Bagi Santo Fransiskus dari Assisi, Santa Klara dari Assisi dan para pengikut mereka hidup doa bersifat sentral, karena komunikasi dengan Allah melalui doa memberikan kepada mereka pengalaman “menghidupkan kembali” atau “mempersatukan kembali” mereka dengan misteri-misteri Kristus, dengan demikian memberikan makna dan tujuan atas eksistensi dan kegiatan-kegiatan mereka. Penulis riwayat hidup Fransiskus yang pertama, Beato Thomas dari Celano, mengatakan bahwa Fransiskus bukan sekedar berdoa, tetapi sudah menjadi doa itu sendiri” (2Cel 95). Artinya doa bukan lagi merupakan sesuatu yang ia lakukan, melainkan sesuatu yang menjadi hidupnya sendiri. Doa begitu penting bagi Fransiskus karena bagi dirinya doa merupakan pengalaman dan pengungkapan iman yang sangat mendasar. Apa yang ia praktekkan, ia menganjurkannya kepada para saudaranya pula.
Allah Yang Mahakuasa, Mahakudus, Mahatinggi dan Mahaluhur, Engkaulah segala kebaikan, paling baik, seluruhnya baik,hanya Engkau sendiri yang baik; kepada-Mu kami kembalikan segala pujian, segala kemuliaan, segala rahmat, segala kehormatan, segala berkat serta segalanya yang baik, semoga, semoga, ya amin. (PujIb 11)
Allah yang mahatinggi dan penuh kemuliaan, terangilah kegelapan hatiku dan berilah aku iman yang benar, pengharapan yang teguh, dan kasih yang sempurna. Berilah aku, ya Tuhan, perasaan yang peka dan budi yang cerah, agar aku mampu melaksanakan perintah-Mu yang kudus dan takkan menyesatkan. (DoaSlb)
Kalau kita mau membahas spiritualitas, memenuhi panggilan Allah kepada kekudusan atau hidup saleh, maka kita – tidak dapat tidak – haruslah membahas dan mendalami hal-ikhwal doa, teristimewa yang menyangkut doa-doa pribadi.
Bagi Santo Fransiskus dari Assisi, Santa Klara dari Assisi dan para pengikut mereka hidup doa bersifat sentral, karena komunikasi dengan Allah melalui doa memberikan kepada mereka pengalaman “menghidupkan kembali” atau “mempersatukan kembali” mereka dengan misteri-misteri Kristus, dengan demikian memberikan makna dan tujuan atas eksistensi dan kegiatan-kegiatan mereka. Penulis riwayat hidup Fransiskus yang pertama, Beato Thomas dari Celano, mengatakan bahwa Fransiskus bukan sekedar berdoa, tetapi sudah menjadi doa itu sendiri” (2Cel 95). Artinya doa bukan lagi merupakan sesuatu yang ia lakukan, melainkan sesuatu yang menjadi hidupnya sendiri. Doa begitu penting bagi Fransiskus karena bagi dirinya doa merupakan pengalaman dan pengungkapan iman yang sangat mendasar. Apa yang ia praktekkan, ia menganjurkannya kepada para saudaranya pula.
Sebagai seorang Fransiskan sekular, kita masing-masing berdoa sendiri sebagai seorang individu, bersama-sama dalam keluarga (doa komunal biasa atau liturgis atau kombinasi antara keduanya), bersama-sama dalam persaudaraan OFS atau komunitas lainnya (sama seperti dalam hal doa keluarga), dan kita juga berdoa dalam himpunan umat sebagai anggota Gereja, teristimewa dalam Perayaan Ekaristi.
Karena keterbatasan waktu pengajaran dan diskusi, maka tulisan ini membatasi diri dalam hal doa pribadi, itu pun tidak sampai kepada pembahasan tentang doa kontemplatif. Doa-doa komunal dan liturgis akan dibahas dalam kesempatan lain.
DOA
Doa dalam dokumen tertua Perjanjian Baru. Dalam dokumen tertua Perjanjian Baru, yaitu surat Rasul Paulus yang pertama kepada jemaat di Tesalonika, ada beberapa ayat yang menyangkut doa sebagai berikut: “Bersukacitalah senantiasa. Tetaplah berdoa. Ucapkanlah syukur dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu” (1 Tes 5:16-18). Tiga ayat yang cukup self-explanatory. Allah ternyata memang menghendaki kita berdoa senantiasa.
Doa dan relasi kita dengan Allah. Kita tidak pernah dapat menyangkal, bahwa hal yang paling penting dalam kehidupan kita adalah hubungan atau relasi kita masing-masing dengan Allah, dan sarana yang paling penting untuk memelihara relasi ini adalah doa-doa kita masing-masing sehari-hari. Tanpa doa yang teratur susahlah untuk mengharapkan kehidupan kita sebagai individu-individu akan teratur, atau kita dapat mencapai tujuan panggilan hidup kita masing-masing. Misalnya sebagai seorang ayah, suami, ibu, istri, usahawan, ibu rumah-tangga, sekretaris, anggota kelompok doa (PD), warga paroki dan seterusnya.
Tanpa doa kita selalu akan merasa ragu-ragu, merasa takut, tegang dan penuh kekhawatiran. Namun di hadapan Allah dalam doa, kita dapat menyusun prioritas kita secara benar dan menjadi satu-terpadu dalam pribadi Yesus Kristus. Doa memberi makan hidup kita. Doa adalah karunia dari Allah, suatu anugerah. Mengapa? Karena doa Kristiani didasarkan pada kenyataan, bahwa kita mengenal Tuhan Yesus Kristus dan kita memiliki kuasa Roh Kudus yang menggerakkan, mengurapi kita dan bergerak melalui diri kita dalam doa.
Sebagai umat Kristiani kita masing-masing berdoa berdasarkan kenyataan, bahwa kita adalah bagian dari Tubuh Kristus dan berada bersama Yesus yang berdoa. Bersatu dengan para malaikat dan orang kudus di hadapan takhta Allah, maka sebagai bagian dari sebuah komunitas umat beriman kita pun dimampukan untuk menyembah-Nya.
