menghendaki agar Saudara-saudaranya menghormati gereja kecil ini dengan devosi yang khusus dan istimewa. Di tempat inilah Fransiskus memulai ordonya, dan di sini pula dia memilih untuk dijemput oleh ‘Saudari Maut’.
Konsili Vatikan menyatakan: “Dalam hidupnya Santa Perawan menjadi teladan cinta kasih keibuan, yang juga harus menjiwai siapa saja yang tergabung dalam misi kerasulan Gereja demi kelahiran baru sesama mereka” [LG, 65].
Para Fransiskan Sekular harus mengungkapkan cinta mereka yang berkobar-kobar kepada Maria
Konstitusi Umum OFS tahun 2001, Artikel 16 butir 1 menyatakan:
Rule 9 Mary, Mother of Jesus, is the model of listening to the Word and of faithfulness to vocation, we, like Francis, see all the gospel virtues realized in her. The brothers and sisters should cultivate intense love for the most holy virgin, imitation, prayer, and filial abandonment. They should manifest their own devotion with expressions of genuine faith, in forms accepted by the Church.
AD OFS 9 Maria, Bunda Yesus, adalah model/contoh orang yang mendengarkan Sabda (Allah) dan setia kepada panggilannya. Kita, seperti Fransiskus, melihat semua keutamaan Injili terealisir dalam dirinya (=Maria). Para saudara dan saudari harus memupuk cinta yang mendalam kepada Sang Perawan terkudus, upaya mengikuti keteladanannya, doa dan kesediaannya melepaskan kepentingan diri sebagai anak demi orangtuanya. Mereka harus menyatakan devosi mereka sendiri dengan ungkapan-ungkapan iman yang sejati, dalam bentuk-bentuknya yang diterima oleh Gereja.
Catatan: Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia ini dikerjakan oleh saya (penulis) sendiri; jadi belum tentu sama dengan versi resmi ‘Konstitusi Umum OFS tahun 2001’ dalam bahasa Indonesia.
Maria, Bunda Yesus, tahu sekali apa artinya mendengarkan sabda Allah dan melaksanakannya. Iman-kepercayaannya kepada Allah begitu kuat dalam hidupnya. Ia bahkan menerima sabda Allah tanpa mengetahui ke mana dia akan dibawa pergi. Rasa percayanya dengan jelas diungkapkan olehnya dalam ‘Kidung Maria’ (Magnificat): “… karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku” [Luk 1:49]. Sepanjang hidupnya Maria setia pada segala konsekuensi panggilan Allah. Meskipun dia sering mengkontemplasikan apa yang sedang terjadi, kepadanya tidak diberikan ‘cetak biru’ mengenai masa depannya. Ia menghadapi setiap isu dalam hidupnya dengan rasa percaya yang penuh kepada Allah yang sedang bekerja [lihat LB, hal. 41]. Injil tidak menceritakan apa saja yang dialami oleh perempuan Nazaret yang masih muda usia itu ketika masyarakat mengetahui bahwa dia hamil dan …… belum menikah. Di bawah bayang-bayang hukum rajam, Maria pasti mempercayakan segala sesuatu yang dihadapinya itu kepada Allah yang akan memberikan solusi. Demikian pula ketika dia melahirkan bayi Yesus, jauh dari rumah dan di tempat yang tidak normal … Maria pasti mempercayakan segala sesuatunya kepada Allah. Contoh-contoh dapat terus diberikan tanpa henti. Sampai titik akhir Maria tetap setia pada sabda dan panggilan Allah.
Melihat itu semua, tidak heranlah kalau Fransiskus sangat mencintai Maria. Fransiskus juga mau percaya kepada Allah yang sama, dengan iman yang sama, Allah yang diwujudkan dalam diri Yesus, anak Maria. Kita semua juga dipanggil untuk menaruh kepercayaan yang sama, dalam iman, Allah yang diwujudkan dalam diri Yesus ini. Semua kualitas yang ditunjukkan Maria mengundang kita untuk melakukan yang sama: hidup doanya, penuh perhatian pada orang lain, kemauan untuk menerima cara Allah dengan anggun, siap untuk melakukan apa yang diminta.
Devosi para Fransiskan sekular kepada Bunda Maria harus merupakan pengungkapan iman yang sejati, dan dalam bentuk-bentuk yang disetujui oleh Gereja
Inilah alasannya mengapa dalam bagian awal tulisan ini penulis dengan cukup panjang-lebar mengutip sejumlah dokumen Gereja yang berbicara mengenai devosi kepada Bunda Maria, menguraikannya serta membahasnya.
Devosi kepada Bunda Maria seharusnya ditunjukkan dengan meneladani keutamaan-keutamaannya, teristimewa iman-kepercayaannya, cinta kasihnya, dan di atas segalanya … semangat penyerahan dirinya yang mendesak Maria untuk tunduk kepada kehendak Allah dalam semangat penyediaan diri secara total. Kita semua harus meniru Maria dalam hal semangat penyediaan diri dan pemberian dirinya yang total ini. Semangat penyediaan diri dan pemberian diri ini harus bersifat universal. Pertama-tama kita harus mulai dengan lingkungan keluarga kita sendiri, kemudian dilanjutkan kepada persaudaraan, kepada lingkungan, wilayah dan paroki, dan akhirnya kepada siapa saja yang memerlukan pelayanan kita.
Dengan berdoa secara bersungguh-sungguh serta dengan penuh kepercayaan
Doa kepada Bunda Allah memang seharusnya dilakukan dengan bersungguh-sungguh dan dengan penuh kepercayaan. Kata-kata ‘bersungguh-sungguh’ dan ‘dengan penuh kepercayaan’ dimaksudkan untuk menggarisbawahi, bahwa doa-doa kita kepada Bunda Maria seharusnya tidak didasarkan sekadar pada sentimentalisme, tetapi didasarkan pada iman-kepercayaan dan kesadaran akan peranan yang unik dari Maria dalam rencana keselamatan Allah [lihat petikan dari LG, 67 di atas].
Baik AD OFS maupun Konstitusi Umum OFS tahun 2001 tidak mengindikasikan bentuk devosi khusus atau praktek penghormatan kepada Bunda Maria yang harus dilakukan oleh para Fransiskan sekular. Akan tetapi, mengacu kepada ketetapan Konsili Vatikan II yang lebih menyukai devosi-devosi yang sudah disetujui Gereja, maka persaudaraan-persaudaraan OFS akan menjunjung tinggi doa-doa rosario, korona Fransiskan dan berbagai devosi saleh yang diwariskan oleh tradisi Katolik yang sehat, seperti ‘Doa Malaikat Tuhan”.
Maria adalah model dari cinta yang subur dan setia untuk seluruh komunitas gerejani
Doa dan pemberian-diri Maria, tanggapannya terhadap kehendak Allah, martabatnya sebagai ibu merupakan hal-hal yang membuatnya sebagai model atau contoh bagi umat beriman, termasuk para Fransiskan sekular, dengan demikian kita dapat membuat Kristus lahir di rumah-rumah kita, dalam komunitas-komunitas kita, di negara kita dan di dunia kita.
Sebelum melanjutkan uraian tentang Maria sebagai model/contoh umat beriman, saya mengajak para pembaca untuk membaca lagi satu butir pernyataan dalam ‘Konstitusi Umum OFS tahun 2001’, Artikel 16 butir 2:
Mary is the model of fruitful and faithful love for the entire ecclesial community. Secular Franciscans and their fraternities should seek to live the experience of Francis, who made the Virgin the guide of his activity. With her, like the disciples at Pentecost, they should welcome the Spirit to create a community of love.
Maria adalah model cinta kasih yang subur dan setia untuk seluruh komunitas gerejani. Para Fransiskan sekular dan persaudaraan-persaudaraan mereka harus berupaya menghayati pengalaman Fransiskus, yang membuat Sang Perawan menjadi pembimbing kegiatannya (hidup dan karyanya). Dengan dia (= Maria), seperti halnya para Rasul pada waktu Pentakosta, mereka harus menyambut Roh Kudus untuk menciptakan sebuah komunitas cinta kasih.
Catatan: Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia ini dikerjakan oleh saya (peunulis) sendiri; jadi belum tentu sama dengan versi resmi ‘Konstitusi Umum OFS tahun 2001’ dalam bahasa Indonesia.
Selama hidupnya di dunia, Maria bukanlah seorang pertapa, rubiah atau seorang penonton belaka. Maria bukanlah seorang perempuan yang pasif … bukan seorang Tuan Puteri yang hanya tahu bagaimana bersolek serta berdandan. Sebaliknya, dia terlibat dalam penantian akan kedatangan seorang Mesias. Ia malah terlibat dalam kedatangan sang Mesias ke dunia dalam cara yang hanya sedikit orang saja dapat memahaminya. Dia adalah model dari seorang insan yang memiliki iman sejati, yang suci-murni, rendah hati, penuh ketaatan, setia, ringan tangan menolong sesama, dan segalanya yang baik. Dengan demikian, setiap orang Kristiani sudah sepatutnya mencontoh Maria. Seperti Fransiskus, kita para Fransiskan sekular juga harus membuat Bunda Maria menjadi pembimbing kita dalam hidup dan berkarya.
Menurut Lester Bach, OFMCap., kesetiaan Maria adalah suatu model bagi seluruh Gereja. Maria memberikan kepada kita visi yang tajam bagaimana kelemah-lembutan dan kekuatan dapat berjalan bersama. Ia memberikan sebuah contoh bagaimana belarasa tidak takut, tetapi mencari pertolongan tanpa ragu. Ia memberi contoh suatu kehidupan yang memperkenankan Allah kebebasan untuk berbicara apa saja ingin dikatakan-Nya … dan dia mendengarkan apa yang dikatakan Allah itu dan melaksanakannya. Ia menawarkan kehadirannya yang penuh kasih, yang memilih untuk mendukung orang-orang lain karena dia melihat bahwa mereka membutuhkan. Maria melayani kita semua sebagai seorang pribadi yang mencintai Allah dan mau menaruh kepercayaan kepada Allah [LB, hal. 42].
Lester Bach, OFMCap. kemudian mengajak kita untuk merenungkan sebuah petikan singkat dari ‘Anggaran Dasar Tanpa Bulla’, sebagai berikut:
Maka apa pun tidak boleh mencegah, merintangi dan menghalangi; di mana pun, di segala tempat, pada setiap saat dan setiap waktu, setiap hari dan senantiasa, hendaklah kita semua mengimani dengan sungguh-sungguh dan dengan rendah hati, menyimpan dalam hati dan mengasihi, menghormati, menyembah, mengabdi, memuji dan memuliakan, meluhurkan dan menjunjung tinggi, mengagungkan dan mensyukuri Allah yang kekal, mahatinggi dan mahaluhur [AngTBul XXIII: 10-11].
Kalau kita tidak tahu bahwa Fransiskus-lah yang menulis ini, maka kita akan bertanya-tanya dalam hati apakah ini adalah tulisan seseorang tentang Bunda Maria atau Maria sendirilah yang menulisnya? Mengapa? Karena praktis kualitas dan/atau keutamaan-keutamaan Maria ada dalam sepotong tulisan itu. Hal ini menunjukkan betapa dalamnya spiritualitas Fransiskus dipengaruhi oleh Bunda Maria yang menjadi modelnya itu.
Sebagai Fransiskan sekular, marilah kita mencoba untuk mengikuti jejak Maria dalam peziarahan imannya sepanjang hidupnya di dunia. Kita menghormati peristiwa Maria ketika dikunjungi malaikat, dan jawaban “ya” Maria kepada malaikat yang mengunjunginya itu. Kita juga menghormati kegiatan-kegiatannya yang lain sepanjang hidupnya; antara lain pada waktu dia mengunjung Elizabet di Ain-Karem, pada waktu dia melahirkan bayi Yesus di kandang Betlehem, pada saat mana keluarga kecil-miskin ini dikunjungi oleh para gembala dan orang majus, pada waktu keluarga kecil-miskin ini mengungsi ke Mesir, pada saat-saat dia merawat dan bersama Yusuf mendidik Yesus, pada saat dia dan Yusuf menjadi bingung karena Yesus-kecil menghilang, mencari-cari Yesus-kecil sampai akhirnya diketemukan di Bait Allah bersama para ahli kitab suci, dan pada saat memperoleh jawaban Yesus yang tidak dimengertinya. Kita menghormati kehadiran dan peran pelayanan Maria pesta pernikahan di Kana, pada saat-saat dia berdiri di dekat kayu salib, pada saat dia berdoa bersama para rasul di hari Pentakosta. Bunda Maria hidup bersama Puteranya selama kurang lebih tiga puluh tahun. Maria memberikan Yesus kepada dunia dan ia mengajarkan kita semua untuk jangan sampai terpisah satu sama lain, untuk saling membantu dalam memenuhi apa yang saja yang diperlukan dalam partisipasi kita semua dalam membangun Kerajaan Allah.
Adelaide N. Sabath, SFO mengatakan, bahwa kalau kita mengamati doa dengan kesungguhan hati serta penuh kepercayaan dan pemberian-diri dari ‘hamba Tuhan yang rendah hati’ ini, maka akan terlihat bermunculannya keutamaan-keutamaan Maria yang pantas ditiru oleh kita semua. Namun, barangkali keutamaan yang paling diteladani oleh Fransiskus dan yang memberikan efek terdalam dalam perkembangan dirinya dan kemudian diwariskannya kepada kita, adalah dua hal berikut ini: (1) kepatuhan terhadap dorongan Roh Kudus, dan (2) keterbukaan terhadap kerja Roh Kudus di dalam dirinya. Bukankah ini semua kualitas yang memampukan Maria untuk mengatakan “ya” terhadap undangan malaikat, dengan demikian dia pun menjadi instrumen dalam penyelamatan semua orang? Bukankah kualitas ini yang memampukan Fransiskus untuk menaklukkan rasa jijiknya (yang sebetulnya bersifat alamiah) terhadap orang kusta, dan kemudian memeluk orang kusta itu, dengan demikian dia memulai suatu hidup baru, yaitu hidup pertobatan dan kebersatuan dengan Tuhan? [lihat BAF I, hal. 53].
