Santo Bonaventura menulis yang berikut ini:
Siapa gerangan mampu secara memadai menceritakan cinta-kasih bernyala-nyala, yang membakar hati Fransiskus, sahabat karib sang Mempelai? Bagaikan bara api yang bernyala-nyala kelihatannya dia sepenuhnya terserap oleh nyala api cinta-kasih Ilahi. ……
Aku menghendaki, agar misteri yang mahakudus itu dihormati melampaui segala-galanya, disembah dan disimpan di tempat yang berharga. Nama-Nya yang tersuci dan firman-Nya yang tertulis, di mana pun kudapati di tempat yang tidak semestinya, mau kukumpulkan, dan aku minta agar dikumpulkan dan ditaruh di tempat yang pantas (Was 11-12).
Juga terkutuklah semua orang yang kini melihat sakramen, yang dikuduskan oleh firman Tuhan di atas altar melalui tangan imam dalam rupa roti dan anggur, tetapi tidak melihat dan percaya menurut Roh dan keallahan, bahwa itu benar-benar tubuh Tuhan dan darah mahakudus Tuhan kita Yesus Kristus; Yang Mahatinggi sendiri memberi kesaksian tentang hal itu dengan berfirman: Inilah tubuh-Ku dan darah perjanjian-Ku yang baru (yang ditumpahkan bagi banyak orang); dan: Siapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup kekal (Pth I: 9-10).
Ekaristi Kudus menduduki tempat sentral dalam kehidupan dan tulisan-tulisan Santo Fransiskus. Sejak awal perjalanan pertobatannya sampai kepada penulisan Wasiat-nya, kita dapat melihat betapa Ekaristi Kudus secara tetap ‘menyita’ hati dan pikiran orang kudus ini dan mengarahkan kegiatan-kegiatannya.
Untuk memberi gambaran yang lebih jelas, baiklah saya kutip apa yang ditulis oleh seorang Fransiskan-Kapusin, Pater Hilarin Felder, pada tahun 1923 mengenai betapa pentingnya peranan Ekaristi Kudus dalam kehidupan Bapa Serafik kita:
Manakala Fransiskus berbicara mengenai sang Penyelamat, maka – di atas segalanya – yang ada dalam pikirannya adalah Ekaristi. Pelayanannya bagi Kristus layaknya seorang ksatria, upayanya meneladan Dia, dan kasihnya kepada Kristus yang begitu kuat, begitu nyata dan hidup itu, bukanlah kepada sang Penyelamat yang begitu jauh dalam waktu atau jarak, melainkan kepada Pribadi Kristus yang langsung hadir dalam Sakramen Mahakudus. Palungan dan salib, keduanya ditemukan olehnya hadir di sini. Di sinilah Guru ilahi Fransiskus hidup dan bernafas. Di sinilah ksatria Kristus berdiri tegap berjaga, hari demi hari di pelataran istana dan takhta Raja-nya yang Maha Tinggi. Bagi Fransiskus, altar adalah tungku-perapian dari iman-kepercayaannya, dari harapannya dan dari kasihnya, tujuan pemikiran-pemikiran dan tindakan-tindakannya. Dalam Ekaristi dan melalui Ekaristi, Kristus – bagi Fransiskus – menjadi suatu realitas yang hidup. Ekaristi adalah fokus keseluruhan hidup religiusnya.[1]
Semoga lewat tulisan ini kita masing-masing dapat merefleksikan dengan lebih mendalam apa makna Ekaristi Kudus bagi Fransiskus, dengan demikian – sebagai para pengikutnya – kita pun dapat meneladan orang kudus ini sebaik mungkin.
INFORMASI DARI BEBERAPA RIWAYAT HIDUPNYA YANG AWAL
Perihal devosi Fransiskus kepada Ekaristi Kudus, Beato Thomas dari Celano menulis sebagai berikut:
Terhadap sakramen Tubuh Tuhan, dia terbakar dengan kegairahan sampai ke sumsumnya yang terdalam, dan dengan rasa takjub tak terhingga terhadap perendahan diri penuh cinta-kasih dan cinta-kasih yang merendah itu. Dia menimbang sebagai sesuatu sikap tidak menaruh hormat, jika waktu mengizinkan, kalau dia tidak mendengar Misa paling sedikit sekali dalam sehari. Dia menerima Komuni Suci seringkali dan dengan sikap yang begitu saleh, sehingga membuat orang-orang lain menjadi saleh juga. Mengikuti hal yang patut dimuliakan itu dengan segala rasa hormat dia mempersembahkan semua anggota tubuhnya, dan selagi menerima Anakdomba yang disembelih dia mengorbankan rohnya sendiri dalam api yang selalu terbakar di altar hatinya. Karena inilah dia mencintai Perancis[2] sebagai seorang sahabat Tubuh Tuhan, dan bahkan ingin mati di sana, karena hormat-bakti penduduk daerah itu terhadap hal-hal yang suci.
Sekali dia ingin mengirim saudara-saudaranya ke seluruh dunia dengan membawa piksis yang berharga, sehingga di mana saja mereka menemukan harga penebusan kita di tempat yang tidak layak, maka mereka dapat menempatkannya dalam tempatnya yang terbaik.
Ia menginginkan rasa hormat yang besar ditunjukkan bagi tangan-tangan para imam, karena kepada tangan-tangan itu diberikan secara ilahi wewenang untuk melaksanakan misteri ini. Dia sering berkata; “Seandainya aku bertemu dengan orang kudus mana saja yang datang dari surga dan pada saat yang sama bertemu dengan seorang imam miskin yang kecil, maka pertama-tama aku menunjukkan rasa hormatku kepada sang imam dan bergegas lebih cepat untuk mencium tangan-tangannya. Karena aku akan berkata kepada orang kudus itu: ‘Hai, Santo Laurensius,[3] tunggu! Tangan imam itu dapat memegang Sabda Kehidupan, dan memiliki sesuatu yang lebih daripada sekedar hal-hal yang bersifat manusiawi!’ ” (2Cel 201).[4]
Santo Bonaventura menulis yang berikut ini:
Siapa gerangan mampu secara memadai menceritakan cinta-kasih bernyala-nyala, yang membakar hati Fransiskus, sahabat karib sang Mempelai? Bagaikan bara api yang bernyala-nyala kelihatannya dia sepenuhnya terserap oleh nyala api cinta-kasih Ilahi. ……
Yesus yang tersalib bagi jiwanya bagaikan sebungkus mur senantiasa tersisip di antara buah dadanya (Kid 1:13). Dia ingin sekali diubah sepenuhnya dalam Dia oleh nyala api cinta-kasih yang tak terhingga. …… Begitu hangat perasaan cintanya yang dikandungnya terhadap Kristus; sedangkan sang Kekasih membalasnya dengan cinta-kasih yang begitu mesra, sehingga kelihatannya bagi hamba Allah, seakan-akan kehadiran Penyelamatnya terasa terus-menerus di depan matanya, sebagaimana pernah diceritakannya dengan ramah kepada sahabat-sahabatnya. Cinta-kasih yang bernyala-nyala dan meresap sampai ke dalam hati sanubarinya memenuhi hatinya terhadap Sakramen Tubuh Tuhan. Dengan ketakjuban yang tak terhingga dia mengagumi kerelaan-Nya yang penuh cinta-kasih dan cinta-kasih-Nya yang amat rela. Dia sering menyambut komuni, dan itupun begitu baktinya, sehingga dia membuat orang-orang lain menjadi bakti pula. Sebab sementara dia mengenyam kemanisan Anakdomba yang tak bernoda, maka dia seakan-akan mabuk jiwanya dan kebanyakan kali dia lalu tercekam ekstase (LegMaj IX:1-2).
