DEVOSI SANTO FRANSISKUS DARI ASSISI KEPADA BUNDA MARIA
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS *)
“Aku, Saudara Fransiskus, orang kecil ini, mau mengikuti hidup dan kemiskinan Tuhan kita Yesus Kristus Yang Mahatinggi serta ibu-Nya yang tersuci, dan mau bertekun di dalamnya hingga akhir.” [PesAkh 1]
Tulisan Santo Fransiskus di atas, yang dipetik dari ‘Pesan Akhir untuk Santa Klara’, secara ringkas menggambarkan devosi orang kudus ini kepada Yesus Kristus dan Bunda Maria. Dengan satu kalimat ini, Fransiskus mencanangkan dua aspek hakiki hidup para pengikutnya, yaitu sentralitas dari ‘mengikuti jejak Yesus Kristus’, dan implikasi yang kuat dan tak terhindarkan dari Santa Perawan Maria dalam pribadi, hidup dan ‘takdir’ Yesus dari Nazaret. [GL I, hal. 102][1]
Sesuai dengan bukti-bukti yang selama ini telah berhasil ditemukan dalam sumber-sumber Fransiskan, maka devosi kepada Bunda Maria adalah sebuah bagian integral dari kehidupan spiritual Santo Fransiskus [AW, hal. 136]. Dari pembacaan berbagai riwayat hidup awal tentang Fransiskus dan dari tulisan-tulisannya sendiri kita dapat melihat, bahwa Santa Perawan Maria, Bunda Allah menempati tempat yang istimewa dalam kehidupan orang kudus ini. Fransiskus mempertalikan rahmat panggilannya sendiri dengan Bunda Maria. Melalui Maria-lah Fransiskus memperoleh wawasan yang jelas mengenai sifat dari cara hidup baru yang diwahyukan oleh Kristus kepadanya.
Bunda Maria sendiri telah dihormati sepanjang masa dengan berbagai gelar yang diberikan kepadanya oleh umat (Gereja) dari abad ke abad. Dari tulisan-tulisannya sendiri, teristimewa dalam doa-doanya, dan dari apa yang diceritakan dalam beberapa riwayat hidupnya yang awal, Fransiskus pun menyebut/menyapa Maria dengan menggunakan sejumlah gelar yang berbeda-beda, rupa-rupa gambaran Maria, namun saling melengkapi satu sama lain.
Kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih jernih tentang relasi unik antara Fransiskus dengan Maria, apabila kita dapat menentukan bagaimana dia mengalami pengaruh Maria dalam kehidupan spiritualnya. Tulisan ini mencoba menggambarkan secara relatif singkat hidup devosional Fransiskus kepada Bunda Maria, lewat bacaan-bacaan dan permenungan atas hidup orang kudus ini seperti dilukiskan dalam riwayat hidupnya yang awal, dan juga berdasarkan tulisan-tulisannya, termasuk doa-doanya.
Beberapa gambaran hidup devosional Santo Fransiskus kepada Bunda Maria seperti terdapat dalam beberapa riwayat hidupnya yang awal
Salah satu gambaran devosi Fransiskus kepada Bunda Maria diberikan oleh Beato Thomas dari Celano sebagai berikut:
Terhadap bunda Yesus ia dipenuhi dengan suatu cinta kasih yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, karena dialah (= Maria) yang membuat Tuhan Yang Maha Agung menjadi Saudara kita. Ia (= Fransiskus) melambungkan puji-pujian khusus kepadanya, menghaturkan doa-doa kepadanya, mempersembahkan afeksinya kepadanya sedemikian banyak dan begitu agung sehingga lidah manusia tidak dapat menceritakan segalanya itu. Namun yang sangat menyenangkan kita adalah, bahwa dia membuat Maria sebagai pembela[2] dari ordo dan menempatkan anak-anaknya yang segera akan ditinggalkan olehnya (= Fransiskus) di bawah naungan sayapnya (= Maria), sehingga dia dapat menghargai dan melindungi mereka sampai akhir [2Cel 198; bdk. LegMaj IX:3].[3]
Santo Bonaventura menceritakan, bahwa setelah menyelesaikan perbaikan gereja San Damiano, maka untuk menghindarkan diri dari sifat malas, Fransiskus pun mulai mengerjakan perbaikan gereja Santo Petrus yang letaknya agak lebih jauh dari kota Assisi, karena devosinya yang khusus kepada Pangeran para Rasul itu (Petrus) [lihat LegMaj II:7]. Setelah menyelesaikan pekerjaannya di gereja Santo Petrus, Fransiskus datang ke suatu tempat yang dinamakan Portiuncula. Di tempat ini ada sebuah gereja tua yang didedikasikan kepada Santa Perawan Bunda Allah. Pada waktu Fransiskus datang ke situ, gereja itu sudah ditinggal kosong tak terurus. Dengan kata-katanya sendiri Bonaventura melanjutkan:
Fransiskus mempunyai devosi secara istimewa kepada Ratu dunia, dan ketika dia melihat, bahwa gereja itu sudah ditinggalkan tak terurus, maka dia mulai berdiam di situ secara tetap agar dapat memperbaikinya. Ia mendengar, bahwa malaikat-malaikat seringkali mengunjungi gereja itu [bdk. 1Cel 106], maka gereja itu biasa disebut gereja ‘Santa Maria para malaikat’, dan ia mengambil keputusan untuk diam di situ secara permanen, karena rasa hormatnya terhadap para malaikat dan cintanya kepada Bunda Kristus. Ia mencintai tempat ini lebih daripada tempat-tempat lain di dunia. Di sinilah ia memulai hidup religiusnya secara kecil-kecilan; di sini dia membuat kemajuan luar biasa, dan ke sini pula dia datang kembali untuk suatu akhir yang membahagiakan. Menjelang ajalnya, dia mempercayakan tempat ini kepada para saudara, karena tempat ini adalah tempat amat tersayang bagi Santa Perawan [LegMaj II:8; bdk. 1Cel 88 dan 106].
Dari petikan tulisan Bonaventura ini kita dapat melihat, bahwa ada beberapa gelar Maria yang disebutkan, yaitu ‘Ratu dunia’, ‘Santa Maria para malaikat’, ‘Bunda Kristus’ dan ‘Santa Perawan’. Gelar-gelar yang diberikan seorang pengikut Fransiskus (Bonaventura) kepada Maria dalam sebuah tulisan tentang riwayat hidup orang kudus ini, dapat dikatakan mencerminkan juga gelar-gelar bagi Maria yang digunakan oleh Fransiskus sendiri semasa hidupnya di muka bumi ini. Gelar-gelar itu sendiri, yang begitu ‘bertubi-tubi’ muncul dalam sebuah petikan bacaan yang relatif singkat, memberikan indikasi betapa mendalam devosi Fransiskus kepada Bunda Maria, yang memang berakar di tempat yang istimewa ini. Portiuncula, yang berarti ‘bagian yang kecil’, ‘porsi yang kecil’ (Inggris: small portion), memang merupakan tempat kelahiran keluarga besar Fransiskan![4]
Dalam bab berikutnya, Bonaventura mengisahkan tentang pendirian ordo dan persetujuan lisan Sri Paus atas anggaran dasar ordo yang baru ini. Pada bagian awal Bab III ini Bonaventura menggambarkan bagaimana Fransiskus berdoa kepada Bunda Maria – mohon pengantaraannya – sebelum memperoleh ‘pencerahan’ mengenai tindakan apa yang harus dilakukannya:
Fransiskus, sang hamba Allah, yang sudah berdiam di gereja Santa Perawan Bunda Allah untuk beberapa waktu lamanya, memanjatkan doa-doa secara terus-menerus kepada dia yang telah mengandung Sang Sabda, penuh rahmat dan kebenaran; dia memohon sangat dengan berurai air mata agar dia (= Maria) sudi menjadi pembelanya. Kemudian, berkat kebaikan-kebaikan sang Bunda Belaskasihan itu, dia mengandung dan melahirkan roh kebenaran Injil [LegMaj III:1].
Setelah itu barulah Bonaventura menceritakan bagaimana setelah mendengar Injil tentang pengutusan para murid oleh Yesus, Fransiskus – berdasarkan ilham ilahi – mulai menjadi seorang pengejar kesempurnaan Injili dan mengundang orang-orang lain juga untuk menjalani hidup pertobatan [lihat LegMaj III:1-2, dsj.].
Kisah berikut ini dipetik dari Legenda Perugia:[5] Di gereja Santa Maria Portiuncula diselenggarakan kapitel, dalam kapitel mana untuk pertama kalinya para saudara diutus ke negeri-negeri lain. Pada suatu hari, Fransiskus yang berdiam di tempat itu bersama beberapa orang saudara, berkata kepada para saudara, bahwa dia harus menjadi model dan contoh bagi semua orang. Jadi, kata Fransiskus, kalau dia telah mengutus para saudara ke negeri-negeri yang jauh di mana mereka akan mengalami kelelahan, penghinaan-penghinaan, kelaparan dan segala macam pencobaan, maka adil dan baiklah, apabila dia sendiri juga pergi ke sebuah negeri yang jauh, sehingga para saudaranya akan menanggung dengan sabar berbagai pencobaan dan kemelaratan, karena mereka mengetahui bahwa Fransiskus juga menanggung hal yang sama. Fransiskus meminta kepada para saudara: “Pergi dan berdoalah kepada Tuhan agar Ia mau memimpinku memilih negeri di mana aku dapat paling baik bekerja demi kemuliaan-Nya, untuk kemajuan dan keselamatan jiwa-jiwa, dan untuk contoh yang baik bagi Ordo”. Manakala Fransiskus sedang siap-siap untuk pergi dan mewartakan kabar baik ke negeri yang jauh, bahkan ke sebuah provinsi tetangga, maka sudah menjadi kebiasaan Fransiskus untuk berdoa dan juga minta para saudara untuk mendoakannya, agar Tuhan menginspirasikan kepadanya pergi ke tempat yang Allah lebih menyukainya untuk dia pergi. Oleh karena itu para saudara menarik diri untuk berdoa, dan setelah selesai berdoa mereka kembali kepada Fransiskus, yang berkata kepada mereka: “Dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus, Bunda-Nya sang Perawan yang mulia, dan semua orang kudus, aku memilih negeri Perancis …” [lihat LP 79; OMNIBUS, hal. 1054-1055]. Bunda Maria memang ternyata tidak pernah dilupakan oleh Fransiskus dalam doa-doanya!