Keterbukaan terhadap Roh Kudus dalam segala yang dipikirkan, dikatakan dan dilakukan, sesungguhnya adalah karunia Roh. Artinya, bukan merupakan sesuatu yang dapat kita peroleh atas dasar usaha kita sendiri. Akan tetapi, karunia Roh adalah sesuatu yang dapat kita minta/mohon dan kita dapat mempersiapkan diri untuk menerimanya. Barangkali persiapan paling baik yang dapat kita lakukan adalah membuat diri kita menyadari akan realitas Roh Kudus dan tindakan-Nya dalam kehidupan kita. Bersamaan dengan kesadaran ini, kita harus memupuk suatu hasrat untuk mengenal kehendak Allah. Dalam hal ini doa dan rekoleksi dalam berbagai bentuknya bersifat hakiki.
Maria adalah hamba Tuhan yang setiap saat terbuka bagi sabda-Nya serta panggilan-Nya, dan dia memproklamasikan kemuliaan Allah. ‘Perjalanan ziarah’-nya sendiri merupakan sebuah ‘cetak-biru’ par exellence bagi perjalanan ziarah kita menuju keselamatan. Ketaatan dan kesetiaannya terhadap niat dan kehendak Bapa surgawi adalah model bagi kita semua, agar kita tidak sampai melupakan kesetiaan kepada Roh Kudus dan mereka yang di dalam Gereja, Ordo dan berbagai lingkungan lain dalam kehidupan kita, yang membimbing kita dan menolong kita mengenali kehendak Allah lewat Roh Kudus-Nya. Maria adalah seseorang ‘miskin dalam roh’, seorang yang menurut sabda Yesus sendiri ‘memiliki Kerajaan Surga’ [lihat Mat 5: 3]. Kita semua seharusnya juga harus dipenuhi hasrat berapi-api untuk menjadi seorang pribadi yang ‘miskin dalam roh’ seperti Maria. Adelaide N. Sabath, SFO juga mengatakan, bahwa peranan Maria dalam sengsara-kurban Kristus merupakan kunci kepada kebersatuan kita dengan kurban Kristus untuk membawa keselamatan kepada dunia [BAF, hal. 53].
Peristiwa ‘Maria diberi kabar oleh Malaikat Tuhan’ seharusnya mengingatkan kita, bahwa kita akan mencapai tujuan akhir kita kalau kita mau bekerja sama secara bebas dengan kasih Allah, dan menanggapi dengan sikap dan tindakan penuh tanggung jawab permintaan-permintaan Allah dan sesama sepanjang ‘jalan peziarahan’ kita di dunia ini. ‘Dikandungnya Maria tanpa dosa’ seyogianya membantu kita menemukan dalam diri kita sendiri kesucian yang kita perjuangkan untuk mencapainyai. Melalui ‘Peristiwa Maria diangkat ke Surga’ Maria adalah jaminan hidup dari janji penebusan Kristus dan untuk mengingatkan kita akan kepenuhan keselamatan yang masih harus dicapai.
MARIA DAN FRANSISKUS
Marilah kita mulai uraian tentang ‘Maria dan Fransiskus’ ini dengan petikan yang diambil dari salah satu riwayat hidup Fransiskus yang awal:
“Ia merangkul Bunda Tuhan Yesus dengan cinta kasih yang tak terkatakan, karena oleh dialah (= Maria) Tuhan yang Maha Agung menjadi Saudara kita, dan melalui dialah kita memperoleh belaskasihan (dari Allah). Sesudah Kristus, dia (= Fransiskus) menaruh kepercayaan sepenuhnya kepadanya (= Maria) dan mengambilnya sebagai pembela bagi dirinya sendiri dan para saudara. Demi menghormati Bunda Maria, Fransiskus berpuasa terus menerus mulai pada pesta rasul Petrus dan Paulus sampai ke pesta Santa Perawan diangkat ke surga” [lihat LegMaj IX:3; bdk. 2 Cel 198].
Devosi Fransiskus kepada Bunda Maria memang sungguh luarbiasa. Siapa yang menyembah Tuhan Yesus – Raja segala raja – dengan benar, tentu tidak akan lupa untuk menghormati ibu-Nya, ‘Tuan Puteri, Ratu Suci, Santa Bunda Allah, Maria’ [SalMar 1]. Siapa yang mengasihi Yesus Kristus, maka layak dan pantas baginya untuk mengasihi Maria juga, karena cinta kasih kepada Yesus Kristus mencakup juga cinta kasih kepada bunda-Nya. Hal ini tidak hanya disebabkan karena Yesus mengasihi Maria dan mengharapkan para murid-Nya (kita semua) untuk melakukan yang sama, melainkan juga karena Maria lebih daripada ibu-ibu yang lain: Maria adalah bagian yang begitu akrab dari tujuan hidup Yesus sendiri [lihat ZG, hal. 149].
Fransiskus mengasihi Maria sebagai seorang putera yang berbakti. Fransiskus melihat, bahwa sebagai ‘Mempelai Roh Kudus’, Maria tidak hanya menjadikan Yesus, Putera Allah menjadi Saudara kita, namun juga berpartisipasi dalam kemiskinan dan penderitaan-nya. Sebagai bunda kita juga, Maria memberi contoh untuk menguatkan kita dalam berbagai upaya kita untuk menjadi hamba-hamba Tuhan yang miskin dan rendah hati.
Mengenai kemiskinan ini Leonard Foley, OFM & Jovian Weigel, OFM juga mengatakan, bahwa devosi Santo Fransiskus berpusat pada satu kenyataan, yaitu Maria memberikan kepada kita ‘Saudara kita’, Kristus, dan dia ikut ambil bagian dalam kemiskinan-Nya [LFJW, hal. 23]. Bagi Fransiskus, perendahan diri dan kemiskinan Yesus adalah yang utama untuk dicontoh, namun dia juga sangat mengagumi dan menghormati kemiskinan Maria. Dalam pikirannya, Maria – seperti Yesus – memilih menjadi miskin, sehingga dirinya dapat dipenuhi dengan kekayaan Allah, seperti terlihat dalam salah satu tulisannya:
“Firman Bapa itu, yang begitu luhur, begitu kudus dan mulia, telah disampaikan dari surga oleh Bapa Yang Mahatinggi, dengan perantaraan Gabriel malaikat-Nya yang kudus, ke dalam kandungan Perawan Maria yang kudus dan mulia. Dari kandungannya, Firman itu telah menerima daging sejati kemanusiaan dan kerapuhan kita. Dia, sekalipun kaya melampaui segala-galanya mau memilih kemiskinan di dunia ini, bersama bunda-Nya, perawan yang amat berbahagia” [2 SurBerim 4-5].
Menjelang wafatnya, Fransiskus menyuruh-tuliskan ‘Pesan Akhir untuk Santa Klara’. Pesannya tentang kemiskinan Yesus Kristus dan Bunda Maria begitu jelas, sehingga tak memerlukan tafsir yang ‘jelimet’: “Aku, Saudara Fransiskus, orang kecil ini, mau mengikuti hidup dan kemiskinan Tuhan kita Yesus Kristus Yang Mahatinggi serta ibu-Nya yang tersuci, dan mau bertekun di dalamnya hingga akhir” [PesAkh 1].
Lewat devosi kepada Bunda Maria banyak jiwa diperkaya secara rohani dan dengan demikian semakin dekat pula dengan Yesus Kristus. Fransiskus dan Klara adalah contoh-contoh dari orang-orang yang berdevosi kepada Bunda Maria dengan benar. Namun tidak sedikit pula mereka yang melakukan devosi kepada Bunda Maria di luar garis yang ditetapkan Gereja, sehingga berakibat pada praktek-praktek yang berbau tahayul dan memupuk kesalehan yang bersifat egosentris [lihat BAF I, hal. 52].
Fransiskus memahami dengan akal budinya dan merasakan dengan jiwa dan rohnya arti dan tujuan sesungguhnya dari peranan Maria dalam sejarah keselamatan. Lewat hidupnya, teladannya dan pertolongannya, Maria memberi pengaruh yang besar atas keselamatan kita. Oleh karena itu Fransiskus menunjukkan afeksinya yang hangat, mendalam, namun seimbang, terhadap Maria. Thomas dari Celano menggambarkan hal tersebut sebagai berikut:
“Terhadap bunda Yesus ia dipenuhi dengan suatu cinta kasih yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, karena dialah (= Maria) yang membuat Tuhan Yang Maha Agung menjadi Saudara kita. Ia (= Fransiskus) melambungkan puji-pujian khusus kepadanya, menghaturkan doa-doa kepadanya, mempersembahkan afeksinya kepadanya sedemikian banyak dan begitu agung sehingga lidah manusia tidak dapat menceritakan segalanya itu. Namun yang sangat menyenangkan kita adalah, bahwa dia membuat Maria sebagai pembela dari ordo dan menempatkan anak-anaknya yang segera akan ditinggalkan olehnya (= Fransiskus) di bawah naungan sayapnya (= Maria), sehingga dia dapat menghargai dan melindungi mereka sampai akhir. Salam, O pembela kaum miskin! Penuhilah bagi kami jabatan pelindung sampai waktu yang ditentukan oleh Bapa” [2 Cel 198; bdk. LegMaj IX:3].
Pada awalnya di gereja Porziuncula yang sangat dicintainya, Fransiskus menghormati Bunda Maria sebagai ‘Maria Ratu para Malaikat’. Bagi Fransiskus, Maria adalah juga ‘Perawan yang dijadikan Gereja’ [SalMar 1]. Maria adalah bunda seluruh Gereja, ibu dari semua orang yang dibaptis ke dalam kematian Puteranya. Melalui kebersatuannya dengan penderitaan-penderitaan Yesus di Kalvari, Maria melahirkan Tubuh-Nya, yaitu Gereja. Setelah kenaikan Tuhan Yesus ke surga, Maria tetap berada di bumi bersama Gereja yang masih seperti seorang bayi layaknya. Ia memeliharanya! Sekarang di surga, Maria masih melanjutkan tugasnya sebagai bunda Gereja, dan juga sebagai ratu di kerajaan kekal-abadi. Tidak mengherankanlah kalau dengan demikian Fransiskus memilih Maria sebagai Ratu dan Bunda ordonya [ZG, hal. 149]. Fransiskus memilih Bunda Maria menjadi pelindung dan pembela (= pengacara/advokat) ordonya. Ia ingin agar Bunda Maria mencintai dan melindungi anak-anaknya yang memberikan kepadanya kehormatan dengan melayani Gereja sesuai dengan suatu gaya hidup yang mencerminkan kehidupan Putera-Nya dan kehidupan Maria sendiri. Fransiskus sangat mencintai Maria karena dia merasa, bahwa Maria menunjukkan kepadanya bagaimana caranya memenuhi hasrat hatinya untuk mengikuti ke mana saja Kristus akan memimpinnya. Maria akan menunjukkan kepadanya bagaimana caranya melayani Gereja, untuk melakukan pekerjaan Puteranya.
Dari tulisan-tulisan Fransiskus sendiri dapat kita petik dua buah doa yang ditujukan kepada Bunda Maria. Yang satu, yaitu Antifon Santa Perawan Maria yang terdapat dalam ‘Ibadat Sengsara Tuhan’ dapat dibaca pada bagian awal sekali dari tulisan ini. Yang satu lagi adalah Doa pujian kepada Santa Perawan Maria seperti berikut ini:
SALAM KEPADA SANTA PERAWAN MARIA
(1) Salam Tuan Puteri, Ratu Suci, Santa Bunda Allah, Maria; Engkau adalah perawan yang dijadikan Gereja, (2) dipilih oleh Bapa Yang Mahakudus di surga, dan dikuduskan oleh Dia bersama dengan Putera terkasih-Nya Yang Mahakudus serta Roh Kudus Penghibur. (3) Dalam dirimu dahulu dan sekarang ada segala kepenuhan rahmat dan segala yang baik. (4) Salam, istana-Nya; salam, kemah-Nya; salam, rumah-Nya. (5) Salam, pakaian-Nya; salam, hamba-Nya; salam, bunda-Nya, (6) serta kamu semua, keutamaan yang suci, yang oleh rahmat dan penerangan Roh Kudus dicurahkan ke dalam hati kaum beriman, untuk membuat mereka yang tidak setia menjadi setia kepada Allah. SalMar 1-6].
Dari dua buah doa tersebut, semoga kita dapat merasakan bagaimana Fransiskus memandang Bunda Maria. Ada lagi dua ayat tulisannya yang menyebut Maria, malah sebagai bagian dari sebuah ‘doa dan ucapan syukur’ lebih panjang (terdiri dari 6 ayat) yang ditujukannya kepada Allah yang Mahakuasa:
“Kami bersyukur kepada-Mu karena sebagaimana dengan perantaraan Putera-Mu, Engkau telah menciptakan kami, demikian pula karena kasih-Mu yang kudus, yang telah Engkau berikan kepada kami, Engkau telah membuat Dia, yang sungguh Allah dan sungguh manusia, lahir dari Santa Maria yang tetap perawan, yang mulia dan amat berbahagia; dan oleh salib, darah dan wafat-Nya, Engkau mau menebus kami, orang tawanan” [AngTBul XXIII:3].
“Kepada Bunda Maria tetap perawan, yang mulia dan amat berbahagia; kepada Santo Mikael, Gabriel dan Rafael, serta semua rombongan yang berbahagia, serafin, kerubim dan Takhta, pemerintahan, kepangeranan dan kekuasaan, kekuatan, malaikat dan malaikat agung; kepada Santo Yohanes Pembaptis, Yohanes Penginjil, Petrus dan Paulus, para bapa bangsa yang berbahagia, para nabi dan para kanak suci, para rasul, penginjil dan para murid, para martir, pengaku iman dan para perawan, Elias dan Enokh yang berbahagia: kepada semua orang kudus yang pernah ada, akan ada dan kini ada; kepada mereka itu sekalian kami mohon dengan rendah hati demi kasih-Mu, agar mereka, sebagaimana berkenan pada-Mu, mengucap syukur untuk segalanya itu, kepada-Mu, Allah benar yang mahaluhur, kekal dan hidup, bersama dengan Putera-Mu terkasih, Tuhan kami Yesus Kristus, dan Roh Kudus Penghibur sepanjang segala masa. Amin. Haleluya” [AngTBul XXIII:6].