Dalam “Kisah Ketiga Sahabat – Riwayat Hidup Santo Fransiskus dari Asisi” terdapat catatan mengenai ajakan Fransiskus kepada para saudara, antara lain untuk dengan khidmat menghadiri Misa dan dengan rasa hormat yang mendalam menyambut Tubuh Kristus:
Fransiskus dengan cermat mengajak para saudara, agar mereka teguh menepati Injil suci dan anggaran dasar yang telah mereka janjikan, khususnya mereka mesti menaruh rasa hormat dan berkhidmat kepada ibadah ilahi dan peraturan gerejawi, mendengar Misa, dan dengan amat khusyuknya menyembah Tubuh Tuhan (K3S 57).
Ada juga catatan tentang Fransiskus yang sering memberikan alat-alat perlengkapan gereja kepada para imam yang miskin (2Cel 8; bdk K3S 8). Dapat diperkirakan, bahwa alat-alat perlengkapan gereja yang dimaksudkan adalah untuk digunakan dalam perayaan Misa Kudus. Kepada Santa Klara dan suster-susternya, Fransiskus memberi tugas untuk membuat kain-kain dan jubah imam untuk merayakan Ekaristi Kudus yang dapat dibagi-bagikannya kepada gereja-gereja miskin dan imamnya.[5]
EKARISTI KUDUS DALAM TULISAN-TULISAN FRANSISKUS
Dalam pelbagai tulisannya, dengan jelas dan disertai nada mendesak, Fransiskus menjelaskan keyakinan dan iman-kepercayaannya yang mendalam, bahwa Ekaristi Kudus merupakan suatu aktualisasi penyelamatan berkelanjutan seturut kehendak Allah sendiri, diwujudkan oleh Yesus Kristus dan dilanjutkan dalam sejarah oleh Roh Kudus. Bagi Fransiskus Ekaristi Kudus bukanlah sekedar sebuah misteri yang harus dihormati dan dipuja, melainkan secara hakiki merupakan suatu rancangan Allah yang jelas bagi umat manusia, yaitu apa dan bagaimana kemanusiaan seharusnya.[6]
Kalau kita membaca teks-teks yang menyangkut Ekaristi Kudus dalam sejumlah tulisan Fransiskus, maka tanpa banyak susah kita dapat memahami bagaimana “Ekaristi Kudus” merupakan tema yang selalu ada dalam hati dan pikiran orang kudus ini. Kita akan mengawali pembahasan kita dengan tulisan-tulisannya yang bukan berupa surat[7]:
1. PETUAH-PETUAH, KHUSUSNYA FASAL I (Pth I)
“Petuah-petuah” (Admonitiones) menduduki tempat penting dalam tulisan-tulisan Santo Fransiskus. Di dalamnya dikedepankan aspek kemiskinan rohani yang sejati. Ada yang menganggapnya sebagai penggalan-penggalan dari “Anggaran Dasar Tanpa Bulla (AngTBul).[8] Sebaliknya ada pula yang berpendapat, bahwa tidak ada hubungan langsung antara Pth dan AngTBul. Menurut pandangan kedua ini, Pth pada awalnya merupakan nasihat-nasihat yang disampaikan Fransiskus dalam pelbagai kesempatan (misalnya dalam sidang Ordo), dan baru dikumpulkan setelah ia wafat. Pendapat ini kiranya dibenarkan oleh KISAH KETIGA SAHABAT yang mengatakan, bahwa Fransiskus sendiri menyampaikan ajaran, teguran dan perintah, sebagaimana dianggapnya perlu menurut maksud Tuhan (K3S 57).[9] Karena gaya bahasanya yang lebih baik daripada “Wasiat Santo Fransiskus” (Was) dan adanya sisipan ayat-ayat Kitab Suci, maka menurut Kajetan Esser pengumpulannya kiranya terjadi sewaktu Fransiskus masih hidup[10], sebab orang tidak berani mengubah sesuatu tanpa persetujuan dan sepengetahuan Fransiskus. Pengumpulan itu dikerjakan oleh seorang sekretaris dan disusun menurut suatu kata kunci. Karena itu hubungan antara nasihat yang satu dengan yang berikutnya merupakan hubungan asosiatif. Satuan nasihat itu berasal dari waktu yang berbeda-beda, tetapi diredaksikan menjadi satu kesatuan besar yang diberi judul umum “Petuah-Petuah” pada akhir hidup Fransiskus (1226).
Keseluruhan Pasal I yang berjudul “Tubuh Tuhan”, memuat doktrin Ekaristi Kudus yang dipelajari oleh Fransiskus dari teologi pada masanya. Petuah ini lahir sebagai penolakan Fransiskus terhadap ketidakpercayaan kaum Kathari.[11] Dalam hal ini Fransiskus mau melindungi para saudaranya dari bahaya pengaruh aliran bid’ah ini.
Karena kritik tajam kaum Kathari terhadap Gereja dan masyarakat pada masa itu serta praktek askesenya yang keras, maka ajaran aliran bid’ah ini sangat berkenan bagi banyak orang dan banyak orang Kristiani. Karena itu ajaran kaum Kathari ini mudah merakyat dan mudah mendapat banyak penganut. Ajaran sesat ini menyentuh inti iman Katolik yang dihayati Fransiskus. Ajaran sesat ini menolak dan menyangkal seluruh karya penciptaan Allah, penjelmaan Sabda Allah, Gereja yang kelihatan serta sakramen-sakramen sebagai tanda keselamatan, penghormatan terhadap Maria sebagai Ibunda Putera Allah dan lain sebagainya. Terhadap ajaran sesat itu Fransiskus mengajarkan, bahwa Tuhan Yesus adalah satu-satunya jalan. Tidak ada jalan lain! Hanya dalam Roh Kudus, Yesus dapat dikenal sebagai Putera Allah.[12]
Menurut Gerald Lobo OFM[13], “Petuah-Petuah” Pasal I berisikan visi Fransiskus tentang Ekaristi Kudus. Konteks historis Pasal I dapat merupakan keputusan-keputusan yang dibuat oleh Konsili Lateran IV pada tahun 1215 dan Surat edaran Paus Honorius III tentang Ekaristi Kudus, Sane cum olim pada tahun 1219. Menurut Pasal I ini, Ekaristi Kudus adalah “Ketersembunyian Allah” (Inggris: Hiddenness of God) dan pada saat sama adalah “Penampakan Allah” (Inggris:God’s Epiphany). Pemahaman ini disoroti dalam empat aspeknya: (1) Keilahian Inkarnasi Tuhan Yesus (Pth I:1-7); (2) kehadiran nyata Tuhan Yesus dalam roti dan anggur yang telah dikonsekrasikan (Pth I:8-10); (3) iman serta penyambutan tubuh dan darah Tuhan Yang Mahakudus (Pth I:11-13); (4) Ekaristi Kudus sebagai kelanjutan Inkarnasi Tuhan (Pth I:14-22).[14]
Keilahian Inkarnasi Tuhan Yesus (Pth I: 1-7). Allah itu superior secara tak terbatas ketimbang semua makhluk di atas bumi. Seturut kodrat-Nya sebagai Allah, Ia tidak kelihatan dan sebagai murni-roh, Ia tidak dapat ditangkap oleh mata manusia. “Dialah satu-satunya yang tidak takluk kepada maut, bersemayam dalam terang yang tak terhampiri. Tidak seorang pun pernah melihat Dia (Yoh 1:18) dan memang manusia tidak dapat melihat Dia” (1Tim 6:16). Karena Allah itu Roh (Yoh 4:24), maka Dia hanya dapat dilihat dalam Roh. Putera-Nya – karena Dia Allah – juga tidak dapat dilihat kecuali dalam Roh. Menanggapi permintaan Filipus yang minta ditunjukkan Bapa, Yesus bersabda: “Siapa saja yang telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa!” (Yoh 13:9).
