Paus Yohanes Paulus II dalam Surat Ensikliknya, Eccelesia de Eucharistia [EE] (Ekaristi dan Hubungannya dengan Gereja; 17 April 2003) menulis, bahwa Yesus-lah yang dalam kewibawaan-Nya mengenakan kepada pelayan Ekaristi sakramen tahbisan imam, yang memungkinkan terjadinya konsekrasi. Justru Yesus-lah, yang dengan kuasa beramanat kepada pelayan Ekaristi di Ruang Perjamuan: “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagimu. Inilah piala darah-Ku yang dicurahkan bagimu …” Imam mengulangi kata-kata ini, atau lebih tepat, menaruh kata-kata ini dalam Dia, yang mengucapkannya pada Ruang Perjamuan, dan yang menghendaki agar kata-kata ini diulangi sepanjang masa oleh semua orang, yang ambil-bagian pelayanan dalam imamat-Nya (EE 5). Pernyataan Sri Paus ini menggaris-bawahi pentingnya peranan imam dalam kurban Ekaristi, yang menurut Konsili Vatikan II adalah sumber dan puncak setiap hidup Kristiani (Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium tentang Gereja, 11).
Gereja universal menetapkan “Hari Raya Hati Yesus yang Mahakudus”, yang jatuh pada hari Jumat tanggal 19 Juni 2009 lalu, sebagai awal dari TAHUN IMAM. Selama TAHUN IMAM ini, seyogianyalah kita sebagai umat memusatkan perhatian kita sehari-hari pada para uskup dan imam, antara lain dengan mendoakan mereka secara istimewa dalam doa-doa harian kita, terutama bagi para imam yang paling sering berhubungan dengan kita, yaitu mereka yang berkarya di paroki kita sendiri dan mereka yang masing-masing kita kenal secara pribadi.
EKARISTI KUDUS DAN IMAM
Dokumen resmi pertama dari Konsili Vatikan II adalah “Konstitusi Sacrosanctum Concilium [SC] tentang Konstitusi Liturgi Suci”. Mengenai misteri suci ini (Ekaristi), dokumen ini menyatakan: “Pada perjamuan terakhir, pada malam Ia diserahkan, Penyelamat kita mengadakan Kurban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya. Dengan demikian Ia mengabadikan Kurban Salib untuk selamanya, dan mempercayakan kepada Gereja Mempelai-Nya yang terkasih kenangan Wafat dan Kebangkitan-Nya: sakramen cintakasih, lambang kesatuan, ikatan cintakasih, perjamuan Paskah. Dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dikaruniai jaminan kemuliaan yang akan datang” (SC 47). Aspek-aspek Ekaristi yang tidak sedikit dan berbeda-beda itu, serta kaya dan indah itu terungkap secara padat dalam pernyataan para Bapak Konsili ini. Pada awal tulisan ini saya mengajak para pembaca untuk menerima kenyataan bahwa Ekaristi ini tidak dapat menjadi kenyataan, tanpa adanya imam.
Paus Yohanes Paulus II dalam Surat Ensikliknya, Eccelesia de Eucharistia [EE] (Ekaristi dan Hubungannya dengan Gereja; 17 April 2003) menulis, bahwa Yesus-lah yang dalam kewibawaan-Nya mengenakan kepada pelayan Ekaristi sakramen tahbisan imam, yang memungkinkan terjadinya konsekrasi. Justru Yesus-lah, yang dengan kuasa beramanat kepada pelayan Ekaristi di Ruang Perjamuan: “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagimu. Inilah piala darah-Ku yang dicurahkan bagimu …” Imam mengulangi kata-kata ini, atau lebih tepat, menaruh kata-kata ini dalam Dia, yang mengucapkannya pada Ruang Perjamuan, dan yang menghendaki agar kata-kata ini diulangi sepanjang masa oleh semua orang, yang ambil-bagian pelayanan dalam imamat-Nya (EE 5). Pernyataan Sri Paus ini menggaris-bawahi pentingnya peranan imam dalam kurban Ekaristi, yang menurut Konsili Vatikan II adalah sumber dan puncak setiap hidup Kristiani (Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium tentang Gereja, 11).