Dari sini kita dapat melihat, bahwa Bunda Maria disebutkan sebagai yang pertama, lebih dahulu daripada segala makhluk surgawi dan para kudus lainnya. Hal ini tentunya menunjukkan rasa hormat Fransiskus yang begitu tinggi terhadap Bunda Maria, karena baginya Santa Perawan Maria seluruhnya mulia dan dia adalah Ratu segala Keutamaan.
Dalam ‘Uraian Doa Bapa Kami’, Fransiskus juga menyebut nama Maria:
‘Dan ampunilah kesalahan kami’: karena belaskasih-Mu yang tak terperikan, karena daya kekuatan sengsara Putera-Mu yang terkasih, dan karena jasa serta perantaraan Santa Perawan Maria dan semua orang pilihan-Mu [UrBap 7].
Di sini jelas kelihatan, bahwa Fransiskus juga mengakui dan menghormati peranan Maria sebagai Bunda Pengantara, di samping para kudus lainnya.
BEBERAPA CATATAN MENGENAI DEVOSI FRANSISKAN KEPADA BUNDA MARIA
Dalam bagian ini akan disampaikan beberapa catatan yang menyangkut ‘devosi Fransiskan kepada Bunda Maria’ yang dapat diterima. Beberapa petikan diambil dari teks-teks berbahasa Inggris yang terdapat dalam buku tulisan Benet A. Fonck, OFM, FULLY MATURED WITH THE FULLNESS OF CHRIST, satu dari tulisan Hilarin Felder OMCap., THE IDEALS OF ST. FRANCIS OF ASSISI, dan satu petikan dari karangan Pater Vicente Kunrath, OFM yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Semoga apa yang ditulis oleh para Fransiskan ini, yang semuanya berpengalaman dalam membina para Fransiskan sekular, dapat kita jadikan sebagai pegangan dalam berdevosi kepada Bunda Maria secara tepat-benar, sebagai umat dan sebagai Fransiskan sekular.
Tulisan Pater Vicente Kunrath, OFM, SANG IBU BAGI ORANG PINGGIRAN, Majalah PERANTAU Edisi XIX, No. 31 Mei-Juni 1996:
“… Sebelumnya perlu kita catat bahwa seorang Fransiskan Sekular bagaimana pun harus berusaha memperoleh sikap Maria. Ini jelas tidak sama dengan devosi kepada Santa Maria. Apa bedanya? ‘Sikap Maria’ bukan pertama-tama sering berdoa kepada/melalui Santa Maria, sering berziarah ke tempat ziarahnya, atau di mana-mana memasang patung dan gambar Maria, dan menyebar-luaskan cerita-cerita tentang penampakan Maria. Bukan itu! ‘Sikap Maria’ berarti berjalan bersama Maria dalam ziarahnya menuju Kristus; dan melalui Kristus, sampai kepada Bapa [bdk. LG, 67]. Jadi lebih daripada devosi kepada Maria, kita perlu memperoleh sikap Maria. Manfaat devosi kepada Maria terletak justru dalam kemampuannya menjembatani hubungan kita dengan Allah…” [hal. 28-29].
Catatan: Dalam tulisan di atas Pater Vicente Kunrath, OFM tidak menentang devosi kepada Bunda Maria. Yang dikritiknya adalah praktek devosi umat yang seringkali tidak mendalam, malah cenderung berlebihan.
Tulisan Gervais Aeby OFMCap. et al., CALL TO COMMITMENT, Chicago, Illinois: Franciscan Herald Press, 1964, hal. 158-160:
Dalam cintanya kepada Kristus dan mengikuti jejak-Nya, Fransiskus tidak pernah sekejab pun memisahkan Dia dari Bunda-Nya yang kudus. Ia telah mewariskan kepada kita beberapa doa kepada Tuan Puteri kita yang indah sekali, dan menurut tulisan Thomas dari Celano, Fransiskus berdoa semalam suntuk, jarang sekali tidur, “memuji Allah dan Perawan mulia, Bunda-Nya” [catatan penulis: lihat 1 Cel 24]……
Maka dalam perjalanannya ke atas menuju Allah, para pengikut si Kecil-miskin (Poverello) harus juga melakukan devosi yang penuh kelembutan kepada Tuan Puteri kita dan menggantungkan diri kita kepadanya untuk pertolongan.
…… Semua doa Santo Fransiskus kepada dan tentang Maria adalah doa-doa pujian dan syukur. Dalam doa-doa itu kita dapat merasakan getaran dan kegairahan yang hebat sekali dari jiwa Bapak kita (Fransiskus).
…… Si Kecil-miskin memuliakan Maria karena dia telah membawa kemuliaan tanpa-batas dari Allah menjadi dekat kepada kita, karena dia telah menempatkan Allah yang dapat kita jangkau. Ia (Fransiskus) melihat dalam rahmat ini motif yang paling penting dari segala motif untuk memuji dan menghormati Tuan Puteri kita.
Dalam mengikuti jejak langkah Bapak kita yang kudus (Fransiskus), seorang Fransiskan sekular (tertiary) harus belajar untuk tidak pernah memisahkan, baik dalam hatinya maupun doanya, Maria dengan Putera ilahinya [BAF II, hal. 17-9 s/d 17-10].
Tulisan Philip Marquard, OFM, FORMATION OF LAY FRANCISCANS, Chicago, Illinois: Franciscan Herald Press, 1973, hal. 26:
Santo Fransiskus sangat menghormati Bunda yang kudus karena dia memberikan kepada kita Puteranya dan karena dia adalah pengikut-Nya yang pertama dan terbaik.
Kita memperoleh suatu kesan yang cukup jelas tentang keseimbangan praktis devosi Santo Fransiskus kepada Maria dari peristiwa berikut ini yang digambarkan oleh Thomas dari Celano, penulis riwayat hidupnya. Santo Fransiskus berkata kepada saudara yang tidak mempunyai cukup barang-untuk-derma guna menolong orang-orang yang membutuhkan: “Kosongkan altar Santa Perawan dan ambillah perhiasan-perhiasannya yang banyak itu, karena kalau tidak demikian kamu tidak dapat menolong orang yang membutuhkan bantuan. Percayalah kepadaku, dia (Maria) akan lebih senang melihat Injil Puteranya dihayati dan altarnya dikosongkan, daripada altarnya dipenuhi banyak perhiasan tetapi Puteranya dipandang hina” [catatan penulis: lihat 2 Cel 67; bdk. LegMaj VII: 4].
Oleh karena itu devosi yang paling benar untuk menghormati Maria adalah meniru keutamaan-keutamaannya dan mengikuti dia dalam mengikuti jejak langkah Kristus [BAF II, hal. 17-10 s/d 17-11].
Tulisan Hilarin Felder, OMCap., THE IDEALS OF ST. FRANCIS OF ASSISI, Chicago, Illinois: Franciscan Herald Press, 1982.
… Pedoman Santo Fransiskus adalah: “Saya kenal Kristus, Sang Tersalib yang miskin. Lebih dari itu saya tidak membutuhkannya.”
Dengan Kristus dan karena Kristus, dia berbakti kepada Santa Perawan Maria. Sejak awal masa mudanya dia dipenuhi dengan ‘suatu devosi mendalam kepada Bunda yang penuh cinta kasih’ dan ‘Nyonya dunia’. Ia melekat pada Maria dengan cinta kasih yang sedemikian tak terkatakan karena dia ‘memberikan kepada kita Tuhan Yang Maha Agung sebagai Saudara kita’. Ia dapat bersukacita seperti seorang anak kecil atas setiap tanda cinta dan hormat yang ditunjukkan orang kepada Maria. Dia mencata, “Santa Perawan Maria pantas untuk begitu dihormati, karena dia mengandung Tuhan dalam rahimnya yang tersuci.”
Akan tetapi cintanya kepada Maria tidak hanya didasarkan pada kebundaan ilahinya, melainkan juga pada kenyataan, bahwa Maria ikut ambil bagian dalam kemiskinan Putera ilahinya, dan ini telah menjadi model bagi para Saudara Dina.
… Contoh yang diberikan Kristus dan Bunda-Nya yang kudus cukuplah baginya dan para saudara dan saudarinya untuk menghayati hidup kemiskinan. Atas dasar inilah sekali dia menulis kepada Klara dan para saudarinya di San Damiano: “Aku, Saudara Fransiskus, orang kecil ini, mau mengikuti hidup dan kemiskinan Tuhan kita Yesus Kristus Yang Mahatinggi serta ibu-Nya yang tersuci, dan mau bertekun di dalamnya hingga akhir. Juga kamu, tuan puteriku, kuminta dan kunasihati, agar senantiasa hidup menurut hidup dan kemiskinan yang amat suci itu” [catatan penulis: lihat PesAkh 1-2].
Atas dasar alasan inilah dia mempersembahkan dirinya dan Ordonya kepada Maria, Bunda Allah, dan Bunda para miskin. Gereja kecil ‘Maria para Malaikat’ atau Porziuncula adalah, dan tetap akan menjadi, tempat kelahiran dan rumah Ordonya … Ia mencintai tempat ini lebih daripada segala tempat lain di mana saja di bumi, dan dari pembaringan – menjelang wafatnya – dia mempercayakan tempat ini kepada para saudaranya untuk dirawat dan dipelihara. Di bawah bayang-bayang gereja kecil ini juga dia ingin mati, setelah dia memilih Santa Perawan sebagai Pelindung dan Pembela Ordonya dan para saudaranya untuk sepanjang masa [HF, hal. 396-398].
Tulisan Lester Bach, OFMCap., TAKE TIME FOR SUNSETS, Chicago, Illinois: Franciscan Herald Press, 1975, hal. 173-175:
Maria adalah seorang insan yang memberikan kepada kita suatu model dari iman macam apa yang kita butuhkan untuk datang kepada Puteranya. Kitab-kitab Injil menggambarkannya sebagai seorang perempuan yang sering harus merenungkan dalam hatinya jalan Allah. Ia adalah seorang yang bersifat reflektif, karena dia memberi persetujuan terhadap kehendak Bapa surgawi, padahal dia belum memahami aspek ‘mengapa’-nya. Namun demikian dia tidak mundur dari komitmennya untuk menjadi ‘hamba Tuhan’. Maria sungguh serius pada saat dia mengatakan: “… jadilah padaku menurut perkataanmu itu.”
… Seseorang yang sungguh berdedikasi kepada Maria akan menjadi seperti dia, yaitu seorang pribadi beriman. Tidak hanya doa-doa disampaikan kepada Bunda ini, tetapi kehidupan akan mengungkapkan fakta, bahwa kita memahami panggilannya untuk menjadi seperti Yesus, Puteranya. … Hidup kita akan mencerminkan hidupnya kalau kita dengan setia mendengarkan pesan Yesus…
Seperti Fransiskus, para Fransiskan sekular akan memelihara keseimbangan yang penuh kesetiaan dalam devosi mereka kepada Maria. Yang paling istimewa, hidup mereka akan mencerminkan teladan iman dan cintanya; dedikasi dan komitmennya, bahkan kalau semua itu membawa mereka kepada sebuah salib. Maria akan membimbing kita untuk melakukan doa dan permenungan reflektif atas kehendak Bapak surgawi. Maria akan membimbing kita untuk memberi pelayanan kepada saudara dan saudari kita. Seperti Maria, kita pun akan berjalan dalam lembah kekelaman dan salib. Akan tetapi seperti dia, kita pun akan hadir dan menjadi tahu perihal kebangkitan dan bersyukur kepada Tuhan dalam doa, baik untuk salib maupun kebangkitan [BAF II, hal. 17-6].
Pedoman Umum
Berikut ini adalah terjemahan bebas serta saduran dari catatan yang terdapat dalam buku pegangan karangan Benet A. Fonck, OFM, FULLY MATURED WITH THE FULLNESS OF CHRIST, yang dapat dijadikan sebagai pedoman umum devosi Fransiskan kepada Bunda Maria.
Dalam Gereja Katolik terdapat banyak bentuk kebaktian atau devosi kepada Bunda Maria, demikian pula halnya dengan keluarga besar Fransiskan. Para Fransiskan menghormati Bunda Maria sebagai Bunda Allah, Bunda Gereja, Ratu Ordo. Bersumberkan tradisi dan perjalanan sejarah ordo, kita mempunyai ‘Warisan Fransiskan’ yang berkaitan dengan devosi kepada Maria yang bersifat spesifik, yaitu:
1. Pengetahuan Fransiskan tentang Maria adalah berdasarkan Kitab Suci. Maria yang kita kenal sebagai ibu dan model, bukanlah didasarkan pada atau dipinjam dari spekulasi-saleh (permenungan saleh yang bersifat spekulatif) yang mana saja, visi-visi baik publik maupun privat, dan juga bukan tradisi spiritual yang lain (misalnya dari deMonfort, dlsb.). Perempuan beriman itu ditemukan dalam Sabda Allah (Kitab Suci).
2. Devosi Fransiskan kepada Bunda Maria adalah devosi yang berdasarkan peneladanan. Seperti diindikasikan oleh Fransiskus dan Klara dengan kata-kata dan tindakan-tindakan mereka sendiri, ‘meniru’ merupakan bentuk puji-pujian dan devosi yang paling tinggi. Kita menghormati Maria dengan mewujudkan dalam hidup kita upaya menepati Injil Yesus Kristus seperti yang telah ditunjukkan oleh dia sendiri. Peristiwa-peristiwa dalam hidupnya, kata-katanya yang terekam dalam Kitab Suci dan tindakan-tindakannya seperti diceritakan dalam kitab-kitab Injil harus menjadi pola dan model hidup Injili kita.