Mengenal Yesus berarti mengenal Bapa surgawi (Yoh 14:7). Meskipun para murid telah mendengar apa yang diajarkan-Nya, telah melihat karya-karya-Nya, mereka belum mampu mengidentifikasikan diri mereka dengan Yesus, yang adalah “Firman Allah yang menjadi manusia”. Yesus adalah gambar sesungguhnya dari Allah yang tak kelihatan (Kol 1:15). Maka, dalam kebenaran dan pada kenyataannya, Yesus adalah Imanuel, Allah menyertai kita. Dia dapat dilihat dalam terang Bapa, dalam Roh dan dalam iman. Pikiran manusia secara murni tidak akan dapat memahami hal-hal dari Roh Allah, dan tanpa Roh Allah orang tidak dapat memahami Kitab Suci karena Kitab Suci adalah karya Roh. Maka kita harus melihat Yesus secara benar – dalam jalan yang benar, yaitu jalan iman. Kita butuh percaya dengan teguh, bahwa Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh manusia.
Kehadiran nyata (Pth I:8-10). Menurut Fransiskus (ayat 8), terkutuklah mereka semua yang dahulu melihat Tuhan Yesus menurut kemanusiaan tetapi tidak melihat dan percaya menurut Roh dan keallahan, bahwa Dia adalah sungguh-sungguh Putera Allah. Hal ini berarti mereka semua yang melihat Yesus hanya sebagai manusia saja, tanpa mengimani-Nya sebagai Putera Allah.[15] Demikian pula, terkutuk jugalah mereka semua yang tidak percaya, bahwa roti dan anggur Ekaristi itu sungguh Tubuh dan Darah Kristus (ayat 9-10 yang dipetik lengkap dalam awal tulisan ini).
Allah, yang karena Yesus menjadi kelihatan, sungguh hadir dalam roti dan anggur yang telah dikonsekrasikan oleh kehadiran pribadi Yesus sendiri dalam Ekaristi Kudus. Tentunya kita tidak dapat melihat-Nya dengan mata badani kita. Dia hanya dapat dilihat dalam Roh atau seturut Roh. Artinya melihat Dia dalam dimensi ilahi-Nya sebagai Putera yang benar dari Bapa, yaitu Allah sendiri. Melihat Yesus hanya dimungkinkan dengan menjadi miskin secara batiniah dan dengan menghayati hidup kesederhanaan Injili dalam segala bidang kehidupan.
Di sini Fransiskus secara terinci mengkonkritkan kehadiran personal Yesus dalam sabda-sabda Tuhan, di atas altar dalam rupa roti dan anggur, di tangan-tangan imam, di mana sakramen datang untuk dikonsekrasikan. Ia menekankan, bahwa roti dan anggur itu adalah sungguh tubuh dan darah Tuhan Yesus Kristus.
Di sini, menurut Gerald Lobo OFM[16], kita mempunyai suatu wacana Kristologis yang berurusan dengan realitas Inkarnasi. Fransiskus berpegang teguh pada pendiriannya, bahwa Yesus adalah Putera Allah yang menjadi daging, pribadi sama yang bersabda kepada orang kusta, “Sembuhlah!”; dan orang kusta itu pun disembuhkan secara instan. Dengan perkataan lain, Yesus bukanlah “seseorang yang cuma ada dalam angan-angan”, melainkan sungguh riil. Oleh karena itu Dia mampu berkata: “Inilah tubuh-Ku; inilah darah-Ku” (lihat Mrk 14:22-24; bdk Mat 26:26-28; Luk 22:19-20; 1Kor 11:23-25). Sekarang, apabila imam mengucapkan sabda Tuhan tadi pada waktu Doa Syukur Agung (konsekrasi), maka kita dapat percaya dengan teguh bahwa Yesus sendirilah yang mengkonsekrasikan roti dan anggur di atas altar, di tengah-tengah kita. Dengan demikian kehadiran-Nya tidak hilang, tetapi terus berlanjut. Imam, oleh kata-kata dalam konsekrasi, membuat peristiwa yang terjadi di masa lampau menjadi peristiwa hari ini, karena perintah Yesus yang diberikan oleh-Nya pada Perjamuan Terakhir.
Bagaimana kita dapat mencapai suatu keyakinan sedemikian, bahwa Tuhan sungguh hadir dalam Ekaristi Kudus? Fransiskus sebelum itu sudah menulis: “Rohlah yang memberi hidup!” (ayat 6; bdk Yoh 6:63). Dari sebab itu Roh yang sama pulalah yang memampukan kita untuk mengalami kehadiran nyata Kristus (sebagai perpanjangan kehadiran-Nya pada Perjamuan Terakhir). Dalam Ekaristi Kudus, Fransiskus melihat kelanjutan Inkarnasi Tuhan. Selama hidup-Nya di atas bumi, Yesus memanifestasikan diri-Nya dalam tubuh insani-Nya, dalam tindakan-tindakan-Nya, dalam pelbagai sabda yang diucapkan-Nya dan penyembahan-Nya kepada Bapa. Dengan demikian masih mungkinlah bagi orang untuk bertemu dengan personalitas insani-Nya. Sekarang kemanusiaan yang sama dimanifestasikan dalam Ekaristi Kudus. Kita semua harus melihat Kristus dalam Roh, dengan mata rohani kita.
Iman dan penyambutan tubuh dan darah Kristus (Pth I: 11-13). Seperti pada zaman Fransiskus, maka pada zaman modern ini – dengan segala kecanggihannya, dan di mana seseorang itu percaya hanya pada apa yang dilihatnya – iman merupakan kunci untuk memahami realitas yang berubah dari roti dan anggur di atas altar menjadi tubuh dan darah Kristus. Dilihat oleh mata manusia, roti dan anggur tidak mengalami perubahan apa-apa. Rasa, warna, ukuran, bentuk roti dan anggur akan tetap sama. Akan tetapi, setelah konsekrasi, oleh kuasa “Firman yang menghidupkan” (kata-kata konsekrasi), oleh kuasa Roh Kudus, realitas berubah: bagi orang yang membuka hatinya dan menyerahkan dirinya bagi misteri itu. Roti dan anggur tetap merupakan tanda kehadiran nyata Tuhan.