Di bagian lain dari Riwayat Hidup St. Fransiskus – Kisah Besar (Legenda Maior] ini, Bonaventura juga menyinggung satu dimensi lagi tentang devosi Fransiskus kepada Bunda Maria:
Ia merangkul Bunda Tuhan Yesus dengan cinta kasih yang tak terkatakan, karena oleh dialah (= Maria) Tuhan yang Maha Agung menjadi Saudara kita, dan melalui dialah kita memperoleh belaskasihan (dari Allah). Sesudah Kristus, dia (= Fransiskus) menaruh kepercayaan sepenuhnya kepadanya (= Maria) dan mengambilnya sebagai pembela bagi dirinya sendiri dan para saudara. Demi menghormati Bunda Maria, Fransiskus berpuasa terus menerus mulai pada pesta rasul Petrus dan Paulus sampai ke pesta Santa Perawan diangkat ke surga [lihat LegMaj IX:3; bdk. 2Cel 198].
Devosi kepada Bunda Maria begitu menyerap dalam spiritualitas Fransiskus, sehingga secara tak langsung membawa pengaruh atas pengalaman mendalam stigmata-nya. Dalam Legenda Perugia kita dapat membaca yang berikut ini:
Pada suatu hari Fransiskus yang terberkati pergi ke pertapaan Gunung La Verna. Ia begitu menyukai isolasi tempat ini, sehingga dia ingin menjalani masa Puasa di sana untuk menghormati Santo Mikael. Ia telah mendaki gunung ini sebelum Pesta Santa Perawan Maria yang mulia diangkat ke surga. Ia menghitung jumlah hari antara pesta itu dan pesta Santo Mikael: ada empat puluh hari. Kemudian ia berkata: “Untuk memuliakan Allah, Santa Perawan, bunda-Nya, dan Santo Mikael, pangeran para malaikat dan jiwa-jiwa, aku mau menjalani masa Puasa di sini” [LP 93; OMNIBUS, hal. 1069-1070].
Demikianlah beberapa contoh hidup devosionalnya kepada Bunda Maria yang diambil dari beberapa riwayat hidup Fransiskus yang awal.
Bunda Maria dalam hidup spiritual Fransiskus
Spiritualitas seorang insan Kristiani tercermin dalam doa-doanya. Oleh karena itu dalam tulisan ini kita juga akan menyoroti lima doa Fransiskus kepada Bunda Maria atau yang menyinggung Maria, yang telah diwariskannya secara tertulis kepada kita, yaitu yang terdapat dalam SalMar; AngTBul XXIII:3; AngTBul XXIII:6; IbSeng Antifon SPM; dan UrBap 7.
Seperti dalam petikan dari riwayat hidupnya, dalam tulisan-tulisannya sendiri, Fransiskus juga menyebut dan/atau menyapa Bunda Maria dengan berbagai gelar. Ia adalah seorang insan yang percaya akan keutuhan. Apa saja yang dilakukan Fransiskus menunjukkan adanya jejak sentuhan kesempurnaan dari orang kudus ini. Sejak hari yang menghebohkan di pelataran keuskupan Assisi di mana dia menelanjangi dirinya sendiri, sampai hari-hari terakhir sebelum wafatnya, ketika dia menyusun ‘Puja-pujian Makhluk-makhluk’ yang mencakup keseluruhan ciptaan sebagai pencerminan kemuliaan Allah, Fransiskus dapat dipandang sebagai seorang pribadi yang berhasrat untuk menjadi wholistic – lengkap. Tanggapannya terhadap panggilan Allah merupakan sebuah tanggapan lengkap. Itulah sebabnya mengapa dalam wasiat yang diminta-tuliskan olehnya pada hari-hari terakhir hidupnya terdapat tulisan sebagai berikut: “… dan sesudahnya aku sebentar menetap, lalu aku meninggalkan dunia” [Was 3].
Bergerak dalam garis ‘keutuhan’ ini, maka persepsi Fransiskus tentang Maria juga bersifat integral: dia melihat Maria sebagai ‘model yang sempurna dan lengkap’, yang pantas diikuti oleh setiap insan Kristiani. Dalam diri Maria, Fransiskus melihat segala kualitas yang dirasakannya sendiri diperlukan untuk menjadi seorang pengikut Kristus yang sempurna. Di bawah kita akan melihat bagaimana Fransiskus memandang Bunda Maria. Kita mulai dengan tulisan-tulisan orang kudus ini sendiri, dan sedapat mungkin mengkaitkan tulisan-tulisan itu dengan apa yang tertulis dalam beberapa riwayat hidupnya yang awal.
Maria adalah Perawan dan Bunda Allah
Secara langsung maupun tidak langsung, lima doa yang disebutkan di atas dan juga beberapa riwayat hidupnya yang awal menunjukkan adanya dua aspek devosi Fransiskus kepada Maria. Yang pertama adalah ‘Maria sebagai Bunda Allah’, dan yang kedua adalah ‘Maria sebagai seorang perawan’. Dengan perkataan lain, Fransiskus mengalami Maria terutama sebagai ‘Perawan Bunda Allah’.[6]
Pada tahapan ini baiklah kita melihat dulu penjelasan alkitabiah dari kedua gelar ini, yaitu ‘perawan’ dan ‘Bunda Allah’. Sebagai perawan, Maria menyediakan diri sepenuhnya bagi Allah, siap untuk memenuhi permintaan apa saja yang diajukan kepadanya oleh Allah. Dalam arti itu, dia secara total memberikan dirinya kepada Allah dengan tulus ikhlas untuk suatu maksud yang unik dan agung. Hal ini dapat dikatakan sebagai a preferential love of God. Mengikuti apa yang dikatakan Henri J. M. Nouwen, menjadi perawan berarti lowong (hampa), lowong bagi Allah (vacare Deo), dalam artinya yang terdalam ‘menciptakan dan melindungi kekosongan (diri) demi Allah’ [lihat GL II, hal 76]. Keperawanan Maria tidak mempunyai ruang lingkup yang lain, tidak mempunyai tujuan lain. Maria tetap seorang perawan agar dapat hidup secara total bagi Tuhan [bdk. 1 Kor 7:32.34]. Contoh Maria sebagai perawan seharusnya dapat menolong para Fransiskan dalam menanggapi secara konkret preferential love of God itu. Yang menanggapi tersebut adalah seorang “… yang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan tinggal bersama-sama dengan dia” [Yoh 14:23].
Selain sebagai perawan, Maria juga adalah Bunda Allah. Ia tidak hanya mengandung sang Sabda, tetapi juga memberikan daging dan darah kepada Sang Penebus. Dalam hubungannya dengan Puteranya, Maria adalah seorang ibu. Tetapi pertanyaannya adalah: “Siapakah ibu-Ku …?” [Mrk 3:33]. “Siapa saja yang melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, saudara-Ku perempuan dan ibu-Ku’ [Mrk 3:35]. Maria adalah seorang insan yang melakukan kehendak Allah, dia menjaga sang Sabda dan dia menghasilkan buah dalam tindakan-tindakannya. Maria sebagai ibu, dipanggil untuk mengadakan umat yang baru, yaitu Gereja, sebuah komunitas mesianis. Ia juga merupakan sebuah lambang pelayanan kasih seturut Mat 25:40. Dalam kehidupan seluruh anggota keluarga Fransiskan pada umumnya dan khususnya dalam hidup selibat para saudara-saudari dari Ordo I, Ordo II, Ordo III Regular dan sebagian dari Ordo III Sekular, Santa Perawan Maria sepatutnya menjadi contoh/model bagi mereka untuk juga menjadi ‘ibu-ibu’ yang menunjukkan kelembutan hati, keterbukaan, penuh perhatian serta berbagi, penuh pengorbanan dalam pelayanan mereka kepada orang-orang lain. Mereka sesungguhnya turut ambil bagian dalam fungsi keibuan Gereja, seperti juga Maria dari Nazaret.
Suster Ann Wemhoff OSF mengatakan dengan tepat sekali, bahwa keyakinan-keyakinan mendalam seseorang seringkali berkembang sejak masa-masa awal kehidupan orang itu [lihat AW, hal. 137]. Thomas dari Celano menulis, bahwa Fransiskus melakukan devosi kepada Maria sebagai Bunda Allah, bahkan pada waktu dia belum mempunyai pengikut-pengikut yang permanen. Selama masa yang penuh kesulitan setelah dia menolak ayahnya di pelataran keuskupan Assisi, seorang teman yang bernama Bernardus dari Quintavalle sering mengundang Fransiskus untuk menginap di rumahnya. Dilihatnya Fransiskus berdoa semalam suntuk, jarang sekali tidur, memuji Allah dan Perawan mulia, Bunda-Nya [lihat 1Cel 24].
Penghormatan yang tinggi dari Fransiskus kepada Santa Perawan Maria Bunda Allah ini tercermin dengan jelas dalam ‘Salam kepada Santa Perawan Maria’: “Salam, Tuan Puteri, Ratu suci, Santa Bunda Allah, Maria” [SalMar 1]. Di sini Fransiskus memberikan kepada Bunda Maria segala kehormatan seperti terungkapkan dalam beberapa gelar yang kita baca tadi, karena dia menilai tentunya, bahwa menjadi Bunda Allah adalah privilese tertinggi bagi seorang insan ciptaan-Nya.
Fransiskus terus mengingatkan para saudaranya, bahwa Tuhan Allah yang baik akan membalas semua orang yang mengikuti jejak Yesus Kristus, dan kita akan menjadi saudara-saudara dan ibu-ibu Yesus hanya apabila kita mentaati perintah-perintah Allah dengan cermat. Maria taat kepada kehendak Bapa surgawi, dan dengan kuasa Roh Kudus dia mengandung Yesus dalam rahimnya. Dengan demikian Maria menjadi Bunda Allah oleh ketaatannya. Bagi Fransiskus, Maria memang adalah contoh/model yang sempurna dari ‘ketaatan’. Maria tidak ragu-ragu untuk mengatakan “ya” terhadap kehendak Allah, sehingga dengan demikian ‘yang tidak mungkin’ di mata manusia menjadi ‘mungkin’: Allah menjadi manusia! Tentang ketaatan ini Fransiskus menulis: “Ketaatan yang suci mengacaubalaukan segala keinginan badan dan daging; dialah yang menjaga agar badan tetap dimatikan untuk patuh kepada roh…” [SalKeut 14-15]. Maria memiliki keutamaan yang dinamakan ‘ketaatan’ ini, sesuatu yang kiranya ‘langka’ dalam kehidupan umat dewasa ini.