3. Devosi Fransiskan kepada Bunda Maria adalah komunikasi dengan dia melalui puji-pujian dan syukur. Perhatikanlah ‘Antifon Santa Perawan Maria’ pada ‘Ibadat Sengsara Tuhan’. Dalam antifon ini (sebenarnya sebuah doa) Fransiskus mohon pengantaraan Bunda Maria, yang diungkapkannya dengan singkat; dan ini dilakukannya setelah ‘menghujaninya’ dengan puji-pujian penuh rasa hormat dan kagum. ‘Salam kepada Santa Perawan Maria’ tidak memuat sama sekali doa mohon pengantaraan Maria. Demikian pula dalam AngTBul XXIII yang merupakan ‘Doa dan ucapan syukur’; dalam ayat 6 kepada Bunda Maria yang namanya disebutkan bersama segala makhluk surgawi, sederetan para kudus, dimohonkan pengantaraan. Di sinipun Maria tidak secara eksklusif disebut. Berhadapan dengan Bunda Maria, sikap yang ditunjukkan oleh Fransiskus adalah ‘penghargaan’ dan ‘menaruh rasa hormat’, bukan sikap seorang anak kecil yang merengek-rengek minta sesuatu kepada ibunya. Dengan perkataan lain, dalam tradisi Fransiskan yang biasa, doa-doa permohonan diungkapkan secara sederhana dan terus-terang dan dijaga agar tetap berada pada tingkat yang minimal. Permohonan-permohonan itu selalu merupakan suatu tanggapan penuh ketakjuban terhadap bagaimana Maria mencontoh pemberian-diri Puteranya, sang Mesias.
4. Devosi Fransiskan kepada Bunda Maria adalah pertemuan dengan Maria sebagai sebuah pintu yang terbuka langsung kepada Yesus, bukan suatu substitut (pengganti) interaksi antara kita dengan Kristus sendiri, yaitu sebagai pribadi yang bertemu dengan Pribadi Tuhan. Dalam tradisi Fransiskan tidak ada satu pun nada yang dapat diartikan, bahwa Maria sebagai seorang ibu akan mendengarkan dengan lebih berbelarasa daripada Yesus sendiri, atau indikasi adanya suatu rasa takut untuk berbicara secara langsung dengan Yang Maha Tinggi [BAF II, hal. 17-5 s/d 17-6].
Semoga keempat butir di atas dapat benar-benar dipelajari, direnungkan, dan dihayati agar devosi kita kepada Bunda Maria dapat tetap berada pada jalur spiritualitas Fransiskan kita.
DOA-DOA KEPADA BUNDA MARIA DARI DUA ORANG KUDUS FRANSISKAN
Tuan Puteri,
harapan kami satu-satunya,
kami mohon kepadamu untuk menerangi jiwa kami
dengan terang-gemerlap rahmatmu,
untuk membersihkan kami dengan semarak kemurnianmu,
untuk menggembirakan kami dengan kehangatan kehadiranmu,
dan untuk mendamaikan kami dengan Puteramu,
agar kami pantas bagi kemuliaan-Nya.
Dengan pertolongan Dia
yang mengambil daging-Nya yang mulia darimu,
dan yang ingin hidup dalam rahimmu selama sembilan bulan.
Kepada-Nya hormat dan kemuliaan sepanjang segala masa. Amin.
[S. Antonius dari Padua; + 13 Juni 1231; diambil dari II/114; Praise to You Lord]
Kami datang ke bawah perlindunganmu, O Bunda Allah yang kudus; janganlah memandang hina doa-doa kami dalam keperluan-keperluan kami; tetapi bebaskanlah kami selalu dari segala bahaya, O Perawan termulia dan terberkati, Ratu kami, Pengantara kami, Pembela kami; damaikanlah kami dengan Puteramu, percayakanlah kami kepada Puteramu, berikanlah kami kepada Puteramu.
Malaikat pelindungku, jagalah aku malam ini. Santu Yosef, Pelindungku, Santu Fransiskus, dan anda semua para malaikat dan para kudus Allah, doakanlah aku.
Ke dalam tanganmu, O Tuhan, kuserahkan rohku. Janganlah biarkan aku terjaga, buatlah agar aku tetap tidur, sehingga aku dapat berjaga bersama Kristus dan beristirahat dalam damai. Amin.
O Yesusku termanis, berkenanlah menerima persembahan yang kuhaturkan kepada-Mu.
[S. Bernardin dari Siena; + 20 Mei 1444; diambil dari Secular Franciscan Companion]
CATATAN PENUTUP
Maria adalah Perawan dan Bunda Allah. Ia mengandung Putera Allah yang tunggal dan membuat-Nya menjadi daging dalam dunia kita. Dengan meneladan Maria, seperti dikatakan oleh Santo Fransiskus, “Kita menjadi ibu bila kita mengandung Dia di dalam hati dan tubuh kita [bdk. 1 Kor 6:20] karena kasih ilahi dan karena suara hati yang murni dan jernih. Kita melahirkan Dia melalui karya yang suci, yang harus bercahaya bagi orang lain sebagai contoh [bdk. Mat 5:16]” [1 SurBerim I:10].
Maria adalah juga bunda kita dalam iman. Cinta keibuannya yang lemah-lembut kepada Yesus mendorong perhatiannya penuh cinta bagi kita juga, karena kita turut mengambil bagian dalam hidup dan misi-Nya. Karena dia menyatu dengan karya penyelamatan Puteranya, maka oleh doa dan kehadirannya Maria menekankan keprihatinan utamanya, yaitu bahwa semua orang menjadi satu dengan Kristus. Ia membuktikan perhatian keibuannya terhadap Gereja lewat doa-doa pengantaraannya, atas nama kita dan lewat intervensi dalam sejarah kita; Lourdes, Fatima, dan beberapa tempat lain, hanyalah merupakan sejumlah kecil saksi yang tentang keprihatinan Maria yang mendalam sebagai bunda kita semua.
Sebagai sebuah bukti devosi kita kepadanya – sebagai anak-anaknya – kita tidak hanya meniru gaya berdoanya dalam hidup kita, melainkan juga kita harus berpaling kepadanya dalam doa-doa pujian seperti telah dicontohkan oleh Bapak Serafik kita, serta menghaturkan permohonan-permohan kita secara sederhan dan ringkas, karena bagaimana pun Maria adalah pelindung, pembela, pengantara, Ratu ordo. Kita mohon pertolongan dan bimbingannya untuk semakin dekat kepada Yesus Kristus, Tuhan kita.
Maria adalah model kita; pertumbuhan batinnya dalam Roh dan kuasanya untuk melakukan evangelisasi harus kita tiru juga. Ia adalah ibu kita, kehadirannya yang penuh perhatian kita cari dalam doa, dan cinta kita yang mendalam kepadanya kita tunjukkan melalui kesetiaan kepadanya seperti juga kepada Yesus Puteranya.
Oleh karena itu, seperti Fransiskus sebelum kita, kita – para Fransiskan sekular – harus merangkul Maria dengan ‘cinta kasih yang tak terlukiskan’ dan menyatakan dia sebagai pelindung dan pembela hidup kita [BAF I, hal. 54].
DAFTAR PUSTAKA
Bahan Pembinaan para Novis dan anggota Ordo Fransiskan Sekular yang sudah profesi:
1. Lester Bach, OFMCap., CALLED TO REBUILD THE CHURCH – A SPIRITUAL COMMENTARY ON THE GENERAL CONSTITUTION OF THE SECULAR FRANCISCAN ORDER, Quincy, Illinois: Franciscan Press, 1997, khususnya hal. 41-43. [LB]
2. Leonard Foley, OFM & Jovian Weigel, OFM, THE THIRD ORDER VOCATION – A basic program of study, prayer and action for novices and professed in the Third Order of St. Francis, Cincinnati, Ohio: Lay Franciscan Province of St. John Baptist, 1976, khususnya bab dengan judul MARY OUR MOTHER AND MODEL, hal. 23-25. [LFJW]
3. Benet A. Fonck, OFM, CALLED TO FOLLOW CHRIST – COMMENTARY ON THE SECULAR FRANCISCAN RULE BY THE NATIONAL ASSISTANTS’ COMMENTARY COMMISION, Quincy, Illinois: Franciscan Press, 1997, khususnya bab 7 yang berjudul MARY OUR MOTHER AND MODEL oleh Adelaide N. Sabath, SFO (=OFS), hal. 49-55. [BAF I]
4. Benet A. Fonck, OFM, FULLY MATURED WITH THE FULLNESS OF CHRIST – AN INITIAL FORMATION PROGRAM FOR SECULAR FRANCISCANS MODELED ON THE STRUCTURE OF THE RITE OF CHRISTIAN INITIATION OF ADULTS [RCIA], 3rd Edition, Chicago, Illinois: Franciscan Province of Sacred Heart, 1995, khususnya Session 11 yang berjudul THROUGH THE EXAMPLE AND HELP OF THE BLESSED VIRGIN MARY, hal. 17-1 s/d 17-18. [BAF II]
5. Zachary Grant, OFMCap. (Editor), THE RULE OF THE SECULAR FRANCISCAN ORDER WITH A CATECHISM AND INSTRUCTIONS, Chicago, Illinois: Franciscan Herald Press, 1981, khususnya bab yang berjudul IN COMPANY WITH MARY – THE MOTHER OF JESUS, hal. 147-151. [ZG]
6. Sdr. Frans Indrapradja, OFS, MARIA ADALAH IBU DAN GURU KITA, dalam Memorandum Minister Persaudaraan St. Ludovikus IX, Jakarta No. Min/04/96 tanggal 24 September 1996 [Our Lady of Mercy], 5 halaman folio.
7. Sdr. Frans Indrapradja, OFS, BUNDA MARIA DAN OFS, dalam Memorandum Minister Persaudaraan St. Ludovikus IX, Jakarta No. Min/07/96 tanggal 7 Oktober 1996 [Peringatan Santa Perawan Maria, Ratu Rosario], 5 halaman folio.
8. Sdr. Frans Indrapradja, MARIA (1), MARIA (2), dan MARIA (3), Bahan-bahan Rekoleksi OFS Persaudaraan St. Ludovikus IX, Cimahi, Jabar: 2-3 Mei 2004.
9. Vincent Lobo, OFMCap. (Editor), THE GOSPEL WAY OF LIFE, Manila, Philippines: 1991 (India’s edition: 1980, terjemahan bahasa Inggris oleh Pater Diego Sequeira, OFMCap. dari aslinya dalam bahasa Italia tulisan Pater Vincenzo Frezza, OFMCap., L’Evangelica Forma di Vita), khususnya yang membahas tentang Santa Perawan Maria (AD OFS Artikel 9), hal. 57-60. [VL]
Catatan: No. 2, 5, 6, 7 dan 8, dalam berbagai bentuknya sudah dipergunakan dalam pembinaan di Persaudaraan St. Ludovikus IX, Jakarta.
Bahan-bahan lainnya:
10. Regis J. Amstrong, OFMCap. & Ignatius C. Brady, OFM (Preface by John Vaughn, OFM), FRANCIS AND CLARE – THE COMPLETE WORKS, New York: Paulist Press, 1982. [RAIB]
11. Santo Bonaventura, RIWAYAT HIDUP ST. FRANSISKUS – KISAH BESAR (Terjemahan Pater Y. Wahyosudibyo, OFM), Jakarta: Sekafi, 1990.
12. St. Bonaventure, THE LIFE OF ST. FRANCIS OF ASSISI (From The Legenda Sancti Francisci – Edited, with a Preface, by Cardinal Manning), Rockford, Illinois: Tan Books and Publishers, Inc., 1867/1925/1988.
13. Michael O’Carroll, SSSp, THEOTOKOS – A Theological Encyclopedia of the Blessed Virgin Mary, Quezon City, Philippines: Claretian Publications, 1987. [MOC I]
14. Michael O’Carroll, ENSIKLOPEDI POPULER TENTANG MARIA, Jakarta: Yayasan Hidup Katolik, Edisi Pertama 1988. [MOC II]
15. Thomas dari Celano, ST. FRANSISKUS DARI ASISI (Riwayat Hidup yang Pertama & Riwayat Hidup yang Kedua (sebagian) –terjemahan P.J. Wahjasudibja OFM), Jakarta: Sekafi, 1981.
16. Thomas of Celano, SAINT FRANCIS OF ASSISI (First and Second Life of St. Francis with selections from The Treatise on the Miracles of Blessed Francis – Translated from the Latin with introduction and footnotes by Placid Hermann, OFM), Chicago, Illinois: Franciscan Herald Press, 1988.
17. Herman Embuiru, SVD (Penterjemah), KATEKISMUS GEREJA KATOLIK, Ende, Flores: Percetakan Arnoldus, 1995. [KGK]
18. Cletus Groenen, OFM, SANTA CLARA ASISI DAN HAL-IHWAL WARISAN ROHANINYA, Jakarta: Sekafi, 1992.
19. Dr. Cletus Groenen, OFM, MARIOLOGI – TEOLOGI & DEVOSI, Cetakan kelima, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994. [CG]
20. Marion A. Habig (Editor), ST. FRANCIS OF ASSISI – WRITINGS AND EARLY BIOGRAPHIES (English Omnibus of the Sources for the Life of St. Francis), Quency, Illinois: Franciscan Press, Quincy College, 1991. [OMNIBUS]
21. R. Hardawiryana, SJ (Penterjemah), DOKUMEN KONSILI VATIKAN II, Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI/Obor, 1993.
22. KITAB HUKUM KANONIK (CODEX IURIS CANONICI) 1983, terjemahan tim KWI, Edisi ketiga, Jakarta: Penerbit Obor, 1991. [KHK]
23. A. Eddy Kristiyanto, OFM, MARIA DALAM GEREJA, Cetakan pertama, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987. [AEK]
24. Mark Miravalle, STD, INTRODUCTION TO MARY – THE HEART OF MARIAN DOCTRINE AND DEVOTION, Santa Barbara, CA: Queenship Publishing Company, 1993. [MM].