Dengan demikian, seperti dikatakan Yesus sendiri: “Siapa saja yang makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal…” (Yoh 6:54; sebaiknya baca keseluruhan Yoh 6:46-55). Seseorang yang menerima tanda-tanda ini dalam iman sungguh-sungguh menerima tubuh dan darah terkudus Tuhan. Sesungguhnya ini adalah karya Roh yang bersemayam dalam diri kita (ayat 12), yang tidak hanya berseru “Abba, Bapa” (Rm 8:15), melainkan juga memampukan orang beriman untuk menerima makanan surgawi. Roh dalam dalam diri kita – manusia; sebagaimana apa adanya kita – membawa kita kepada suatu persekutuan dengan Tuhan, membuat kita setia. Fransiskus mencatat, bahwa apabila Roh tidak bersemayam dalam diri kita, maka makan dan minum Ekaristi Kudus berarti melakukan sesuatu hal yang terkutuk (lihat ayat 13). Santo Paulus juga telah memberi peringatan keras kepada mereka yang menyambut Ekaristi secara tidak pantas, artinya mereka yang tidak sungguh-sungguh percaya bahwa roti dan anggur yang telah dikonsekrasikan adalah tubuh dan darah Tuhan (lihat 1Kor 11:29).
Oleh karena itu, iman memainkan suatu peranan yang bersifat sangat fundamental dan tidak-bisa-tidak harus ada, agar kita dapat memasuki suatu tingkatan yang lebih tinggi dalam kehidupan kita. Fransiskus mengundang para pembaca tulisannya ini (dan para pendengar juga) untuk memperoleh iman yang dimaksudkan ini dan juga untuk sampai mengasihi Allah sedemikian rupa, sehingga dapat menyambut karunia-karunia Ekaristi sebagai makanan untuk perjalanan hidup Kristiani kita.
Ekaristi Kudus sebagai kelanjutan Inkarnasi Tuhan (Pth I:14-22). Tema pokoknya di sini adalah tema perendahan dan pengosongan-diri Allah yang Mahatinggi dalam rupa roti dan anggur yang sederhana. Marilah kita baca dan renungkan kutipan tulisan Fransiskus berikut ini:
Oleh karena itu: Hai kamu anak-anak manusia, sampai berapa lama lagi kamu bertegar hati? Mengapa kamu tidak mengakui kebenaran dan tidak percaya kepada Putera Allah? Lihatlah, setiap hari Ia merendahkan diri (bdk Flp 2:8), seperti tatkala Ia turun dari takhta kerajaan (Keb 18:15) ke dalam rahim Perawan. Setiap hari Ia datang kepada kita, kelihatan rendah; setiap hari Ia turun dari pangkuan Bapa ke atas altar di dalam tangan imam. Seperti dahulu Ia tampak pada para rasul dalam daging yang sejati, demikian juga kini Ia tampak pada kita dalam roti kudus. Mereka, dengan pandangan mata jasmaniahnya, hanya melihat daging-Nya saja; tetapi dengan pandangan mata rohaniahnya, mereka percaya, bahwa Dia adalah Allah. Demikian juga kita, dengan mata badaniah kita yang kita lihat adalah roti dan anggur; tetapi hendaklah kita melihat dan percaya dengan teguh, bahwa itu adalah tubuh dan darah-Nya yang mahakudus, yang hidup dan benar. Cara demikianlah yang dipakai Tuhan untuk selalu menyertai orang-orang yang percaya kepada-Nya, sebagaimana Ia sendiri berfirman: Ketahuilah, Aku menyertai kamu sampai akhir zaman (bdk Mat 28:20) (Pth I:16-22).
Bagi Fransiskus, Inkarnasi Tuhan bukanlah sekedar sebuah peristiwa historis yang terjadi sekitar 2.000 tahun di Betlehem, melainkan peristiwa yang terjadi setiap hari. Ekaristi Kudus adalah kelanjutan peristiwa Betlehem. Ekaristi Kudus adalah sebuah peristiwa menyangkut Allah yang tidak pernah berhenti “menjadi daging” bagi kita dan dalam diri kita. Kedatangan Yesus di atas altar dibandingkan dengan peristiwa turun-Nya Yesus dari pangkuan Bapa di surga ke dalam rahim Santa Perawan Maria. Maka konsekrasi roti dan anggur dikontemplasikan oleh Fransiskus sebagai suatu Inkarnasi yang baru, Natal yang baru. Allah menjadi manusia agar supaya menjadi Ekaristi bagi dunia.
Perendahan atau pengosongan-diri Allah telah menimbulkan kekaguman Fransiskus yang luar biasa terhadap Yang Mahatinggi. Dia “tersembunyi” dalam sepotong roti kecil. Oleh karena itulah dia dengan spontanitas yang tak terlukiskan oleh kata-kata menulis “madah perendahan diri Tuhan” dalam Suratnya kepada Seluruh Ordo:
“O keagungan yang mengagumkan dan kesudian yang menakjubkan! O perendahan diri yang luhur! O keluhuran yang merendah! Tuhan semesta alam, Allah dan Putera Allah, begitu merendahkan diri-Nya, sampai Ia menyembunyikan diri dalam rupa roti yang kecil, untuk keselamatan kita! Saudara-Saudara, pandanglah perendahan diri Allah itu dan curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya. Rendahkanlah dirimu, agar kamu ditinggikan oleh-Nya” (SurOr 27-28).
Inilah jalan perendahan Kristus setiap hari dalam Ekaristi Kudus. Ia adalah Allah yang merendah dan mengenakan diri-Nya dengan kondisi manusiawi. Kita tidak mempunyai cara lain untuk mengalami Inkarnasi Allah yang begitu berwujud; kecuali dalam Ekaristi Kudus. Misteri Inkarnasi ini sudah dirayakan sekitar 2.000 tahun lamanya dan dengan penuh misteri Inkarnasi Kristus ini dilanjutkan setiap harinya. Dalam perayaan Sakramen yang diselenggarakan setiap hari ini, ketaatan Yesus kepada Bapa-Nya juga diperbaharui dan dilaksanakan. Inilah sumber dan motif minoritas para Fransiskan: ketersembunyian, kekecilan dan kedinaan mereka merupakan konsekuensi dari ketersembunyian Allah dalam Ekaristi Kudus. Dengan cara begini Tuhan selalu bersama umat beriman, seperti yang telah disabdakan-Nya sendiri: “Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Pth I:22; bdk Mat 28:20).
Visi tentang misteri Ekaristi Kudus yang diimani dan dipraktekkan dalam hidup oleh Santo Fransiskus dari Assisi mencerminkan rasa hormatnya yang mendalam terhadap Ekaristi Kudus, dan suatu penyerahan diri secara total, seperti terlihat juga dalam tulisan-tulisannya yang lain.
2. WASIAT SANTO FRANSISKUS (Was)
Sesudah “Anggaran Dasar yang diteguhkan dengan Bulla” (AngBul), Was merupakan karya Fransiskus yang paling banyak disebut dalam naskah-naskah yang berasal dari abad ke-13 sampai abad ke-18. Beato Thomas dari Celano (2Cel 163) mengatakan, bahwa Fransiskus “menyuruh tulis” Was itu, hal mana dapat diartikan bahwa Fransiskus menyerahkan penulisan Was kepada seorang saudara yang terpelajar, yang menulis seperti dikatakan Fransiskus kepadanya. Hal ini menjelaskan gaya Was yang begitu sederhana, tercampur dengan gaya bahasa Italia; kekurangan-kekurangan tidak sempat diperbaiki, seperti juga tidak sempat ditambahkan kutipan-kutipan dari Kitab Suci, karena kematian orang kudus ini. Tanpa persetujuannya, orang rupanya tidak berani menyentuh dan mengolah kembali teks hasil karyanya, apalagi dengan adanya ungkapan “ ……tidak menambahi atau mengurangi kata-kata ini” (Was 35). Penulisan Was dibuat pada hari-hari terakhir hidup Santo Fransiskus, ketika dia sudah dipindahkan ke Portiuncula, jadi akhir September atau hari-hari pertama bulan Oktober 1226.