Dalam tulisan ini kita akan melihat bersama, bahwa penghormatan umat kepada para imam terkait erat dengan Ekaristi Kudus. Sikap hormat kita kepada para imam seharusnya terutama bersumberkan pada penghormatan kita pada Ekaristi Kudus. Pertimbangan-pertimbangan lainnya bersifat sekunder.
EKARISTI KUDUS SEBAGAI SUMBER SIKAP HORMAT KEPADA PARA IMAM
Dalam tulisan ini, saya bertumpu pada spiritualitas Fransiskan yang saya hayati. Dalam spiritualitas Fransiskan, sikap hormat kepada para imam sangat ditekankan. Hal ini terlihat jelas dalam berbagai tulisan Santo Fransiskus dari Assisi sendiri dan juga beberapa riwayat hidupnya (hagiografi) yang awal. Iman dan cintanya akan Ekaristi Kudus memberikan inspirasi kepada Fransiskus untuk sangat menghormati para imam, martabat imamat dan gereja-gereja. Seorang penulis riwayat hidupnya yang awal, Beato Thomas dari Celano menulis:
Ia menginginkan rasa hormat yang besar ditunjukkan bagi tangan-tangan para imam, karena kepada tangan-tangan itu diberikan secara ilahi wewenang untuk melaksanakan misteri ini. Dia sering berkata; “Seandainya aku bertemu dengan orang kudus mana saja yang datang dari surga dan pada saat yang sama bertemu dengan seorang imam miskin yang kecil, maka pertama-tama aku menunjukkan rasa hormatku kepada sang imam dan bergegas lebih cepat untuk mencium tangan-tangannya. Karena aku akan berkata kepada orang kudus itu: ‘Hai, Santo Laurensius, tunggu! Tangan imam itu dapat memegang Sabda Kehidupan, dan memiliki sesuatu yang lebih daripada sekedar hal-hal yang bersifat manusiawi!’ ” (Riwayat Hidup Kedua 201).
Sekadar sebuah catatan: Santo Laurensius (+258) adalah seorang diakon dan martir Roma.
Penulis Kisah Ketiga Sahabat (K3S) juga membuat catatan yang berkaitan dengan penghormatan istimewa Fransiskus kepada para imam seperti berikut:
Fransiskus dengan cermat mengajak para saudara, agar mereka teguh menepati Injil Suci dan anggaran dasar yang telah mereka janjikan, khususnya mereka mesti menaruh rasa hormat dan berkhidmat kepada ibadah ilahi dan peraturan gerejawi, mendengar Misa, dan dengan amat khusyuknya menyembah Tubuh Tuhan. Ia juga menghendaki bahwa para saudara secara istimewa menghormati para imam yang menangani sakramen-sakramen yang amat luhur dan terhormat. Di mana pun mereka berjumpa dengan seorang imam hendaknya mereka menundukkan kepala dan mencium tangan mereka. Ia menghendaki bahwa para saudara, jika berjumpa dengan imam yang sedang naik kuda, tidak hanya mencium tangan imam tersebut, tetapi juga kuku kuda yang mereka tunggangi oleh karena rasa hormat kepada kuasa para imam (K3S 57).
Kualitas para klerus pada zaman Fransiskus memang sangat rendah. Kaum bidaah Kathari dan Waldensi mendeklarasikan secara blak-blakan, bahwa para imam yang hidup dalam dosa telah kehilangan kuasa-imamat mereka. Dari hari ke hari gerakan-gerakan bidaah itu semakin berkembang, malah sampai menjadi ancaman bagi Gereja. Fransiskus melawan kaum bidaah ini dengan iman-kepercayaan yang tak tergoyahkan akan Firman Allah dan Ekaristi Kudus, dua hal yang dipercayakan kepada para imam.