25. Brian Moore, SJ, MARY – a Simplified Version of MARIALIS CULTUS of Pope Paul VI on Devotion to the Blessed Virgin Mary, Melbourne, Victoria, Australia: A.C.T.S. Publications (# 1667), October 2, 1979. [MC].
26. Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik REDEMPTORIS MATER (IBUNDA SANG PENEBUS) mengenai Santa Perawan Maria dalam kehidupan Gereja yang berjiarah – 25 Maret 1987, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI (Penterjemah & Penerbit). [RM]
27. Yohanes Paulus II, Surat Apostolik TERTIO MILLENNIO ADVENIENTE (KEDATANGAN MILENIUM KETIGA) – 10 November 1994 (Terjemahan oleh A. Widyamartaya), Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1997. [TMA]
28. Yohanes Paulus II, Surat Apostolik ROSARIUM VIRGINIS MARIAE (ROSARIO SANTA PERAWAN MARIA VERSI TERBARU) – 16 Oktober 2002 (Terjemahan oleh Martino Sardi, OFM & Willem Daia, Pr), Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2003. [RVM]
29. Wilfried Stinissen, O.Carm., MARIA DALAM KITAB SUCI DAN DALAM HIDUP KITA (Terjemahan oleh Pater Cyprianus Verbeek, O.Carm., dari buku berbahasa Belanda berjudul: Maria in de bijbel, in ons leven), Malang, Jatim: Komisi Spiritualitas dan Pendidikan Ordo Karmel Indonesia, cetakan II, 1987. [WS]
LAMPIRAN I
BEBERAPA BUTIR PEDOMAN DAN PANDUAN TENTANG DEVOSI KEPADA BUNDA MARIA
YANG DISARIKAN DARI
WEJANGAN APOSTOLIK PAUS PAULUS VI MARIALIS CULTUS (2 FEBRUARI 1974)
Tulisan ini bersumberkan pada tulisan Brian Moore, SJ, MARY – a Simplified Version of MARIALIS CULTUS of Pope Paul VI on Devotion to the Blessed Virgin Mary, Melbourne, Australia: A.C.T.S. Publications No. 1667, October 2, 1979 [MC].
Pendahuluan
Pada bagian Pendahuluan, Paus Paulus VI mengatakan: Tugas utama dari Umat Allah adalah sembah-bakti (kepada Allah); devosi kepada Santa Perawan Maria merupakan bagiannya. Diterbitkannya ‘Konstitusi Sacrosanctum Concilium tentang Liturgi Suci’ oleh Konsili Vatikan II bertujuan untuk meningkatkan Liturgi, dan untuk membuat partisipasi umat di dalamnya menjadi berbuah. Sekarang Sri Paus berhasrat untuk melihat adanya perkembangan dalam devosi kepada Santa Perawan Maria. Devosi ini cocok dengan satu-satunya sembah-bakti yang sungguh ‘Kristiani’, karena asal-usulnya dan keefektifannya bersumber pada Kristus, menemukan pengungkapannya yang lengkap dalam Kristus, dan membawa orang – melalui Kristus dalam Roh kepada Bapa. Devosi ini mencerminkan rencana penebusan Allah: suatu bentuk penghormatan kepada Maria pantas untuk sebuah tempat istimewa Maria dalam rencana tersebut. Setiap perkembangan dari sembah-bakti Kristiani perlu diikuti oleh suatu perkembangan penghormatan yang cocok kepada Bunda Tuhan. Sejarah menunjukkan, bahwa berbagai bentuk devosi kepadanya telah berkembang dalam posisi subdordinasi, artinya dalam tingkat yang lebih rendah daripada sembah-bakti kepada Kristus, dan kemudian mengendap pada sembah-bakti (kepada Kristus) ini, layaknya sebagai titik acuan yang bersifat alami dan memang diperlukan. Demikian pula, dewasa ini Gereja – selagi merenungkan misteri Kristus dan dirinya sendiri – menemukan pada akar permenungan misteri Kristus itu dan pada puncak permenungan misteri Gereja – sosok seorang Perempuan – Perawan Maria, Bunda Kristus dan Bunda Gereja. Ia ditempatkan oleh Allah dalam Keluarga-Nya, yaitu Gereja, dan dalam suatu semangat pelayanan – untuk memelihara sampai tiba Hari kemuliaan Tuhan. Perubahan-perubahan dalam perilaku sosial, selera artistik, komunikasi sosial dan lain-lain, membawa perubahan-perubahan dalam cara dengan mana perasaan religius dieskpresikan. Maka itu beberapa bentuk devosi sudah menghilang dari peredaran; dan umat mencari cara-cara baru untuk mengekspresikan relasi mereka yang tak pernah berubah dengan Allah, sang Pencipta dan Bapa. Zaman kita ini harus berkontribusi dalam memenuhi kata-kata Maria, ‘… segala keturunan akan menyebut aku berbahagia’ [MC, 1].
Pembaharuan Devosi kepada Maria
Artikel 24 sampai dengan 39
Konsili Vatikan II menasihati kita untuk mendorong bentuk-bentuk lain dari devosi kepada Maria dan juga yang menyangkut liturginya. Hal ini berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu, dan pada dirinya juga membutuhkan pembaharuan, sehingga unsur-unsur yang tidak hakiki dapat diganti dan unsur-unsur baru dapat diberi penekanan, dan wawasan-wawasan atau usul-usul doktrinal yang dibuat ‘Gereja yang mengajar’ dapat dibuat menjadi bagian dari devosi-devosi itu. Pembaharuan ini harus merupakan kegiatan kreatif yang asli, menghormati keseluruhan tradisi, dan terbuka terhadap permintaan-permintaan yang sah dari umat. Akan dibahas beberapa prinsip untuk digunakan dalam kegiatan di lapangan [MC, 24].
Prinsip-prinsip untuk kegiatan di lapangan yang dikemukakan oleh Sri Paus adalah ‘Trinitaris’, ‘Kristologis’ dan ‘Eklesial’ dibahas dalam Artikel 25-28:
Aspek-aspek Trinitaris, Kristologis dan Eklesial dari Devosi kepada Santa Perawan
- Trinitaris. Sembah-bakti Kristiani pada dirinya ditujukan kepada Bapa dan Putera dan Roh Kudus, atau kepada Bapa melalui Kristus dalam Roh Kudus. Kebaktian (dengan suatu cara yang lain) kemudian diperluas pertama-tama dan terutama – dalam suatu cara yang istimewa – kepada Maria dan kemudian kepada para Kudus, dalam diri mereka Gereja mempermaklumkan Misteri Paskah – karena mereka telah menderita dan telah dimuliakan bersama Kristus. Dalam Perawan Maria, segala-galanya relatif terhadap Kristus dan tergantung kepada-Nya: dipilihnya dia dari kekekalan dan dipenuhi rahmat adalah demi Kristus; dan dalam devosi kepadanya, aspek ini harus ditekankan. Maka devosi kepada Maria akan menolong kita mengenal secara penuh Putera Allah, dan menjadi matang penuh dengan kepenuhan Kristus sendiri. Hal ini akan meningkatkan sembah-bakti kepada Kristus sendiri [MC, 25].
- Kristologis. Memberi penekanan pada sifat Kristo-sentris (berpusat pada Kristus) dari devosi kepada Maria akan mengingatkan kita untuk memberikan keulungan bagi suatu fakta hakiki dari iman, yakni Pribadi dan karya Roh Kudus; karena intervensi-pengudusan Roh Kudus dalam diri Perawan dari Nazaret merupakan suatu momen puncak dari tindakan Roh dalam sejarah penyelamatan. Kepada karya Roh dapat dipertalikan kesucian asli Maria. Pada inkarnasi, Roh Kudus turun dan menaungi dia – suatu tindakan yang menguduskan dan membuat keperawanannya menjadi berbuah; dan dalam misteri ini relasi antara Roh dan Maria memiliki suatu aspek perkawinan yang berbaru harum. Ia menjadi tempat kediaman permanen Roh Allah dan dari Dia mengalirlah kepenuhan rahmatnya, iman, harapan dan kasih yang menggerakkan hatinya, kekuatan yang menopang penerimaannya terhadap kehendak Allah, dan keberanian yang menopangnya dalam penderitaannya. Dalam kidungnya yang bersifat kenabian, Magnificat-nya, kita dapat melihat kerja istimewa dari Roh Kudus yang telah berbicara melalui para nabi. Akhirnya, kehadirannya di ruang atas pada hari Pentakosta pada saat mana Roh Kudus turun atas Gereja yang masih bayi, menyinarkan terang atas relasi Maria dengan Gereja. Maka kita juga minta kepengantaraan (syafaat) Maria agar memperoleh dari Roh Kudus kapasitas untuk melahirkan Kristus dalam jiwa kita sendiri [MC, 26]. Dari meditasi atas relasi antara Roh Allah dan Perawan dari Nazaret akan mengalir suatu kesalehan yang lebih vital [MC, 27].
- Eklesial. Devosi-devosi untuk menghormati Maria harus menunjukkan tempat dia dalam Gereja – tempat tertinggi dan paling dekat dengan kita setelah Kristus. Kita akan lebih menghargai misi Maria dalam misteri Gereja dan tempatnya yang unggul dalam Persekutuan para Kudus, kalau kita tetap berpegang erat-erat pada konsep-konsep fundamental tentang sifat Gereja – sebagai Keluarga Allah, Umat Allah, Kerajaan Allah dan Tubuh Mistik Kristus. Hal ini juga akan membawa kita kepada suatu realisasi yang lebih mendalam mengenai persaudaraan yang mempersatukan kita semua sebagai anak-anak Perawan Maria. Kita akan menyadari, bahwa baik Gereja dan Maria bekerja sama untuk melahirkan Tubuh Mistik Kristus, karena keduanya adalah Bunda Kristus, tetapi yang satu tidak dapat melahirkan keseluruhan tubuh tanpa yang lain. Demikian pula, kita akan menghargai dengan lebih baik, bahwa tindakan Gereja di dalam dunia dapat dipertimbangkan sebagai suatu perpanjangan dari keprihatinan Maria. Cinta kasih aktif yang ditunjukkan olehnya di Nazaret, pada waktu mengunjungi Elizabet, pada pesta pernikahan di Kana dan di Kalvari, diperpanjang dalam keprihatinan Gereja bahwa semua orang sampai kepada suatu pengetahuan akan kebenaran, dalam keprihatinan Gereja terhadap mereka yang miskin dan lemah, dan komitmennya terhadap perdamaian dan keharmonisan sosial, serta juga dalam upaya-upayanya yang tak kenal lelah guna menjamin bahwa semua orang akan turut mengambil bagian dalam keselamatan. Jadi, cinta kepada Gereja akan menjadi cinta kepada Maria, dan cinta Maria akan menjadi cinta Gereja. Devosi kepada Santa Perawan Maria harus dengan jelas menunjukkan kesentralan Gereja dalam isinya [MC, 28].
Empat panduan untuk ‘Devosi kepada Santa Perawan’
Kemudian Paus Paulus VI melanjutkan dengan mengajukan 4 (empat) panduan untuk ‘Devosi kepada Bunda Maria’, yaitu bahwa devosi termaksud harus bersifat (1) Biblis/Alkitabiah, (2) Liturgis, (3) Ekumenis dan (4) Antropologis. Panduan-panduan ini harus diperhatikan pada waktu melakukan revisi atas devosi-devosi kepada Maria yang sudah biasa, atau pada waktu menciptakan devosi-devosi baru, untuk memberi penekanan pada ikatan yang menyatukan kita dengan dia, yang adalah Bunda Kristus dan Bunda kita dalam Persekutuan para Kudus [MC, 29].
(1) Setiap Devosi kepada Bunda Maria harus mempunyai jejak alkitabiah. Orang-orang Kristiani moderen lebih banyak menggunakan Kitab Suci karena kemajuan dalam studi-studi perkitabsucian, pengetahuan Kitab Suci yang lebih meluas, contoh-contoh yang diberikan tradisi dan pimpinan Roh sendiri. Devosi kepada Maria harus memperoleh kekuatan dan bantuan dari tendensi baru ini. Tidak hanya dalam pemilihan teks bacaan Kitab Suci, melainkan doa-doa dan lagu-lagu untuk menghormati Maria pun harus diinspirasikan dari Kitab Suci [MC, 30].
(2) Devosi kepada Bunda Maria juga harus selaras dengan dan menimba inspirasinya dari masa-masa liturgis Gereja. Hal ini tidak mudah karena devosi-devosi kepada Santa Perawan sangat bervariasi dalam bentuk-bentuknya. Secara khusus terlihat adanya dua buah sikap yang membuat sulit penyelarasan dengan liturgi ini. Yang pertama adalah mereka yang membuang sama sekali devosi-devosi yang telah direkomendasikan oleh ‘Gereja yang mengajar’, dengan demikian mereka menciptakaan kekosongan atau vacuum yang tidak mereka isi; mereka lupa bahwa Konsili Vatikan II mengatakan bahwa devosi-devosi kesalehan harus diselaraskan dengan Liturgi, bukan ditekan habis atau dibasmi. Kedua, ada orang-orang yang mencampur-baurkan praktek-praktek kesalehan dan tindakan-tindakan liturgi dalam perayaan-perayaan yang bersifat hybrid atau ‘cangkokan’. Misalnya, novena-novena diselipkan ke dalam perayaan Ekaristi, sehingga hasilnya bukanlah Ekaristi sebagai titik puncak pertemuan Umat Allah, melainkan menjadi sekadar suatu peristiwa untuk praktek-praktek devosional. Mereka lupa, bahwa Konsili Vatikan II mengatakan devosi-devosi kesalehan harus diselaraskan dengan Liturgi, bukan dicampur-adukkan ke dalamnya. Tindakan pastoral yang arif akan memberi penekanan atas sifat yang pantas dari tindakan-tindakan liturgis, dan pada saat yang sama meningkatkan nilai praktek-praktek kesalehan, menyesuaikan semua itu pada masing-masing komunitas dalam Gereja dan membuat praktek-praktek kesalehan itu menjadi bantuan-bantuan berguna bagi Liturgi [MC, 31].
