Patut dicatat bahwa apabila Yesus berbicara mengenai perilaku sosial dan isu-isu moral, maka Dia berada dalam posisi yang kontradiktif (bertentangan) secara tajam dengan sikap-sikap yang ditunjukkan oleh para anggota masyarakat umumnya pada waktu itu. Yesus suka memulai kalimat-kalimat-Nya seperti berikut: “Kamu telah mendengar yang difirmankan ……”, kemudian Dia melanjutkan: “Tetapi Aku berkata kepadamu ……” (lihat Mat 5:21-22; 27-30; 31-32; 33-34 dsj.; 38-39; 43-33dsj.). Dari sini kita dapat melihat bahwa pertobatan seseorang harus menunjukkan suatu perubahan nyata, dalam sikap-sikap dan nilai-nilai, karena kehidupan pengikut/murid sejati Tuhan Yesus Kristus tidak mengikuti standar-standar dunia ini (lihat Rm 12:1-2).
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS **)
Pax et Bonum !
Pada hari Rabu Abu ini kita mengawali Masa Puasa kita, suatu masa dalam penanggalan liturgi Gereja yang tema utamanya adalah ‘pertobatan’. Dalam tulisan ini saya akan menguraikan sedikit topik ‘pertobatan’ ini. Semoga tulisan ini berguna bagi kita semua dalam menjalani Masa Puasa ini. Dalam tulisan ini saya memanfaatkan juga jalan pemikiran dari Suster Bernadette Howes OSF dalam tulisannya yang berjudul Gospel – Franciscan Conversion, yang dimuat dalam Majalah TAU edisi March 1984.
Setiap orang mempunyai kerinduan untuk memperoleh sesuatu yang sebenarnya berada di luar apa yang mampu ditawarkan oleh dunia. Ini adalah hasrat yang merupakan pembawaan sejak lahir, yang dapat dipuaskan oleh Allah saja. Ada ketegangan antara nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai duniawi. Atas dasar alasan ini, penting sekalilah bagi kita yang dipanggil sebagai Fransiskan sekular untuk membatinkan apa yang kita percayai tentang diri kita sendiri sebagai pribadi-pribadi dan sebagai sebuah persaudaraan/komunitas, sehingga pokok-pokok kepercayaan ini menjadi nilai-nilai yang menjadi panduan bagi jalan kehidupan kita.
Pertobatan sebagai Way of Life para Fransiskan
Perihal pertobatan ini, ‘Anggaran Dasar Ordo Fransiskan Sekular’ (AD OFS) menulis sebagai berikut:
“Sebagai Saudara-saudara dan Saudari-saudari pentobat mereka, karena panggilannya dan terdorong oleh dinamika Injil, hendaknya menyerupakan cara berpikir dan tingkah laku mereka dengan Kristus melalui jalan pertobatan batin yang mendasar dan sempurna, yang oleh Injil sendiri disebut Conversio, karena kelemahan manusiawi, tobat itu perlu mereka jalankan setiap hari” (AD OFS Fasal II Artikel 7).
Jelas bahwa pertobatan adalah nilai dasar dari kehidupan kita sebagai para Fransiskan sekular. Baca saja ‘Pembukaan’ dari AD OFS yang berjudul WEJANGAN SANTO FRANSISKUS UNTUK SAUDARA-SAUDARI PENTOBAT yang sebenarnya diambil dari ‘Surat Pertama kepada Kaum Beriman’ (1SurBerim). Almarhum Pater Kajetan Esser OFM memberikan sebuah definisi conversio yang jelas, ketika dia berkata: “Seseorang melakukan pertobatan apabila dia berubah dari dalam hatinya dan dalam keseluruhan hidupnya: dia meninggalkan dan berbalik dari cara/jalan hidupnya yang lama kepada jalan Allah, dia tidak lagi mencari dirinya sendiri tetapi Allah, dengan suatu perubahan hati/batin yang sejati.” Hal ini menuntut hidup Injili yang dihayati secara radikal, membuatnya menjadi gaya hidup kita dan membuatnya menjadi panduan hidup kita seturut contoh yang diberikan oleh Yesus Kristus dan Fransiskus dari Assisi. Hanya dengan cara beginilah kita dapat menjadi ‘tanda lawan’ dan ‘alat-alat’ dalam memimpin/membimbing orang-orang lain menuju hidup pertobatan.
Nilai Injili dari Pertobatan
Dalam Injil Markus ada tertulis bahwa ketika Yesus mulai memberitakan Injil Allah, Dia berkata: “Saatnya telah genap: Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk 1:15). Nilai-nilai Injili dari pertobatan berada pada pusat pengajaran Yesus yang dapat kita baca dalam ‘Khotbah di Bukit’ (Mat 5-7). Walaupun ‘Sabda-sabda bahagia’ dari Yesus menjungkir-balikkan nilai-nilai yang kita anut selama ini, kita harus akui bahwa ‘ucapan-ucapan bahagia’ itulah nilai-nilai yang harus dihayati seturut panggilan kita: “…… Demikianlah, dalam semangat Sabda Bahagia mereka hendaknya bertekad menyucikan hati mereka dari segala kelekatan dan hasrat untuk memiliki dan menguasai, laksana Perantau dan Orang Asing dalam perjalanan menuju Rumah Bapa” (AD OFS Fasal II Artikel 11). ‘Ucapan-ucapan bahagia’ dengan jelas menyatakan ciri-ciri yang menandakan kehidupan seorang pengikut atau murid Yesus Kristus, dengan tekanan khusus atas keadilan dan kebenaran (righteousness). Orang Kristiani dipanggil menjadi ‘garam bumi’ dan ‘terang dunia’ (lihat Mat 5:13-16) lewat suatu conversio yang lengkap atas kehidupannya, yang membuahkan ‘cintakasih’, ‘kelemah-lembutan’, ‘belarasa/belaskasihan dan pengampunan’, ‘penciptaan perdamaian’ dan ‘pengejaran kekudusan’.