Fakta Santa Perawan Maria sebagai Bunda Allah ini sangat menyentuh batin Fransiskus. Hal ini dapat menjelaskan mengapa dia memuliakan Maria dengan menyusun Antifon Santa Perawan Maria sebagai bagian tak terpisahkan dari ‘Ibadat Sengsara Tuhan’. Dalam antifon ini dia memuji-muji Santa Perawan Maria sebagai berikut:
1. Santa Perawan Maria, di antara wanita di dunia tidak dilahirkan seorang pun yang sama dengan dikau. 2. Puteri serta hamba Raja dan Bapa Surgawi Yang Mahatinggi dan Mahaluhur, bunda Tuhan kita Yesus Kristus Yang Mahakudus, mempelai Roh Kudus: doakanlah kami bersama dengan Santo Mikael Malaikat agung dan semua balatentara surga serta semua orang kudus, pada Puteramu terkasih yang mahakudus, Tuhan dan Guru. Kemuliaan kepada Bapa dan Putera dan Roh Kudus seperti pada permulaan, sekarang, selalu dan sepanjang segala abad. Amin. [IbSeng Antifon SPM 1-2].
Bagi Fransiskus, rahim Maria sangatlah suci karena Yesus Kristus datang lewat rahimnya ini, dan Ia merendahkan diri-Nya bagi kita semua. Dalam ‘Petuah-petuah”, Fransiskus menulis sebagai berikut:
“Mengapa kamu tidak mengakui kebenaran dan tidak percaya kepada Putera Allah? Lihatlah, setiap hari Ia merendahkan diri, seperti tatkala Ia turun dari takhta kerajaan ke dalam rahim Perawan. Setiap hari Ia datang kepada kita, kelihatan rendah; setiap hari Ia turun dari pangkuan Bapa ke atas altar di dalam tangan imam” [Pth I: 15-18].
Fransiskus memahami kesucian rahim Maria sehingga dia menamakannya ‘kemah’ atau ‘tabernakel’ yang berisikan tubuh suci Kristus sendiri. Ia menulis dalam ‘Salam kepada Santa Perawan Maria’: “Salam, istana-Nya; salam, kemah (tabernakel)-Nya; salam, rumah-Nya” [SalMar 4]. Fransiskus juga sangat memuliakan Maria sebagai ‘Hawa yang baru’, yang oleh rahmat, telah membuat hubungan antara umat manusia dengan Allah menjadi normal kembali, sekaligus membuka kembali pintu gerbang surga bagi semua orang, jadi membuat keselamatan menjadi mungkin bagi semua orang. “Maria adalah suatu lambang universal pemerdekaan kemanusiaan melalui Allah, yang dimulai dengan Santa Perawan Maria Bunda Allah sendiri” [NC, hal. 108].
Fransiskus menyapa Santa Perawan Maria sebagai Bunda Allah karena dia telah menemukan kasih Allah dan keterlibatan Allah dalam kehidupan manusia demi membimbing dan memimpin umat-Nya di jalan yang benar. Dan, untuk ini Allah membutuhkan seorang ibu yang dapat menampung-Nya dalam rupa seorang anak manusia. Fransiskus melihat, bahwa inkarnasi Allah telah meningkatkan kemanusiaan hingga mencapai ketinggian yang agung serta luhur, dan telah memberikan segalanya yang ada di atas bumi menjadi sungguh sangat bernilai. Sebagai tanggapan, Fransiskus pun kemudian melambungkan puji-pujian dan mengungkapkan rasa syukurnya atas keterlibatan Allah dalam kehidupan manusia dan seluruh ciptaan. Puji dan syukurnya ini terlihat dalam ‘Puja-pujian Makhluk-makhluk’ atau yang biasa kita kenal sebagai ‘Kidung Matahari’ (‘Nyanyian Saudara Matahari’). Jelas Fransiskus sangat menghargai dan menghormati aspek inkarnasional dari iman-kepercayaan Kristiani, yang melaluinya – sekali dan selamanya – Allah mendeklarasikan, bahwa tidak ada sesuatu pun di atas muka bumi yang profan. Ephrem Longpre OFM, dalam tulisannya mengatakan: “Karena keibuan ilahi Maria, maka semua keutamaan suci yang mempermalukan kejahatan dan dosa ditemukan dalam dirinya.” [7]
Maria adalah Bunda yang mulia
Dalam ‘Surat Kedua kepada Kaum Beriman’, Fransiskus menulis:
“Firman Bapa itu, yang begitu luhur, begitu kudus dan mulia, telah disampaikan dari surga oleh Bapa Yang Mahatinggi, dengan perantaraan Gabriel malaikat-Nya yang kudus, ke dalam kandungan Perawan Maria yang kudus dan mulia. Dari kandungannya, firman itu telah menerima daging sejati kemanusiaan dan kerapuhan kita” [2SurBerim 4].
Fransiskus memandang Maria sebagai seorang ibu yang mulia karena Maria tidak hanya memberikan rupa manusia kepada Yesus, tetapi juga karena dia ikut mengambil bagian dalam rekonsiliasi antara Allah dan manusia. Di samping itu Fransiskus mengagumi Santa Perawan Maria, karena kemuliaan seorang ratu nyata ada dalam kesatuannya yang total dengan Puteranya. Ia memperkenankan rohnya bergabung secara total dengan Roh-Nya.
Bagi Fransiskus, kemuliaan Maria sebagai seorang ibu terletak dalam kemurnian hatinya dan pikirannya, seperti disebutkannya dalam ‘Ajakan untuk Memuji Allah’: “Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu” [AjMuj 4]. Maria disucikan oleh Roh Allah sendiri, dan diberikan privilese istimewa ini oleh Allah agar kita semua dapat menyapanya sebagai Bunda Allah yang mulia. Maria secara istimewa dipilih oleh Allah untuk menjalankan sebuah peran unik dalam inkarnasi-Nya. Maria sangat bersedia bekerja sama dengan Allah, dan dia pun kemudian melahirkan kanak-kanak Yesus. Dalam ‘Anggaran Dasar Tanpa Bulla’, Fransiskus mengungkapkan hal ini sebagai berikut:
“Kami bersyukur kepada-Mu karena sebagaimana dengan perantaraan Putera-Mu, Engkau telah menciptakan kami, demikian pula karena kasih-Mu yang kudus, yang telah Engkau berikan kepada kami, Engkau telah membuat Dia, yang sungguh Allah dan sungguh manusia, lahir dari Santa Maria yang tetap perawan, yang mulia dan amat berbahagia; dan oleh salib, darah dan wafat-Nya, Engkau mau menebus kami, orang tawanan” [AngTBul XXIII:3].
AngTBul XXIII: 1-6 adalah sebuah ‘doa dan ucapan syukur’. Ayat terakhir (6) berbunyi:
“Kepada Bunda Maria tetap perawan, yang mulia dan amat berbahagia; kepada Santo Mikael, Gabriel dan Rafael, serta semua rombongan yang berbahagia, serafin, kerubim dan Takhta, pemerintahan, kepangeranan dan kekuasaan, kekuatan, malaikat dan malaikat agung; kepada Santo Yohanes Pembaptis, Yohanes Penginjil, Petrus dan Paulus, para bapa bangsa yang berbahagia, para nabi dan para kanak suci, para rasul, penginjil dan para murid, para martir, pengaku iman dan para perawan, Elias dan Enokh yang berbahagia: kepada semua orang kudus yang pernah ada, akan ada dan kini ada; kepada mereka itu sekalian kami mohon dengan rendah hati demi kasih-Mu, agar mereka, sebagaimana berkenan pada-Mu, mengucap syukur untuk segalanya itu, kepada-Mu, Allah benar yang mahaluhur, kekal dan hidup, bersama dengan Putera-Mu terkasih, Tuhan kami Yesus Kristus, dan Roh Kudus Penghibur sepanjang segala masa. Amin. Haleluya” [AngTBul XXIII:6].
Dari pembacaan seluruh AngTBul XXIII dan khususnya petikan ayat 6 ini jelas terasa, bahwa semua ini adalah doa otentik yang bukan merupakan hasil akal budi belaka dari seorang insan. Ini adalah doa seorang mistikus yang dirinya dipenuhi Roh Allah sendiri. Dan di sini, Bunda Maria disebutkan sebagai yang pertama, lebih dahulu daripada segala makhluk surgawi dan para kudus lainnya. Hal ini tentunya menunjukkan rasa hormat Fransiskus yang begitu tingggi terhadap Bunda Maria, karena baginya Santa Perawan Maria seluruhnya mulia dan dia adalah Ratu segala Keutamaan. Segala keutamaan Maria secara eksplisit diungkapkan dalam ‘Salam kepada Santa Perawan Maria’:
(1) Salam Tuan Puteri, Ratu Suci, Santa Bunda Allah, Maria; Engkau adalah perawan yang dijadikan Gereja, (2) dipilih oleh Bapa Yang Mahakudus di surga, dan dikuduskan oleh Dia bersama dengan Putera terkasih-Nya Yang Mahakudus serta Roh Kudus Penghibur. (3) Dalam dirimu dahulu dan sekarang ada segala kepenuhan rahmat dan segala yang baik. (4) Salam, istana-Nya; salam, kemah-Nya; salam, rumah-Nya. (5) Salam, pakaian-Nya; salam, hamba-Nya; salam, bunda-Nya, (6) serta kamu semua, keutamaan yang suci, yang oleh rahmat dan penerangan Roh Kudus dicurahkan ke dalam hati kaum beriman, untuk membuat mereka yang tidak setia menjadi setia kepada Allah [SalMar 1-6].
Dalam bukunya, seperti telah dikutip di bagian awal tulisan ini, Thomas dari Celano menggambarkan cinta kasih Fransiskus kepada bunda Yesus sebagai ‘tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata karena dialah (= Maria) yang membuat Tuhan Yang Maha Agung menjadi Saudara kita’ [2Cel 198]. Menurut Regis Amstrong OFMCap. dan Ignatius C. Brady OFM,[8] ‘Salam kepada Santa Perawan Maria’ di atas adalah sebuah ‘litani sederhana’ yang menggambarkan peranan Maria dalam rencana penyelamatan Allah. Dalam litani ini digunakan banyak gelar yang dikenal oleh umat Kristiani abad pertengahan, untuk memuji-muji peranan unik Maria. Di sini Fransiskus mempersepsikan dan mengedepankan Santa Perawan Maria sebagai model bagi setiap insan Kristiani yang ‘menanggapi kehadiran Allah yang penuh dengan keutamaan dalam hidupnya’ [RAIB, hal. 149].