Kita harus memiliki hasrat yang besar untuk berdoa. Kita harus memiliki kehausan dan mencarinya. Karunia doa diberikan kepada kita supaya kita dapat bersatu dengan Allah. Doa mampu mengubah (mentransformir) pikiran kita dan memberikan inspirasi kepada kita sehingga dalam situasi yang bagaimana pun kita tidak akan merasa kecil hati atau pun depresi.
Kita harus berdoa, karena kita membutuhkan doa, ……… agar dapat hidup. Tak dapat dibayangkanlah suatu hidup tanpa doa. Tanpa doa hubungan kita dengan Allah akan bertambah buruk dan mati. Kita pun terputus samasekali dari satu-satunya sumber kehidupan, pemenuhan dan kedamaian. Sebagai murid Yesus yang sejati kita harus berdoa karena Sang Guru juga berdoa, seperti dicontohkannya dalam Injil. Yesus harus menjadi model doa kita. Demikianlah bagi Fransiskus: Yesus adalah model doanya, seperti dikisahkan dalam beberapa riwayat hidupnya yang awal.
YESUS KRISTUS DAN DOA
Apa sabda Yesus tentang doa? Dalam “Khotbah di Bukit” (Mat 5-7) Yesus memberi pengajaran tentang doa (Mat 6:5-15), di mana antara lain Ia bersabda:
Lagi pula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa dengan banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan. Jadi, janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya. Karena itu, berdoalah demikian; Bapa kami yang di surga, Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu di bumi seperti di surga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami dari kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari yang jahat. [Karena Engkaulah yang punya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.] (Mat 6:7-13).
Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetuk, baginya pintu dibukakan (Mat 7:7-8).
Lagi pula Aku berkata kepadamu: Jika dua orang dari antara kamu di dunia ini sepakat meminta apa pun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku di surga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka (Mat 18:19-20).
Doa “Bapa Kami”. Mengenai doa “Bapa Kami” yang dikutip di atas, janganlah kita berpikir bahwa satu-satunya cara untuk berdoa adalah kata-kata “Bapa kami yang di surga ………” Dalam Injil Lukas juga terdapat perikop tentang “Hal Berdoa” (11:1-13). Dalam perikop itu diceritakan, bahwa ketika Yesus selesai berdoa salah seorang murid-Nya minta diajarkan bagaimana berdoa. Menanggapi permintaan itu Yesus pun mengajar mereka berdoa “Bapa Kami”. Murid tersebut (tentunya murid-murid-Nya yang lain) tidak meminta kata-kata yang harus digunakan selagi berdoa.
Doa “Bapa Kami” teramat penting dan kita harus mendoakannya setiap hari, tetapi janganlah kita sampai salah sasaran. Tanggapan Yesus di atas lebih daripada sekedar ungkapan kata-kata. Doa “Bapa Kami” menunjukkan kepada kita “struktur ideal sebuah doa yang efektif”, artinya bagaimana doa kita harus berjalan.
- Pernyataan pujian (…… “dikuduskanlah nama-Mu”) atas kehadiran dan kuasa Allah yang menakjubkan;
- Pernyataan komitmen (“datanglah kerajaan-Mu”), menegaskan kembali dedikasi kita kepada Allah;
- Pernyataan permohonan yang penuh rasa percaya:
- untuk seluruh jangkauan kebutuhan-kebutuhan pribadi (“……makanan kami yang secukupnya”) dimulai dari kebutuhan primer seperti sandang, pangan, tempat tinggal dan keamanan, sampai kepada kebutuhan akan aktualisasi diri.
- untuk kebutuhan-kebutuhan sosial (“ampunilah kami dari kesalahan kami ……”) berupa penyembuhan dan pengampunan supaya tercapai rekonsiliasi dan harmoni; dan
- untuk kebutuhan-kebutuhan spiritual (“dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan”) berupa ketekunan dan pelepasan supaya tercapai lingkaran penuh kesetiaan kepada Allah dan persatuan dengan Dia.
- Sebelum melaksanakan karya pelayanan-Nya di tengah-tengah masyarakat, Yesus pergi ke padang gurun untuk berdoa dan berpuasa selama 40 hari (Luk 4:1-13; Mat 4:1-11; Mrk 1:1:12-13).
- Sebelum Yesus memilih dan memanggil para murid, Ia berdoa semalam-malaman kepada Allah (Luk 6:12).
- Yesus pergi ke taman Getsemani untuk berdoa di sana, karena Dia tahu waktu-Nya untuk merangkul sepenuhnya kehendak Bapa telah tiba (Mat 26:36-46; Mrk 14:32-42; Luk 22:39-46).
Yesus Kristus menyadari, bahwa doa adalah prioritas tertinggi dalam hidup-Nya dan Ia bangun pagi-pagi untuk berdoa. Hal ini jelas terungkap pada waktu kita membaca serta merenungkan Mrk 1:35-39. Dalam bacaan Injil ini terkesan sekali, bahwa Simon dan para murid yang lain memiliki keyakinan bahwa pentinglah bagi Yesus untuk bertemu dan melayani semua orang yang mengikuti Dia. Namun apakah yang dilakukan Yesus? Ia pergi ke tempat sunyi dan Ia berdoa. Yesus sadar bahwa pada saat-saat tertentu lebih pentinglah untuk berdoa daripada melayani orang-orang, berkhotbah atau mempraktekkan hal-hal duniawi yang lebih biasa sifatnya. Setelah ditemukan oleh Petrus dan kawan-kawannya, Yesus malah mengajak mereka pergi ke tempat lain. Ayat terakhir perikop ini mencatat: “Lalu pergilah Ia ke seluruh Galilea memberitakan Injil dalam rumah-rumah ibadat mereka dan mengusir setan-setan.” Melalui doa-Nya, Yesus mengetahui kehendak Bapa-Nya.