Patut dicatat bahwa apabila Yesus berbicara mengenai perilaku sosial dan isu-isu moral, maka Dia berada dalam posisi yang kontradiktif (bertentangan) secara tajam dengan sikap-sikap yang ditunjukkan oleh para anggota masyarakat umumnya pada waktu itu. Yesus suka memulai kalimat-kalimat-Nya seperti berikut: “Kamu telah mendengar yang difirmankan ……”, kemudian Dia melanjutkan: “Tetapi Aku berkata kepadamu ……” (lihat Mat 5:21-22; 27-30; 31-32; 33-34 dsj.; 38-39; 43-33dsj.). Dari sini kita dapat melihat bahwa pertobatan seseorang harus menunjukkan suatu perubahan nyata, dalam sikap-sikap dan nilai-nilai, karena kehidupan pengikut/murid sejati Tuhan Yesus Kristus tidak mengikuti standar-standar dunia ini (lihat Rm 12:1-2).
Perjanjian Baru menunjukkan kepada kita contoh-contoh orang-orang yang bertobat, misalnya Zakheus, Maria Magdalena dan Paulus. Oleh sebab itu, dalam kehidupan setiap orang Kristiani harus ada satu saat di mana tindakan Allah dengan jelas dialami. Dalam menanggapi panggilan Allah ini dan lewat satu tindakan yanag sangat tepat, seseorang mulai menjalani suatu hidup pertobatan. Tindakan ini bertepatan dengan keputusan untuk memberikan segalanya kepada Allah, tanpa reserve. Contoh konkrit dalam kehidupan Fransiskus adalah pertemuannya dengan orang kusta. Fransiskus berhasil mengatasi dirinya pada saat itu. Dia menyamakan perubahan dalam hidupnya ini dengan awal dari hidup pertobatannya:
“Beginilah Tuhan menganugerahkan kepadaku, Saudara Fransiskus, untuk mulai melakukan pertobatan. Ketika aku dalam dosa, aku merasa amat muak melihat orang kusta. Akan tetapi Tuhan sendiri menghantar aku ke tengah mereka dan aku merawat mereka penuh kasihan. Setelah aku meninggalkan mereka, apa yang tadinya terasa memuakkan, berubah bagiku menjadi kemanisan jiwa dan badan; dan sesudahnya aku sebentar menetap, lalu aku meninggalkan dunia” (Was 1-3).
Sejak saat itu Fransiskus secara sederhana memperkenalkan dirinya dan saudara-saudaranya sebagai ‘para pentobat yang datang dari Assisi’. ‘Pentobat’ berarti seorang yang telah berubah (diubah oleh Roh Kudus). Dengan penolakan mereka terhadap nilai-nilai sosial dan materiil yang berlaku pada zaman itu, mereka menjadi contoh orang-orang yang mendengarkan dan menghayati sabda Allah, orang-orang yang taat kepada bisikan-bisikan Roh Allah dan menjadi pelayan bagi segenap umat manusia (bdk. Yes 58:5-7).
Pertobatan mengubah seseorang
Nah, kalau kita merujuk pada bacaan-bacaan Kitab Suci, maka pertobatan pertama-tama dan terutama adalah karya Roh Kudus. Dia-lah yang melunakkan hati kita dan membuat kita pada akhirnya dapat serupa dengan Yesus Kristus. Sesungguhnya Roh Kudus merupakan salah satu pemberian Allah kepada kita yang paling agung. Melalui Roh Kudus inilah hati kita diangkat ke hadirat-Nya. Melalui Roh Kudus pula kita menerima kuasa untuk hidup seperti Yesus.
Daud dan pertobatannya
Seorang pribadi dalam Kitab Suci yang seringkali dikaitkan dengan pertobatan adalah Raja Daud. Memang benar bahwa kisah hubungan-dosa antara Raja Daud dan Batsyeba sedikit saja berbicara mengenai pertobatan Daud [baca 2Sam 11-12]. Namun demikian, praktis setiap hari Jumat (kecuali pada hari Pesta atau Hari Raya), dalam Ibadat Pagi kita akan membaca dan merenungkan bacaan Mazmur pertama – Mzm 51 atau Miserere – yang menggambarkan secara sangat detil apa saja yang berkecamuk dalam hati dan pikiran Daud selagi dia menggumuli segala konsekuensi dari perbuatan dosanya sampai dia membawa dosa-dosanya itu ke hadirat Allah dan mohon pengampunan-Nya. Marilah sekarang kita secara singkat menyoroti Mzm 51 yang indah ini agar dengan demikian kita dapat melihat bagaimana sesungguhnya sebuah hati yang bertobat itu. Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-mu yang besar! Selagi dia dalam kegelisahan batinnya (tercermin dalam sikap dan perilaku sehari-harinya) merenungkan dosa-dosanya dan dorongan-dorongan batinnya yang membuatnya berdosa (dalam pikiran, perkataan dan perbuatannya), Daud berseru: “Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!” [51:12]. Dalam proses pergumulan batinnya, Daud pada akhirnya melihat bahwa dia tidak dapat mengubah hatinya dengan kekuatan sendiri. Yang paling dapat dilakukannya hanyalah menyembunyikan diri atau melarikan diri dari segala nafsu dan kecanduannya. Hanya Allah-lah yang dapat mengubahnya menjadi suatu ciptaan baru. Hanya Allah-lah yang dapat membebaskan atau memerdekakannya dari segala hasrat buruk yang telah menyebabkan begitu banyak malapetaka dalam hidupnya. Tidak cukuplah bagi seorang pendosa untuk sekadar memohon maaf. Daud membutuhkan perubahan mendalam dalam hatinya.