Dalam pikiran Fransiskus, Bunda Maria itu mulia, karena dia adalah Bunda Allah dan Bunda Gereja Universal, juga karena dia dipilih dan disucikan oleh Allah Tritunggal. Dan, karena Maria dipenuhi rahmat dan segala keutamaan. Bagi Fransiskus Bunda Maria juga mulia karena dia menyediakan sebuah rumah bagi Yesus dalam rahimnya. Ia adalah ‘bunda Yesus Kristus’ namun pada saat yang sama adalah ‘hamba Sang Raja’. Maria adalah Bunda yang mulia karena – seperti telah dikatakan di atas – dia dikuduskan oleh Allah Tritunggal. Maria adalah seorang saksi atas kehadiran Roh Kudus dalam dirinya. Jadi bagi Fransiskus, Maria adalah saluran rahmat dan semua keutamaan suci bagi orang-orang yang dekat dengan Allah dan setia kepada-Nya.
Menurut catatan Leo Laba Ladjar OFM, dokumen ini merupakan salah satu ‘pujian’ (lauda) Fransiskus yang sampai kepada kita, namun di dalam semua teks, disebut sebagai ‘salam’ (salutatio). Diperkirakan, bahwa Fransiskus mengambil alih ungkapan-ungkapan seperti ‘istana’, ‘kemah’, ‘rumah’ dan lain-lainnya dari teks liturgi yang diketahuinya waktu itu. Kemudian Fransiskus dalam doa-doa meditatifnya, mencernakan berbagai ungkapan tersebut menjadi miliknya sendiri dengan begitu baik, sehingga ‘sumber’-nya tidak lagi dapat diketahui dengan tepat. Namun, justru deretan ungkapan yang begitu konkret tentang misteri Maria sebagai Bunda Allah merupakan petunjuk yang tegas bagi kita untuk menuju kepada Fransiskus yang selalu berpikir secara konkret [lihat LLL, hal.87-88].
Maria adalah Bunda yang suci-murni
Fransiskus melihat Bunda Maria sebagai model kesuci-murnian dan dia berhasrat agar para saudaranya mengambil Bunda Maria sebagai model kesuci-murnian, dalam penghayatan hidup mereka seturut Injil Kristus. Maria adalah model sempurna dari kesuci-murnian karena dia – sejak awal eksistensinya – dipenuhi dengan rahmat Allah. Fransiskus menulis: “Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu’ [AjMuj 4].
Dengan demikian Fransiskus sangat menginginkan, bahwa kita semua dapat menjadi suci-murni seperti Bunda Maria sendiri. Ia menasihati para saudara dalam ‘Surat kepada Seluruh Ordo dengan doa: Allah Yang Mahakuasa’, sebagai berikut:
“Dengarkanlah, Saudara-saudaraku. Kalau Santa Perawan begitu dihormati – dalam hal itu memang pantas – karena dia telah mengandung Yesus di dalam rahimnya yang tersuci; kalau Santo Yohanes Pembaptis gemetar dan tidak berani menjamah ubun-ubun kudus Allah; kalau makam tempat Ia dibaringkan selama beberapa waktu, begitu dihormati: betapa harus suci, benar dan pantaslah orang yang dengan tangannya menjamah-Nya, dengan hati dan mulut menyambut-Nya, serta memberikan-Nya kepada orang lain untuk disambut” [SurOr 21-22].
Fransiskus meminta dengan sangat agar para saudaranya menjaga diri mereka tetap suci-murni di hadapan Allah, sehingga seperti Bunda Maria, mereka dapat membawa Tuhan dalam hati mereka secara layak dan pantas. Ia juga berbicara mengenai sukacita dan kebahagiaan kalau orang itu suci-murni. Marilah kita renungkan apa yang ditulisnya dalam ‘Surat Pertama kepada Kaum Beriman’ sebagai berikut:
“O betapa bahagia dan terberkatilah mereka itu, pria maupun wanita, apabila hal-hal itu mereka lakukan dan terus mereka lakukan dengan tekun; karena Roh Tuhan akan tinggal pada mereka dan Tuhan akan memasang tempat tinggal dan kediaman-Nya pada mereka; maka mereka menjadi anak-anak Bapa Surgawi yang karya-Nya mereka laksanakan; dan menjadi mempelai, saudara dan ibu Tuhan kita Yesus Kristus” [1SurBerim I: 5-7; bdk. 2SurBerim 48-50].
Kemudian Fransiskus melanjutkan dengan memuji-muji para saudaranya yang berjuang untuk menjaga kesuci-murnian hidup mereka, seperti hidup Bunda Maria sendiri. Dalam ‘Surat Kedua kepada Kaum Beriman’, Fransiskus menulis sebagai berikut:
“Kita menjadi mempelai bila jiwa yang setia disatukan dengan Yesus Kristus oleh Roh Kudus. Kita menjadi saudara bila kita melaksanakan kehendak Bapa-Nya yang ada di surga. Kita menjadi ibu bila kita mengandung Dia di dalam hati dan tubuh kita karena kasih dan karena suara hati yang murni dan jernih. Kita melahirkan Dia melalui karya yang suci, yang harus bercahaya bagi orang lain sebagai contoh” [2SurBerim 51-53; bdk. 1SurBerim I: 8-10].
Fransiskus melihat kemurnian Bunda Maria itu bersifat unik tak terbandingkan dan suci secara keseluruhan, mentransenden semua orang, kecuali Yesus Kristus sendiri. Dia mengungkapkannya dengan indah sekali pada ‘Antifon Santa Perawan Maria’ dalam ‘Ibadat Sengsara Tuhan’: “Santa Perawan Maria, di antara wanita di dunia tidak dilahirkan seorang pun yang sama dengan dikau” [Ibseng Antifon SPM 1]. Fransiskus juga mendesak para saudara untuk secara total meniru Bunda Maria, seperti dinyatakan dalam petikan SurOr 21-22 di atas.
Sesuai pengalaman rohaninya sendiri, Fransiskus memandang Bunda Maria sebagai Bunda yang suci-murni, bukan hanya karena dia dipilih oleh Bapa surgawi dan dikuduskan Tritunggal Mahakudus, melainkan juga karena dia melahirkan Kristus dan Gereja [lihat SalMar 1-2]. Para pemikir spiritual dan filsuf memandang aspek kemurnian ini sebagai kualitas yang paling dapat dikagumi dalam diri Bunda Maria, bahkan untuk zaman sekarang seperti dikatakan oleh seorang imam Yesuit terkenal, Teilhard de Chardin: Dunia sangat membutuhkan kemurnian.”[9] Dan kemurnian Maria akan selamanya tegak sebagai sebuah contoh yang bercahaya bagi dunia yang terus berjalan dengan terhuyung-huyung ini [lihat PR, hal. 119].
Maria adalah Bunda Pengantara
Sebagai seorang pengantara, Bunda Maria adalah saluran semua rahmat. Ia menyatukan doa-doanya dengan doa-doa Puteranya dalam menyampaikan permohonan-permohonan semua anaknya. Ia telah membuka pintu gerbang Surga bagi semua orang. Karenanya tidak mengherankanlah apabila Fransiskus menempatkan ‘Antifon Santa Perawan Maria’ dalam ‘Ibadat Sengsara Tuhan’, seakan-akan berfungsi sebagai bingkai sebuah lukisan: “Santa Perawan Maria, di antara wanita di dunia tidak dilahirkan seorang pun yang sama dengan dikau” [IbSeng Antifon SPM 1]. Kita dapat merasakan betapa besarnya pengaruh ‘Antifon’ itu atas devosi para Fransiskan kepada Bunda Maria di sepanjang masa, karena setiap hari mengucapkan dan merenungkannya dalam ibadat harian mereka.
Fransiskus juga memandang Maria sebagai seorang ibu kepada siapa dia mengakukan dosa-dosanya, seperti tertulis dalam salah satu suratnya:
“Selanjutnya aku mengakukan semua dosaku kepada Tuhan Allah, Bapa dan Putera dan Roh Kudus, kepada Santa Maria yang tetap perawan dan kepada semua orang kudus di surga dan di bumi, kepada Saudara H, minister tarekat kita, sebagai tuanku yang terhormat, serta kepada para imam ordo kita dan kepada semua saudara lainnya yang terberkati” [SurOr 38].
Hal ini menunjukkan, bahwa Fransiskus berdoa terus-menerus kepada Bunda Allah, dan devosinya kepada Sang Bunda sungguh tulus adanya [lihat LegMaj III:1]. Dalam ‘Uraian Doa Bapa Kami’ juga terlihat bagaimana Fransiskus tetap sangat mengandalkan Bunda Maria sebagai pengantara:
“Dan ampunilah kesalahan kami: karena belaskasihan-Mu yang tak terperikan, karena daya kekuatan sengsara Putera-Mu yang terkasih, dan karena jasa serta perantaraan Santa Perawan Maria dan semua orang pilihan-Mu” [UrBap 7].
Dalam doanya yang termuat dalam ‘Anggaran Dasar Tanpa Bulla’ terlihat Fransiskus mencari pengantaraan dari Bunda Maria: “Kepada Bunda Maria tetap perawan, yang mulia dan amat berbahagia” [AngTBul XXIII: 6]. Niepeie Coutinho OFM, mengatakan: “Hal ini konsisten dengan spiritualitas Santo Fransiskus. Bagi Fransiskus devosi kepada Santa Bunda Allah adalah yang teratas. Devosinya kepada Maria juga berpengaruh atas kehidupan Santa Klara” [NC, hal. 112]. Demikian pula, Fransiskus ingin sekali agar para saudara juga menjalankan devosi kepada Maria seperti dirinya sendiri. Ia bahkan mempercayakan seluruh Ordo ke tangan Maria, dengan mengangkatnya menjadi Ratu Ordo, karena Fransiskus mengetahui sekali, bahwa semua peristiwa bersejarah di masa lampau selalu terjadi di bawah pengaruh baik dari perlindungan keibuan dari Maria. Peter D. Fehlner[10] menulis, “Maria memegang peranan besar dalam Sejarah Keselamatan dan dalam cara tertentu menyatukan dan mencerminkan dalam dirinya kebenaran iman yang sentral.”
Dengan demikian Fransiskus selalu melihat Santa Perawan Maria sebagai seorang pengantara segala karunia yang baik, karena dia selalu melindungi anak-anaknya yang setia. Dalam penghormatannya kepada Bunda Maria, Fransiskus mengalami Yesus secara lebih penuh, karena dia selalu memimpin anak-anaknya yang setia kepada Puteranya, Yesus [NC, hal 112].