Dalam Was diingatkan lagi perlunya ketaatan penuh hormat kepada Gereja (hierarkhi). Dalam rangka ini harus dipahami rasa hormatnya yang besar kepada para imam karena tahbisan mereka. Di dalam diri para imam, Fransiskus dengan jelas melihat Putera Allah (Was 6-9). Dia mengenang kembali apa yang telah terjadi dua puluh tahun sebelumnya, yaitu bahwa atas perintah Sang Tersalib di San Damiano, dia mulai memperbaiki dengan tangan-tangannya sendiri kerusakan-kerusakan yang ada dalam gereja kecil itu; bagaimana dia secara teratur mengambil bagian dalam perayaan Ekaristi dalam gereja kecil itu dan bagaimana di sana Tuhan turun di tangan-tangan imam setiap harinya. (bdk Pth 1:18).
Bagi Fransiskus, percaya adalah suatu cara melihat, suatu cara memandang, suatu masalah sikap. Maka setelah berbicara sebanyak empat ayat tentang penghormatan kepada para imam, orang kudus ini langsung membawa kita kepada ayat 10, yang merupakan alasan-mengapanya:
Aku berbuat demikian karena di dunia ini aku sekali-kali tidak melihat Putera Allah Yang Mahatinggi itu secara jasmaniah, selain tubuh dan darah-Nya yang mahakudus, yang mereka sambut dan yang hanya mereka sendiri boleh menghidangkan-Nya kepada orang lain (Was 10).
Petikan ayat 11 dan 12 terdapat dalam awal tulisan ini. Roti biasa tidak memuaskan rasa lapar Fransiskus dan air anggur biasa tidak dapat menghilangkan rasa dahaganya. Hanya dalam roti dan anggur yang telah dikonsekrasikan-lah orang kudus ini melihat Putera Allah Yang Mahatinggi. Dan, roti dan anggur Ekaristi-lah yang diperlukan sebagai bekal perjalanannya sebagai seorang musafir dan seorang asing dalam menuju rumah Bapa. Fransiskus sangat menghormati para imam, karena hanya mereka (para imam) sajalah yang dapat menerima misteri agung ini dalam tangan-tangan mereka dan untuk menata-laksanakannya.
EKARISTI KUDUS DALAM SURAT-SURAT SANTO FRANSISKUS
Kampanye Fransiskus sehubungan dengan Ekaristi termuat dalam beberapa suratnya, yang dikenal juga sebagai “Surat-surat Ekaristi”. Surat-surat Fransiskus yang diuraikan di bawah ini termasuk kategori “Surat-surat Ekaristi” termaksud, kecuali “Surat Kedua kepada Kaum Beriman” (2SurBerim). “Surat-surat Ekaristi” Fransiskus ini (tentunya juga 2SurBerim) merupakan bukti-bukti yang kuat sekali perihal cinta-kasih orang kudus ini pada Tubuh dan Darah Tuhan Yesus Kristus.
1. SURAT KEDUA KEPADA KAUM BERIMAN (2SurBerim)
Meskipun tidak termasuk kategori “Surat-surat Ekaristi”, 2SurBerim ini menyinggung masalah Ekaristi Kudus juga. Surat ini ditujukan kepada “Saudara-saudara Pentobat” (cikal bakal ordo ketiga yang sekarang bernama OFS). Surat ini merupakan kesaksian istimewa perihal spiritualitas Kristiani yang sungguh mendalam dari Bapa Serafik kita. Tema inkarnasi Anak Allah serta sengsara dan wafat-Nya dikemukakan dalam surat ini, dengan pemberian tekanan kuat pada segi kemanusiaan-Nya (lihat misalnya 2SurBerim 4 dan 9).
Penekanan “kemanusiaan” Yesus Kristus ini kiranya juga dimaksudkan untuk melindungi para “saudara pentobat” terhadap bahaya kaum Kathari dan Waldensi[17], gerakan-gerakan bid’ah yang mempunyai pengaruh besar di kalangan awam pada masa itu. Upaya untuk melindungi para “saudara pentobat” terhadap bahaya gerakan bid’ah juga nyata dari penegasan tentang pelayanan Sakramen Ekaristi berikut ini:
(34) Kita semua mesti dengan yakin menyadari, bahwa tidak seorang pun dapat diselamatkan, selain oleh firman kudus serta darah Tuhan kita Yesus Kristus, yang disampaikan, diwartakan dan dihidangkan oleh para rohaniwan. (35) Hanya mereka saja yang boleh menghidangkannya, dan bukan orang lainnya” (2SurBerim 34-35).
Ayat 35 yang dikutip di atas menunjukkan posisi tegas dari Fransiskus vis a vis kaum Waldensi yang mempunyai keyakinan, bahwa awam yang saleh pun berhak merayakan Misa Kudus sebagai selebran dan juga menata-laksanakan sakramen-sakramen, karena fungsi tersebut tidak tergantung apakah seseorang sudah ditahbiskan sebagai imam, tetapi apakah orang itu pantas karena kesucian pribadinya.
Surat ini menyinggung berbagai aspek Ekaristi Kudus, begitu rupa sehingga sungguh memberi kesan bahwa Ekaristi Kudus tidak pernah meninggalkan hati dan pikiran Fransiskus. Dari surat ini, ada dua pokok menyangkut Ekaristi Kudus yang patut kita renungkan:
- Pengakuan dosa merupakan suatu disposisi yang pantas serta layak untuk menerima Tubuh dan Darah Kristus (2SurBerim 22-24; bdk AngTBul XX).
- Kita harus menaruh rasa hormat kepada para rohaniwan karena tugas dan pelayanan tubuh dan darah Kristus Yang Mahakudus, yang mereka kurbankan di altar dan mereka sambut serta mereka bagikan kepada umat (2SurBerim 33-35; bdk Pth XXVI:1; Was 6).
2. SURAT KEPADA SELURUH ORDO (SurOr)
Surat edaran ini mengungkapkan relasi mendalam yang ada antara Fransiskus dengan Allah. Berikut ini adalah uraian yang memperlihatkan betapa besar arti surat ini dalam upaya seseorang untuk mengenal spiritualitas Fransiskus, khususnya yang menyangkut Ekaristi Kudus.[18]
Pandangan Fransiskus terhadap Ekaristi Kudus itu mempunyai cirinya sendiri. Setelah orang kudus ini – dalam Yesus – menyampaikan salamnya kepada para saudara dan meminta kepada mereka semua untuk menyembah Tuhan Yesus Kristus, yang disebut Putera Yang Mahatinggi, setiap kali mendengar nama-Nya; mendengarkan-Nya; mengindahkan perintah-Nya dengan segenap hati dan mengikuti nasihat-Nya dengan budi sempurna; memuji-muji-Nya untuk kebaikan-Nya; meluhurkan-Nya dalam pekerjaan mereka karena Dialah yang mengutus mereka; agar lewat perkataan dan perbuatan mereka memberi kesaksian tentang Dia serta memaklumkan kepada kepada semua orang, bahwa tak ada Yang Mahakuasa selain Dia; untuk bertekun dalam ketertiban dan ketaatan yang suci serta memenuhi apa yang telah mereka janjikan kepada-Nya dengan niat yang baik dan teguh; dan untuk meyakinkan diri mereka bahwa Tuhan Allah menawarkan diri kepada kita sebagai anak-anak-Nya; maka dengan segala kerendahan hati dia melanjutkan suratnya dengan tulisan yang menyangkut Ekaristi Kudus sebagai berikut:
“Karena itu aku mohon kepada kamu semua, Saudara-Saudara, dengan mencium kakimu dan dengan kasih yang sebesar-besarnya, agar kamu, sesuai dengan kemampuanmu, menyatakan segala hormat dan khidmat kepada tubuh dan darah mahakudus Tuhan kita Yesus Kristus. Dalam Dia, segala sesuatu yang ada di surga dan di bumi diperdamaikan dan dipersatukan kembali dengan Allah Yang Mahakuasa [bdk Kol 1:20]” (SurOr 12-13).