Daud juga mengerti bahwa dosa-dosanya tidak hanya membawa dampak luarbiasa buruk atas Batsyeba, Uria dan rakyat Israel, melainkan juga hubungannya dengan Allah sendiri. Karenanya dia berseru: “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat” [51:6]. Di jantung dosanya terdapatlah rasa sesal yang akhirnya membawa dirinya kepada Allah. Terkadang mudahlah bagi kita untuk melihat bagaimana dosa kita melukai orang-orang yang kita cintai. Kata-kata pedas dan kasar serta pilihan-pilihan yang dibuat atas dasar nafsu dan pemuasan kepentingan diri sendiri dapat dengan cepat merusak kerukunan keluarga yang sekian lama dibina dengan susah payah. Namun demikian, sampai berapa sering kita menyadari atau berpikir bagaimana dosa-dosa kita mempengaruhi hubungan kita dengan Allah? Sesungguhnya manakala kita berdosa, kita mendirikan tembok pemisah antara diri kita dan Allah yang sangat mengasihi kita. Artinya sama saja seperti kita berkata kepada-Nya: “Engkau tidak kuterima dalam hatiku!” Pada akhirnya kita harus menyadari, bahwa dosa bahkan dapat memutus aliran rahmat Allah dan perlindungan-Nya atas kehidupan kita. Dengan demikian tidak mengherankanlah kalau pada akhir pengajarannya dalam ‘perumpamaan tentang domba yang hilang’, Yesus bersabda: “Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita di surga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih daripada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan” [Luk 15:7].
Apabila kita menyadari dan mengakui dosa-dosa kita, maka kita dapat meyakinkan diri sendiri bahwa Roh Kudus sedang bekerja dalam diri kita. Setiap hari Allah mengundang kita untuk memeriksa/menguji pikiran-pikiran serta perbuatan-perbuatan kita, dan minta kepada Roh Kudus untuk membuka keberadaan dosa kita. Samasekali bukanlah keinginan-Nya supaya kita kemudian merasa bersalah, tetapi penyingkapan itu dilakukan oleh-Nya karena Dia menghendaki agar kita menerima kesembuhan dan pemurnian. Seperti yang telah diakui oleh Daud, hanya Allah-lah yang dapat membuang rasa bersalah dan rasa malu yang membebani seorang anak manusia [lihat Mzm 51:4], meyakinkan kita untuk tidak berdosa lagi [51:14], dan yang paling penting membuat kita menjadi seseorang yang lebih mengasihi orang-orang lain [51:15].
Pertobatan itu membebaskan, memerdekakan seorang pendosa!
Rasa bersalah harus diatasi. Tentunya anda pernah mengalami seperti saya sendiri alami: tetap merasa bersalah, meskipun setelah keluar dari kamar pengakuan, artinya setelah menerima Sakramen Rekonsiliasi atau setelah memohon maaf kepada seorang sahabat karib. Anda tahu bahwa Allah telah mengampunimu, tetapi suara hatimu masih saja mengganggu. Anda tahu bahwa Allah tidak ingin melihat anda terikat oleh rasa bersalah dan malu, namun anda tak dapat mengusir perasaan negatif tersebut. Bagaimana anda membuat dirimu bebas?
Langkah pertama yang anda harus lakukan adalah mengakui kuasa penyembuhan dari Allah setiap kali anda mohon pengampunan atau menerima absolusi dari imam (Bapak pengakuan). Dalam iman terimalah bahwa Allah telah mengampuni anda dan ingin menyembuhkanmu. Lawanlah rasa bersalah yang menghantui dirimu! Jangan sampai rasa bersalah itu menguasai suara hatimu. Percayalah bahwa kesembuhan telah terjadi, meskipun anda tidak merasakannya.
Apabila pikiran kita terus membangkit-bangkitkan kenangan akan dosa masa lampau, mohonlah kepada Roh Kudus agar memerintah dalam pikiran-pikiran anda. Sungguh sesuatu yang menakjubkan, apabila ingatan kita dapat melakukan re-play adegan-adegan (dosa) yang sama sehingga menyebabkan kita merasa dicengkeram oleh rasa bersalah. Rasa malu karena utang keuangan di masa lalu, rasa bersalah karena dosa seksual atau perselingkuhan di masa lampau. Bahkan kalimat yang bersifat mengingatkan dari orang-orang terdekat kita saja dapat kita tanggapi dengan kata-kata kasar dan menyakitkan. Begitu hal seperti ini terjadi, berpalinglah dengan cepat kepada Tuhan: “Roh Kudus Allah, aku tahu Engkau berdiam di dalam diriku. Aku menyerahkan segenap pikiran dan ingatan-kenanganku kepada-Mu. Datanglah dan bebaskanlah aku!”
Akhirnya, akuilah bahwa cinta-kasih Allah kepada anda jauh lebih besar daripada dosa apa saja yang pernah melibatkan serta menjerumuskan dirimu. Nyatakanlah dalam hatimu bahwa Allah ingin membebaskan anda karena Dia begitu mengasihimu sehingga Dia tidak mau membiarkan anda tetap ‘terjebak’ dalam kegelapan.
Pertobatan sejati. Salah satu contoh paling jelas mengenai perbedaan antara rasa malu yang ditimbulkan dari penyesalan mendalam dan kebebasan yang diakibatkan oleh pertobatan, terjadi pada hari Yesus disalibkan. Baik Yudas Iskariot maupun Simon Petrus telah menolak Tuhan pada hari Kamis malam, beberapa jam sebelum Yesus disalibkan [baca Luk 22:47-62], namun dua orang murid ini bereaksi terhadap dosa mereka dengan cara yang secara radikal berbeda.