Maria adalah Bunda pembela Ordo
Erat hubungannya dengan peran Maria sebagai Bunda Pengantara, adalah peran Maria sebagai pembela Ordo. Di bagian awal tulisan ini ada petikan dari ‘Riwayat Hidup yang Pertama’ Santo Fransiskus dari Assisi. Sebagian dari petikan itu berbunyi sebagai berikut: “Namun yang sangat menyenangkan kita adalah, bahwa dia membuat Maria sebagai pembela dari ordo dan menempatkan anak-anaknya yang segera akan ditinggalkan olehnya (= Fransiskus) di bawah naungan sayapnya (= Maria), sehingga dia dapat menghargai dan melindungi mereka sampai akhir” [2Cel 198]. Juga dari tulisan Bonaventura: “Sesudah Kristus, dia (= Fransiskus) menaruh kepercayaan sepenuhnya kepadanya (= Maria) dan mengambilnya sebagai pembela bagi dirinya sendiri dan para saudara” [lihat LegMaj IX:3]. Kata Latin yang digunakan oleh Fransiskus adalah advocata, yang dalam bahasa Inggris terkadang diterjemahkan dengan kata ‘patroness’ (pelindung) atau ‘advocate’ (pengacara/ pembela/advokat). Apakah yang dimaksudkan oleh Fransiskus, manakala dia menggunakan gelar advocata ini bagi Maria?
Oktavian Schmucki OFMCap.[11] mengingatkan, bahwa Fransiskus bukanlah orang pertama atau satu-satunya orang yang membuat suatu pilihan sedemikian. Helimand dari Froidmont (+ 1212) memberikan kesaksian, bahwa para rahib Cistercian (Trapis) telah memilih Santa Perawan sebagai advocata ordo mereka. Gelar advocata sudah diterapkan kepada Bunda Allah yang pasti oleh para penulis di abad kesebelas. Misalnya kata itu digunakan oleh Adhemar dari Puy, yang oleh beberapa penulis dinilai sebagai penyusun antifon terkenal Salve Regina dalam mana kita berkata: Eia ergo advocata nostra, illos tuos misericordes oculos ad nos converte (Terjemahan dalam Puji Syukur No. 623: Ya Ibunda, ya ‘penolong’ kami, dengan mata yang memancarkan kasihan pandanglah kami). Schmucki juga percaya, bahwa kata advokat sudah ada dalam pemikiran para penulis abad pertengahan, dan bagi Fransiskus mempunyai dua arti.
Arti yang pertama diambil dari bahasa biblis dan praktek pengadilan. Dalam surat pertama Santo Yohanes kita membaca: “Anak-anakku, hal-hal ini kutuliskan kepada kamu, supaya kamu jangan berbuat dosa. Namun jika seseorang berbuat dosa, kita mempunyai seorang advokat (diterjemahkan sebagai ‘pengantara’) kepada Bapa, yaitu Yesus Kristus yang adil” [1Yoh 2:1; bdk. Ibr 7:25; Rm 8:34]. Ungkapan ini presis sama dengan yang dipraktekkan dalam proses hukum pada masa itu. Seseorang yang dibawa ke pengadilan mencoba secepatnya menyewa seorang pembela bagi dirinya, yang akan meyakinkan sang hakim dengan kefasihan lidahnya agar dapat membebaskan si tersangka tanpa dijatuhi hukuman. Dengan cara yang sama, Yesus Kristus mengetengahi terus-menerus di hadapan Bapa surgawi sebagai pembela demi kepentingan kita yang bersalah karena banyak dosa. Demikian pula halnya dengan Santa Perawan, yang – sebagai mediatrix – dengan rendah hati memohon agar dosa-dosa kita diampuni. Tafsir sedemikian cocok dengan yang ada dalam Salve Regina yang disebutkan di atas. Schmucki juga mengajak kita untuk merujuk kepada tulisan Bonaventura yang sudah dipetik di bagian awal tulisan ini, yaitu “Fransiskus … memanjatkan doa-doa secara terus-menerus kepada dia yang telah mengandung Sang Sabda, penuh rahmat dan kebenaran; dia memohon sangat dengan berurai air mata agar dia (= Maria) sudi menjadi pembelanya” [LegMaj III:1; lihat OS, hal. 213-214].
Arti yang kedua dari kata advocata, menurut Schmucki, tergantung pada penggunaannya di abad pertengahan. Seseorang kadang-kadang dipertimbangkan sebagai seorang advokat, yang sebagai seorang pelindung membawa kasus-kasus sebuah biara ke sebuah pengadilan sipil, dan membela para rahib/rubiah dari kekuatan-kekuatan yang merugikan. Tetapi seringkali para advokat ini justru merugikan hak-hak para pelanggan mereka, bukan membela mereka. Atas dasar alasan inilah, maka para rahib Cistercian dengan sengaja tidak memilih advokat seperti itu, melainkan dengan khidmat memilih Santa Perawan Maria sebagai advocata ordo mereka. Bagi Fransiskus, yang sepenuhnya dan dengan sukarela telah menolak semua hal duniawi, maka perlindungan dari seorang advokat surgawi, hanya mempunyai suatu arti spiritual, seperti dimohonkannya kepada dia (Maria) agar diberikan pertolongan ilahi terhadap bahaya bagi tubuh dan jiwa [lihat OS, hal. 214].
Di samping itu, tulis Schmucki [OS, hal. 214-215], kata advokat kadang-kadang berarti seseorang, yang sebagai penjaga, mengadministrasikan dan menjaga urusan seorang yatim-piatu. Dalam dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pokok ini disebutkan terdapat para perempuan yang melakukan fungsi ini dan dipanggil sebagai advocata. Menurut pemahaman kata ini, Bunda Allah tersuci adalah ibunda yang paling bermurah hati dari semua ibu, yang dengan pertolongannya yang teguh melindungi kita terhadap bahaya-bahaya bagi tubuh dan jiwa kita, yaitu para yatim-piatu yang telah dikepung dari segala penjuru. Hal ini cocok dengan kata-kata yang ditulis oleh Thomas dari Celano: “Namun yang sangat menyenangkan kita adalah, bahwa dia membuat Maria sebagai pembela dari ordo dan menempatkan anak-anaknya yang segera akan ditinggalkan olehnya (= Fransiskus) di bawah naungan sayapnya (= Maria), sehingga dia dapat menghargai dan melindungi mereka sampai akhir” [2Cel 198]. Sebagai Fransiskan, kita sudah terbiasa mempersembahkan diri kita dan ordo kita kepada Maria sebagai pelindung yang sangat murah hati. Dengan penuh kemauan kita pun akan mengulangi doa yang menyusul tulisan di atas: “Salam, O pembela kaum miskin! Penuhilah bagi kami jabatan pelindung sampai waktu yang ditentukan oleh Bapa” [2Cel 198].
Bunda Maria yang rendah dan miskin seperti Puteranya, sebagai contoh yang harus ditiru di samping Yesus sendiri
Di samping perendahan diri dan kemiskinan Yesus, Fransiskus sangat mengagumi dan pada saat yang sama menghormati kemiskinan Santa Perawan Maria Bunda Allah. Dalam pikiran Fransiskus, seperti Yesus, Maria memilih untuk menjadi miskin, sehingga dirinya dapat dipenuhi dengan kekayaan Allah, seperti dikatakannya secarai tertulis dalam ‘Surat Kedua kepada Kaum Beriman’:
“Firman Bapa itu, yang begitu luhur, begitu kudus dan mulia, telah disampaikan dari surga oleh Bapa Yang Mahatinggi, dengan perantaraan Gabriel malaikat-Nya yang kudus, ke dalam kandungan Perawan Maria yang kudus dan mulia. Dari kandungannya, firman itu telah menerima daging sejati kemanusiaan dan kerapuhan kita. Dia, sekalipun kaya melampaui segala-galanya mau memilih kemiskinan di dunia ini, bersama bunda-Nya, perawan yang amat berbahagia” [2SurBerim 4-5].
Fransiskus sedemikian tersentuh oleh cara Bunda Maria menghayati hidup kemiskinannya: betapa rendah dan miskinnya Maria pada saat melahirkan Tuhan Yesus di Betlehem; betapa miskinnya dia ketika menyaksikan Puteranya tergantung di kayu salib di Kalvari; dan betapa penuh devosinya pada cita-cita Kerajaan Surga, karena cinta kasihnya yang besar kepada Yang Ilahi. Kemiskinan hidup sang Bunda sungguh menyentuh hati Fransiskus, sehingga dia menghimbau agar semua saudaranya harus tetap setia kepada Tuan Puteri Kemiskinan, seperti ditunjukkan oleh hidup Maria sendiri. Tidak lama sebelum wafatnya, di kota Siena Fransiskus menyuruh-tuliskan sebuah wasiat yang berbunyi. Karena wasiat ini cukup pendek, maka akan dipetik seluruhnya seperti berikut ini:
(1) Tulislah betapa aku memberkati semua saudaraku, baik yang kini ada dalam tarekat maupun yang akan datang, sampai akhir zaman … (2) Karena lemah dan terlalu sakit, aku tidak mampu berbicara; maka secara singkat aku ingin menyampaikan pesanku yang terakhir kepada saudara-saudaraku dengan tiga patah kata ini, yakni (3) hendaklah mereka selalu mengasihi, sebagai tanda peringatan akan berkat dan perjanjianku; (4) hendaklah mereka selalu mengasihi dan mengabdi Tuan Puteri kita, kemiskinan yang suci; (5) dan hendaklah mereka selalu setia dan patuh kepada para pejabat serta semua rohaniwan Bunda Gereja yang kudus [WasSiena 1-5].
Tiga patah kata (ayat 3, 4 dan 5) yang dikemukakan Fransiskus sungguh merupakan gagasan pokok kehidupan ordonya, yang diinginkannya agar juga dijaga untuk masa depan persaudaraannya. Juga urutannya memperlihatkan pentingnya hal yang dinyatakan: cinta kasih persaudaraan, kemiskinan, ketaatan kepada Gereja. Catatan dari Leo Laba Ladjar OFM menekankan, bahwa justru ketiga pokok inilah yang sepantasnya mendapat perhatian sebesar-besarnya dalam menilai keinginan dan pesan akhir Fransiskus [LLL, hal. 50-51].