Rasa hormatnya yang besar terhadap Ekaristi Kudus mendorong Fransiskus untuk menasihati para saudara-imam, agar menjaga kemurnian hati dalam mempersembahkan misa. Para imam tersebut harus hidup dengan cara-cara yang konsisten dengan tugas pelayanan mereka, khususnya pelayanan Ekaristi Kudus. Maksudnya ialah agar mereka memiliki ujud yang suci dan mencari kehendak Allah semata-mata, untuk menyenangkan Dia saja, dan bukannya untuk mengejar suatu keuntungan duniawi. Berikut ini adalah sebuah petikan dari surat orang kudus ini:
“Juga aku minta dalam Tuhan kepada semua saudaraku para imam, yang sudah dan akan atau ingin menjadi imam Tuhan Yang Mahatinggi, agar bila mereka itu akan mempersembahkan misa, hendaklah mereka itu sendiri murni, dan dengan murni serta khidmat mempersembahkan kurban sejati tubuh dan darah mahakudus Tuhan kita Yesus Kristus; dengan niat yang suci dan murni, bukan untuk sesuatu perkara duniawi. Bukan pula karena takut atau karena kasih akan seorang manusia, seakan-akan untuk menyenangkan orang. Akan tetapi seluruh kehendaknya, sejauh dibantu rahmat, hendaklah diarahkan kepada Allah, dengan hasrat untuk menyenangkan Tuhan Yang Mahatinggi itu semata-mata; sebab Dia sendirilah yang melaksanakan misteri itu, sebagaimana berkenan pada-Nya” (SurOr 14-15).
Fransiskus bergerak dalam koridor tradisi Katolik yang berlaku pada masanya. Namun segi yang paling menonjol dan menentukan sikap Fransiskus terhadap Ekaristi Kudus ialah kehadiran Yesus Kristus secara “badani” dan “kelihatan” dalam Ekaristi Kudus tersebut. Yesus Kristus yang melalui Injil bersabda kepada Fransiskus, dalam rupa roti dan anggur menampakkan diri kepadanya. Dalam Sakramen Ekaristi Fransiskus bertemu muka dengan Yesus Kristus. Dengan demikian Sakramen Mahakudus menjadi semacam epifani (penampakan Tuhan) bagi orang kudus ini. Waktu dan urutan peristiwa dalam waktu menjadi hilang lenyap, sehingga semua serentak hadir. Dengan perkataan lain, seluruh peristiwa Yesus, yang “bermula” dari Inkarnasi-Nya hingga wafat-Nya di kayu salib serta kebangkitan-Nya dipadatkan serta diaktualkan (serta dikonkritkan) dalam Ekaristi Kudus. Bersama dengan Yesus yang menghampakan atau mengosongkan-diri-Nya dalam Sakramen Mahakudus seluruh peristiwa penyelamatan yang dipahami Fransiskus sebagai kenosis menjadi nampak baginya. Dengan melihat “secara badani” tubuh dan darah Kristus, Fransiskus menjadi “ko-eksisten” dengan seluruh Kristus. Ruang dan waktu hilang dan tinggal Kristus saja, Putera Allah yang Mahatinggi yang mengosongkan-diri, merendahkan diri-Nya, menjadi miskin secara total. Dengan demikian Putera Allah itu secara nyata juga menjadi pola untuk hidupnya.[19]
Maka yang nampak bagi Fransiskus dalam Ekaristi Kudus adalah Yesus Kristus, Putera Allah dan Allah, yang jejak-jejak-Nya mau diikuti olehnya. Yesus yang miskin, yang meskipun Allah, mengosongkan diri-Nya sehabis-habisnya dan sebulat-bulatnya. Maka Fransiskus meminta supaya para saudaranya yang imam agar sungguh suci, benar pantas dan kudus. Dan apabila semua hal itu terjadi dapatlah “mereka mengasihi-Nya melampaui semuanya, menghormati serta memuja-Nya (SurOr 24). Berikut tulisannya:
“Dengarkanlah, Saudara-Saudaraku. Kalau Santa Perawan begitu dihormati – dan hal itu memang pantas – karena ia telah mengandung Yesus di dalam rahimnya yang tersuci; kalau Santo Yohanes Pembaptis gemetar dan tidak berani menjamah ubun-ubun kudus Allah; kalau makam, tempat Ia dibaringkan selama beberapa waktu, begitu dihormati: betapa harus suci, benar dan pantaslah orang yang dengan tangannya menjamah-Nya, dengan hati dan mulut menyambut-Nya, serta memberikan-Nya kepada orang lain untuk disambut. Karena Dia, yang tidak akan mati lagi, tetapi yang hidup dan dimuliakan untuk selamanya, dan yang ingin dilihat oleh malaikat-malaikat!
Ingatlah akan martabatmu, Saudara-Saudara Para Imam, dan jadilah kudus, karena Dia sendiri kudus. Sebagaimana Tuhan Allah memberi kamu kehormatan lebih daripada semua orang karena pelayanan ini, demikianlah juga hendaknya kamu mengasihi Dia melampaui semuanya, menghormati serta memuja-Nya. Betapa besarnya kemalangan dan kelemahan yang patut disayangkan, apabila Dia hadir pada kamu (para imam) seperti itu, tetapi kamu justru menyibukkan diri dengan sesuatu yang lain di seluruh bumi” (SurOr 21-25).
Oleh karena itu, seraya ingat akan Sakramen Mahakudus ini, Fransiskus – layaknya seorang penyair – menulis seperti berikut ini:
(26) “Hendaklah seluruh diri manusia gemetar, seluruh dunia bergetar dan langit bersorak-sorai, apabila Kristus, Putera Allah yang hidup hadir di atas altar dalam tangan imam! (27) O keagungan yang mengagumkan dan kesudian yang menakjubkan! O perendahan diri yang luhur! O keluhuran yang merendah! Tuhan semesta alam, Allah dan Putera Allah, begitu merendahkan diri-Nya, sampai Ia menyembunyikan diri dalam rupa roti yang kecil, untuk keselamatan kita! (28) Saudara-saudara, pandanglah perendahan diri Allah itu dan curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya. Rendahkanlah dirimu, agar kamu ditinggikan oleh-Nya. (29) Karena itu janganlah menahan sesuatu pun yang ada padamu bagi dirimu sendiri, agar kamu seutuh-utuhnya diterima oleh Dia, yang memberikan diri-Nya seutuhnya bagi kamu” (SurOr 26-29).