(3) Devosi kepada Bunda Maria harus mengindahkan aspek ekumenisme. Karena berpusat pada Gereja, devosi kepada Maria harus mencerminkan apa yang sedang menjadi perhatian serta upaya Gereja itu sendiri. Salah satu yang mengemuka adalah membangun kembali persatuan dan kesatuan Kristiani. Devosi kepada Maria sesuai dengan sasaran dan hasrat dari gerakan ekumene. Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks satu dalam devosi kepada Maria; para teolog Anglikan yang klasik telah mencatat dasar alkitabiah yang sehat untuk devosi kepada Bunda Tuhan, dan para teolog moderen menggaris-bawahi pentingnya Maria dalam kehidupan Kristiani. Dengan menggunakan Magnificat-nya umat Katolik bersatu juga dengan Gereja-gereja reformasi yang mencintai Kitab Suci. Bagi orang Katolik, devosi kepada Maria merupakan sebuah kesempatan untuk mencari pengantaraannya kepada Puteranya, agar semua orang terbaptis menjadi Umat Allah yang satu. Devosi yang benar kepada Bunda Maria akan membawa orang kepada Kristus, dan Kristus inilah yang menjadi sumber dan pusat kesatuan Gereja, di mana semua yang mengakui Dia sebagai Allah dan Tuhan, Juruselamat dan satu-satunya Pengantara, dipanggil untuk menjadi satu dengan yang lain, satu dengan Kristus, satu dengan Bapa dalam kesatuan dengan Roh Kudus [MC, 32].
Gereja-gereja yang lain berbeda dengan kita dalam pemikiran mereka atas peran Santa Perawan dalam karya penyelamatan, dengan demikian timbullah perbedaan-perbedaan pandangan mengenai devosi yang harus dilakukan kepada Maria. Akan tetapi, karena yang menaungi Maria adalah kuasa dari Yang Mahatinggi yang sama dan kuasa ini pula yang bekerja dalam gerakan ekumenis, maka Paus Paulus VI percaya bahwa devosi kepada Maria, meskipun lambat dapat menjadi suatu lorong menuju persatuan dan kesatuan semua umat beriman. Pada pesta pernikahan di Kana, peranan pengantaraan Maria membuat terjadinya ‘tanda pertama’ Kristus; dewasa ini pengantaraannya dapat menolong terwujudnya saat di mana para murid Kristus menemukan kembali persekutuan dalam iman secara penuh. Peranan keibuan-spiritual Maria dalam gerakan ekumenis sangat penting, karena Maria tidak dapat melahirkan orang-orang milik Kristus, kecuali dalam iman dan kasih yang satu: karena Kristus tidak terbagi-bagi [MC, 33].
(4) Devosi kepada Bunda Maria harus sangat memperhatikan dimensi antropologis. Penemuan-penemuan mutakhir di bidang antropologi untuk membantu menghilangkan perbedaan-perbedaan antara beberapa aspek devosi dan penemuan-penemuan di bidang antropologi serta perubahan-perubahan besar dalam gaya hidup manusia moderen, teristimewa para perempuan. Kesetaraan kaum perempuan dan kaum lelaki dalam banyak bidang kehidupan sudah semakin membaik dan menjadi kenyataan. Dengan demikian ada orang-orang yang merasa sulit untuk mengedepankan Maria dari Nazaret sebagai teladan, karena secara komparatif horizon kehidupannya sempit [MC, 34].
Dalam hal ini harus diingat, bahwa pertama-tama yang diminta Gereja untuk ditiru bukanlah ‘gaya hidup’ Maria. Yang harus ditiru adalah caranya dalam kehidupan pribadinya sendiri, yang secara penuh dan bertanggung jawab menerima kehendak Allah: Ia mendengar sabda Allah dan melaksanakannya. Juga Maria harus ditiru karena yang merupakan kekuatan pendorong di belakang tindakan-tindakannya adalah cinta kasih dan suatu semangat untuk melayani. Maria pantas untuk ditiru karena dia adalah yang pertama dan paling sempurna dari antara para murid Kristus. Semua ini memiliki suatu nilai yang permanen dan universal [MC, 35]
Kedua, kesulitan-kesulitan yang disebutkan di atas berhubungan dengan aspek-aspek yang menyangkut gagasan tentang Maria yang ditemukan dalam tulisan-tulisan populer, yang tidak ada hubungannya dengan gambaran Injil tentang Maria, atau menurut ajaran Gereja yang diajarkan kepada kita. Adalah lumrah, kalau dari waktu ke waktu, orang-orang yang berbeda-beda akan mengungkapkan pandangan-pandangan mereka terhadap Maria sesuai dengan lingkungan sosio-budaya masing-masing; namun devosi kepada Maria tidak terikat pada pengungkapan-pengungkapan tertentu yang berasal dari suatu zaman-budaya tertentu, atau ide-ide antropologis tertentu yang mendasari pengungkapan-pengungkapan itu [MC, 36].
Maria dapat dipertimbangkan sebagai sebuah cermin dari harapan-harapan orang zaman moderen ini. Bagi seseorang yang gelisah dan merasa was-was untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang menyangkut urusan komunitas, dengan gembira dia akan melihat Maria, yang dalam dialognya dengan Allah, memberikan persetujuan yang aktif dan bertanggung jawab, bukan untuk tercapainya solusi berskala kecil tetapi yang menyangkut peristiwa berskala dunia, yaitu Inkarnasi. Seseorang juga akan menghargai pilihan Maria untuk tetap perawan, bukan sebagai suatu penolakan atas nilai-nilai luhur pernikahan, namun sebagai suatu pilihan yang dibuat agar dapat mempersembahkan dirinya sendiri secara total kepada kasih Allah. Maria yang melakukan sembah-bakti total kepada kehendak Allah itu bukanlah seorang perempuan lembek dan permisif. Dalam Magnificat-nya Maria “memproklamirkan keagungan Allah yang telah memperhatikan kerendahannya sebagai hamba dan segala keturunan akan menyebutnya bahagia … Allah mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya … Allah menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhta mereka dan meninggikan orang-orang yang rendah … Allah melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa …” Maria sendiri menonjol di antara orang-orang miskin dan rendah hati di hadapan Allah. Ia adalah seorang perempuan yang kuat-perkasa yang mengalami hidup miskin dan penderitaan, juga sebagai pengungsi. Ia adalah seorang ibu, yang tidak memperhatikan Puteranya sendiri saja, karena kehadirannya bersama-sama para murid menjelang Pentakosta dan pada pesta pernikahan di Kana membantu diperkuatnya komunitas apostolik. Di Kalvari peranan keibuannya dibuat menjadi universal. Dengan demikan, Maria menawarkan kepada orang-orang Kristiani zaman ini model yang sempurna dari murid Tuhan, yang membangun kota di atas bumi ini sementara menjalani peziarahan menuju kota abadi. Maria adalah murid yang bekerja untuk tercapainya keadilan yang akan membebaskan mereka yang tertindas, untuk suatu cinta kasih yang akan membantu orang-orang yang membutuhkan. Di atas segalanya, Maria adalah murid yang memberikan kesaksian aktif atas kasih yang membangun Kristus dalam hati orang-orang [MC, 37].
Kemudian Paus Paulus VI mengajak kita untuk memperhatikan adanya sikap-sikap yang tidak ‘benar-tepat’ (incorrect attitudes), yaitu melebih-lebihkan isi dan bentuk yang merusak doktrin; kesempitan/kepicikan pandangan yang membuat tokoh dan misi Maria menjadi kabur; penyimpangan-penyimpangan devosional yanag hanya menekankan praktek-praktek eksternal, bukannya komitmen yang serius; sentimentalitas steril yang mudah hilang, yang bertentangan dengan tuntutan-tuntutan Injili untuk bertekun dalam tindakan praktis. Semua yang disebutkan ini dikutuk dengan benarnya oleh Konsili Vatikan II. Dengan menjaga diri dari kekeliruan-kekeliruan dan penyimpangan-penyimpangan ini, maka devosi yang sejati menjadi lebih giat-bersemangat dan otentik, dengan kuatnya bertumpu pada sumber-sumber Wahyu dan ajaran Gereja, dengan demikian menghindarkan diri dari upaya mencari-cari ‘kesenangan-kesenangan baru’ dan berbagai fenomena luarbiasa, menghilangkan apa yang bersifat legenda dan salah. Maria tidak boleh dikedepankan secara ‘berat sebelah’ karena akan mengkompromikan gambaran menyeluruh yang diberikan oleh Injil. Devosi kepadanya juga harus berdasarkan motivasi yang benar, artinya tidak boleh ada kepentingan-diri sendiri yang tidak pantas dalam bidang yang bersifat sakral ini [MC, 38].
Tujuan akhir dari devosi kepada Santa Perawan Maria adalah untuk memuliakan Allah, dan memimpin umat Kristiani untuk mengkomit diri mereka sendiri pada suatu kehidupan yang cocok secara mutlak dengan kehendak-Nya. Manakala putera-puteri Gereja memproklamasikan, ‘Berbahagialah ibu yang telah mengandung Engkau’, mereka harus merenungkan jawaban dari Sang Guru ilahi, ‘Berbahagialah mereka yang mendengarkan sabda Allah dan memeliharanya!’. Jawaban Yesus Kristus ini pada dirinya adalah puji-pujian kepada Maria, jawaban itu juga merupakan sebuah petuah untuk menghayati hidup kita seturut perintah-perintah Allah [MC, 39].
LAMPIRAN II
PERTANYAAN-PERTANYAAN UNTUK SYERING/DISKUSI KELOMPOK
Dengan mempertimbangkan faktor waktu yang terbatas, pilihlah beberapa saja dari butir-butir yang tersedia di bawah ini, untuk disyeringkan/didiskusikan dalam pertemuan persaudaraan di bawah bimbingan Magister atau seorang pemandu yang ditunjuk oleh Minister Persaudaraan. Butir-butir yang tidak sempat menjadi bahan syering/diskusi dalam pertemuan harus digunakan untuk permenungan-permenungan pribadi di tempat tinggal masing-masing:
1. Peristiwa yang mana dalam kehidupan Maria – seperti tercatat dalam Kitab Suci – yang paling menyentuh hati Saudara/Saudari, sehingga sangat berdampak atas kehidupanmu? Mengapa?
2. Menurut kalendarium liturgi sekarang terdapat cukup banyak perayaan yang berhubungan dengan Bunda Maria:
Ada beberapa perayaan yang tergolong ‘Hari Raya’ (solemnitas), misalnya 1 Januari, Hari Raya Santa Maria Bunda Allah; 24 Maret, Hari Raya Kabar Sukacita; 15 Agustus, Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga; 8 Desember, Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Dosa.
Ada beberapa perayaan yang tergolong ‘Pesta’ (festum), misalnya 2 Februari, Pesta Yesus dipersembahkan di Kenisah; 31 Mei, Pesta Santa Perawan Maria Mengunjungi Elizabet; 8 September, Pesta Kelahiran Santa Perawan Maria.Ada beberapa perayaan yang tergolong ‘Peringatan’ (memoria), baik ‘Peringatan Wajib’ (memoria obligatoria) maupun ‘Peringatan Falkutatif’ (memoria ad libitum), misalnya 11 Februari, Santa Perawan Maria dari Lourdes (PF); 16 Juli, Santa Perawan Maria di Gunung Karmel (PF); 5 Agustus, Pemberkatan Gereja Basilik Santa Perawan Maria (PF); 22 Agustus, Peringatan wajib Santa Perawan Maria, Ratu (PW); 15 September, Santa Perawan Maria Berdukacita (PW); 7 Oktober, Santa Perawan Maria, Ratu Rosario (PW); 21 November, Santa Perawan Maria Dipersembahkan kepada Allah (PW).
Sepanjang tahun Gereja, Perayaan Maria mana, yang bagi Saudara/Saudari dirasakan paling mendekatkan pribadimu dengan Maria dan Yesus? Mengapa? Sebutkan alasan-alasanmu dengan cukup terinci agar dapat membantu perkembangan rohani para Saudara-Saudarimu yang lain.
3. Bagaimana hidup Maria sebagai model bagi penghayatan hidup Fransiskan Saudara/Saudari sendiri?
4. Sebutkan sejumlah karakteristik dari devosi yang layak kepada Bunda Maria dalam tradisi Fransiskan! Meskipun ada berbagai macam devosi non-Fransiskan untuk menghormati Santa Perawan Maria yang benar-tepat (correct) dan pantas, mengapa dirasakan tetap perlu bagi pribadi-pribadi anggota OFS dan persaudaraan-persaudaraan OFS untuk memusatkan perhatian mereka pada warisan rohani yang ada dalam keluarga Fransiskan sendiri?
5. Pada tahun 1974 Paus Pius VI mengatakan, bahwa dewasa ini (barangkali lebih daripada masa-masa lampau), doa Rosario dipandang sebagai sebuah doa Injil. Inspirasi Injilinya cukup jelas: misteri-misterinya diambil dari Injil dan demikian pula dengan doa-doanya. Dalam rangkaian doa Salam Maria yang berturut-turut, kita dihadapkan dengan dengan sebuah misteri mendasar dari Injil, yaitu Inkarnasi Sang Sabda [MC, 44]. Pada tahun 2002, Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “Dengan Rosario, umat Kristiani ‘duduk pada sekolah Maria’ dan dituntun untuk mengkontemplasikan keindahan wajah Kristus dan mengalami kedalaman kasih-Nya. Melalui Rosario, umat beriman menerima rahmat yang berlimpah-limpah bagaikan menerimanya dari tangan Bunda Sang Penyelamat itu sendiri” [RVM, 1]. Bagaimana pandangan Saudara/Saudari sendiri tentang doa Rosario ini? Apakah Saudara/Saudari berdoa Rosario setiap hari?