Dedikasi Fransiskus dalam mencontoh kerendahan dan kemiskinan Yesus dan Ibunda-Nya sungguh bukan isapan jempol. Dalam ‘Kisah Tiga Sahabat’ kita dapat membaca yang berikut ini:
Ketika pada suatu saat ia duduk bersama orang-orang dunia di meja makan di mana dihidangkan makanan yang lezat-lezat, ia makan sedikit saja dengan alasan supaya tidak kelihatan sedang berpuasa. Ketika hanya berada bersama para saudara, dia akan menaburi abu di atas makanannya, mencoba untuk menyembunyikan pertobatannya dengan mengatakan, bahwa Saudara Abu itu murni. Sekali peristiwa, selagi makan bersama, seorang saudara mengatakan bahwa Santa Perawan begitu miskinnya, sehingga tidak dapat menghidangkan apa-apa bagi Puteranya Tuhan Kita. Mendengar hal itu, Fransiskus mengeluh, begitu sedihnya dan serta-merta meninggalkan meja makan, kemudian makan rotinya sambil duduk di lantai [K3S, 15].
Bonaventura juga melukiskan sebuah episode – yang susah-terlupakan – dalam kehidupan Fransiskus yang menghayati hidup kemiskinan seturut contoh kemiskinan Yesus dan bunda-Nya sebagai berikut:
Pada suatu hari komunitas di Santa Maria dari Portiuncula berada dalam keadaan kekurangan besar, sehingga mereka tidak dapat menawarkan sesuatupun kepada para saudara yang datang bertamu. Wakilnya (vikaris) menghampirinya dan mengatakan kepadanya betapa jelek keadaan mereka dan minta kepadanya agar mereka boleh menahan sejumlah barang yang dibawa oleh mereka yang bergabung dengan Ordo, sehingga para saudara dapat menggunakannya pada saat timbul kebutuhan mendesak. Di bawah bimbingan ilahi, Fransiskus menjawab: “Saudaraku yang baik, Allah melarang kita harus berdosa melawan Anggaran Dasar demi seseorang. Aku lebih suka melihat kamu mengosongkan altar Tuan Puteri (Maria), daripada membiarkan kamu melakukan dosa yang kecil sekalipun terhadap kaul kemiskinanmu atau upayamu untuk menepati Injil. Santa Perawan Maria akan lebih senang melihat altarnya kosong dan nasihat Injili ditepati secara sempurna, daripada mendapatkan altarnya didekorasi secara layak namun nasihat Puteranya dilanggar, yang telah kita janjikan untuk ditepati [LegMaj VII:4; bdk. 2Cel 67].
Menghayati hidup kerendahan dan kemiskinan Yesus, Maria dan para murid-Nya serta solidaritas dengan orang kecil-miskin ditekankan oleh Fransiskus dalam ‘Bagian-bagian suatu Anggaran Dasar Tanpa Bulla yang lain’ seperti berikut ini:
“Saudara semuanya haruslah berusaha mengikuti kerendahan dan kemiskinan Tuhan kita Yesus Kristus dan hendaklah mereka ingat, bahwa dari segalanya di dunia ini tidak ada yang perlu kita miliki, kecuali – seperti kata rasul – makanan dan pakaian, dan cukuplah itu untuk kita. Mereka harus bersukacita, apabila mereka hidup di tengah orang-orang jelata dan yang dipandang hina, orang yang miskin dan lemah, orang sakit dan orang kusta serta pengemis di pinggir jalan. Bila perlu, hendaknya mereka pergi minta sedekah. Janganlah mereka merasa malu, karena Tuhan kita Yesus Kristus, Putera Allah yang hidup dan yang mahakuasa, membuat wajah-Nya bagaikan batu yang terkeras dan tidak merasa malu. Ia menjadi miskin dan penumpang serta hidup dari sedekah, baik Dia sendiri maupun Santa Perawan Maria, bunda-Nya, serta murid-murid-Nya. Apabila orang menistakan mereka dan tidak memberi kepada mereka, maka hendaklah mereka mengucap syukur kepada Tuhan, sebab dari penistaan itu mereka akan mendapat kehormatan besar di depan pengadilan Tuhan kita Yesus Kristus” [AngTBul Bag I:73-78].
Dalam pandangan Fransiskus, baik Yesus, Bunda Maria serta para murid belajar hidup miskin dan tidak memilih kemewahan atau hidup serba-ada, agar dapat secara total bergantung kepada Allah untuk segala kebutuhan mereka.
Semangat belarasa Fransiskus terhadap orang-orang miskin, yang sakit serta ‘wong cilik’ dalam masyarakat sudah tertanam dalam dirinya sejak tahun-tahun awal pertobatannya. Semua ini didasarkan pada belarasanya yang besar terhadap Kristus dan Bunda-Nya yang menderita, dan juga hasratnya yang mendalam untuk meniru mereka. Bonaventura menceritakan, bagaimana Fransiskus bereaksi ketika seorang saudaranya bersikap kurang berbelarasa terhadap seorang pengemis. Mendengar tentang hal itu dia memerintahkan saudaranya itu untuk menanggalkan jubahnya demi kasihnya kepada orang miskin, dan bersujud di depan kaki orang miskin itu, mengakui kesalahannya dan mohon doa-doa dan pengampunan darinya. Dengan rendah hati sang saudara mentaati, dan kemudian dengan lembut hati Fransiskus berkata: “Saudaraku, kalau kamu melihat seorang pengemis, kamu sebenarnya melihat cerminan Tuhan kita dan Ibunda-Nya yang miskin. Apabila kamu melihat seorang sakit, ingatlah akan segala sakit yang ditanggung-Nya.” Fransiskus melihat gambar Kristus dalam setiap orang miskin yang ditemuinya, dan dia siap untuk memberikan kepada mereka segala sesuatu yang dimilikinya, bahkan apabila dia sendiri pun mempunyai kebutuhan mendesak akan hal itu. Ia bahkan percaya bahwa mereka mempunyai hak atas derma sedemikian, seakan-akan milik mereka sendiri [lihat LegMaj VIII:5; bdk. 2Cel 85].
Di atas telah kita lihat bagaimana dalam tulisan-tulisannya, Fransiskus (juga Santa Klara) memberi penekanan pada ‘kerendahan dan kemiskinan’ Maria, dua keutamaan yang juga terasa menonjol dalam ‘Kidung Maria’ atau Magnificat [Luk 1:46-55]. Kondisi tidak memiliki apa-apa menciptakan suatu kekosongan total dalam jiwa seseorang. Dalam hal Maria, ‘kekosongan’ ini dipenuhi dengan karunia Roh Kudus, dan dia pun mengandung dalam dirinya Yesus sendiri secara fisik. Dalam hal Fransiskus, Klara dan murid-murid lainnya, meditasi atas misteri-misteri kehidupan Kristus memampukan Roh Kudus memenuhi ‘kekosongan’ yang ada dalam diri masing-masing dengan kehadiran spiritual dari Kristus. Jadi, setiap kita yang dengan ketulusan hati mengikuti ‘kerendahan dan kemiskinan’ yang secara bersama kelihatan, baik dalam hidup Yesus maupun Maria, akan mengalami kekosongan yang memperkenankan Allah penuhi dengan ‘pemberian’ atau ‘karunia’-Nya yang paling baik, yaitu Kristus sendiri. Hal ini diungkapkan demikian baiknya dalam ‘Kidung Maria’ yang disebutkan tadi. “Pemahaman dan praktek jalan kerendahan dan kemiskinan Maria memampukan Fransiskus menjadi hamil dengan Yesus atau mengandung-Nya dalam hatinya” [PS, hal. 254; bdk. LD, hal. 135].
Dalam permenungannya mengenai perendahan diri dan kemiskinan Yesus, Fransiskus merasa diundang untuk meniru jalan perendahan diri dan kemiskinan Tuhan Yesus itu, yaitu pada waktu inkarnasi menjadi manusia dan juga perendahan yang diperbaharui-Nya setiap hari dalam Ekaristi:
“Lihatlah, setiap hari Ia merendahkan diri, seperti tatkala Ia turun dari takhta kerajaan ke dalam rahim Perawan. Setiap hari Ia datang kepada kita, kelihatan rendah; setiap hari Ia turun dari pangkuan Bapa ke atas altar di dalam tangan imam” [Pth I:16-18].
Dedikasi total Fransiskus kepada Yesus Kristus dan Bunda Maria masih jelas terasa, bahkan pada saat-saat menjelang wafatnya, seperti dapat kita baca dalam ‘Pesan Akhir untuk Santa Klara’: “Aku, Saudara Fransiskus, orang kecil ini, mau mengikuti hidup dan kemiskinan Tuhan kita Yesus Kristus Yang Mahatinggi serta ibu-Nya yang tersuci, dan mau bertekun di dalamnya hingga akhir.” [PesAkh 1]. Di hari-hari akhirnya, kita dapat merasakan betapa Fransiskus masih merasa risau agar cita-citanya dijaga dan dihayati, dalam hal ini: cita-cita untuk menghayati hidup rendah dan miskin Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria [bdk. LLL, hal. 45].
Maria adalah perawan yang dijadikan Gereja
Sang perawan dari Nazaret dijadikan Gereja Perjanjian Baru. Dalam ‘Salam kepada Santa Perawan Maria’, Fransiskus menegaskan doktrin kuno tentang Maria: “Salam, Tuan Puteri, Ratu Suci, Santa Bunda Allah, Maria; Engkau adalah perawan yang dijadikan Gereja” [SalMar 1]. Regis Amstrong OFMCap. dan Ignatius C. Brady OFM mengatakan, bahwa baris-baris pertama doa ini menunjukkan pengaruh dari tradisi Maria sebelumnya yang diwarisi juga oleh Fransiskus. Namun ungkapan ‘Engkau adalah perawan yang dijadikan Gereja’ (quae es virgo ecclesia facta) merupakan sebuah ungkapan luar biasa – yang nyaris melampaui pemikiran pada zamannya. Gambar-gambar Maria dan Gereja memang dikaitkan bersama dalam literatur spiritual abad pertengahan, namun tidak diungkapkan setajam yang dilakukan oleh Fransiskus [RAIB, catatan kaki no. 2 pada hal. 149].[12] Pemikiran yang sejalan dengan ini adalah dari Seamus Mulholland OFM [lihat SM, hal. 152-153].
Jelas hal ini telah menemukan sebuah tempat yang unik dalam devosi Fransiskus kepada Bunda Maria dan kepercayaannya pada umumnya. Bagaimana sang Perawan dijadikan Gereja? Siapakah Sang Perawan ini? Asal-usul Perawan ini? Kitab Suci menunjukkan, bahwa Allah mempersiapkan suatu umat untuk kedatangan-Nya. Banyak yang tidak setia kepada-Nya dan perjanjian-Nya, namun ada sejumlah orang setia sebagai ‘sisa’ yang dinamakan anawim, yaitu orang-orang miskin Yahwe. Mereka miskin karena mereka hanya memiliki Allah dan hikmat-Nya. Pada akhirnya, muncullah dari tengah-tengah kaum anawim ini, seorang perempuan dari Nazaret, yaitu Maria. Tanggapan “ya” dari Maria memberikan indikasi yang pasti untuk suatu masa depan yang berpengharapan sehubungan dengan kelahiran suatu umat Allah yang baru, anawim yang baru, yaitu Gereja.