Kita masing-masing harus menghaturkan permohonan kepada Yesus agar Dia mengajar kita berdoa. “Tuhan, ajarilah kami berdoa …” (Luk 11:1). Dalam Injil kita tidak menemukan pertanyaan seperti “Tuhan, ajarilah kami berkhotbah” atau “Tuhan, ajarilah kami menyembuhkan orang sakit” dan seterusnya. Para murid melihat, bahwa dalam diri Yesus ada sesuatu yang menonjol, yang membuat-Nya berbeda dengan para rabi lain, yaitu cara-Nya berdoa. Mereka melihat setiap kali Dia kembali dari kesendirian-Nya di pagi hari, mereka melihat kuat-kuasa yang dimiliki-Nya, wawasan-Nya, bagaimana Dia memimpin mereka. Oleh karena itu mereka meminta satu hal ini: “Tuhan, ajarilah kami berdoa.” Di bagian akhir tulisan ini kita pun akan melihat, bahwa Fransiskus pun akan memberi nasihat yang sama.
Baiklah kita semua meminta hal yang sama kepada Yesus Kristus: “Ajarilah kami berdoa.” Yesus pasti mau mengajar kita bagaimana berdoa daripada mengajarkan hal-hal lainnya. Hal-hal lain itu akan menyusul sekali Dia melihat bahwa cara kita berdoa sudah sesuai dengan cara yang dikehendaki-Nya untuk kita lakukan. Yesus adalah model doa kita.
FRANSISKUS DAN DOA
Fransiskus tidak mewariskan kepada para pengikutnya suatu cara khusus untuk berdoa. Dalam Wasiat-nya Fransiskus menulis: “Sesudah Tuhan memberi aku sejumlah saudara, tidak seorang pun menunjukkan kepadaku apa yang harus kuperbuat; tetapi Yang Mahatinggi sendiri mewahyukan kepadaku, bahwa aku harus hidup menurut pola Injil Suci” (Was 14). Menurut pola Injil Suci berarti menurut pola Yesus Kristus, termasuk dalam hal doa. Seperti juga Yesus, semasa hidupnya Fransiskus melakukan karya kerasulan/pelayanan yang diisi dengan doa-doa kontemplatif. Fransiskus tidak melarikan diri dari dunia yang penuh kejahatan ini dan bersembunyi di balik tembok biara, namun dia dan para saudaranya pergi tempat-tempat umum untuk mewartakan kabar baik Injil dan mengajak umat Allah untuk bertobat.
Meski Fransiskus tidak mewariskan cara berdoa yang khusus, kita dapat melihat ajaran-ajarannya tentang hal-ikhwal doa dalam berbagai tulisannya. Dari tulisan-tulisannya kita juga dapat melihat sejumlah doanya. Dari beberapa riwayat hidupnya yang awal kita pun dapat membaca hidupnya sebagai seorang pendoa, malah doa itu sendiri. Beberapa doa Fransiskus juga sempat terekam dalam beberapa tulisan klasik tentang orang kudus ini.
Pentingnya berdoa. Fransiskus sadar sekali akan adanya bahaya yang melekat pada pola hidup yang tercipta dari penggabungan kegiatan hidup kerasulan/pelayanan dan kontemplasi. Tanpa dukungan struktur kehidupan monastik (biara), kehidupan doa dan kontemplasi dapat dengan mudah diambil alih oleh kesibukan kegiatan kerasulan/pelayanan. Oleh karena itu dalam “Anggaran Dasar yang diteguhkan dengan Bulla”, Fransiskus bukan hanya satu kali menekankan pentingnya doa, melainkan dua kali. Ketika berbicara mengenai cara bekerja, dia mengingatkan para saudara, bahwa hendaknya pekerjaan “tidak memadamkan semangat doa dan kebaktian suci, yang kepadanya harus diabdikan hal-hal lainnya yang duniawi” (AngBul V:2). Selanjutnya dia menulis: “…… tetapi yang hendaknya mereka perhatikan ialah keinginan untuk memiliki Roh Tuhan melampaui segala-galanya dan membiarkan Dia berkarya di dalam diri mereka; ingin selalu berdoa kepada-Nya dengan hati yang murni” (AngBul X:8-9). Setelah mengangkat Santo Antonius dari Padua menjadi guru teologi bagi para para saudara, Fransiskus mengingatkannya untuk tidak memadamkan semangat doa dan kebaktian suci karena studi semacam itu (SurAnt 2). Ternyata mengajar atau belajar teologi juga dapat menjadi hambatan bagi suatu kehidupan doa.
Berdoa senantiasa tanpa jemu-jemu. Injil mencatat, bahwa “Yesus menyampaikan suatu perumpamaan kepada mereka (para murid-Nya) untuk menegaskan bahwa mereka harus selalu berdoa tanpa jemu-jemu” (Luk 18:1). Di dalam “Anggaran Tanpa Bulla” Fransiskus mengingatkan para saudara dengan sangat, perihal betapa pentingnya berdoa terus-menerus: “…… di mana pun, di segala tempat, pada setiap saat dan setiap waktu, setiap hari dan senantiasa, hendaklah kita semua mengimani dengan sungguh-sungguh dan dengan rendah hati, menyimpan dalam hati dan mengasihi, menghormati, menyembah, mengabdi, memuji dan memuliakan, meluhurkan dan menjunjung tinggi, mengagungkan dan mensyukuri Allah yang kekal, mahatinggi dan mahaluhur” (AngTBul XXIII:11). Di samping itu orang kudus ini juga menulis: “Hendaklah kita mengucapkan pujian serta doa kepada-Nya siang dan malam dengan berkata: Bapa kami yang ada di surga, sebab kita harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu” (2SurBerim 21).