6. Paus Paulus VI mendesak umat untuk terus melanjutkan berdoa ‘Doa Malaikat Tuhan’ (Angelus) karena menurut beliau doa ini tidak membutuhkan revisi; strukturnya sederhana, berkarakter alkitabiah, dan secara historis doa ini berkaitan dengan dengan doa untuk perdamaian dan keamanan. Ritme-nya yang bersifat quasi-liturgis menyucikan tiga saat setiap harinya, yaitu pagi, siang dan senja hari. Doa ini mengingatkan kita kepada Misteri Paskah, karena dengan mengingat Inkarnasi Putera Allah sebenarnya kita berdoa agar dipimpin melalui Sengsara dan Salib-Nya menuju kemuliaan Kebangkitan-Nya. Ada suatu nilai yang berubah dan tak tersentuh dengan berlalunya zaman: kontemplasi terhadap Inkarnasi, memberi salam kepada Perawan Maria dan mohon pengantaraannya – semua ini tak berubah. Demikian pula saat-saat mendoakannya; pagi hari, siang hari dan senja hari yang merupakan tanda dari waktu-waktu kegiatan manusia, dan merupakan sebuah undangan untuk berdoa [MC, 41]. Saudara/Saudari kiranya sudah mengetahui bahwa ‘Doa Malaikat Tuhan’ dan bahkan ‘Doa Salam Maria’ berlatar-belakang Fransiskan yang cukup kental. Apakah Saudara/Saudari mendoakan ‘Doa Malaikat Tuhan’ ini secara teratur, pada jam 6 pagi, jam 12 siang dan jam 6 di senja hari? Menjadi semacam rutinitaskah? Membosankan? Suka terlupa karena kesibukan sehari-hari? Syeringkanlah tanggapanmu dengan para Saudara-Saudari yang lain!
7. Dalam AD OFS Artikel 9, Santa Perawan Maria dijunjung tinggi sebagai model hidup Injili. Kalau ‘sikap terbuka yang penuh sukacita terhadap kehendak Allah serta menerima/melakukannya’ merupakan tujuan dari semua Fransiskan, bukankah kita juga harus memandang Maria sebagai contoh kita yang istimewa, seperti telah dipraktekkan oleh Bapak Serafik kita sendiri? Setiap hari mampukah kita, bersama Maria, berkata, “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan”, artinya kita akan waspada dan siap-siaga terhadap segala kesempatan/peluang untuk melayani sesama, dan melalui mereka, kita melayani seperti yang telah dilakukan oleh Maria dan Putera ilahinya? Seperti yang telah dilakukan juga oleh Santo Fransiskus? Pada saat-saat doa kita, apakah kita menyediakan waktu – seperti Maria – untuk hening beberapa saat lamanya, agar Tuhan dapat berbicara kepada kita? Apakah praktek meditasi seperti itu setiap hari akan memperbaharui pertobatan dan komitmen kita?
8. Apa yang sesungguhnya dimaksudkan oleh Beato Thomas dari Celano [2 Cel 198] dan Santo Bonaventura [LegMaj IX:3], ketika kedua orang kudus ini dalam buku karangan masing-masing, menulis bahwa ‘Fransiskus merangkul Bunda Tuhan Yesus dengan cinta kasih yang tak terkatakan, karena oleh Maria-lah Tuhan yang Maha Agung menjadi Saudara kita’? Dari atas kayu salib, kepada Yohanes Penginjil, Yesus juga berkata, “Inilah ibumu!” Bukankah ini berarti, bahwa Dia juga berbicara kepada segala generasi umat Kristiani yang akan datang? Bukankah sepatah kata ‘inilah’ juga berarti “Lihatlah dan ambillah dia (Maria) sebagai contoh keutamaan bagimu?”
9. Maria adalah pelindung dan pembela Keluarga Fransiskan. Tempat Maria untuk penghormatan saleh dengan hati-hati telah dicantumkan dan diuraikan dalam Lumen Gentium butir 66 dan 67, yang dipetik juga dalam tulisan ini. Setelah membaca kembali kedua butir dokumen Gereja tersebut dengan serius, dapatkah Saudara/Saudari memberi tanggapan dengan cinta kasih yang lebih matang dan mendalam kepada Maria, dengan rasa kagum yang dapat menolongmu untuk meniru keutamaan-keutamaannya dengan cara yang sangat dibutuhkan oleh waktumu dan tempatmu sendiri di dunia? Bagaimana Saudara/Saudari dapat menolong Persaudaraan Fransiskan-mu agar dapat sampai kepada pengakuan yang matang seperti yang disebutkan tadi?
10. Apakah kesan Saudara/Saudari terhadap dua buah doa Santo Fransiskus kepada Maria yang juga termuat dalam tulisan ini, yaitu ‘Salam kepada Santa Perawan Maria’ dan ‘Antifon Santa Perawan Maria’ dalam ‘Ibadat Sengsara Tuhan’? Apakah dari doa ‘Salam kepada Santa Perawan Maria’ itu Saudara/Saudari sedikit-banyak memperoleh gambaran betapa cintanya Fransiskus kepada Yesus dan Maria? Fransiskus tidak pernah menghaturkan kata-kata pujian penuh rasa hormat kepada Maria sendiri saja, tanpa mengkaitkannya dengan Bapa, Kristus atau Roh Kudus. Devosinya kepada Bunda Maria sungguh otentik … benar-tepat (correct), bahkan kalau dilihat dari kacamata Konsili Vatikan II yang berabad-abad kemudian baru diselenggarakan. Devosi Santo Fransiskus kepada Santa Perawan Maria tentu patut kita tiru! Bagaimana pendapat Saudara/Saudari masing-masing? Bagaimana dengan devosi Saudara/Saudari sendiri?
11. Santo Laurensius dari Brindisi (1559-1619) adalah seorang Fransiskan Kapusin dan Pujangga Gereja yang sangat terkenal dengan ajaran-ajarannya tentang Maria. Ada 84 (delapan empat) khotbah menyangkut Bunda Maria yang diwariskannya kepada kita semua. Ada satu kalimat pendek yang berasal dari salah satu khotbahnya: “Karena Hawa percaya kepada Iblis, dunia hancur; karena Maria menaruh kepercayaannya pada Malaikat, dunia diselamatkan.” [MOC I, hal. 216]. Menurut Saudara/Saudari, apa yang dimaksud oleh orang kudus ini dengan kalimat pendek, namun yang terasa sangat penuh makna ini?
12. Santa Klara dari Assisi (1193-1253) menulis kepada Agnes dari Praha dalam suratnya yang ketiga: “Hendaklah anda melekat pada Bunda-Nya yang amat manis, yang melahirkan Anak seluhur itu yang tidak tertampung oleh langit dan bumi [bdk. 1 Raj 8:27]. Namun oleh Bunda-Nya, Ia dibawa dalam ruang sempit kandungan yang suci dan dikandung dalam rahim kegadisannya. Seperti perawan segala perawan yang mulia membawa Dia secara badaniah, demikian pun dengan mengikuti jejak-jejak-Nya [1 Ptr 2:21], khususnya kerendahan dan kemiskinan-Nya, anda pasti dapat selalu membawa Dia secara rohaniah dalam badan anda yang murni dan perawan. Maka anda menampung Dia yang menampung anda dan segala sesuatu [bdk. Keb 1:7; Kol 1:17]. Dan anda memiliki sesuatu yang lebih akan anda miliki, daripada milik sementara dunia ini yang lain” [3SurAg 18-19, 24-26]. Santa Klara sering disebut pengikut Santo Fransiskus yang paling sempurna. Kedua orang kudus ini menjalani kehidupan yang rendah dan miskin seperti dicontohkan oleh Yesus dan Bunda-Nya. Tidak lama sebelum dijemput oleh Saudari Maut, Fransiskus memberi pesan akhirnya kepada Klara yang antara lain berbunyi: “Aku, Saudara Fransiskus, orang kecil ini, mau mengikuti hidup dan kemiskinan Tuhan kita Yesus Kristus Yang Mahatinggi serta ibu-Nya yang tersuci, dan mau bertekun di dalamnya hingga akhir” [PesAkh 1]. Bagaimana kiranya petikan tulisan dua orang kudus ini dapat membantu untuk menghayati hidup Injili Saudara/Saudari? Bersediakah Saudara/Saudari untuk saling mengingatkan satu sama lain tentang alasan mendasar mengapa kita – para Fransiskan – sangat menghormati Bunda Maria, seperti telah dicontohkan oleh kedua orang kudus ini?
13. Konsili Vatikan II mendesak kita semua agar devosi kita kepada Maria didasarkan pada iman sejati yang pada akhirnya terwujud dalam upaya meneladan keutamaan-keutamaannya [lihat kalimat terakhir dalam LG, 67]. Dalam ‘Petuah-petuah’, Fransiskus menulis: “Di mana ada cinta kasih dan kebijaksanaan, di situ tidak ada ketakutan dan kepicikan. Di mana ada kesabaran dan kerendahan hati, di situ tidak ada amarah dan kegelisahan. Di mana ada kemiskinan bersama sukacita, di situ tidak ada ketamakan dan kekikiran. Di mana ada ketenangan dan samadi, di situ tidak ada kecemasan dan kebingungan [Pth XXVII:1-4]. Dapatkah Saudara/Saudari membayangkan, bahwa pada saat menulis kata-kata ini hati dan pikiran Fransiskus terpaut pada pada Bunda Maria yang senantiasa menjadi modelnya, oleh karenanya sangat dipengaruhi olehnya? Inilah yang saya lihat; bagaimana dengan Saudara/Saudari sendiri?
14. Dalam MARIALIS CULTUS, Paus Paulus VI menulis tentang doa rosario, antara lain sebagai berikut: Doa Rosario jelas bersifat Kristo-sentris. Rangkaian doa ‘Salam Maria’ pada dirinya merupakan puji-pujian kepada Kristus tanpa henti. Kristus adalah objek akhir, baik pada peristiwa pemberitahuan Malaikat kepada Maria maupun pada waktu ibu dari Yohanes Pembaptis (Elizabet) memberikan salam kepadanya. Yesus dalam doa ‘Salam Maria’ adalah Yesus yang sama, yang mengundang kita untuk mengkontemplasikan rangkaian misteri dalam rosario [MC, 46]. Seperti juga unsur-unsur puji-pujian dan permohonan, doa Rosario mengandung unsur kontemplasi, tanpa unsur itu ada bahaya doa ini menjadi bersifat mekanistis. Dari sifatnya, doa Rosario harus didoakan dengan suatu ritme yang tenang dan tidak terburu-buru, dengan demikian membantu pribadi yang berdoa untuk memeditasikan misteri-misteri Kristus yang dilihat dari mata Maria yang paling dekat dengan Dia [MC, 47]. Apakah Saudara/Saudari sudah melakukan doa Rosario seperti yang dikatakan Sri Paus tadi, baik pada waktu berdoa secara pribadi, bersama keluarga, bersama-sama di lingkungan/wilayah/paroki atau Persaudaraan OFS? Kalau belum, perbaikilah terus! Yesus dan Maria, juga Fransiskus dan Klara, sangat sabar … mereka akan menolong kita!
15. Dalam Wasiatnya, Santa Klara menulis: “Demi kasih, Tuhan yang miskin dibaringkan di palungan, miskin hidup di dunia dan telanjang tinggal di salib, hendaknya Beliau (Kardinal Pelindung) membuat kemiskinan suci yang kita janjikan kepada Tuhan dan kepada bapak kita yang tersuci, Fransiskus, terlaksana pada kawanan Tuhan yang kecil [Luk 12:32], yang dilahirkan oleh Tuhan (dan) Bapa dalam Gereja-Nya yang kudus melalui sabda dan teladan yang diberikan oleh bapa suci, Fransiskus, yang mengikuti kemiskinan dan kerendahan Anak Bapa yang terkasih serta kemiskinan dan kerendahan Bunda-Nya, Perawan yang termulia” [WasKl 44-46]. Berani dan bersediakah kita, para Fransiskan sekular, untuk menjadi ‘kawanan Tuhan yang kecil’ seperti ditulis Santa Klara dalam wasiatnya tadi?
LAMPIRAN III
PROGRAM STUDI PRIBADI SEORANG NOVIS OFS SELAMA SATU BULAN
1. Bacaan tentang Bunda Maria.
a. Baca dan pelajari dengan serius (kalau perlu, diulang-ulang beberapa kali) AD OFS Artikel 9 dan Konstitusi Umum OFS Artikel 16, butir 1 dan 2.
b. Bacalah buku atau artikel dalam majalah Katolik yang membahas tentang Maria. Buatlah catatan-catatan yang diperlukan dan nanti syeringkan dengan Saudara/Saudari anggota OFS yang lain.
2. Bacaan Kitab Suci.
Seorang Fransiskan adalah seseorang yang dibentuk oleh Kitab Suci, yang mencintai Kitab Suci dan dekat dan akrab dengan Kitab Suci. Oleh karena itu baiklah kiranya Saudara/Saudara meluangkan waktu sekitar sepuluh menit setiap hari untuk membaca dan berdoa dengan Kitab Suci. Berikut ini adalah bacaan untuk selama satu bulan:
Bacaan Perjanjian Lama: (1) Kej 3:9-15,20; (2) Kid 2:1-17; (3) Sir 2:7-13; (4) Sir 24:1-21; (5) Mzm 45; (6) 1 Sam 2:1-8; (7) Yes 7:10-14; (8) Yes 61:9-11; (9) Mi 5:1-4; (10) Za 2:10-13; (11) Zef 3:14-20.
Bacaan Perjanjian Baru: (1) Mat 1:18-23; (2) Mat 2:13-23; (3) Luk 1:26-38; (4) Luk 1:39-55; (5) Luk 2:1-14; (6) Luk 2:15-19; (7) Luk 2:25-38; (8) Luk 2:39-40; (9) Luk 2:41-52; (10) Luk 11:27-28; (11) Yoh 2:1-11; (12) Yoh 19:25-27; (13) Kis 1:12-14; (14) Rm 5:12,17-19; (15) Rm 8:28-30; (16) Gal 4:4-7; (17) Ef 1:3-6, 11-12; (18) Why 11:19;12:1-10; (19) Why 21:1-5.