Melalui ‘keperawanannya yang berbuah’ inilah, Maria sang Perawan, dijadikan umat Allah yang baru, yaitu Gereja. Maria menolong terciptanya suatu kemanusiaan yang baru. Dapat dikatakan, bahwa “ya”-nya Maria adalah Gereja, Gereja adalah “ya” bagi Allah. Gereja adalah perawan sepanjang dia adalah sebuah ‘ruang kosong’ bagi Allah, yang tidak melekat pada kekuasaan, kepemilikan dan posisi apa pun, dan dicopot dari setiap hal yang membuat tindakan mendengar, melepaskan dan memberi menjadi tidak mungkin. Gereja adalah juga Bunda seperti Maria dari Nazaret sepanjang dia menciptakan suatu kemanusiaan yang baru di atas bumi, sebuah masyarakat baru yang turut serta dalam “kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita” [GS 1].[13] Melalui kemurnian kitalah maka kita menciptakan suatu kemanusiaan yang baru, suatu hubungan yang baru berdasarkan inspirasi Injil. Dengan demikian setiap saudara dan saudari dalam keluarga besar Fransiskan adalah ‘perawan yang dijadikan Gereja’ hari ini [untuk uraian terinci, lihat GL II, hal. 77-78].
Kehormatan yang diberikan kepada Maria oleh Gereja dalam berbagai ibadatnya adalah karena perannya dalam inkarnasi ‘Sabda menjadi daging’ atau ‘Fiman telah menjadi manusia’ [lihat Yoh 1:14]. Maria menjadi fokus dalam banyak pertemuan jemaat. Maria dipandang sebagai ‘Hawa yang baru’ yang membantu Yesus Kristus, Adam yang baru, memperbaiki hubungan antara umat manusia dengan Allah. Bagi Fransiskus, Maria memainkan suatu peran yang vital dalam karya keselamatan dan juga dalam pembentukan Gereja. Dengan demikian Maria adalah lambang Gereja, malah adalah Gereja itu sendiri. Dengan mengakui keterlibatan Maria manakala kita berbicara mengenai Gereja, maka kita pun diingatkan pada sebuah kenyataan, bahwa Gereja atau ‘komunitas iman’ bukanlah sekadar sebuah komunitas dalam masa kini, tetapi merupakan komunitas yang berlanjut sejak dua milenia yang lalu. Karena kesetiaannya dan iman-kepercayaannya akan kedatangan Mesias, maka Maria memang merupakan personifikasi terbaik dari Gereja, yaitu Israel yang baru, ‘Israel mesianis’. Suatu praktek devosi kepada Maria yang sehat dalam Gereja akan menstimulir lahirnya suatu humanisasi total dalam lingkungan Gereja. Maria adalah model kekudusan Gereja. Bagi Fransiskus, Maria terus bertumbuh dalam rahmat, dengan demikian ia adalah model bagi Gereja dan seluruh anggotanya, yaitu mereka yang setia kepada Tuhan [lihat NC, hal. 115].
Maria adalah Hamba Tuhan
“Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” [Luk 1:38]. Sang Perawan dari Nazaret, yang mengatakan “ya” kepada Allah yang diwakilkan oleh malaikat-Nya, sesungguhnya hanyalah seorang gadis miskin yang menyebut dirinya ‘hamba Tuhan’ yang sepenuhnya menyediakan dirinya untuk melayani Allah dan sesama. Dalam antifon Santa Perawan Maria pada ‘Ibadat Sengsara Tuhan’, kita membaca yang berikut ini:
“Santa Perawan Maria, di antara wanita di dunia tidak dilahirkan seorang pun yang sama dengan dikau. Puteri serta hamba Raja dan Bapa Surgawi Yang Mahatinggi dan Mahaluhur, bunda Tuhan kita Yesus Kristus Yang Mahakudus, mempelai Roh Kudus” [IbSeng Antifon SPM 1-2].
Dari petikan ini kelihatan, bahwa Fransiskus memandang posisi khas Maria sebagai seorang insan: Maria adalah hamba Allah, yang adalah ‘Raja dan Bapa Surgawi Yang Mahatinggi dan Mahaluhur’, namun sekaligus Maria adalah bunda Tuhan kita Yesus Kristus Yang Mahakudus. Karena Maria memberikan fiat-nya terhadap kehendak Allah, maka dia pun menjadi mempelai Roh Kudus dan sebagai konsekuensinya dia pun mengandung Yesus dalam rahimnya.
Jadi, dengan mengatakan “ya” kepada Allah, Maria siap untuk melaksanakan tugas yang teramat sulit, yaitu menyediakan dirinya untuk suatu tindakan Allah yang teramat agung, yaitu ‘inkarnasi’ Allah di dunia [lihat Luk 1:26-38]. Untuk itu semua, Maria tidak menjadi angkuh dan sombong, melainkan merendahkan dirinya sampai tingkat kehina-dinaan yang sejati, sampai kepada martabat manusia yang sesungguhnya, dirinya sendiri yang sejati. Pada tahapan ini baiklah kita mengingat apa yang ditulis oleh Bapak Serafik kita:
“Berbahagialah hamba, yang tidak menganggap dirinya lebih baik apabila ia dipuji dan dihormati orang, daripada apabila dipandang hina, bodoh dan nista. Sebab, seperti apa nilai seseorang di hadapan Allah, begitulah nilai orang itu dan tidak lebih” [Pth XIX: 1-2].
Fransiskus memahami benar sikap Maria pada waktu dikunjungi Malaikat Gabriel dan momen-momen dalam hidupnya setelah peristiwa itu: seperti apa nilai seseorang di hadapan Allah, begitulah nilai orang itu dan tidak lebih!
Maria menjadi model seorang hamba Tuhan yang sejati bagi Fransiskus. Misalnya, antara lain Maria selalu siap menolong orang yang memerlukan pertolongan[14] [lihat misalnya Luk 1: 39-56]; dia adalah seorang hamba yang menerima dengan penuh ketaatan otoritas Tuannya, yaitu Allah sendiri [Luk 1:38]; dia mendengarkan dengan penuh perhatian keluhan orang dan bertindak guna memberikan pertolongan dengan membawakan keluh kesah orang kepada Puteranya [Yoh 2:1-11]; seperti seorang hamba, Maria lebih banyak mendengarkan dan merenungkan dalam hati apa yang dialaminya daripada berbicara [lihat Luk 2:19; 2:51]. Segala suasana hati, ucapan kata, sikap dan tindak-tanduk Maria seperti tercermin dalam Injil merangkum semua karakteristik yang diperlukan bagi seseorang yang hendak melakukan karya kerasulan atau pelayanan guna membangun Kerajaan Allah. Oleh karena itulah Fransiskus (dan juga Klara) meniru Maria ini sebagai Hamba Tuhan yang sejati serta membuatnya menjadi pola kehidupannya, dan dia pun menghendaki agar para pengikutnya melakukan hal yang sama.
Catatan Penutup
Pada bagian akhir tulisan ini, baiklah kita mengingat sebuah ‘pepatah’ dalam bahasa Latin: De Maria nun quam satis, artinya ‘tidak pernah orang dapat mengatakan cukup tentang Maria’. Pepatah ini lagi-lagi membuktikan kebenarannya dalam hal tulisan ini. Tulisan ini mencoba menggambarkan secara relatif singkat hidup devosional Fransiskus kepada Bunda Maria, lewat bacaan-bacaan dan permenungan atas hidup orang kudus ini seperti dilukiskan dalam beberapa riwayat hidupnya yang awal, dan juga berdasarkan tulisan-tulisannya sendiri, termasuk doa-doanya.
Menurut pemahaman Fransiskus tugas Maria adalah untuk melanjutkan kegiatan Allah memerdekakan umat manusia di dunia. Maria telah memberikan persetujuan (fiat)-nya secara bebas terhadap kehendak Allah dan nyata bahwa dia taat kepada Allah, oleh karena itu penyelamatan umat manusia menjadi mungkin. Dengan demikian di mata Fransiskus, Maria adalah personifikasi Gereja yang terbaik, karena kesetiaannya dan kepercayaannya akan Yesus sebagai Kristus atau Mesias. Maka bagi Fransiskus, Maria melambangkan penyelamatan segenap umat manusia, namun Maria tidak pernah dilihatnya sebagai berdiri sendiri. Fransiskus selalu memandang Maria yang dikaitkannya dengan Allah, Kristus dan juga umat manusia.
Dari tulisan-tulisannya dan beberapa riwayat hidupnya yang awal, jelas kelihatan bahwa devosi Fransiskus kepada Bunda Maria memang luarbiasa, namun tidak pernah ‘kebablasan’ menjadi ‘penyembahan’ layaknya kepada Allah sendiri (latria), artinya tidak pernah menjadi Mariolatry. Devosi Fransiskus kepada Bunda Maria tetap merupakan penghormatan (dulia), akan tetapi pada tingkat yang istimewa, yang secara klasik disebut hyperdulia.[15] Seamus Mulholland OFM, mengatakan, bahwa dilihat dari tulisan-tulisannya, maka visi Fransiskus tentang Maria malah cukup selaras dengan ajaran Konsili Vatikan II [SM, hal.151].
Bagi Fransiskus, Maria adalah seorang perawan dan Bunda Allah, penuh kemuliaan, suci-murni secara total, contoh sempurna seorang hamba Tuhan yang penuh ketaatan kepada kehendak Allah, rendah dan miskin seperti Puteranya sehingga peri kehidupannya harus ditiru, dan Maria adalah satu-satunya Ratu yang dipenuhi rahmat dan segala keutamaan; dia adalah Perawan yang dijadikan Gereja. Singkatnya, bagi Fransiskus, Maria adalah ‘Bunda segala kebaikan’ [lihat 1Cel 21]. Oleh karena itu dia mempraktekkan devosi kepada Bunda Maria secara luarbiasa dan memanjatkan doa-doanya kepada Maria sebagai Bunda Pengantara dan Pembela Ordo [lihat LegMaj III:1]. Para penulis riwayat hidupnya yang awal melaporkan, bahwa Fransiskus sangat mengasihi Maria dengan cinta kasih yang tak terkatakan, karena oleh Maria-lah Tuhan yang Maha Agung menjadi Saudara kita, dan melalui dialah kita memperoleh belaskasihan Allah [2Cel 198; bdk. LegMaj IX:3].