Siapakah Engkau, ya Allah dan siapakah aku? Di dalam doa-doanya, Fransiskus mengungkapkan idenya tentang Allah dan dirinya sendiri. Menyadari kenyataan akan Allah yang adalah pribadi dan transenden, yang mengasihi dan mengundangnya ke dalam suatu relasi dengan diri-Nya sendiri, Fransiskus menganggap dirinya sebagai seorang pendosa yang memuakkan, satu makhluk ciptaan di tengah kehadiran Allah Pencipta yang menciptakannya, menebusnya dan yang akan menyelamatkannya. Misalnya dalam Fioretti kita dapat membaca kejadian di La Verna, pada saat sebelum ia menerima stigmata, Fransiskus terus mengulang-ulang doa: “Siapakah Engkau Allah termanis? Dan siapakah saya, seekor cacing yang malang, hamba-Mu yang tidak berharga?” (Permenungan ketiga tentang Stigmata Suci). Di dalam “Anggaran Dasar Tanpa Bulla” Fransiskus menulis, bahwa Allah “sudah dan masih memberikan kepada kita semua seluruh badan kita, seluruh jiwa dan seluruh hidup kita. Dia yang menciptakan kita dan menebus kita serta akan menyelamatkan kita karena belaskasih-Nya semata-mata. Dia sudah dan masih mengerjakan segalanya yang baik untuk kita, orang yang malang dan hina ini, busuk dan berbau, tak tahu berterimakasih dan jahat” (AngTBul XXIII:8). Orang kudus ini juga menulis: “Hendaklah kita menghinakan dan menistakan badan kita sebab kita semuanya – karena kesalahan kita sendiri – menjadi malang dan busuk, berbau dan cacing” (2SurBerim 46). Walaupun demikian, Fransiskus dan para saudara yang pertama-tama mengikutinya memiliki citra-diri (self image) yang sehat dan baik, karena didasarkan pada kenyataan bahwa itu semua berasal bukan dari diri mereka sendiri melainkan dari Allah, yang “sudah dan masih memberikan kepada kita semua seluruh badan kita, seluruh jiwa dan seluruh hidup kita” (AngTBul XXIII:8).
Manakala menyapa Allah dalam doa, Fransiskus selalu menyadari adanya perbedaan yang tak terhingga antara sang Pencipta dan makhluk ciptaan-Nya, yaitu transendensi Allah yang melampaui segala pengelompokan atau klasifikasi, baik itu waktu, tempat ataupun ruang. Dalam “Pujian bagi Allah Mahaluhur” ia berbicara langsung dengan Allah: “Engkaulah Tuhan Yang Kudus, Allah satu-satunya, …… Engkau kuat, Engkau besar, Engkau mahaluhur, Engkaulah Raja Yang Mahakuasa, Engkaulah Bapa Yang Kudus, Raja langit dan bumi” (PujAllah 1-2). Dalam “Petuah-petuah”-nya, dia mengatakan: “Bapa mendiami terang yang tak terhampiri, dan Allah itu Roh, dan tidak seorang pun yang pernah melihat Allah” (Pth I:5). Dalam “Nyanyian Saudara Matahari” Fransiskus menyapa Allah dengan sebutan “Allah yang Mahaluhur, Mahakuasa, Tuhan yang baik” (NyaMat 1). Dalam doa di bagian akhir “Surat kepada Seluruh Ordo”, Fransiskus menyapa Allah sebagai “Allah Yang Mahakuasa, kekal, adil dan berbelaskasihan” (SurOr 50). Dalam “Anggaran Dasar Tanpa Bulla”, Allah adalah “Allah Yang Mahakuasa, Mahakudus, Mahatinggi dan Mahaluhur” (AngTBul XXIII:1).
Namun demikian Fransiskus tidak hanya menyadari transendensi Allah. Imanensi Allah juga disadarinya dengan baik, yaitu kehadiran-Nya di tengah-tengah makhluk ciptaan, cintakasih-Nya serta kebaikan-Nya. Allah yang tidak dapat diekspresikan, tidak dapat dimengerti, tak terlukiskan, telah menyatakan/mewahyukan diri-Nya kepada kita melalui Putera-Nya, Yesus Kristus. Ia yang transenden tidak menyatakan diri-Nya sendiri untuk memenuhi keingin-tahuan intelektual kita, melainkan supaya kita dapat berpartisipasi di dalam kehidupan Tritunggal. Dalam “Anggaran Dasar Tanpa Bulla”, setelah menyapa Allah dengan sebutan “mulia, agung, tinggi dan luhur”, yang semuanya adalah ciri-ciri transendensi Allah, Fransiskus menambahkan bahwa Allah juga “manis, memikat hati dan menyenangkan, seluruhnya patut dirindukan melampaui segala-galanya, sepanjang masa” (AngTBul XXIII:11).
Allah yang adalah segala kebaikan, paling baik, dan seluruhnya baik. Fransiskus mengalami Allah terutama sebagai “Cintakasih” yang disebutnya “Baik”. Dalam doa-doanya, setiap kali Fransiskus memakai kata “baik”, karunianya untuk mampu berpuisi dan kecenderungan mistisnya tampak jelas, karena dia jarang sekali menggunakan kata “baik” hanya sekali saja, melainkan mengulang-ulanginya demi penekanan makna.
Dalam “Pujian yang diucapkan pada semua Waktu Ibadat” Fransiskus menulis: “Allah Yang Mahakuasa, Mahakudus, Mahatinggi dan Mahaluhur: Engkaulah segala kebaikan, paling baik, seluruhnya baik, hanya Engkau sendiri yang baik” (PujIb 11). Dia juga berdoa: “… karena Engkaulah yang paling baik, ya Tuhan, Engkau baik untuk selamanya, Engkaulah asal segala yang baik, tanpa Engkau tidak ada yang baik satu pun” (UrBap 2). Dalam “Anggaran Dasar Tanpa Bulla” Fransiskus menulis: “Marilah kita mengembalikan semuanya yang baik kepada Tuhan Allah Yang Mahatinggi dan Mahaluhur dan mengakui, bahwa semua yang baik adalah milik-Nya. Marilah kita mengucap syukur kepada-Nya atas segala-galanya karena dari Dialah berasal semua yang baik. …… milik Dialah segalanya yang baik, Dia satu-satunya yang baik” (AngTBul XVII:17-18). Dalam dokumen yang sama Fransiskus juga menulis: “Dialah kebaikan yang sempurna, segenap kebaikan, seluruhnya baik, kebaikan yang benar dan tertinggi; Dialah satu-satunya yang baik” (AngTBul XXIII:9).