3. Doa-doa kepada Maria.
a. Secara pribadi, bacalah dan renungkanlah dua buah doa Fransiskus kepada Santa Perawan Maria! Doakanlah doa-doa itu pada waktu dan tempat seturut dorongan hatimu!
b. Secara pribadi, bacalah dan renungkanlah doa kepada Bunda Maria dari Santo Antonius dari Padua dan Santo Bernardin dari Siena!
c. Secara pribadi, susunlah sendiri doa-doa kepada Bunda Maria!
4. Korona Fransiskan’ atau ‘Tujuh Sukacita Maria’
Salah satu cara yang dapat digunakan oleh seorang Fransiskan sekular untuk menghormati Bunda Maria adalah dengan mendoakan ‘Korona atau Rosario Fransiskan’ ini. Pemberian tekanan atas ‘sukacita’ oleh Santo Fransiskus tercermin dalam devosi ini, yang dimulai oleh salah seorang saudara dina. Kita perlu bersukacita besama Bunda Maria. Mendoakan ‘Korona Fransiskan’ ini tidak sulit karena praktis seperti pada waktu berdoa rosario biasa. Perbedaannya adalah dalam jumlah peristiwa/misteri yang direnungkan, dengan demikian jumlah doa ‘Bapa Kami, Salam Maria dan Kemuliaannya’ menjadi lebih banyak. Peristiwa-peristiwanya terdiri dari:
1) Maria menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel [Luk 1:26-38]. Di sini kita merenungkan sukacita Maria ketika Malaikat Gabriel memberitahukan kepadanya kabar tentang Inkarnasi.
2) Maria mengunjungi Elizabet, saudarinya [Luk 1:39-47]. Di sini kita merenungkan sukacita Maria ketika mengunjungi Elizabet dan segalanya yang dikerjakannya selama tiga bulan di rumah keluarga Zakharia-Elizabet.
3) Yesus dilahirkan di Betlehem [Luk 2:1-7]. Di sini kita merenungkan kebahagiaan tertinggi yang mengisi hati Maria ketika melahirkan bayi Yesus, sang Juruselamat dunia, tanpa kehilangan keperawanannya.
4) Adorasi orang Majus terhadap kanak-kanak Yesus [Mat 2:9-11]. Di sini kita merenungkan sukacita Maria ketika menunjukkan kanak-kanak Yesus untuk disembah oleh para majus.
5) Yesus diketemukan dalam Bait Allah [Luk 2:41-52]. Di sini kita merenungkan sukacita Maria, bagaimana setelah tiga hari dipenuhi kesedihan mencari-cari Yesus yang hilang, pada akhirnya menemukan Dia di Bait Allah di tengah-tengah para guru agama.
6) Penampakan Kristus kepada Maria setelah Kebangkitan [Luk 24:1-6]. Di sini kita diajak untuk bersukacita bersama Maria ketika melihat Putera ilahinya telah bangkit dengan mulia pada Hari Minggu Paskah.
7) Maria diangkat ke Surga dan dimahkotai di Surga [Why 12:1; Mzm 45:14-15]. Di sini kita diajak untuk bergembira bersama Maria berkenaan dengan peristiwa yang paling mulia dan penuh sukacita, yaitu diangkatnya Maria ke surga dan dimahkotai sebagai Ratu surga dan bumi.
Cara mendoakannya:
Langsung saja mulai dengan misteri pertama (Bapa Kami dan sepuluh Salam Maria serta Kemuliaan), jadi tanpa doa-doa pembukaan seperti ‘Aku percaya’ dan lain-lain seperti halnya rosario biasa. Setelah selesai mendoakan peristiwa yang ke tujuh, tambahkan dua Salam Maria untuk menghormati masa hidup Santa Perawan Maria di dunia, yang menurut tradisi mencapai umur 72 (tujuh puluh dua) tahun. Kemudian lanjutkanlah lagi dengan berdoa Bapa Kami, Salam Maria dan Kemuliaan, masing-masing satu kali, untuk intensi Sri Paus. Setelah itu doa ‘Rosario Fransiskan’ ditutup dengan tanda salib yang dilakukan dengan khidmat. Selesai!
Ingatlah, bahwa seperti juga doa rosario biasa, Koronka Fransiskan ini juga kurang berguna (tidak menghasilkan buah-buah rohani) kalau dilakukan secara mekanistik. Yang penting adalah permenungan kita atas misteri-misteri tersebut pada waktu mendoakan rosario/korona.
Catatan mengenai sejarah devosi ini dan lain-lain informasi yang lebih mendetil akan dimuat dalam tulisan lain. Yang penting, kalau Saudara/Saudari belum pernah mendoakan ‘Koronka Fransiskan’ ini, untuk memulainya dan membiasakan diri untuk mendoakannya. Jangan tunggu sampai Saudara-Saudari membeli rosario Fransiskan ini, karena tidak semua toko menjualnya. Saya sendiri membelinya di biara Klaris di Pacet. Saudara/Saudari dapat menggunakan rosario biasa, bahkan dengan menggunakan jari-jari tanganmu pun tidak dilarang. Marilah, sebagai Fransiskan sekular, kita bersukacita selalu bersama Bunda Maria. Selamat mencoba!
Catatan Tambahan
Ada beberapa tulisan yang bagus tentang ‘Korona Fransiskan’ atau ‘Tujuh Sukacita Maria’ ini:
1. Karangan Ponchie Vasquez, OFM, THE SEVEN JOYS OF MARY – THE FRANCISCAN CROWN, The Way of St. Francis, Volume 1, Number 2, May-June 1995, hal. 39-43. Urut-urutan ketujuh peristiwa/misteri dalam tulisan Ponchie Vasquez, OFM ini sesuai dengan urut-urutan yang saya sampaikan di atas. Urut-urutan ini sama dengan apa yang ada dalam buku karangan Leonard Foley, OFM & Jovian Weigel, OFM, THE THIRD ORDER VOCATION, hal. 24. Urut-urutan ini juga didukung oleh tulisan seorang sejarawan Fransiskan dari Irlandia, yaitu Luke Wadding (1588-1657).
2. Dua buah buku-doa Fransiskan sekular yang diterbitkan oleh Franciscan Herald Press, yaitu (a) MY GOD AND MY ALL, dan (2) SECULAR FRANCISCAN COMPANION memperlihatkan urut-urutan yang sedikit berbeda: Kelima peristiwa pertama adalah persis sama dengan ‘peristiwa gembira’ dalam rosario biasa. Jadi dengan urut-urutan seperti ini, ‘Korona Fransiskan’ merupakan gabungan ‘rosario peristiwa gembira’ dengan satu peristiwa mulia baru (Maria bertemu dengan Yesus yang sudah bangkit dengan mulia di Hari Minggu Paskah), kemudian diikuti dengan satu peristiwa mulia ketujuh yang merupakan gabungan antara peristiwa keempat dan kelima dalam ‘rosario peristiwa mulia’ dalam rosario biasa.
3. Seorang imam ordo ketiga regular, yaitu Thomas Bourque, TOR juga menulis sebuah artikel yang bagus tentang ‘Korona Fransiskan’ yang berjudul A JOURNEY OF FAITH: THE SEVEN JOYS OF MARY, The Cord, Volume 39, No. 5, May 1989. Dalam tulisannya Thomas Bourque, TOR menyajikan urut-urutan yang kelihatannya merupakan ‘kompromi’ antara apa yang diuraikan di butir 1 dan 2 di atas: Adorasi orang Majus digabungkan olehnya dalam peristiwa ketiga, yaitu kelahiran Yesus sedangkan peristiwa keempat adalah ‘Yesus dipersembahkan dalam Bait Allah’, sama persis dengan peristiwa gembira keempat dalam rosario biasa. Dengan demikian seluruh peristiwa gembira dalam doa rosario biasa tercakup, dan ‘adorasi para Majus’ pun tak terlupakan.
4. Ada sebuah buku penuntun doa yang saya beli di tempat retret Fransiskan Kapusin di Lipa City, Filipina (tanpa nama pengarang) dengan judul FRANCISCAN CROWN OR THE ROSARY OF THE SEVEN JOYS OF THE BLESSED VIRGIN. Buku ini berisikan sedikit kontradiksi. Di bagian depan penulisnya mengikuti urut-urutan Luke Wadding (lihat butir 1), tetapi uraian penjelasannya mengikuti urut-urutan seperti yang ada dalam butir 2 di atas.
5. Terserah kepada Saudara/Saudari untuk menggunakan urutan yang mana, yang penting adalah permenungan-permenunganmu atas berbagai peristiwa/misteri Yesus-Maria-Yesus tersebut.
* Seorang Fransiskan sekular, tinggal di Jakarta. Jakarta, HARI RAYA KENAIKAN TUHAN, 1 Mei 2008. Tulisan ini dipersiapkan dalam rangka pembinaan para novis dan sekaligus upaya bina lanjut bagi beberapa anggota yang sudah berprofesi kekal pada persaudaraan OFS Santo Thomas More, Jakarta Selatan yang mengambil tempat di Biara Sienna para suster Fransiskanes Charitas, Pondok Labu, tanggal 25 Mei 2008.
[1] Dalam R. Hardawiryana, SJ (Penterjemah), DOKUMEN KONSILI VATIKAN II, Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI/Obor, 1993, hal. 65-165.
[2] Tentang gelar ‘Hawa yang baru’ ini sendiri, KATEKISMUS GEREJA KATOLIK mencatat sebagai berikut: Perawan Maria ‘dengan iman dan ketaatan yang bebas, telah bekerja sama untuk keselamatan manusia’ [LG, 56]. Sebagai ‘wakil seluruh kodrat manusia’ [Thomas Aquinas s.th. 3,30,1] ia mengucapkan perkataan “ya”. Oleh ketaatannya ia menjadi Hawa baru, menjadi Bunda orang-orang hidup [KGK, 511]. Untuk penjelasan lebih lanjut tentang ‘Hawa yang baru” ini, bacalah catatan kaki no. 4.
[3] “Yesus Kristus adalah sungguh Allah, sungguh manusia” (Konsili Kalsedon, 8 Oktober – 1 November 451).
[4] Menyambung catatan kaki no. 2, berikut ini tambahan penjelasan tentang ‘Hawa yang baru’ yang diintisarikan dari Michael O’Carroll, ENSIKLOPEDI POPULER TENTANG MARIA [MOC II, hal. 32-33]: Tidak ada satu nas pun dalam Alkitab yang menyamakan atau membandingkan Santa Maria dengan Hawa. Namun sejak dahulu kala Santa Maria sangat sering disebut Hawa baru, serupa dengan Kristus yang dalam Alkitab disebut ‘Adam yang baru’ [bdk. Rm 5:12-21; 1 Kor 15:21-22, 45-49]. Dalam Alkitab sendiri terdapat banyak unsur yang mendukung pemberian gelar ini kepada Santa Maria, termasuk dalam Perjanjian Lama [Kej 3:15 dan Yes 7:14]. Dalam Mat 1-2 dan Luk 1-2 terasa adanya suatu ungkapan halus mengenai terjadinya ‘ciptaan’ baru lewat seorang perempuan, yaitu Santa Maria. Dalam dialog Maria dengan Malaikat [Luk 1:28-35] dan dalam dialog Hawa dengan ular [Kej], para Bapak Gereja dan penulis-penulis lain pun menemukan butir-butir persamaan yang patut direnungkan. Kiranya tidak kelirulah pendapat yang menyatakan Santa Maria adalah ‘Hawa yang baru’ sejak awal mula Gereja [MOC, hal. 32-33]. Pengkaitan antara Maria dengan Hawa diungkapkan dalam Lumen Gentium, yang mengatakan: “… ia (Maria) sudah dibayangkan secara profetis dalam janji yang diberikan kepada leluhur pertama yang jatuh berdosa, tentang kejayaan atas ular [Kej 3:15] [lihat LG, 55]. “… dalam misteri Gereja, yang tepat juga disebut bunda dan perawan, Santa Perawan Maria mempunyai tempat utama, serta secara ulung dan istimewa memberi teladan perawan maupun ibu. Sebab dalam iman dan ketaatan ia melahirkan Putera Bapa sendiri di dunia, dan itu tanpa mengenal pria, dalam naungan Roh Kudus, sebagai ‘Hawa yang baru’, bukan karena mempercayai ular yang kuno itu, melainkan karena percaya akan utusan Allah, dengan iman yang tak tercemar oleh kebimbangan. Ia telah melahirkan Putera, yang oleh Allah dijadikan yang sulung di antara banyak saudara [Rm 8:29], yakni Umat beriman. Maria bekerja sama dengan cinta kasih keibuannya untuk melahirkan dan mendidik mereka” [LG, 63].
[5] Dalam R. Hardawiryana, SJ (Penterjemah), DOKUMEN KONSILI VATIKAN II, Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI/Obor, 1993, hal. 339-379.
[6] Dalam R. Hardawiryana, SJ (Penterjemah), DOKUMEN KONSILI VATIKAN II, Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI/Obor, 1993, hal. 1-50.
[7] Seperti dikemukakan oleh Pater E. Schillebeeckx, OP dalam bukunya, Mary, the Mother of the Redemption [hal. 179-184]. Artinya, timbulnya kesan yang meyakinkan, bahwa devosi ini secara otomatis bersifat menyelamatkan, karena ditujukan kepada Maria yang sudah menikmati keselamatan kekal dalam persatuannya dengan Allah [AEK, hal. 83].
[8] Pernyataan ini diambil dari amanat radio Paus Pius XII tanggal 24 Oktober 1954 dan Ensikliknya, Ad coeli Reginam, tanggal 11 Oktober 1954 [catatan kaki no. 195 dalam LG].