Di awal tulisan ini penulis mengatakan, bahwa kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih jernih tentang relasi unik antara Fransiskus dengan Maria, apabila kita dapat menentukan bagaimana dia mengalami pengaruh Maria dalam kehidupan spiritualnya. Semoga dari tulisan ini kita semua dapat sampai kepada pemahaman yang lebih jernih tentang relasi unik antara Fransiskus dengan Maria, meskipun harapan ‘suci’ ini hanya tercapai sedikit saja. Jangan pernah lupa: De Maria numquam satis – pemikiran, penulisan, pembahasan dan lain-lainnya tentang Maria tidak pernah akan cukup, tidak pernah akan memadai. Demikian pula halnya dengan tulisan ini.
Daftar Pustaka
1. Regis J. Amstrong OFMCap. & Ignatius C. Brady OFM (Preface by John Vaughn, OFM), FRANCIS AND CLARE – THE COMPLETE WORKS, Bangalore, India: Franciscan Institute of Spirituality India (FISI), Peace Publications No. 4, 1992. [RAIB]
2. Santo Bonaventura, RIWAYAT HIDUP ST. FRANSISKUS – KISAH BESAR (Terjemahan Pater Y. Wahyosudibyo, OFM), Jakarta: Sekafi, 1990.
3. St. Bonaventure, THE LIFE OF ST. FRANCIS OF ASSISI (From The Legenda Sancti Francisci – Edited, with a Preface, by Cardinal Manning), Rockford, Illinois: Tan Books and Publishers, Inc., 1867/1925/1988.
4. Thomas dari Celano, ST. FRANSISKUS DARI ASISI (Riwayat Hidup yang Pertama & Riwayat Hidup yang Kedua (sebagian) – terjemahan P.J. Wahjasudibja OFM), Jakarta: Sekafi, 1981.
5. Thomas of Celano, SAINT FRANCIS OF ASSISI (First and Second Life of St. Francis with selections from The Treatise on the Miracles of Blessed Francis – Translated from the Latin with introduction and footnotes by Placid Hermann, OFM), Chicago, Illinois: Franciscan Herald Press, 1988.
6. Niepeie Coutinho OFM, MARY IN THE WRITINGS OF ST. FRANCIS OF ASSISI, TAU-Review on Franciscanism, Vol. XII – No. 4, December 1987, Bangalore, India: Franciscan Publications, hal. 106-116. [NC]
7. Larry Dunphy OFM, MARY, A MODEL FOR FRANCISCAN SPIRITUALITY, The Cord, Vol. 38, No. 5, May 1988, St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute, St. Bonaventure University, hal. 131-139. [LD]
8. Marion A. Habig OFM (Editor), ST. FRANCIS OF ASSISI – WRITINGS AND EARLY BIOGRAPHIES (English Omnibus of the Sources for the Life of St. Francis), Quency, Illinois: Franciscan Press, Quincy College, 1991. [OMNIBUS]
9. R. Hardawiryana, SJ (Penterjemah), DOKUMEN KONSILI VATIKAN II, Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI/Obor, 1993.
10. Leo Laba Ladjar OFM (Pembuat terjemahan, Pengantar dan Catatan), KARYA-KARYA FRANSISKUS DARI ASISI, Jakarta: Sekafi, Cetakan Pertama (setelah pembaruan 2001), 2001. [LLL]
11. Gerry Lobo OFM, MOTHER OF GOODNESS, TAU-Review on Franciscanism, Vol. XII – No. 4, December 1987, Bangalore, India: Franciscan Publications, hal. 102-105. [GL I]
12. Gerald Lobo OFM, MARY OF NAZARETH: A LIVING REMINDER TO RELIGIOUS, TAU-Review on Franciscanism, Vol. XVII – No. 2, June 1992, Bangalore, India: Franciscan Publications, hal. 74-78. [GL II]
13. Mark Miravalle, STD, INTRODUCTION TO MARY – THE HEART OF MARIAN DOCTRINE AND DEVOTION, Santa Barbara, CA: Queeship Publishing Company, 1993. [MM]
14. Séamus Mulholland OFM, OUR LADY IN THE WRITINGS OF ST. FRANCIS, The Cord, Vol. 41, No. 5, May 1991, St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute, St. Bonaventure University, hal. 150-155. [SM]
15. Prasad Reddy OFM, FRANCIS AND THE ENDURING VALUE OF MARY’S VIRTUES, TAU-Review on Franciscanism, Vol. XII – No. 4, December 1987, Bangalore, India: Franciscan Publications, hal. 117-119, 128-129. [PR]
16. Bernardine Russel, ST. FRANCIS AND THE MOTHER OF GOD, TAU-Review on Franciscanism, Vol. III – No. 2, July 1978, Bangalore, India: Franciscan Publications, hal. 62-65. [BR]
17. Oktavian Schmucki OFMCap., ST. FRANCIS’ DEVOTION TOWARD THE BLESSED VIRGIN MARY, Greyfriars Review, Vol. 5, No. 2, 1991, St. Bonaventure, NY: c/o Franciscan Institute, St. Bonaventure University, hal. 201-232. [OS]
18. Peter Schneible OFM, VIRGIN MADE CHURCH: HOLY SPIRIT, MARY, AND THE PORTIUNCULA IN FRANCISCAN PRAYER, The Cord, Vol. 44, No. 9, September 1994, St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute, St. Bonaventure University, hal. 250-256. [PS]
19. Ann Wemhoff OSF, SAINT FRANCIS’ DEVOTION TO MARY, The Cord, Vol. 44, No. 5, May 1994, St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute, St. Bonaventure University, hal. 136-140. [AW]
*)Seorang Fransiskan sekular, tinggal di Jakarta. Jakarta, Hari Minggu Paskah ke V, 20 April 2008.
[1] Kutipan dari S. Lopez, El Tema Mariano en los Escritos de Francisco de Asis, SELECCIONES DE FRANCISCANISMO,XVI (1987), hal. 171.
[2] Ini adalah terjemahan penulis yang digunakan untuk kata ‘advocate’ dalam bahasa Inggris atau ‘advocata’ dalam bahasa Latin. Yang biasa digunakan dalam terjemahan-terjemahan Indonesia sebelumnya adalah ‘pembicara yang baik’.
[3] Terjemahan dari teks bahasa Inggris yang ada dalam OMNIBUS oleh Placid Hermann OFM; teks asli adalah dalam bahasa Latin.
[4] Tentang Portiuncula ini dan posisi serta perannya dalam spiritualitas Fransiskus, Klara dan para Fransiskan pada umumnya, akan dibahas secara lebih terinci dalam tulisan lain yang terpisah, namun berkaitan sangat erat dengan tulisan ini.
[5] Dari terjemahan dalam bahasa Inggris yang terdapat dalam OMNIBUS oleh Paul Oligny OFM yang bersumberkan terjemahan Perancis dari bahasa Latin oleh Benen Fahy OFM dengan introduksi oleh Damien Vorreux OFM.
[6] Berikut ini adalah catatan Pater Bernardine Russel yang baik untuk kita ketahui. Di masa setelah Fransiskus, kalau kita mempelajari devosi Fransiskan kepada Bunda Maria, maka dapat dilihat adanya dua ide yang dominan, yaitu devosi kepada Maria Bunda Allah dan devosi kepada Maria tak bernoda (Maria Immaculata). Namun yang lebih tepat adalah, bahwa hanya ada satu ide dominan saja, yaitu Maria sebagai Bunda Allah. Karena dari rahmat Keibuan ilahinya mengalirlah semua rahmat lainnya yang diberikan kepada Maria – terkandungnya tanpa noda, keperawanannya, martabatnya sebagai ratu. Kata-kata ‘Maria Bunda Allah’ mengungkapkan kemuliaan tertinggi yang dimiliki oleh Bunda Maria. Menurut Pater Bernardine Russel, entusiasme dan semangat para (teolog) Fransiskan yang berapi-api dalam membela doktrin ‘Maria yang dikandung tanpa noda’ sebenarnya merupakan pelimpahan dari suatu devosi mendalam kepada Maria sebagai Ibunda Tuhan Yesus Kristus: Maria Bunda Allah [BR, hal. 62].
[7] Ephrem Longpre OFM, A POOR MAN’S PEACE, Chicago, Illinois: Franciscan Herald Press, hal. 40. Dipetik dari PR, hal. 128.
[8] Dalam FRANCIS AND CLARE – THE COMPLETE WORKS, New York: Paulist Press, 1982 [RAIB].
[9] Dalam Henry de Lubac, The Faith of Teilhard de Chardin (Translated by Rene Hague), dipetik dari PR, hal. 119.
[10] Dalam artikelnya, Our Lady and Saint Francis, dalam The Cord, Vol. 32 No.5, May, 1982, hal. 142-147 [dipetik dari PR, hal. 112].
[11] Dalam tulisannya, ST. FRANCIS’S DEVOTION TOWARD THE BLESSED VIRGIN MARY (terjemahan Bahasa Inggris oleh Canisius Connors, OFM dari DE SERAPHICI PATRIS FRANCISCI HABITUDINE ERGA BEATISSIMAM VIRGINEM MARIAM), Greyfriars Review, Vol. 5, No. 2, 1991.
[12] Pandangan yang agak berbeda terdapat dalam catatan Leo Laba Ladjar OFM sebagai berikut: ‘perawan yang dijadikan Gereja’ adalah ungkapan yang berakar dalam teologi patristik dan awal abad pertengahan, arus tradisi yang mempengaruhi Fransiskus. Sesudahnya, ungkapan ini jarang dipakai, dan lebih dikenal sebutan ‘perawan selamanya’ (virgo perpetua). Sebutan tentang Maria sebagai ‘perawan yang dijadikan Gereja’ (virgo ecclesia facta) harus diartikan dalam hubungan dengan ayat berikutnya [lihat catatan kaki no. 185, dalam LLL, hal. 284].
[13] Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, dalam R. Hardawiryana, SJ (Penterjemah), DOKUMEN KONSILI VATIKAN II, Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI/Obor, 1993, hal. 509-637.
[14] Ingat ketika dia mengunjungi Elizabet dan diam dirumahnya selama tiga bulan lamanya – tentunya bukan untuk liburan, melainkan terutama untuk bekerja keras membantu seorang perempuan tua yang baru melahirkan.
[15] Untuk pembahasan mengenai latria, dulia, hyperdulia, lihat MM, khususnya hal. 9-17. Waktu menulis bukunya, pengarang adalah profesor teologi pada Franciscan University of Steubenville, Ohio, USA.