“Allah itu baik”. Ini adalah misteri – sederhana namun mendalam – yang merupakan fondasi di fondasi ini Fransiskus membangun kehidupan doanya yang merupakan dasar dari spiritualitas Fransiskan. Adalah kebaikan Allah, yaitu cintakasih-Nya, yang memotivasi seluruh karya Allah: penciptaan, penebusan dan penyelamatan. Dalam Kitab Kejadian, kita dapat membaca bahwa setelah menciptakan terang, “Allah melihat bahwa terang itu baik” (1:3). Allah melakukan hal yang sama setelah menciptakan daratan dan tumbuh-tumbuhan, dan makhluk-makhluk hidup. Pada akhirnya “Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik” (Kej 1:31). Cinta-kasihlah yang membawa kepada Inkarnasi: “Karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16). Cinta-kasih pulalah yang membawa kepada karya Penebusan: “Ia mengasihi orang-orang milik-Nya yang di dunia ini, dan Ia mengasihi mereka sampai pada kesudahannya” (Yoh 13:1).
Fransiskus menulis: “Kami bersyukur kepada-Mu karena sebagaimana dengan perantaraan Putera-Mu Engkau telah menciptakan kami, demikian pula karena kasih-Mu yang kudus, yang telah Engkau berikan kepada kami, Engkau telah membuat Dia, yang sungguh Allah dan sungguh manusia, lahir ……” (AngTBul XXIII:3). Orang kudus ini sadar sekali, bahwa cinta-kasih Allah bersinar di seluruh drama rencana karya penyelamatan manusia.
Menurut Fransiskus, fondasi dari kemiskinan kita adalah “pengambil-alihan diri secara total” dan “ketergantungan-penuh-kepercayaan” kepada Allah. Bagi dia, pengosongan diri atau kenosis Yesus “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp 2:6-7), merupakan sebuah contoh dari pengambil-alihan dirinya. Sebuah bagian integral dari kemiskinan Fransiskus adalah pengakuan akan ketidak-berdayaannya tanpa Allah. Dalam “Petuah-petuah”-nya, Fransiskus menulis: “Beginilah diketahui apakah seorang hamba Allah memiliki bagian Roh Tuhan: apabila Tuhan mengerjakan sesuatu yang baik dengan perantaraannya, dagingnya tidak memegahkan diri karenanya, sebab daging itu memang selalu bertentangan dengan semua yang baik” (Pth XII:1-2). Sebaliknya, semakin seseorang berbuat kebaikan, seharusnya dia semakin memandang dirinya lebih tak berguna lagi, karena menyadari kekuatan Allah yang bekerja melalui dirinya. Karena alasan inilah Fransiskus seringkali menyebut dirinya sebagai “orang kecil dan hambamu” (1SurKus 1), atau “orang yang paling kecil dari antara para hamba Allah” (2SurKus 1), atau “orang yang hina dan rapuh, hambamu yang kecil ini” (SurOr 3).
BERBAGAI MACAM DOA FRANSISKUS
Doa-doa Fransiskus penuh dengan adorasi (penyembahan), pujian dan ucapan syukur. Dalam “Nyanyian Saudara Matahari” dia bermadah kepada Allah: “ ……milik-Mulah pujaan, kemuliaan dan hormat dan segala pujian. Kepada-Mu saja, Yang Mahaluhur, semuanya itu patut disampaikan” (NyaMat 1-2). Keempat kata ini, pujaan, kemuliaan, hormat dan pujian praktis dapat ditemui pada hampir semua doa-doa Fransiskus. Lihat juga “Pujian yang diucapkan pada semua Waktu Ibadat”, khususnya ayat 11 yang kutipannya terdapat dalam awal tulisan ini. Dalam “Anggaran Dasar Tanpa Bulla” Fransiskus menulis: “Dia, Yang Mahatinggi dan Mahaluhur, satu-satunya Allah yang benar, semoga Dia memiliki, dan hendaknya kepada-Nya dikembalikan, dan semoga Ia sendiri menerima segala hormat dan bakti, segala pujaan dan pujian, segala syukur dan kemuliaan; milik Dialah segalanya yang baik.Dia satu-satunya yang baik” (AngTBul XVII:18). Juga dalam “Anggaran Dasar Tanpa Bulla” orang kudus ini menulis: “Seganilah dan hormatilah, pujilah dan muliakanlah, ucap syukurlah dan sembahlah Tuhan Allah Yang Mahakuasa, Tritunggal dan Esa” (AngTBul XXI:2). Kemudian, dalam dokumen yang sama, Fransiskus menulis: “… hendaklah kita semua …… mengasihi, menghormati, menyembah, mengabdi, memuji dan memuliakan, meluhurkan dan menjunjung tinggai, mengagungkan dan mensyukuri Allah yang kekal, mahatinggi dan mahaluhur, tritunggal dan keesaan” (AngTBul XXIII:11).
Setelah Fransiskus memperoleh beberapa orang saudara, mereka meminta kepadanya agar diajarkan cara berdoa. Orang kudus itu mengatakan kepada mereka agar berdoa “Bapa Kami” dan ia juga mengajarkan mereka doa adorasi/penyembahan dan pujian berikut ini: “Kami menyembah Engkau, Tuhan Yesus Kristus, di semua gereja-Mu yang ada di seluruh dunia dan kami memuji Engkau, sebab Engkau telah menebus dunia dengan salib-Mu yang suci” (Was 5; bdk 1Cel 45).
Salah satu doa syukur Fransiskus yang paling indah adalah “Nyanyian Saudara Matahari” atau “Puja-Pujian Makhluk-Makhluk”. Ini sebagian petikannya: “Terpujilah Engkau, Tuhanku, bersama semua makhluk-Mu, terutama Tuan Saudara Matahari …… Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari Bulan dan bintang-bintang …… Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudara Angin …… Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari Air …… Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudara Api …… Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena saudari kami Ibu Pertiwi ……Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena mereka yang mengampuni demi kasih-Mu, dan yang menanggung sakit dan duka-derita. Berbahagialah mereka, yang menanggungnya dengan tenteram, karena oleh-Mu, Yang Mahaluhur, mereka akan dimahkotai. …… Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari Maut badani, daripadanya tidak akan terluput insan hidup satu pun (NyaMat 3-12).