Yudas sangat dibebani oleh rasa bersalah yang luarbiasa beratnya, sehingga dia pun menggantung dirinya sendiri [Mat 27:3-10]. Dapatkah anda membayangkan apa yang dirasakan Yudas ketika mengalami memorinya dihantui oleh tindakan pengkhianatannya? Yudas terus-menerus diganggu oleh rasa bersalah sehingga kelihatannya dia telah melupakan segalanya yang dipelajarinya sebagai seorang murid Yesus. Ia tidak mampu lagi menyadari bahwa Yesus begitu mengasihinya, dan betapa Dia telah menyembuhkannya dan mengampuninya. Apa yang dapat dilihatnya hanyalah dosanya dan hal ini membuatnya kehilangan pengharapan. Dia menjadi yakin (secara keliru) bahwa dirinya tidak dapat diampuni. Dengan demikian, dalam keputus-asaannya dia mengakhiri hidupnya sendiri.
Bagaimana halnya dengan Simon Petrus? Setelah Petrus menyangkal bahwa dia mengenal Yesus [Mat 26:75], dia pun mengalami kegoncangan batin yang amat sangat. Pada saat yang kritis ini, Kefas sang ‘batu karang’ (di atas siapa Gereja didirikan) sadar bahwa dia telah memperlakukan Yesus sebagai bukan yang utama bagi dirinya. Demi ‘cari-aman-sendiri’ dia mengorbankan hubungan istimewanya dengan sang Guru. Petrus pun mengalami kepedihan hati yang luarbiasa, namun kepedihan hatinya ini berbeda dengan apa yang dialami oleh Yudas. Meskipun mengalami kenangan pahit akan pengkhianatannya sendiri, Petrus tetap tidak melupakan janji-janji Yesus tentang pengampunan. Akhirnya, Petrus membawa dosa-dosanya ke hadapan Allah dan mohon pengampunan dan damai dari-Nya. Sebagai akibatnya Petrus pun menjadi seorang hamba Allah yang lebih rendah hati dan berbelarasa terhadap sesama.
Beginilah cara kerja Roh Kudus. Ia meyakinkan kita akan dosa-dosa kita, namun pada saat yang sama Dia memenuhi diri kita dengan pengharapan bahwa kita dapat diampuni dan diubah.
Umat Allah sebagai mempelai-Nya
Keprihatinan utama Allah bukanlah dosa-dosa kita. Mengasihi-Nya, menghormati-Nya dan menyerahkan kehendak kita kepada-Nya – ini semualah hasrat hati-Nya yang terdalam. Allah ingin membuat kita murni dan tanpa noda sebagai seorang mempelai perempuan pada hari pernikahannya. Untuk mencapai tujuan-Nya ini Allah mengutus Roh Kudus guna memimpin kita dalam jalan pertobatan.
Dalam doa-doa permohonan akan anugerah pertobatan, baiklah kita meneladan tokoh-tokoh yang ada dalam Kitab Suci yang mengalami dorongan Roh Kudus. Dalam Perjanjian Lama kita dapat melihat tiga orang tokoh. Yang pertama adalah Ezra, seorang imam; yang kedua adalah Nehemia, seorang awam; dan yang ketiga adalah Daniel, seorang nabi. Cerita-cerita yang menyangkut ketiga tokoh alkitabiah ini berpusat pada peristiwa penghancuran Yerusalem oleh pasukan tentara Babel dan keadaan memedihkan hati yang menyusul setelah itu. Semua ini merupakan kesaksian bahwa manakala umat Allah terbawa ke dalam penderitaan yang mendalam, maka mereka mulai memahami kebutuhan mereka di hadapan Tuhan dan berseru kepada-Nya dalam pertobatan.
Ezra sang imam. Misi pelayanan Ezra adalah membangun kembali hati umat. Ezra adalah seorang imam Yahudi yang hidup di Yerusalem tidak lama sebelum kedatangan Nehemia. Imam ini sangat terkejut melihat kondisi umat Allah dan berdukacita atas kenyataan bagaimana mereka dipengaruhi secara negatif oleh budaya kafir di sekeliling mereka. Mereka tidak lagi merasakan bahwa mereka adalah umat pilihan Allah, milik Allah yang istimewa.
Keyakinan mereka bahwa hanya Yahwe-lah yang pantas untuk disembah, sudah sangat melemah, sampai pada titik di mana mereka tidak lagi dapat melihat perbedaan antara diri mereka sendiri dengan orang-orang kafir yang tinggal di luar kota suci itu.
Cerita tentang Ezra menunjukkan seorang imam yang sangat menderita karena empatinya yang mendalam atas kondisi buruk umat Allah. Kita dapat merasakan dan membayangkan bagaimana sang imam menangis tersedu-sedu dengan bercucuran airmata ketika dia berdoa: “Dari zaman nenek moyang kami sampai hari ini kesalahan kami besar, dan oleh karena dosa kami maka kami sekalian dengan raja-raja dan imam kami diserahkan ke dalam tangan raja-raja negeri, ke dalam kuasa pedang, ke dalam penawanan dan penjarahan, dan penghinaan di depan umum, seperti yang terjadi sekarang ini. … sungguhpun kami menjadi budak, tetapi di dalam perbudakan itu kami tidak ditinggalkan Allah kami” [Ezr 9:7.9]. Didorong oleh kepercayaannya yang kokoh akan cintakasih Yahwe kepada umat-Nya, Ezra pada awalnya merencanakan untuk membangun kembali Bait Allah. Namun kemudian dia menyadari kenyataan, bahwa pembangunan kembali bangunan fisik Bait Allah tidaklah cukup. Visi umat Israel tentang diri mereka sendiri dan kesadaran akan adanya cintakasih Allah bagi diri merekalah yang justru perlu dibangun kembali. Maka Ezra mendedikasikan dirinya pada upaya restorasi perjanjian sebagai jantung kehidupan bersama umat Israel.
Keprihatinan Nehemia. Nehemia adalah seorang Yahudi yang bekerja sebagai juru minuman raja dalam istana raja Persia. Kedudukannya dalam masyarakat boleh dikatakan sudah mapan. Sekitar tahun 450 SM dia mendapat tahu tentang kondisi mengenaskan dari orang-orang Yahudi di Yerusalem. Israel pernah merupakan suatu bangsa yang kuat dan dihormati, namun pada masa Nehemia telah menjadi bahan tertawaan untuk satu abad lamanya, yaitu sejak Yerusalem diduduki oleh Nebukadnezar dari Babel. Tembok-tembok kota diruntuhkan dan Bait Allah (tempat kediaman Yahwe) dibumi-hanguskan. Hampir semua orang telah dideportasi ke Babel dan hanya mereka yang paling miskin sajalah yang ditinggalkan. Ketika kabar tentang penderitaan orang Yahudi di Yerusalem sampai ke telinga Nehemia, dia pun menangis dan berkabung untuk beberapa hari lamanya. Dia berpuasa dan berdoa ke hadirat Allah semesta langit [lihat Neh 1:4]. Dengan penuh kerendahan hati dia berdoa kepada Yahwe:
“Ya, TUHAN (Yahwe), Allah semesta langit, Allah yang maha besar dan dahsyat, yang berpegang pada perjanjian dan kasih setia-Nya terhadap orang yang kasih kepada-Nya dan tetap mengikuti perintah-perintah-Nya, berilah telinga-Mu dan bukalah mata-Mu dan dengarkanlah doa hamba-Mu yang sekarang kupanjatkan ke hadirat-Mu siang dan malam bagi orang Israel, hamba-hamba-Mu itu, dengan mengaku segala dosa yang kami orang Israel telah lakukan terhadap-Mu. Juga aku dan kaum keluargaku telah berbuat dosa. Kami telah sangat bersalah terhadap-Mu dan tidak mengikuti perintah-perintah, ketetapan-ketetapan dan peraturan-peraturan yang telah Kauperintahkan kepada Musa, hamba-Mu itu. Ingatlah akan firman yang Kaupesan kepada Musa, hamba-mu itu, yakni: Bila kamu berubah setia, kamu akan Kucerai-beraikan di antara bangsa-bangsa. Tetapi, bila kamu berbalik kepada-Ku dan tetap mengikuti perintah-perintah-Ku serta melakukannya, maka sekalipun orang-orang buanganmu ada di ujung langit, akan Kukumpulkan mereka kembali dan Kubawa ke tempat yang telah Kupilih untuk membuat nama-ku diam di sana. Bukankah mereka ini hamba-hamba-Mu dan umat-Mu yang telah Kaubebaskan dengan kekuatan-Mu yang besar dan dengan tangan-Mu yang kuat? Ya, Tuhan, berilah telinga kepada doa hamba-Mu ini dan kepada doa-doa hamba-Mu yang rela takut atas nama-Mu, dan biarlah hamba-Mu berhasil hari ini dan mendapat belas kasihan dari orang ini” [Neh 1:5-11].
Jadi, dalam doanya Nehemia dengan rendah hati mengakukan dosa-dosa umat dan dosa-dosanya sendiri serta keluarganya. Dia mengingatkan Allah akan cintakasih perjanjian-Nya bagi Israel – sebuah perjanjian yang tidak pernah boleh dibatalkan. Nehemia mengetahui, bahwa karena dia adalah salah satu umat pilihan Allah, maka dia pun tak dapat lepas dari keterkaitan dengan setiap anak Israel. Dia juga ikut bertanggung jawab atas keadaan bangsa Israel. Perjuangan orang-orang Yahudi yang hidup memelaskan hati di Yerusalem begitu menyentuh hati Nehemia sehingga dia memutuskan untuk meninggalkan istana raja Persia yang aman, kemapanannya sebagai warga masyarakat, dan orang-orang sebangsanya di Persia. Sekali dia berada di Yerusalem, Nehemia membaktikan seluruh energinya untuk menyemangati dan menolong orang-orang membangun kembali tembok-tembok kota. Bayangkan risiko yang diambil oleh Nehemia. Bayangkan pengorbanan yang dibuatnya. Karena dia digerakkan untuk berdoa dan bertobat, maka kehidupannya pun tidak akan pernah sama lagi kalau dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
Daniel – sebuah kasus tentang doa yang didengar Allah. Daniel adalah seorang pribadi dalam Perjanjian Lama yang juga berdukacita atas penderitaan terus-menerus rakyat Israel. Kitab Daniel mungkin ditulis sekitar tahun 165 SM. Dengan demikian, doa-doa nabi ini mencerminkan seseorang yang memandang ke belakang, kepada penyebaran orang-orang Yahudi ke diaspora, ketiadaan-pengharapan, dan bahkan apati. Mengapa begitu banyak orang Yahudi masih hidup dalam pengasingan? Mengapa Yerusalem masih berada di bawah pemerintahan bangsa asing? Di mana cintakasih yang menyentuh kedalaman hati dan devosi yang dicari Allah dalam umat-Nya?
Nabi Yeremia bernubuat tentang Israel: “… seluruh negeri ini akan menjadi reruntuhan dan ketandusan, dan bangsa-bangsa ini akan menjadi hamba kepada raja Babel tujuh puluh tahun lamanya” [Yer 25:11; bdk. 29:10]. Setelah membaca Kitab Yeremia tentang derita yang harus ditanggung oleh orang-orang Israel ini, Daniel pun berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu. Dia menghaturkan permohonan kepada Yahwe dan mengakui dosanya dan dosa bangsa Israel:
“Ah Tuhan, Allah yang maha besar dan dahsyat, yang memegang Perjanjian dan kasih setia terhadap mereka yang mengasihi Engkau serta berpegang pada perintah-Mu! Kami telah berbuat dosa dan salah, kami telah berlaku fasik dan telah memberontak, kami telah menyimpang dari perintah dan peraturan-Mu, dan kami tidak taat kepada hamba-hamba-Mu, para nabi, yang telah berbicara atas nama-Mu kepada raja-raja kami, kepada pemimpin-pemimpin kami, kepada bapa-bapa kami dan kepada segenap rakyat negeri. Ya Tuhan, Engkaulah yang benar, tetapi patutlah kami malu seperti pada hari ini, kami orang-orang Yehuda, penduduk kota Yerusalem dan segenap orang Israel, mereka yang dekat dan mereka yang jauh, di segala negeri kemana Engkau telah membuang mereka oleh karena mereka berlaku murtad terhadap Engkau. Ya TUHAN, kami, raja-raja kami, pemimpin-pemimpin kami dan bapa-bapa kami patutlah malu, sebab kami telah berbuat dosa terhadap Engkau. Pada Tuhan, Allah kami, ada kesayangan dan keampunan, walaupun kami telah memberontak terhadap Dia, dan tidak mendengarkan suara TUHAN, Allah kami, yang menyuruh kami hidup menurut hukum yang telah diberikan-Nya kepada kami dengan perantaraan para nabi, hamba-hamba-Nya. Segenap orang Israel telah melanggar hukum-Mu dan menyimpang karena tidak mendengarkan suara-Mu. Sebab itu telah dicurahkan ke atas kami kutuk dan sumpah, yang tertulis dalam kitab Taurat Musa, hamba Allah itu, sebab kami telah berbuat dosa terhadap Dia. Dan telah ditetapkan-Nya firman-Nya, yang diucapkan-Nya terhadap kami dan terhadap orang-orang yang telah memerintah kami, yakni bahwa akan didatangkan-Nya kepada kami malapetaka yang besar, yang belum pernah terjadi di bawah semesta langit, seperti di Yerusalem. Seperti yang tertulis dalam kitab Taurat Musa, segala malapetaka ini telah menimpa kami, dan kami tidak memohon belas kasihan TUHAN, Allah kami, dengan berbalik dari segala kesalahan kami dan memperhatikan kebenaran yang dari pada-Mu. Sebab itu TUHAN bersiap dengan malapetaka itu dan mendatangkannya kepada kami; karena TUHAN, Allah kami, adalah adil dalam segala perbuatan yang dilakukan-Nya, tetapi kami tidak mendengarkan suara-Nya. Oleh sebab itu, ya Tuhan, Allah kami, yang telah membawa umat-Mu keluar dari tanah Mesir dengan tangan yang kuat dan memasyhurkan nama-Mu, seperti pada hari ini, kami telah berbuat dosa, kami telah berlaku fasik. Ya Tuhan, sesuai dengan belas kasihan-Mu, biarlah kiranya murka dan amarah-Mu berlalu dari Yerusalem, kota-Mu, gunung-Mu yang kudus; sebab oleh karena dosa kami dan oleh karena kesalahan nenek moyang kami maka Yerusalem dan umat-Mu telah menjadi cela bagi semua orang yang di sekeliling kami. Oleh sebab itu, dengarkanlah, ya Allah kami, doa hamba-Mu ini dan permohonannya, dan sinarilah tempat kudus-Mu yang telah musnah ini dengan wajah-Mu, demi Tuhan sendiri. Ya Allahku, arahkanlah telinga-Mu dan dengarlah, bukalah mata-Mu dan lihatlah kebinasaan kami dan kota yang disebut dengan nama-Mu, sebab kami menyampaikan doa permohonan kami ke hadapan-Mu bukan berdasarkan jasa-jasa kami, tetapi berdasarkan kasih sayang-Mu yang berlimpah-limpah. Ya Tuhan, dengarlah! Ya, Tuhan, ampunilah! Ya Tuhan, perhatikanlah dan bertindaklah dengan tidak bertangguh, oleh karena Engkau sendiri, Allahku, sebab kota-Mu dan umat-Mu disebut dengan nama-Mu!” [Dan 9:4-19].
Karena Daniel mencari Tuhan dalam Kitab Suci, maka Roh Kudus mampu untuk ‘merobek’ dan ‘menyayat-nyayat’ hatinya dan membimbingnya kepada sebuah doa pertobatan yang indah seperti dikutip di atas tadi. Doa Daniel ini dengan cepat dijawab oleh Allah. Bahkan sebelum dia menyelesaikan doanya tersebut, malaikat Gabriel muncul dan mengatakan kepadanya: “Daniel, sekarang aku datang untuk memberi akal budi kepadamu untuk mengerti. Ketika engkau mulai menyampaikan permohonan keluarlah suatu firman, maka aku datang untuk memberitahukannya kepadamu, sebab engkau sangat dikasihi. Jadi camkanlah firman itu dan perhatikanlah penglihatan itu!” [Dan 9:22-23]. Pada hari ini pun Allah ingin mengatakan kepada anda, bahwa sejak saat anda mulai berdoa, Dia mendengar anda dan akan menjawab doa anda, karena Dia mengasihi anda.
Mohon pengampunan seturut contoh Paus Yohanes Paulus II
Tahun Yubileum 2000. Dalam tahun Yubileum yang baru lalu, tepatnya pada tanggal 12 Maret 2000, hari Minggu Prapaskah pertama, terjadilah peristiwa dramatis yang tidak ada presedennya dalam sejarah Gereja. Dalam Misa Kepausan di Basilika Santo Petrus hari itu, Sri Paus, setelah homili memanjatkan doa-doa umat yang terdiri dari tujuh pengakuan akan dosa-dosa di masa lampau dan dosa-dosa para putera-puteri Gereja di masa kini, kemudian mohon pengampunan dari Tuhan untuk masing-masing dosa tersebut. Pada setiap akhir satu pengakuan dosa, Sri Paus memanjatkan sebuah doa, Kyrie Eleison dinyanyikan dan sebatang lilin dinyalakan di depan sebuah salib besar.
Pengakuan tujuh macam dosa. Dalam pengakuan ini Sri Paus menyebutkan 7 (tujuh) kategori dosa: (1) dosa-dosa pada umumnya; (2) dosa-dosa yang berkaitan dengan pelayanan kebenaran; (3) dosa-dosa yang telah merusak kesatuan tubuh Kristus; (4) dosa-dosa melawan cintakasih, damai, hak-hak manusia dan respek terhadap budaya-budaya serta agama-agama; (6) dosa-dosa terhadap martabat perempuan dan kesatuan umat manusia; dan (7) dosa-dosa yang berkaitan dengan hak-hak fundamental dari semua pribadi manusia – korban aborsi, mereka yang miskin dan korban-korban berbagai macam pelecehan. Dalam homilinya Sri Paus menyatakan: “Marilah kita mengampuni dan mohon pengampunan! … Pada saat yang sama, selagi kita melakukan pengakuan atas dosa-dosa kita, marilah kita mengampuni dosa-dosa orang-orang lain terhadap kita.” Pengakuan dosa-dosa ini janganlah dipandang sebagai suatu sandiwara belaka. Juga bukan merupakan suatu upaya pimpinan Gereja untuk meluruskan catatan sejarah di masa lampau. Pengakuan dosa-dosa ini harus dilihat sebagai tindakan spiritual yang keluar dari hati terdalam seorang wakil Kristus di dunia, yang mengakui dosa-dosa Gereja yang dipimpinnya dan adanya kebutuhan nyata akan pengampunan.
Dalam menyampaikan doa-doa pertobatan di atas, Sri Paus sebenarnya mengikuti teladan banyak tokoh dalam Kitab Suci yang mengalami dorongan-dorongan Roh Kudus yang serupa, seperti ketiga orang tokoh Perjanjian Lama yang diceritakan di atas.
Kudus dan pada saat yang sama juga berdosa. Tentunya seorang Kristiani harus memohon pengampunan atas dosa-dosanya sendiri, namun apakah dia juga harus bertanggung-jawab atas dosa-dosa di masa lampau dan masa kini dari orang-orang Kristiani lainnya? Sri Paus dalam homilinya menyinggung hal ini dengan memetik dari apa yang ditulisnya dalam sebuah dokumen Gereja dengan judul Misteri Inkarnasi, yang ditulisnya dan diterbitkan pada tahun 1998. Dokumen ini secara resmi memproklamasikan Tahun Yubileum. Dalam dokumen ini Sri Paus mengatakan bahwa karena umat Kristiani dipersatukan dalam tubuh mistik Kristus, maka kita semua, “meskipun tidak bertanggung-jawab secara pribadi dan tanpa mengganggu penghakiman Allah – Dia-lah satu-satunya yang mengenal setiap hati manusia – berbeban untuk menanggung kesalahan-kesalahan dari mereka yang hidup sebelum kita” [butir 11]. Pengampunan kita harus dimotivasi hanya oleh cintakasih kepada Allah dan kepercayaan kita akan kerahiman-Nya yang mahabesar.
Dalam “Pengakuan Iman Hasil Konsili Nikea-Konstantinopel”, kita berkata: “Aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik”. Nah, apabila Gereja itu kudus, mengapa harus mohon pengampunan? Jawabannya adalah, karena kita adalah sebuah Gereja kudus yang terdiri dari orang-orang berdosa. Konsili Vatikan II dengan jelas membedakan antara kekudusan Gereja dan kelemahan-kelemahan para anggotanya [lihat ‘Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium [LG] tentang Gereja’ # 39]. Dokumen yang sama juga mengajarkan: “Gereja itu suci, dan sekaligus harus selalu dibersihkan, serta terus menerus menjalankan pertobatan dan pembaharuan” [LG # 8]. Penjelasan ini adalah sesuai dengan ajaran Santo Paulus: “… di mana dosa bertambah banyak, di sana anugerah menjadi berlimpah-limpah’” (Rm 5:20].
Seorang pemimpin Gereja yang sungguh istimewa. Semangat yang ada di belakang hari bersejarah dalam Gereja pada tahun 2000 itu konsisten dengan seluruh pontifikat Yohanes Paulus II yang mungkin saja akan dikenal dalam sejarah sebagai “paus yang mohon pengampunan”. Sejak awal, pontifikat Yohanes Paulus II telah ditandai oleh banyak peristiwa yang luarbiasa. Ia adalah paus pertama yang pernah mengunjungi sinagoga Yahudi di Roma. Ia adalah seorang pemimpin Gereja Katolik yang telah berbicara dengan berani membela mereka yang menderita karena penindasan ekonomis maupun politis. Ia telah banyak kali mengunjungi tempat-tempat di seluruh dunia untuk mewartakan Kristus. Bapak suci juga tidak jemu-jemunya mengemukakan keprihatinannya akan pertobatan, teristimewa dalam banyak kunjungan pastoralnya ke berbagai penjuru dunia. Dalam banyak kesempatan Sri Paus berbicara mengenai dosa-dosa umat Kristiani, mengindikasikan penyesalannya, mengoreksi pendapat yang keliru, dan mohon maaf. Secara khusus Sri Paus telah menyebutkan kekurangan-kekurangan Gereja dalam memperlakukan kaum perempuan, orang-orang Yahudi dan kaum minoritas lainnya, dan juga peranan Gereja dalam Perang Salib, Inkuisisi, konflik keagamaan antara umat Kristiani sendiri, dan bahkan penghukuman Galileo. Luigi Accattoli menulis sebuah buku yang memuat permohonan ampun dari Sri Paus yang jumlahnya mendekati seratus buah. Judul buku tersebut dalam bahasa Inggris: When a Pope Asks Forgiveness: The Mea Culpas of John Paul II (Ketika seorang Paus Mohon Pengampunan: Mea Culpa dari Yohanes Paulus II).
Satu tubuh. Ada satu unsur yang mempersatukan Paus Yohanes Paulus II dengan tiga orang tokoh Perjanjian Lama yang diuraikan di atas, yaitu Ezra, Nehemia dan Daniel. Bangunan-bangunan atau gedung-gedung yang megah, organisasi-organisasi yang rapih tertata, komisi-komisi yang menangani berbagai bidang pelayanan dengan SDM yang sungguh qualified atau malah superqualified – tidak satu pun akan menjadi jantung Gereja, kalau berjalan sendiri-sendiri tanpa bimbingan Roh Kudus. Jantung Gereja adalah mengenai hasrat Yesus untuk menarik umat-Nya bersama-sama sebagai satu tubuh. Bersama dengan semua umat Allah, kita adalah sebuah keluarga, bukannya individu-individu yang menghayati kehidupan yang terisolasi satu sama lain.
Apabila kita memahami bahwa kita adalah bagian dari Tubuh ini, maka hal ini berarti kita mengakui bahwa kita tidak berbeda dari orang-orang lain. Santo Paulus berani menjuluki dirinya sendiri sebagai “orang yang paling berdosa” [lihat 1Tim 1:15], karena dia tahu benar bahwa dirinya membutuhkan pengampunan seperti halnya dengan orang-orang lain. Pada zaman modern ini, ketika kita mengetahui bahwa Bapak Suci melakukan pertobatan untuk dosa-dosa zaman lampau yang mencakup suatu kurun waktu sekitar dua milenia, maka kita masing-masing pun perlu menyadari bahwa tanpa rahmat Allah, kita pun berkemampuan sama untuk berdosa seperti yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita. Latar belakang ras dan suku yang berbeda-beda, latar-belakang pendidikan yang berbeda dan status sosial yang berbeda, samasekali tidak boleh mengkotak-kotakkan atau memecah-belah umat Allah. Kita semua satu dalam baptisan [1Kor 12:13]. Seorang nara pidana di belakang jeruji besi tidak kurang vitalnya daripada seorang uskup yang paling berpengaruh karena semua adalah anggota-anggota dari tubuh yang satu.
Catatan Penutup
Cerita-cerita yang menyangkut Ezra, Nehemia dan Daniel menunjukkan kepada kita, bahwa kita semua – baik awam, imam maupun para religius lainnya – dipanggil untuk bertobat atas dosa-dosa kita dan dosa-dosa semua umat beriman. Tiga orang Yahudi ini melakukan pertobatan untuk bangsanya, Israel. Gereja adalah Israel yang baru. Sebagai anggota Gereja, kita pun patut melakukan pertobatan untuk seluruh Gereja, tidak hanya untuk diri kita sendiri. Dengan demikian, dalam menjalani hidup pertobatannya seorang Fransiskan atau Kristiani pada umumnya – baik awam atau pun religius – tidak pernah boleh sibuk dengan pertobatan dirinya saja agar menjadi suci-suci sendiri. Ia harus selalu melakukan juga pertobatan untuk Gereja secara keseluruhan dalam arti yang luas. Misalnya, kalau dia adalah seorang Fransiskan sekular yang hidup berkeluarga, maka keluarganya adalah sebuah gereja domestik (ecclesia domestica); persaudaraan OFS lokalnya juga merupakan sebuah komunitas basis yang adalah Gereja; lingkungan/kring di mana dia menjadi anggota adalah sebuah komunitas basis (yang bersifat teritorial) yang adalah Gereja; dan parokinya adalah sebuah Gereja juga. Komunitasnya yang terdiri dari orang-orang dari berbagai perusahaan yang berlainan (namun yang letaknya berdekatan, misalnya dalam bangunan gedung yang sama) dan bertemu untuk kebaktian-doa bersama pada setiap hari Jumat siang di lokasi tertentu juga adalah sebuah komunitas basis (yang bersifat kategorial) yang adalah sebuah Gereja, dan seterusnya. Dalam tulisan ini telah diberikan contoh-contoh nyata dari beberapa tokoh dalam Kitab Suci dan almarhum Paus Yohanes Paulus II. Semua itu baik untuk ditiru oleh kita semua.
Seperti Paus Yohanes Paulus II yang digerakkan oleh Roh Kudus untuk melakukan pertobatan atas dosa-dosa Gereja di masa lampau, maka kita sebagai umat Allah (Gereja) sekarang juga dipanggil untuk meneladan pemimpin Gereja yang hebat ini. Kita juga perlu memohon kepada Roh Kudus untuk menunjukkan kepada kita kebutuhan-kebutuhan akan pertobatan – tidak hanya atas dosa-dosa kita sendiri, namun juga atas dosa-dosa umat Allah secara keseluruhan. Dengan demikian, kita perlu memohon kepada Roh Kudus agar menunjukkan kepada kita segala kebutuhan kita untuk bertobat – tidak hanya dosa-dosa kita sendiri, melainkan juga dosa-dosa umat Allah (Gereja) secara keseluruhan. Allah telah menjanjikan kepada kita bahwa apabila “… umat-Ku, yang atasnya nama-Ku disebut, merendahkan diri, berdoa dan mencari wajah-Ku, lalu berbalik dari jalan-halannya yang jahat, maka Aku akan mendengar dari surga dan mengampuni dosa mereka, serta memulihkan negeri mereka” [2Taw 7:14]. Selamat mengikuti jejak Kristus kepada Saudara-saudari sekalian!
Cilandak, 31 Juli 2009 [Hari Raya Santo Ignatius dari Loyola [Imam, pendiri Serikat Yesus]
PETIKAN BACAAN HARI INI IBADAT BACAAN – BACAAN KEDUA (SEBAGIAN) A reading from the Acts of St. Ignatius taken down by Luis Gonzalez
Ignatius was very addicted to reading aimless and exagerated books about the illustrious deeds of the famous, and when he felt well again he asked for some to pass the time. But there were no books of that type in the house and he was given a book called The Life of Christ and another The Flower of the Saints, both in his native language. By reading these regularly he developed a certain sympathy with what was written in them. ……… divine mercy was at hand, ……… for when he had read the lives of Christ our Lord and the saints he would think to himself and ponder: “What, if I were to do what blessed Francis did or what blessed Dominic did?” And he used to meditate a good deal in this manner. This way of thinking lasted for some time, ……… [THE DIVINE OFFICE III – Weeks of the Year 6-34].