Seorang imam Dominikan, Stefanus dari Bourbon OP (1261) membuat catatan bagaimana Fransiskus sangat menghormati para imam: Pada suatu hari, dalam perjalanannya Fransiskus melintas di daerah Lombardy. Para penduduk sebuah desa tertentu, terdiri dari klerus dan awam, Katolik dan penganut bidaah, ramai-ramai mendatanginya. Sejumlah kaum Kathari berhasil mendekati Fransiskus, kemudian menunjuk sang pastor desa seraya berkata kepada Fransiskus: “Katakanlah kepada kami, hai orang baik, bagaimana mungkin gembala jiwa ini dapat dipercayai dan dihormati, karena dia mempunyai gundik dan melakukan dosa yang diketahui orang-orang?” Apa tanggapan Fransiskus? Dia pergi menemui imam itu, berlutut di hadapannya dan mencium tangan-tangannya, lalu berkata: “Aku tidak tahu apakah tangan-tangan ini kotor atau tidak, namun demikian kuasa sakramen yang ditata-laksanakan oleh tangan-tangan ini tidak hilang karenanya. Tangan-tangan ini telah menyentuh Tuhanku. Karena rasa hormatku kepada Tuhan, maka aku menghormati wakil-Nya; bagi dirinya sendiri mungkin dia buruk; tetapi bagiku dia baik”.
Tindakan Fransiskus yang penuh hormat kepada pastor desa tersebut sepenuhnya sesuai dengan petuahnya (Pth) kepada para saudara:
Berbahagialah hamba, yang menaruh kepercayaan kepada para rohaniwan, yang hidup tepat menurut peraturan Gereja Roma. Akan tetapi celakalah orang yang meremehkan mereka. Sebab sekalipun mereka itu pendosa, namun tidak seorang pun boleh menghakimi mereka, karena semata-mata Tuhanlah yang mengkhususkan mereka bagi diri-Nya untuk dihakimi.
Sebab semakin luhur tugas pelayanan mereka berkenaan dengan tubuh dan darah mahakudus Tuhan kita Yesus Kristus, yang mereka sambut dan hanya mereka sendiri boleh menghidangkannya kepada orang lain, maka semakin berat pulalah dosa yang dibuat orang terhadap mereka, lebih berat daripada dosa yang dibuat terhadap semua orang lainnya di dunia ini (Pth XXVI:1-4).
Tidak lama sebelum hari kematiannya, dari pembaringannya Fransiskus menyuruh tulis dalam Wasiat-nya (Was) apa yang paling berharga dalam hatinya dan paling suci di muka bumi ini:
Lalu Tuhan menganugerahkan dan masih menganugerahkan kepadaku kepercayaan yang sedemikian besar juga kepada para imam, yang hidup menurut peraturan Gereja Roma yang kudus, karena tahbisan mereka, sehingga kalaupun mereka mengejar-ngejar aku, aku tetap mau minta perlindungan pada mereka. Kalaupun aku begitu bijaksana seperti Salomo dan menjumpai imam-imam yang amat malang di dunia ini, aku tidak mau berkhotbah di paroki tempat mereka tinggal kalau mereka tidak menghendakinya. Aku menyegani mereka dan semua lainnya, mau mengasihi dan menghormati mereka sebagai tuanku. Aku tidak mau tahu tentang dosa di dalam diri mereka sebab di dalam diri mereka aku dengan jelas melihat Putera Allah, dan mereka itu adalah tuanku. Aku berbuat demikian karena di dunia ini aku sekali-kali tidak melihat Putera Allah Yang Mahatinggi itu secara jasmaniah, selain tubuh dan darah-Nya yang mahakudus, yang mereka sambut dan yang hanya mereka sendiri boleh menghidangkan-Nya kepada orang lain. Aku menghendaki, agar misteri yang mahakudus itu dihormati melampaui segala-galanya, disembah dan disimpan di tempat yang berharga (Was 6-11).