Satu lagi doa ucapan syukur yang indah dapat ditemukan dalam AngTBul XXIII:1. Doa ini kadang-kadang disebut sebagai pernyataan iman Fransiskus yang hebat). Ia memulai doanya dengan mengucap syukur kepada Allah karena Allah adalah Allah. “Allah Yang Mahakuasa, Mahakudus, Mahatinggi dan Mahaluhur, Bapa yang kudus dan adil, Tuhan raja langit dan bumi, kami bersyukur kepada-Mu karena Engkau sendiri.” Siapakah selain Fransiskus yang mempunyai pikiran untuk berterima kasih kepada Allah karena Allah menjadi diri-Nya sendiri? Doa syukur yang sungguh-sungguh adalah suatu doa tanpa pamrih dan ditujukan kepada Allah, memuja-Nya, dan memberi-Nya kemuliaan demi diri-Nya, melebihi segala sesuatu yang telah dikerjakan-Nya, tetapi pada dasarnya karena DIA sendiri.
Fransiskus juga mengucap syukur kepada Tuhan Allah atas karunia penciptaan, penjelmaan (inkarnasi), penebusan dan penyelamatan. Karena dia menyadari bahwa kita tidak pernah dapat mensyukuri Allah secara layak, maka Fransiskus menulis: “…… kami mohon sambil bersujud, agar Tuhan kami Yesus Kristus, Putera-Mu yang terkasih yang kepada-Nya Engkau berkenan, bersyukur kepada-Mu atas segala sesuatu, bersama dengan Roh Kudus Penghibur, sebagaimana berkenan pada-Mu dan pada-Nya; bagi-Mu Dialah yang selalu memadai dalam segalanya, dan dengan perantaraan Dialah Engkau telah mengerjakan begitu banyak bagi kami” (AngTBul XXIII:5).
Doa permohonan. Dari semua tulisan Fransiskus, kita hanya dapat menemukan dua contoh doa yang murni merupakan doa permohonan. Doa permohonan yang pertama adalah doa yang diucapkannya di depan salib di gereja San Damiano, ketika dia sedang mencari apa yang harus dilakukan dalam hidupnya. Doa itu sepenuhnya dikutip pada awal tulisan ini. Doa permohonan yang kedua dapat ditemukan di bagian akhir “Surat kepada seluruh Ordo”:
Allah Yang Mahakuasa, kekal, adil dan berbelaskasihan, perkenankanlah kami yang malang ini, demi Engkau sendiri, melakukan apa yang setahu kami Engkau kehendaki, dan selalu menghendaki apa yang berkenan kepada-Mu, agar setelah batin kami dimurnikan dan diterangi serta dikobarkan oleh api Roh Kudus, kami mampu mengikuti jejak Putera-Mu yang terkasih, Tuhan kami Yesus Kristus, dan berkat rahmat-Mu semata-mata sampai kepada-Mu, Yang Mahatinggi, Engkau yang dalam tritunggal yang sempurna dan dalam keesaan yang sederhana, hidup dan memerintah serta dimuliakan, Allah Yang Mahakuasa sepanjang segala masa. Amin (SurOr 50-52).
Menarik dan pentinglah untuk diperhatikan, bahwa baik dalam doa ini maupun “Doa di depan Salib” Fransiskus tidak memohon karunia-karunia yang bersifat materiil, melainkan karunia-karunia spiritual. Dalam “Doa di depan Salib” dia memohon keutamaan/kebajikan teologal, yaitu iman, pengharapan dan kasih, yang menciptakan relasi kita dengan Allah. Dalam doa yang satu lagi dia memohon rahmat untuk melaksanakan kehendak Allah dalam segala hal.[1]
Ada lagi satu doa permohonan “istimewa” Fransiskus yang tercatat dalam Fioretti, yakni yang berkenaan dengan anugerah stigmata yang diterimanya di La Verna. Memang berkisah tentang Santo Fransiskus dari Assisi tidaklah lengkap kalau tidak berkisah mengenai peristiwa dramatis yang terjadi di sebuah gunung sunyi yang kurang lebih seratus mil jauhnya dari Assisi itu. Peristiwa itu sendiri terjadi dua tahun sebelum wafatnya. Gunung itu dinamakan La Verna. Pada awal September 1224 Fransiskus menyepi ke sana untuk menyiapkan diri menghadapi Pesta Santo Mikael Malaikat Agung. Doa Fransiskus di La Verna adalah bukti otentik siapa sebenarnya dia dan mengapa dia membawa dampak begitu besar pada sejarah umat manusia. Berikut ini isi doanya:
Tuhanku Yesus Kristus, saya mohon kepada-Mu karuniakanlah dua anugerah sebelum saya meninggal. Yang pertama ialah agar Kauizinkan merasakan – dalam jiwa ragaku – sebanyak mungkin penderitaan hebat yang Engkau, Yesus Yang Manis, telah rasakan pada saat sengsara-Mu yang amat pahit itu. Yang kedua ialah agar saya boleh merasakan dalam hatiku sebanyak mungkin cinta yang tak terbatas, dengan mana Engkau, Putera Allah, tergerak dan mau menanggung sengsara sedemikian itu bagi kami para pendosa.[2]
Murray Bodo OFM[3] menulis begini: Hanya seorang pencinta yang dapat memahami kata-kata seperti ini, dan hanya seorang yang memiliki hati ksatria yang dapat mengucapkannya. Di Gunung La Verna, Fransiskus sang ksatria dan Fransiskus sang pencinta bergabung dalam “permohonan bodoh” terakhir ini. Hanya kerendahan hati dan keaslian atau orijinalitas Fransiskus sajalah yang menyelamatkan doa ini dari semacam bravado gaya Don Quixote. Seluruh hidup Fransiskus membuktikan bahwa doa ini dihaturkannya tanpa pamrih dari hatinya yang terdalam dengan mata yang terarah kepada Tuhan Yesus, tanpa larak-lirik ke sana kemari untuk mengetahui apakah ada orang yang sedang memperhatikan. Seperti doa yang didengar oleh Bernardus dari Quintavalle sepanjang malam dulu di rumahnya, “Allahku dan segala[nya]ku,” maka doa permohonan Fransiskus di La Verna adalah permohonan seorang pecinta agar dapat bersatu secara total dengan yang dicintainya. Dan “ya” dari Dia yang dicintainya adalah sebuah rangkulan yang begitu lengkap, sehingga anggota-anggota tubuh Fransiskus dimeteraikan dengan luka-luka cinta kasih, tanda-tanda Sengsara Kristus dalam dagingnya. Dalam arti yang riil Fransiskus menjadi pendagingan lebih lanjut dari Allah yang hidup. Hampir seakan-akan Bapa angkatnya, tidak puas sekedar dengan adopsi, telah membuat Fransiskus menjadi anak-Nya secara fisik, dengan memeteraikannya dengan tanda-tanda dari Putera Tunggal-Nya sendiri, Yesus Kristus.
SEKILAS CATATAN MENGENAI HIDUP DOA PRIBADI DARI BAPA SERAFIK KITA
Secara umum dapat dikatakan, bahwa dari tulisan-tulisannya kita dapat mempelajari apa yang didoakan Fransiskus, dan dari Beato Thomas dari Celano, orang pertama yang menulis riwayat hidupnya, kita dapat mempelajari bagaimana Fransiskus berdoa. Dalam Riwayat Hidup yang Kedua Santo Fransiskus, Thomas dari Celano mendedikasikan seluruh bagian, yaitu pasal LXI-LXVII, dengan catatan tentang bagaimana Fransiskus berdoa. Thomas dari Celano memulai bagian itu dengan menulis: “Kami memberikan di sini beberapa dari hal-hal yang besar perihal doa-doa Fransiskus yang dapat dicontoh oleh mereka yang mengikuti jejaknya” (2Cel 94).
Thomas dari Celano menulis bahwa Fransiskus selalu mencari tempat yang tersembunyi di mana dia dapat menyesuaikan bukan hanya jiwanya, tetapi juga seluruh anggotanya kepada Allah. Ketika dia tiba-tiba dikunjungi oleh Tuhan di depan umum, dia biasanya menutupi mukanya dengan mantolnya atau dengan lengan jubahnya. Di depan umum dia tidak membuat suatu bunyi ataupun berdesah. Tetapi bila dia berdoa di hutan atau tempat-tempat yang terpencil, dia memenuhi hutan dengan desahannya, memukul dadanya, dan berdoa dengan suara nyaring. Thomas dari Celano menulis, bahwa di sanalah Fransiskus memberi jawaban kepada hakimnya; di sana dia mengajukan permohonan-permohonan kepada Bapa-nya; di sana dia berbicara kepada temannya; di sana dia bergembira bersama pasangan pengantinnya. Sangatlah menarik bila kita menyimak kata “menjawab” hakimnya, “memohon Bapa-nya, “berbicara” kepada temannya, dan “bergembira” bersama pasangan pengantinnya (lihat 2Cel 94-95). Fransiskus tidak hanya memandang Allah dengan rasa takut yang penuh hormat, tetapi juga dengan kasih sayang dan cinta.
Perihal meditasi dan kontemplasi, Thomas dari Celano menulis bahwa seringkali, tanpa menggerakkan bibirnya, Fransiskus bermeditasi dengan dirinya sendiri, menarik segala hal yang sifatnya eksternal ke dalam dirinya dan mengangkat rohnya kepada hal-hal yang lebih tinggi. Semua perhatian dari kasih sayangnya bersama dengan dirinya secara utuh, dia tujukan kepada satu hal yang dimohonkannya kepada Tuhan, tidak hanya berdoa tetapi menjadikan dirinya sebuah doa (2Cel 95).
Kita semua harus selalu mengingat, bahwa Fransiskus tidak hanya bertekun dalam doa-doa pribadinya saja, tetapi juga dalam doa-doa resmi Gereja yang bersifat liturgis, misalnya Ibadat Harian. Dalam “Wasiat” dan “Anggaran Tanpa Bulla, Fransiskus berturut-turut menulis:
Walaupun aku orang sederhana dan sakit-sakitan, namun aku selalu mau mempunyai seorang rohaniwan yang melakukan ibadat harian untukku, sebagai termuat dalam anggaran dasar (Was 29).
Semua saudara, baik rohaniwan maupun awam[4], harus melakukan ibadat harian[5], puji-pujian dan doa-doa, sebagaimana diwajibkan bagi mereka (Ang TBul III:3).
Thomas dari Celano menyatakan juga, bahwa “Fransiskus mendoakan Ibadat Harian pada waktu yang ditetapkan Gereja dengan penuh rasa hormat dan bakti-suci” (2Cel 96).
Seperti telah dikemukakan di atas, kita akan membahas hal-ikhwal ibadat harian dalam kesempatan lain.
CATATAN PENUTUP
Kehidupan Fransiskus menunjukkan, bahwa doa sebagai sebuah pengalaman dan pengungkapan iman yang intim (akrab) bukanlah sekedar sebuah mimpi atau sebuah cita-cita, namun sesuatu yang sangat nyata, sangat dapat dicapai. Kalau kita mengamati teks-teks yang ditulis oleh Fransiskus atau mengenai Fransiskus berkaitan dengan relasinya dengan Allah, maka dengan cepat kita dapat melihat betapa orang kudus ini memusatkan perhatian dan kegiatannya agar kehadiran Allah terwujud dalam komunitas, kemudian dalam dunia.
Kita dapat melihat, bahwa doa-doa Fransiskus memiliki sifat-sifat Alkitabiah, Triniter (Tritunggal Mahakudus), afektif, penyembahan dan pengucapan syukur, dipenuhi iman dan sederhana. Dalam doa-doanya Fransiskus seringkali menggunakan bacaan-bacaan dari Kitab Suci; yang terpusat pada misteri rencana Allah sehubungan dengan penciptaan, inkarnasi, penebusan dan penyelamatan. Karya-karya Allah ini bagi Fransiskus merupakan karya-karya Tritunggal Mahakudus, dan semua karya itu dimotivasiksn oleh cinta-kasih dan kebaikan Allah.
Doa-doa Fransiskus bersifat afektif dan bersifat diskursif. Dalam doa diskursif, pengaruh akal budi sangat menonjol. Dalam doa yang afektif, kita dapat menemukan ungkapan kasih sayang seperti cinta-kasih, rasa syukur dan terima kasih, rasa percaya dan penyerahan diri. Meskipun doa-doanya sederhana, doa-doa itu merupakan berbagai ungkapan mistis dari pengalaman Fransiskus sendiri akan Allah. Apabila doa adalah suatu persekutuan intim dengan Allah, maka seringkali kata-kata tidak dapat mengungkapkan pengalaman ini secara layak dan memadai. Thomas dari Celano menulis, bahwa Fransiskus seringkali terangkat ke dalam kemanisan kontemplasi yang sedemikian rupa, sehingga dia sendiri tidak mampu “mengejar” apa yang baru dialaminya. Dia tidak dapat mengungkapkan apa yang dialaminya karena hal ini sungguh melampaui batas pengertian manusia” (lihat 2Cel 98).
Yesus adalah penyembah sejati bagi Bapa. Demikian pula halnya dengan Santo Fransiskus dari Assisi. Oleh karena itu, sebagai murid-murid Yesus dengan Fransiskus sebagai Bapa Rohani kita, para anggota OFS harus selalu setia-taat dalam mewujudkan apa yang tertulis dalam AD OFS:
Sebagaimana Yesus menjadi penyembah sejati bagi Bapa, demikian pula mereka[6] hendaknya membuat doa dan kontemplasi menjadi jiwa bagi kehidupan dan tingkah laku mereka (AD OFS Fasal II, Artikel 8).
Di atas tempat tidurnya, menjelang kematiannya, Fransiskus berkata kepada para saudaranya: “Aku telah melakukan apa yang mesti kulakukan, biarlah Kristus mengajar kamu apa yang harus kamu lakukan selanjutnya (LegMaj XIV:3). Berbagai karunia dan rahmat yang diberikan kepada Santo Fransiskus dari Assisi berbeda dengan karunia dan rahmat yang diberikan kepada kita masing-masing, para saudaranya. Fransiskus bekerja-sama dengan karunia-karunia tersebut dan berdoa selayaknya. Seperti yang telah dilakukan oleh para saudaranya yang pertama-tama, marilah kita juga menghadap Fransiskus dengan permohonan: “Ajarkanlah bagaimana kami harus berdoa.” Fransiskus akan berkata kepada kita kurang lebih begini: “Telanjang, saya telah mengikuti Kristus yang telanjang. Semoga Kristus mengajar kamu apa yang harus kamu lakukan.” Semoga kita masing-masing, dalam waktu Tuhan, diberikan rahmat seperti itu.
KEPUSTAKAAN:
- Regis Amstrong OFMCap., J.A. Wayne Hellmann OFMConv. & William Short OFM (Editors), FRANCIS OF ASSISI: EARLY DOCUMENTS – THE SAINT Volume I), New York, NY: New City Press, 1999. [RA I]
- Regis Amstrong OFMCap., J.A. Wayne Hellmann OFMConv. & William Short OFM (Editors), FRANCIS OF ASSISI: EARLY DOCUMENTS – THE FOUNDER Volume II), New York, NY: New City Press, 2000. [RA II]
- Regis Amstrong OFMCap., J.A. Wayne Hellmann OFMConv. & William Short OFM (Editors), FRANCIS OF ASSISI: EARLY DOCUMENTS – THE PROPHET Volume III), New York, NY: New City Press, 2001. [RA III]
- Murray Bodo OFM, THE WAY OF ST. FRANCIS – THE CHALLENGE OF FRANCISCAN SPIRITUALITY FOR EVERYONE, Cincinnati, Ohio: St. Anthony Messenger Press, 1995. [MB]
- Santo Bonaventura, “RIWAYAT HIDUP ST. FRANSISKUS”, (Terjemahan P. Y. Wahyosudibyo OFM), Jakarta: SEKAFI, 1990.
- Thomas dari Celano, ST. FRANSISKUS DARI ASISI (Riwayat Hidup yang Pertama & Riwayat Hidup yang Kedua (sebagian) –terjemahan P.J. Wahjasudibja OFM), Jakarta: Sekafi, 1981.
- FIORETTI DAN LIMA RENUNGAN TENTANG STIGMATA SUCI, Jakarta: Sekafi, 1997 (Cetakan pertama).
- Marion Habig OFM (Editor), ST. FRANCIS OF ASSISI – OMNIBUS OF SOURCES, Fourth Revised Edition, Quincy, Illinois: Franciscan Press –Quincy College, 1991. [OMNIBUS]
- Sdr. Frans Indrapradja OFS, OFS BERUSAHA MENGHAYATI HIDUP INJILI (7), Memorandum No. Min/04/1998 tanggal 1 Mei 1998.
- Sdr. Frans Indrapradja OFS, FRANSISKUS DAN DOA, Memorandum No. Min/02/2000 tanggal 16 Januari 2000.
- Claude Jarmack OFMConv., HOW FRANCIS PRAYED, The Cord, Vol. 44, No. 10, October 1994.
- Mgr. Leo Laba Ladjar OFM (Penerjemah, pemberi pengantar dan catatan), “KARYA-KARYA FRANSISKUS DARI ASISI”, Jakarta: SEKAFI, 2001. [LLL]
- Michael Scanlan TOR, APPOINTMENT WITH GOD, Steubenville, Ohio: Franciscan University Press, 1987.
- AD OFS 1978 dan Kitab Suci.
*) Disusun oleh Sdr. F.X. Indrapradja OFS untuk digunakan dalam pertemuan OFS Persaudaraan Santo Thomas More pada hari Minggu, tanggal 15 Februari 2009.
[1] Dalam “Antifon Santa Perawan Maria” dalam “Ibadat Sengsara Tuhan” memang termuat unsur doa permohonan untuk didoakan syafaat oleh Bunda Maria bersama dengan Santo Mikael Malaikat agung dan semua balatentara surga serta semua orang kudus, pada Putera-nya terkasih, yang adalah Tuhan dan Guru.
[2] Lihat Fioretti, Lima Renungan tentang Stigmata Suci, Permenungan Ketiga: Fransiskus Mendapat Stigmata.
[3] MB, hal. xiv.
[4] Saudara awam berarti seorang bruder.
[5] Ofisi Ilahi. Pada waktu itu Ofisi Ilahi mencakup ibadat harian dan Ekaristi, Istilah itu dewasa ini lenyap dari liturgi Gereja. Lihat catatan kaki no. 23 dalam LLL, hal. 111.
[6] Mereka = para anggota OFS.