Kesalehan Fransiskus yang mendalam terasa dalam petikan tulisan di atas tadi. Pembicaraannya mengenai Ekaristi Kudus tidak hanya tinggal sebagai ajaran atau wejangan, melainkan segera berubah menjadi “madah pujian perendahan diri Tuhan”.
Kehadiran nyata Yesus Kristus, Allah dan Putera Allah dalam kehampaan dan kemiskinan-Nya dalam Ekaristi Kudus membangkitkan rasa gentar, rasa hormat tak terhingga orang kudus ini terhadap Ekaristi itu sendiri. Rasa hormat ini tidak hanya bersifat batin melainkan juga bersifat lahir. Lihat petikan dari Was 11 pada awal tulisan ini.
Menurut C. Groenen OFM, banyaknya penyambutan komuni suci tidak terlalu merepotkan Fransiskus. Meskipun orang kudus ini berusaha setiap hari menghadiri Misa Kudus dan mendengarkan sabda Tuhan, dapat dipastikan bahwa sesuai dengan kebiasaan orang saleh pada masa itu, dia tidak setiap hari menyambut komuni suci.[20] Begitulah ternyata bahwa Fransiskus, betapa pun dia seorang realis, bukan seorang sakramentalis yang mementingkan “banyaknya”, meskipun – sesuai dengan Injil Yohanes – dia yakin sekali bahwa orang tidak dapat selamat kalau tidak makan tubuh Kristus (lihat 2SurBerim 23). Walaupun misa privata sudah lazim di masa itu, orang kudus ini menganjurkan bahwa pada kelompok-kelompok lokal para saudara hanya diadakan satu Misa saja setiap hari. Saudara-saudara imam lainnya hendaknya puas dengan menghadirinya:
“Karena itu di dalam Tuhan, aku memberikan nasihat dan ajakan ini: di tempat saudara-saudara tinggal, hendaknya dirayakan satu misa saja setiap hari menurut tata cara Gereja Kudus. Bahkan kalau di suatu tempat ada lebih dari satu imam, maka yang lain, demi cinta-kasih, hendaknya puas dengan turut menghadiri perayaan imam lainnya” (SurOr 30-31).[21]
Penghormatan kepada Ekaristi Kudus dan kepada firman Tuhan merupakan salah satu pokok yang penting untuk disoroti. Keduanya erat berhubungan satu sama lain. Baik dalam Ekaristi Kudus maupun dalam firman Tuhan, Fransiskus melihat Tuhan yang hadir secara “badani”, dan dia sama-sama menunjukkan kasih dan hormatnya kepada misteri kehadiran Allah dalam dua bentuk yang berbeda itu. Sebuah petikan lagi dari surat tersebut:
Karena itu aku menasihati semua saudaraku dan menegaskan dalam Kristus, supaya di mana pun mereka menemukan firman ilahi yang tertulis, mereka sedapat-dapatnya menghormatinya. Bila firman yang tertulis itu tidak tersimpan baik atau tercecer sembarangan di suatu tempat, maka hendaklah mereka mengumpulkan dan menyimpannya kembali sejauh hal itu menyangkut diri mereka. Dengan itu mereka menghormati Tuhan dalam sabda yang diucapkan-Nya. Sebab banyak hal dikuduskan oleh firman Allah, dan oleh kekuatan firman Kristus terwujudlah Sakramen Altar (SurOr 35-37; bdk Was 12).
Dia juga tidak hanya menasihati saudara-saudara tentang dosa dan kelemahan, tetapi dia sendiri mulai dengan mengakukan dosa dan kelemahannya sendiri, kepada Allah dan kepada semua saudara. Perendahan/pengosongan-diri Tuhan yang direnungkannya dalam Ekaristi Kudus ternyata meresapi dirinya sedalam-dalamnya (SurOr 38-39).
3. SURAT KEPADA PARA ROHANIWAN (1SurRoh dan 2SurRoh)
Bentuk lebih tua disebut surat yang pertama (1SurRoh), dan bentuk lebih kemudian disebut surat yang kedua (2SurRoh).[22] Dalam surat-(surat) yang dialamatkan kepada para rohaniwan (klerus) ini Fransiskus mencoba memberi kesan kepada mereka, bahwa tergantung pada merekalah apakah pelbagai upaya yang telah dibuatnya untuk mendorong devosi dan penghormatan kepada Ekaristi di antara orang banyak dan saudara-saudaranya sendiri akan berbuah atau tidak.
Surat-(surat) ini memberikan kepada kita sebuah gambaran bagaimana Ekaristi diperlakukan pada waktu itu. Jika Fransiskus harus sampai mengingatkan para rohaniwan penerima surat-(surat)-nya itu, bahwa mereka harus menjaga agar gereja tetap bersih dan agar disediakan kain altar yang cocok, maka tentunya pada waktu itu memang terdapat kekurangan yang serius. Di lain pihak, surat itu juga menunjukkan devosi Fransiskus yang mendalam kepada Sakramen Mahakudus.
Keprihatinan Fransiskus seperti diungkapkan dalam surat-(surat)-nya ini sejalan dengan keprihatinan Paus Honorius III, yang dalam surat edaran Sane cum olim,[23] menyatakan kesedihan dan kecemasannya karena banyak imam menyimpan dan memperlakukan Ekaristi dengan cara yang kurang pantas, kurang hormat dan memalukan. Karena itu Sri Paus memerintahkan, agar selanjutnya Ekaristi disimpan di tempat yang khusus dan diberi hormat bakti. Juga umat harus diajar untuk menyembah penuh hormat waktu hosti suci diangkat dalam misa. Demikian juga harus dilakukan pada waktu imam membawa hosti suci kepada orang sakit. Imam sendiri harus memakai pakaian yang pantas dengan kain penutup bahu yang bersih, menempatkan hosti itu di dada dengan penuh hormat, dan didahului dengan lilin bernyala. Mgr. Leo Laba Ladjar OFM mengungkapkan keyakinannya, bahwa Fransiskus dalam hal ini sungguh-sungguh bekerjasama dengan Paus Honorius III dalam mempropagandakan penghormatan itu, seperti nyata dalam suratnya.
Surat-(surat) ini juga menekankan penghormatan kepada Ekaristi Kudus di satu pihak dan penghormatan kepada Nama dan Firman-Nya yang Kudus, sedangkan Sri Paus (dan juga Konsili Lateran IV) hanya berbicara mengenai hal itu dalam kaitannya dengan Ekaristi.[24] Bagi Fransiskus hal ini mengungkapkan hubungan yang erat antara Firman (Sabda) dan Sakramen. Pada kenyataannya, kelihatannya kapan saja Fransiskus menyebut Ekaristi dia menyebut juga penghormatan yang harus diberikan kepada kata-kata dalam Kitab Suci dan semua kata tertulis yang mungkin dapat disusun menjadi Nama yang Kudus:
Kita, rohaniwan semuanya, hendaknya berhati-hati terhadap dosa berat dan kurangnya pengetahuan yang ada pada sejumlah orang terhadap tubuh dan darah mahakudus Tuhan kita Yesus Kristus, dan terhadap nama-Nya[25] yang tersuci serta firman-Nya yang tertulis, yang menguduskan tubuh. Kita tahu, bahwa tubuh tidak dapat ada kalau tidak lebih dahulu dikuduskan oleh firman. Sebab mengenai Yang Mahatinggi itu sendiri tidak suatu pun yang kita miliki dan kita lihat secara badani di dunia, selain tubuh dan darah, nama dan firman-Nya, yang olehnya kita dijadikan dan ditebus dari kematian kepada kehidupan (1 SurRoh 1-3; 2 SurRoh 1-3).
Jadi Fransiskus selalu berbicara tentang “Tubuh dan Darah Mahakudus” dan “nama-Nya yang tersuci dan firman-Nya”. Hal ini mendorong kita untuk menafsirkannya sebagai “penyamarataan antara Sakramen Mahakudus dan Firman Allah”. Namun dalam kenyataan praktisnya Fransiskus menaruh rasa hormat yang lebih besar pada Ekaristi Kudus daripada nama-nama dan firman Allah. Sebab, menurut dia, Tubuh Tuhan hendaknya ditaruh di dalam tempat yang berharga, sedangkan nama dan firman-Nya ditaruh di tempat yang pantas, seperti dengan jelas ditunjukkan oleh petikan di bawah ini:
…… di mana pun tubuh mahakudus Tuhan kita Yesus Kristus diletakkan dan disimpan dengan cara yang tidak patut, hendaklah kita mengambil-Nya dari tempat itu dan menaruh-Nya di tempat yang berharga dan hendaknya dikunci.[26] Demikian pula dengan nama dan firman Tuhan yang tertulis, di mana pun didapati di tempat yang kotor, hendaklah dikumpulkan dan diletakkan di tempat yang pantas (1SurRoh 11-12; 2SurRoh 11-12).
Fransiskus mengutarakan keyakinannya yang sama dalam 1SurKus 4-5 dan Was 11-12. Jadi memang ada perbedaan antara keduanya; tempat untuk Ekaristi Kudus serta semua perabot yang berkaitan dengan Ekaristi Kudus haruslah yang berharga. Semua ini akhirnya bermuara pada kampanye (ajakan) untuk mempraktekkan penghormatan serta devosi terhadap Ekaristi Kudus dengan cara yang tepat.[27]
Dalam surat-(surat) ini juga tampak untuk pertama kalinya kenyataan yang mengesankan, bahwa Fransiskus meminta kepada para rohaniwan untuk memperbanyak tulisannya dan menyebarkannya. Dia pun menjanjikan berkat Allah yang khusus bagi mereka yang memenuhi permintaannya itu. Hal tersebut merupakan kesaksian tentang kesadaran misioner Fransiskus, tetapi juga tentang cintanya yang berapi-api kepada firman Tuhan dan kepada Sakramen Ekaristi Kudus. Bahwa orang sezamannya memenuhi permintaannya, terbukti oleh adanya biarawan Subiaco yang menyalin surat-(surat) Fransiskus itu bersama dokumen penting lainnya di dalam sebuah buku misa di biaranya.[28]
Bentuk yang lebih tua (1SurRoh) maupun bentuk yang lebih kemudian (2SurRoh) dari “Surat kepada para Rohaniwan” ini secara keseluruhan sama isinya. Karena itu pertanyaannya adalah, apakah memang ada dua surat yang berbeda, atau sebenarnya memang cuma ada satu saja. Namun ada perbedaan signifikan yang terdapat dalam ayat 4, 13 dan 14. Menurut Mgr. Leo Laba Ladjar OFM, perbedaan penting itu tidak cukup hanya dianggap sebagai variasi saja dari surat yang satu dan sama. Oleh karena itu 1SurRoh dan 2SurRoh, menurut Mgr Leo Laba Ladjar OFM, haruslah dilihat sebagai dua surat yang berbeda, meskipun keduanya berhubungan erat satu sama lain.[29]
Dari uraian di atas kita melihat, bahwa pada satu sisi surat-(surat) ini merupakan tanggapan dan tindak-lanjut Fransiskus secara tertulis terhadap keadaan menyedihkan serta memalukan pada masa itu dalam hal memperlakukan Ekaristi Kudus. Dalam Speculum Perfectionis (Cermin Kesempurnaan; permulaan abad ke-14), diceritakan, bahwa Fransiskus selalu merasa sedih apabila melihat gereja yang tidak bersih. Karena itu dia sering membawa sapu bila dia berkeliling untuk berkhotbah. Setelah berkhotbah, dia mengumpulkan para imam di tempat terpencil agar tak terdengar oleh orang dunia/sekular dan berkhotbah kepada mereka tentang keselamatan jiwa, dan juga mengajak mereka untuk menjaga kebersihan gereja, altar dan semua yang perlu untuk perayaan Ekaristi Kudus, yang sesungguhnya merupakan perayaan “misteri ilahi”.[30] Hal seperti ini sudah dibuatnya sejak awal karyanya, yaitu ketika jumlah para saudara masih sedikit.
Di sisi lain, surat-(surat) ini juga menggambarkan dengan jelas pandangan Fransiskus mengenai “kehadiran nyata” Kristus dalam Ekaristi Kudus. Bila kata-kata Konsekrasi – firman yang menguduskan – diucapkan atas roti dan anggur, maka kedua unsur itu menjadi sakramen. Dengan tegas orang kudus ini menyatakan, “Kita tahu, bahwa tubuh tidak dapat ada kalau tidak lebih dahulu dikuduskan oleh firman” (1SurRoh 2; 2SurRoh 2). Dengan menggunakan ungkapan “firman yang menguduskan”, Fransiskus lebih menekankan proses bagaimana yang Mahatinggi hadir di antara kita dan bagaimana Kristus nampak pada kita dalam rupa roti dan anggur. Paling tidak, dia menggaris-bawahi, bahwa tanpa kata-kata itu Tubuh Kristus tidak dapat hadir. Dengan demikian nyatalah, bahwa kata-kata Konsekrasi (“firman yang menguduskan”) merupakan syarat untuk kehadiran Tubuh Kristus yang kudus.
Kehadiran Kristus itu sungguh nyata, dapat disentuh serta dapat dilihat secara badaniah. Dengan menekankan kehadiran Allah (Kristus) yang dapat disentuh itu, Fransiskus serentak pula menekankan sifat-Nya yang eksklusif. Bagi orang kudus ini, Ekaristi merupakan satu-satunya tempat di mana Allah menjadi suatu kenyataan yang dapat dilihat dan dapat disentuh oleh manusia serta mendekatinya dengan masuk ke dalam dunia manusiawi. Dia menulis:
…… mengenai Yang Mahatinggi itu sendiri tidak suatu pun yang kita miliki dan kita lihat secara badani di dunia, selain tubuh dan darah, nama dan firman-Nya, yang olehnya kita dijadikan dan ditebus dari kematian kepada kehidupan” (1SurRoh 3; 2SurRoh 3).
Bagi Fransiskus, Ekaristi Kudus merupakan tempat di mana orang Kristiani mengalami Allah, bertemu dengan-Nya secara badaniah. Namun demikian Allah (Kristus) tetaplah Yang Mahatinggi itu sendiri. Dengan turun dari “terang yang tak terhampiri” (lihat Pth I:5) dan merendahkan diri-Nya, Allah (Kristus) tidak menghilangkan transendensi-Nya. Dengan memadukan ungkapan “Tubuh dan Darah”, Fransiskus sebenarnya melihat kesatuan dari Sakramen yang sama. Artinya ungkapan tersebut menyatakan iman-kepercayaannya akan penebusan yang terlaksana melalui kurban-berdarah di