Apa yang menjadi alasan atau motif Fransiskus? Dalam “Surat Kedua kepada Kaum Beriman” (2SurBerim), Fransiskus menulis: “Kita ……… harus menaruh rasa hormat dan takzim kepada para rohaniwan; bukan pertama-tama karena orangnya sendiri – sebab bisa jadi mereka itu pendosa – tetapi karena tugas dan pelayanan tubuh dan darah Kristus Yang Mahakudus, yang mereka kurbankan di altar dan mereka sambut serta mereka bagikan kepada orang-orang lain (2SurBerim 33). Karena hanya para imam sajalah yang dapat menerima misteri Ekaristi ini dalam tangan-tangan mereka dan untuk menata-laksanakannya, maka Fransiskus sangat menghormati mereka. Jadi dapat dikatakan, bahwa penghormatan Fransiskus kepada para imam adalah semacam “derivatif” daripada penghormatannya terhadap Ekaristi Kudus. Dengan demikian, Ekaristi Kudus adalah sumber dari sikap hormat Fransiskus terhadap para imam.
CATATAN PENUTUP
Fransiskus dari Assisi bukanlah seorang imam. Ia adalah seorang diakon. Sebagai umat kebanyakan, kita semua dapat meneladan apa yang telah ditunjukkan oleh orang kudus ini selama hidupnya di dunia. Seorang imam janganlah sampai disanjung-sanjung hanya karena khotbah-khotbahnya yang bagus, penuh humor, berasal dari etnis yang sama dan lain sebagainya. Semua imam harus dihormati, dikasihi, didukung, justru karena anugerah istimewa yang diberikan Tuhan kepada mereka: “hanya oleh tangan merekalah roti dan anggur diubah menjadi tubuh dan darah Kristus”. Seperti dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II di atas, konsekrasi dalam Kurban Ekaristi hanya dimungkinkan karena adanya Sakramen Tahbisan Imam. Perintah Yesus bagi kita semua para murid-Nya untuk merayakan Ekaristi, “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (1Kor 11:24-25; bdk Luk 22:19), tidak akan terwujud sepanjang sejarah manusia kalau tidak ada para imam. Di sisi lain umat juga harus realistis dan penuh pengertian, karena seorang imam juga bukan seorang superman. Dia juga seorang manusia biasa dengan segala kelemahannya, di samping kekuatan-kekuatan yang dimilikinya, artinya dia juga dapat berpikir salah, bersikap salah dan berperilaku salah dalam situasi tertentu.
Penghormatan kepada para imam yang didasarkan pada motif Ekaristi seperti diuraikan di atas tidak akan berakibat buruk dalam bentuk kultus-individu yang sangat tidak diinginkan, terutama dalam kehidupan sebuah paroki. Penghormatan yang bermotifkan Ekaristi tidak akan menghalangi seseorang untuk berani misalnya melontarkan kritik-positifnya terhadap pastor parokinya, seandainya terdapat sesuatu yang perlu dikoreksi dalam pelaksanaan salah satu atau beberapa aspek fungsi penggembalaan pastor paroki tersebut. Ia tidak akan merasa takut. Mengapa? Karena bagi orang itu, di belakang sang pastor paroki ada figur yang jauh lebih besar dan agung: Kristus sendiri!
Yang diharapkan Bapak Uskup KAJ dari para imamnya dapat dibaca dalam “Surat Gembala menghantar Tahun Imam” (13/14 Juni 2009), khususnya yang termuat dalam butir 7. Sebagai penutup saya kutip apa yang ditulis oleh Bapak Uskup Agung KAJ pada bagian akhir surat gembalanya: “Seluruh umat saya undang untuk ikut menjaga dan memelihara keagungan Imamat Kristus yang diemban oleh para uskup dan imam”.
Semoga berkat Allah Tritunggal dan doa-doa pengantaraan Bunda Maria selalu menyertai para uskup dan imam Gereja di negara kita yang tercinta ini. Amin!
Cilandak, 22 Juni 2009
[Peringatan dua martir Inggris: S. John Fisher, Uskup & S. Thomas More, negarawan/ Fransiskan sekular]
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS