Dalam salah satu komentarnya atas Surat Paulus kepada jemaat di Efesus, Santo Hieronimus [347-420] mengemukakan bahwa Santo Paulus begitu menghargai (dalam arti memuliakan) Nama Suci, sehingga dia tidak dapat berkhotbah tanpa menyebutkan Nama itu. Menurut P. R. Biasiotto OFM, semangat berarpi-api Santo Paulus dapat dijelaskan dalam diri seorang manusia yang telah menerima penglihatan dan pernyataan/pewahyuan dari Tuhan dan “tertangkap” di surga tingkat ketiga, di mana tentunya dia sempat melihat malaikat-malaikat dan orang-orang kudus bertekuk lutut ketika mendengar Nama Yesus diucapkan.
Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya di dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku, “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa! (Flp 2:8-11)
Pada tanggal 3 Januari, Gereja dan sejumlah keluarga rohani yang ada di dalamnya, memperingati NAMA YESUS YANG TERSUCI. Devosi kepada “Nama Yesus yang Tersuci” kelihatannya dimulai pada abad ke-11 dengan perkembangan suatu spiritualitas yang lebih afektif, walaupun sebenarnya ‘nama Yesus’ sudah dihormati serta dimuliakan secara istimewa sejak awal kekristenan, bahkan sudah digunakan untuk pengusiran roh-roh jahat atau perlindungan secara umum oleh para rasul dan murid-murid-Nya yang awal.
Dalam tulisan ini kita akan melihat perkembangan devosi kepada “Nama Yesus yang Tersuci”, yang – meskipun samasekali jauh dari komprehensif – diharapkan dapat memberi gambaran dasar bagi orang yang ingin sedikit mengetahui tentang hal tersebut.
Sejak awal Kekristenan. Awal mula devosi kepada Nama Yesus dapat dikatakan sudah ada sejak kelahiran Kekristenan (Kristianitas) itu sendiri. Kita dapat melihat dalam Perjanjian Baru (Luk 1:31; Mat 1:20 dsj.) bahwa asal mula Nama Suci itu datang dari Allah sendiri.
Para rasul Kristus dan murid-murid-Nya yang awal mempunyai devosi kepada Nama Yesus. Mereka sadar akan kuat-kuasa dari Nama Suci ini, untuk itu kita lihat para rasul membuat mukjizat dalam Nama Tuhan. Coba baca dan renungkan “Doa Jemaat” kepada Allah (Kis 4:23-30). Kalimat terakhir dalam doa itu berbunyi: “Ulurkanlah tangan-Mu untuk menyembuhkan orang, dan adakanlah tanda-tanda dan mukjizat-mukjizat oleh nama Yesus, Hamba-Mu yang kudus” (Kis 4:30). Para rasul/murid yang awal dengan semangat berapi-api menyebar-luaskan kemuliaan Nama Yesus. Mereka sungguh mencintai Nama itu, menyebarkan pengetahuan tentang Nama itu, menderita karena Nama itu. Ingatkah anda apa yang terjadi di Mahkamah Agama (Kis 5:26-42)? Setelah nasihat Gamaliel diterima oleh para anggota Mahkamah Agama itu, maka mereka memanggil rasul-rasul itu, lalu mencambuk mereka dan melarang mereka mengajar dalam nama Yesus. Sesudah itu mereka dilepaskan. Rasul-rasul itu meninggalkan sidang Mahkamah Agama dengan sukacita, karena mereka telah dianggap layak menderita penghinaan oleh karena Nama Yesus (Kis 5:40-41).
Paulus. Ananias mendapat perintah dari Tuhan Yesus untuk menumpangkan tangannya atas Saulus yang baru menjadi buta karena perjumpamaannya dengan Yesus di jalan menuju Damsyik (lihat Kis 9:1-19a). Tahu siapa Saulus itu dan reputasinya, Ananias pada awalnya enggan melaksanakan perintah Tuhan itu. Dia lalu berdoa kepada Tuhan: “Tuhan, dari banyak orang telah kudengar tentang orang itu, betapa banyaknya kejahatan yang dilakukannya terhadap orang-orang kudus-Mu di Yerusalem. Lagi pula di sini dia memperoleh kuasa dari imam-imam kepala untuk menangkap semua orang memanggil nama-Mu.” Tetapi firman Tuhan kepadanya, “Pergilah, sebab orang ini adalah alat pilihan bagi-Ku untuk memberitakan nama-Ku di hadapan bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel. Aku sendiri akan menunjukkan kepadanya, betapa banyak penderitaan yang harus ia tanggung oleh karena nama-Ku” (Kis 9:13-16).
Tidak ada orang lain yang dapat menyaingi Santo Paulus dalam devosinya kepada “Nama Yesus yang Tersuci”. Dari saat pertobatannya, Nama Yesus sudah tertera pada hatinya. Nama Yesus menghiasi seluruh ajaran Paulus. Ia bahkan rela mati demi Nama Yesus, untuk ini Lukas mencatat dengan baik apa yang dikatakan Paulus: “Mengapa kamu menangis sehingga membuat hatiku hancur? Sebab aku ini rela bukan saja untuk diikat, tetapi juga untuk mati di Yerusalem demi nama Tuhan Yesus” (Kis 21:13).
Dalam salah satu komentarnya atas Surat Paulus kepada jemaat di Efesus, Santo Hieronimus [347-420] mengemukakan bahwa Santo Paulus begitu menghargai (dalam arti memuliakan) Nama Suci, sehingga dia tidak dapat berkhotbah tanpa menyebutkan Nama itu. Menurut P. R. Biasiotto OFM, semangat berarpi-api Santo Paulus dapat dijelaskan dalam diri seorang manusia yang telah menerima penglihatan dan pernyataan/pewahyuan dari Tuhan dan “tertangkap” di surga tingkat ketiga, di mana tentunya dia sempat melihat malaikat-malaikat dan orang-orang kudus bertekuk lutut ketika mendengar Nama Yesus diucapkan.
Ada legenda yang menceritakan kepada kita tentang cinta Paulus kepada “Nama Yesus yang Tesuci”, sehingga pada waktu dieksekusi, maka kepalanya yang dipenggal berputar-putar sebanyak tiga kali, dan pada setiap putaran menyebut Nama Yesus. Legenda ini beredar pada abad ke-12.
Martir-martir awal – antara kenyataan sejarah dan legenda. Semangat para rasul dan murid-murid Yesus yang awal tentunya ditularkan kepada anak-anak rohani mereka. Dari Kitab Suci jelas Santo Stefanus mati dirajam dengan Nama Yesus di bibirnya (lihat 7:58-60). Mungkin hal inilah yang menjadi sumber dari banyaknya legenda abad pertengahan yang menghubung-hubungkan “Devosi kepada Nama Yesus yang Tersuci” dengan para martir. Legenda memang bukanlah bukti sejarah, namun beberapa legenda itu merupakan suatu bagian integral dari “Devosi kepada Hati Yesus yang Tersuci”. Di belakang hari, legenda menjadi semacam jembatan yang menghubungkan kita orang-orang zaman ini dengan para pendahulu kita.
Santo Laurentius [+ 258]. Misalnya dalam kasus S. Laurentius, seorang diakon di Roma pada masa pontifikat Paus Sixtus II (257-258). Gubernur memerintahkan kepadanya supaya dia menyerahkan keuangan keuskupan. Laurentius mengumpulkan para fakir miskin dan menjawab: “Tuanku, inilah harta kekayaan Gereja!” Langsung saja Laurentius di bakar hidup-hidup di atas panggangan. Setelah separuh badannya hangus terbakar, dia minta kepada para algojo yang menyiksanya agar tubuhnya dibalikkan, supaya seluruh badannya menjadi matang (catatan: kalau istilah perbistikannya, tentunya lebih daripada very well done). Laurentius memang seseorang yang penuh dengan rasa humor. Jelas Santo Laurentius mati demi imannya kepada Yesus Kristus. Nah, menurut legenda, “Devosi kepada Nama Yesus yang Tersuci”-lah yang memberi kekuatan dan ketenangan kepada Laurentius dalam menanggung segala siksaan itu.
Santa Agatha. Tentunya banyak dari anda yang pernah mendengar cerita tentang Santa Agatha yang hidup pada masa pemerintahan Kaisar Decius [249-251]. Gubernur provinsi Sisilia, Quintianus mengeluarkan sebuah maklumat, bahwa semua orang Kristiani harus diadili di Palermo, ibu kota provinsi. Dia mendengar bahwa di Catania, di kaki gunung api Aetna tinggallah seorang gadis Kristiani yang sangat cantik. Ia menginginkan gadis itu. Nama gadis itu Agatha. Agatha sudah berjanji tidak akan menikah dengan laki-laki mana pun, karena keperawanannya telah dipersembahkan olehnya kepada Kristus. Oleh karena itu dia menolak keinginan sang Gubernur.
Penolakan Agatha ini membuat marah sang penguasa. Berbagai macam perlakuan yang tak pantas diberlakukan atas diri Agatha dan akhirnya dia disiksa dengan sangat keji Ada cerita bahwa S. Petrus – dalam penampakan – mendatangi Agatha di penjara untuk menghiburnya dan mengobati luka-luka yang dideritanya. Siksaan atas diri Agatha antara lain diguling-gulingkan di atas pecahan kaca dan bara api yang merah menyala. Menjelang detik-detik kematiannya, Agatha berdoa: “Tuhan, Engkau telah melindungiku sejak masa mudaku. Engkau jualah yang telah menjauhkan diriku dari cinta duniawi. Kini Engkau mengizinkan aku menang melawan segala siksaan terhadap tubuh ini. Tuhan, ke dalam tangan-Mu kini kuserahkan jiwaku.”
Dalam kasus Santa Agatha ini ada legenda yang beredar bahwa dia pernah menjawab dengan pedas pertanyaan seorang hakim yang mengancamnya: “Apabila Tuan mengancam dengan binatang-binatang buas, aku tidak mempunyai rasa takut, karena semua binatang akan dijadikan jinak ketika mendengar nama Kristus, dan apabila tuan menggunakan api, maka suatu embun yang menyelamatkan akan dicurahkan kepadaku dari surga, karena melalui kuasa Nama-Nya semua martir telah menang atas para penyiksa mereka.
Santo Ignatius (Ignasios) dari Antiokhia [+ 110]. Legenda uskup dari Antiokhia ini adalah klasik. Menurut legenda, devosi orang kudus ini kepada “Nama Yesus yang Tersuci” begitu besarnya, sehingga setelah kemartirannya jantung orang kudus ini dipotong (dibelek) sehingga terbuka dan di dalamnya diketemukan tulisan nama Yesus dalam huruf-huruf emas. Tanpa ragu-ragu ini cerita yang “lebay”, suatu ungkapan kesalehan yang berlebihan, namun jelas berdasarkan realitas sejarah. Dalam riwayat hidupnya, dapat dibaca bagaimana uskup ini mengatakan kepada Kaisar bahwa namanya adalah Theophorus. Ketika Kaisar Trayanus minta penjelasan, uskup Ignatius dengan berani mengatakan bahwa Theophorus adalah seseorang yang mempunyai Kristus dalam dadanya. Juga ada cerita, bahwa sementara mengalami penyiksaan yang kejam, Ignatius memanggil Nama Yesus terus-menerus. Ketika ditanya mengapa dia mengulang-ulangi Nama itu dengan begitu seringnya, Ignatius menjawab bahwa Nama itu tertulis pada hatinya, dengan mengucapkan Nama itu tanpa henti, dia ingin agar Nama itu ada pada bibirnya juga.
Santo Anselmus [1033-1109]. Berabad-abad setelah masa Uskup Ignatius dari Antiokhia, ada S. Anselmus, Uskup Agung Canterbury, teolog dan Pujangga Gereja yang lahir sebagai anak keluarga bangsawan di Aosta, Italia. Anselmus menulis berbagai karya filsafat dan teologi yang sangat berpengaruh. Salah satu buku yang ditulisnya berjudul Cur Deus Homo? (Mengapa Tuhan menjadi manusia?), yang ditulisnya di Roma ketika sedang dalam pelarian dari pengejaran Raja Inggris William II. Ciri-ciri khas tulisan-tulisannya ialah penggunaan argumen rasional. Namun ketegasan intelektualnya itu diimbangi dan diperlunak oleh kepekaan rasa dan kebaikan hatinya.
Pada suatu hari Anselmus berkata: “Aku ingin memahami suatu kebenaran yang membuat hatiku percaya dan mencintainya, tetapi aku bukan berusaha mengerti supaya dapat percaya, melainkan aku percaya supaya dapat mengerti” (Credo ut intelligam). Definisinya tentang teologi adalah “Fides quaerens intellectum”. Ketika berusia 45 tahun (1078), rahib Anselmus dipilih menjadi abbas. Kemudian, pada tahun 1089 Anselmus diangkat menjad8i menjadi Uskup Agung Canterbury, namun karena perselisihan dengan Raja William II, maka baru pada tahun 1093 dia ditahbiskan sebagai Uskup Agung.
Anselmus bukanlah orang pertama yang menggunakan Nama Yesus untuk maksud devosional, namun meditasi yang ditulisnya sekitar tahun 1070; di mana dia menggumuli Nama itu sendiri, secara khusus penting dalam perkembangan selanjutnya dari “Devosi kepada “Nama Yesus yang Tersuci”. Meditasinya itu kemudian seringkali dapat ditemukan dalam buku-buku doa.
Santo Bernardus dari Clairvaux [1090-1153]. Kemudian muncullah S. Bernardus dari Clairvaux. Bernardus adalah seorang rahib, Abbas, Pujangga Gereja dan pendiri kedua dari Ordo Cistersian (Trapis). Orang kudus ini memanfaatkan karya S. Anselmus.
Konsili Lyons II [1274]. Praktek kesalehan terhadap Nama Yesus itu tersebar luas dengan cepatnya, teristimewa – kelihatannya – di negeri Inggris. Sekitar tahun 1260 di Salisbury ada Ofisi Nama Suci dan di antara para rahib Cistercian muncullah madah atau Jubilus yang berjudul Jesu dulcis memoria.yang secara keliru dikatakan sebagai hasil karya Bernardus. Kebiasaan menundukkan kepala pada saat “Nama Yesus yang Tersuci” disebut sudah menjadi suatu kebiasaan di pertengahan abad ke-13 dan hal itu diitetapkan dalam sebuh dekrit Konsili Lyons II.
Guibert dari Tournai [c. 1200-1284]. Seorang peserta Konsili Lyons II adalah Saudara Dina (Fransiskan) yang bernama Guibert dari Tournai. Saudara Dina inilah yang menulis, sepanjang diketahui, sebuah risalat (Traktat) lengkap pertama tentang “Nama Yesus yang Tersuci”. Keberadaan Guibert sebagai seorang Fransiskan itu signifikan. Para Fransiskan dan Dominikan (OP) aktif dalam menyebar-luaskan devosi ini, dan mendorong orang-orang lain mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh Konsili Lyons II tentang “menundukkan kepala” itu.
Santo Bernardino dari Siena [1380-1444]. “Devosi kepada Nama Yesus yang Tersuci” membentuk suatu motif sentral dalam tulisan-tulisan Richard Rolle dari Hampole [c. 1295-1349] dan Henrikus Suso OP [1295-1366]. Devosi ini mencapai puncaknya yang kedua lewat khotbah-khotbah S. Bernardino dari Siena], seorang Saudara Dina, pengkhotbah ulung melawan hidup mewah dan kemudian oleh Gereja diangkat menjadi pelindung para wartawan.
Kampanye S. Bernardino dari Siena lewat khotbah-khotbahnya yang populer (merakyat) di Italia Utara mencakup pula pengangkatan sebuah panji dengan gambar Nama Yesus, IHS di depan orang banyak yang sedang mendengarkan khotbahnya. IHS adalah adalah singkatan dari Iesus Homo Salvator atau Jesus Hominum Salvator, yang berarti “Yesus Juruselamat Manusia”. Patut dicatat di sini bahwa IHS bukanlah ciptaan S. Bernardino dari Siena, walaupun ada pandangan seperti itu.
Tafsir S. Bernardino dari Siena atas singkatan IHS ini adalah sebagai berikut: Huruf I menurutnya adalah unsur terkecil dalam Nama yang Tersuci, jadi menunjukkan Putera Allah. S. Bernardino menggunakan teks dari Rm 9:28 (Vulgata) yang berbunyi “quia verbum breviatum faciet Dominus supper terram”, Firman yang singkat (verbum breviatum) akan dibuat/dilakukan Tuhan di atas bumi. Huruf H adalah tanda aspirasi yang menunjukkan Roh Kudus, yang merupakan inpirasi kesucian. Huruf S mengindikasikan Bapa. Salib yang ditambahkan adalah untuk mengingatkan kita akan Penebusan. Tafsir yang bersifat trinitaris atas monogram ini kemudian dieloborasikan lagi dengan tafsir dalam khotbah-khotbahnya kemudian, yang memuat penjelasan yang bersifat murni Kristologis.
Oleh para Dominikan, dorongan S. Bernardino dari Siena untuk melakukan devosi kepada lambang IHS dipandang sebagai praktek takhyul dan Bernardino dan ajarannya dipandang sebagai bid’ah. Bersama konfraternya, S. Yohanes dari Capistrano [1386-1456], S. Bernardino dari Siena melakukan perlawanan, dan kemudian dia pun dibebaskan dari tuduhan bid’ah oleh Paus Martinus V [1417-1431] pada tahun 1427.
Perkembangan selanjutnya. Sejak saat itu “Devosi kepada Hati Yesus yang Tersuci” bertumbuh-kembang dan menjadi semakin kuat. Lambang IHS terlihat di mana-mana. Bahkan S. Jeanne d’Arc [1412-1431], anggota Ordo III Sekular S. Fransiskus, pahlawan perempuan Perancis dalam melawan kekuasaan Inggris, menaruh nama JHESUS MARIA pada panji-panji perangnya.
Ada sejumlah Misa yang disusun pada abad ke-15, walaupun belum ditetapkan dengan pasti tanggal untuk merayakan pesta ini. Di Salisbury ditetapkanlah tanggal 7 Agustus sedangkan di tempat lain tanggal 15 Januari. Pada tahun 1530, sebuah ofisi disetujui untuk digunakan para Fransiskan pada tanggal 14 Januari.
Litani-litani “Nama Yesus yang Tersuci” juga mulai bermunculan dari abad le-16 dan seterusnya. Beberapa ordo religius dan keuskupan mempunyai pesta “Nama Yesus yang Tersuci” dalam kalender-kalender mereka, tetapi baru pada tahun 1721 Paus Innocentius XIII [1721-1724] – atas permintaan Kaisar Charles VI – menetapkan pesta ini untuk Gereja secara keseluruhan, yaitu pada hari Minggu kedua setelah Hari Raya Penampakan Tuhan (Epifani). Pada tahun 1913, Paus Pius X [1903-1914] mengubahnya menjadi hari Minggu yang jatuh antara tanggal 2 dan 5 Januari, dan kalau tidak ada, maka ditetapkanlah tanggal 2 Januari. Pesta ini ditekan pada tahun 1969, meskipun Buku Misa masih memuat Misa votif sehubungan dengan perayaan “Nama Yesus yang Tersuci”.
Konfraternitas-konfraternitas. Asosiasi kaum Awam Katolik yang mempromosikan cintakasih dan penghormatan kepada Nama Allah dan Yesus didirikan oleh seorang Dominikan, Yohanes dari Vercelli [+1283] atas perintah Paus Gregorius X [1271-1276], seperti telah ditetapkannya dalam Konsili Lyons II [1274), dan berada di bawah bimbingan para Dominikan. Tujuan konfraternitas-konfraternitas ini pada waktu itu adalah melawan hujat dan ketiadaan hormat kepada Nama Yang Tersuci tersebut yang banyak terjadi pada masa itu. Konfraternitas-konfraternitas ini berkembang secara istimewa pada abad ke-16 di bawah kepemimpinan para Dominikan. Di Amerika Serikat gerakan ini mencatat sukses.
Serikat Yesus (Yesuit) sangat aktif dalam mendorong “Devosi kepada Nama Yesus yang Tersuci”. Nama Ordo Religius ini sesungguhnya mencerminkan devosi pribadi sang pendiri – S. Ignatius dari Loyola [1491-1556] – kepada “Nama Yesus yang Tersuci” – dan lambang IHS dapat dilihat dalam gereja-gereja yang dikelola oleh para Yesuit. Gereja Yesuit yang paling dikenal di Roma bernama Gesù.
Catatan Penutup: Meskipun Gereja menetapkan hari ini sebagai peringatan fakultatif, bagi keluarga Fransiskus ini adalah Peringatan Wajib. Devosi kepada “Nama Yesus yang Tersuci” bukan terbatas pada S. Bernardino dari Siena dan para Fransiskan lain yang nama-namanya disebut tadi, namun bersumber pada sang pendiri sendiri, yaitu S. Fransiskus dari Assisi sendiri. Untuk itu saya akan menulisnya pada lain kesempatan.
KEPUSTAKAAN
1. Peter R. Biasiotto OFM, HISTORY OF THE DEVELOPMENT OF DEVOTION TO THE HOLY NAME.
2. Matthew Bunson, OUR SUNDAY VISITOR’S ENCYCLOPEDIA OF CATHOLIC HISTORY.
3. J. Heuken SJ & Staf, ENSIKLOPEDI ORANG KUDUS.
4. Michael Walsh, DICTIONARY OF CATHOLIC DEVOTIONS.
Cilandak, 3 Januari 2011
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS