Perspektif yang baru atas kematian
Pada suatu hari seorang saudara muda pergi menemui Fransiskus yang sedang bekerja di kebun. Dia bertanya: “Saudara Fransiskus, apa yang akan saudara lakukan seandainya engkau tahu bahwa Yesus akan datang kembali pada hari ini?” Fransiskus menjawab dengan sederhana,
Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesengsaraan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Seperti ada tertulis: “Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan” [Mzm 44:23]. Tetapi dalam semuanya itu kita lebih daripada orang-orang yang menang, melalui Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. (Rm 8:35-39)
Hai maut dimanakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu? Sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah hukum Taurat. Tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan melalui Yesus Kristus, Tuhan kita. (1Kor 15:55-57)
Ia akan meniadakan maut untuk seterusnya; dan Tuhan ALLAH akan menghapuskan air mata daripada segala muka; dan aib umat-Nya akan dijauhkan-Nya dari seluruh bumi, sebab TUHAN telah mengatakannya. (Yes 25:8)
Setiap kali kita berhadapan dengan peristiwa kematian, apakah kematian anggota keluarga, sahabat dan lain sebagainya, tidak salahlah bagi kita untuk kembali merenungkan makna kematian bagi kita masing-masing sebagai seorang Kristiani. Baiklah saya ‘start’ dengan firman Allah dalam Kitab Suci.
Sikap Kristiani terhadap kematian bersifat positif. Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru kita dapat menemukan dan membaca sejumlah catatan tentang sikap positif Kristiani terhadap kematian yang patut kita teladani. Dalam suratnya yang paling tua, Santo Paulus mengatakan: “……jikalau kita percaya bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa dengan perantaraan Yesus, Allah akan mengumpulkan bersama-sama dengan Dia mereka yang telah meninggal” (1Tes 4:14). Santo Paulus juga menulis betapa rindu dia untuk mati sehingga dapat tinggal bersama Kristus: “Aku ingin pergi dan tinggal bersama-sama dengan Kristus – itu memang jauh lebih baik” (Flp 1:23). Penulis surat kepada orang Ibrani juga mengungkapkan kerinduan para saksi-iman untuk mati: “… sekarang mereka merindukan tanah air yang lebih baik, yaitu tanah air surgawi … Allah tidak malu disebut Allah mereka, karena Ia telah mempersiapkan sebuah kota bagi mereka” (Ibr 11:16).
Sayangnya kebanyakan dari kita tidak memiliki sikap positif seperti ini. Bagi kebanyakan dari kita, kematian mengkonfrontasikan iman-kepercayaan kita dengan mengungkapkan ketakutan dan keragu-raguan kita. Keterlekatan kita pada segalanya yang duniawi menjadi dapat terlihat dan puncak ketidak-berdayaan kita pun tidak dapat ditutup-tutupi lagi. Namun demikian, dari sejak awal harus kita camkan, bahwa Yesus Kristus menghendaki kita untuk menghadapi kematian serta segala misterinya, dan memperkenankan Roh Kudus untuk mencabut sengat maut.
Tantangan kematian. Tantangan yang kita hadapi berkaitan dengan kematian adalah pertanyaan, apakah kita menaruh kepercayaan kepada Yesus Kristus dan janji-janji kebangkitan-Nya? Apakah kita sepenuhnya memandang Dia sebagai andalan kita satu-satunya? Apakah kita berpegung teguh pada janji-njanji-Nya itu? Ini merupakan tantangan yang bersifat hakiki. Kita dapat melakukan hal ini hanya apabila hidup kita kuat berakar dalam doa, laku-tobat dan Ekaristi. Dalam doa-doa, kita dapat memperkenankan Roh Kudus untuk dengan lemah-lembut meyakinkan kita bahwa Yesus itu sungguh riil dan surga itu juga sungguh-sungguh riil. Dengan melakukan pertobatan setiap hari (tentunya juga dengan mengakukan dosa-dosa kita kepada imam dalam Sakramen Tobat secara teratur), kita dapat mengalami damai-sejahtera yang datang dari pengetahuan, bahwa berbagai relasi kita dengan Allah dan sesama yang sempat rusak telah mampu diperbaiki. Sakramen Tobat juga disebut Sakramen Rekonsiliasi, bukan? Dalam Ekaristi Kudus, kita dapat melihat Yesus datang kepada kita, memperbaharui kita, dan memberdayakan kita agar dapat menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada diri-Nya – meski dalam situasi yang paling sulit sekali pun dalam hidup kita.
Apabila dalam menghadapi tantangan kematian itu kita tetap berada dekat Yesus, maka kita akan mengalami kuat-kuasa Allah yang melembutkan hati kita, dan kita pun akan merasa tergerak untuk melakukan hal-hal yang biasanya kita tidak mau lakukan. Misalnya, kita dapat mohon maaf atau pengampunan dari seseorang, atau kita akhirnya dapat menerima permohonan maaf seseorang yang telah begitu melukai hati kita. Kita menjadi mau mengasihi orang-orang lain secara lebih mendalam ketimbang sebelumnya. Kita juga dapat lebih bersyukur atas semua berkat yang telah kita terima selama ini. Bahkan kita juga dapat menjadi lebih reflektif dan kurang direpotkan oleh kesusahan-kesusahan harian kita selagi kita melangkah maju ke masa depan surgawi kita.
Perspektif yang baru atas kematian
Pada suatu hari seorang saudara muda pergi menemui Fransiskus yang sedang bekerja di kebun. Dia bertanya: “Saudara Fransiskus, apa yang akan saudara lakukan seandainya engkau tahu bahwa Yesus akan datang kembali pada hari ini?” Fransiskus menjawab dengan sederhana, “Saya akan tetap mencangkul tanah di tamanku ini.” Hal ini menunjukkan bahwa Fransiskus siap menghadapi kedatangan Yesus, di mana dan kapan saja!
Hari ini saya sudah berumur lebih dari 65 tahun. Kalau dilihat dari satu sisi, saya memang sudah tua dalam usia dan saya hanya mempunyai beberapa tahun lagi untuk hidup di dunia ini. Namun jika dilihat dari sisi lain, saya sebenarnya dapat mengatakan bahwa saya masih muda usia dan dan di depanku masih ada rentangan waktu yang cukup panjang bagiku untuk melakukan banyak hal bagi Allah dan sesama. Namun pada kenyataannya tidak seorangpun mengetahui kapan Tuhan Yesus akan memanggilku pulang ke Rumah Bapa.
Dengan demikian, meskipun kelihatannya kita masih mempunyai waktu yang cukup panjang untuk hidup di dunia ini, kita harus selalu memiliki perspektif terhadap kematian yang mencakup di dalamnya kemungkinan bahwa kematian mungkin saja terjadi hari ini. Misalnya, hari ini tanggal 10 Februari 2010, seorang tetangga kami meninggal dunia, sebelum menjadi sebuah bangunan besar milik sebuah instansi negara, orang yang masih jauh dari usia tua itu, bekerja di lapangan tenis di situ, dari tukang jaga/pungut bola sampai dapat menjadi pelatih. Dia menikahi salah pembantu kami sekian tahun lalu. Setelah lapangan tenis itu tidak ada lagi, suami-istri ini setiap pagi membuka warung nasi-uduk dekat masjid dan sekolah tidak jauh dari rumah kami. Tiba-tiba siang ini kami mendapat kabar bahwa dia telah dipanggil oleh-Nya. Dia seorang Muslim. Semoga arwahnya diterima dengan baik di atas sana.
Jadi, entah kita sedang menderita sakit atau masih sehat walafiat, kita harus mempersiapkan dengan baik pertemuan kita dengan Tuhan. Ada orang yang mengatakan, “Kalau aku tahu bahwa aku akan mati hari ini, maka mungkin sekali aku akan mengubah rencana-rencanaku untuk hari ini.” Sekarang bagaimana dengan sikap Saudari-saudara pembaca tulisan ini? Apakah anda akan bersikap lebih-lebih seperti Santo Fransiskus dari Assisi di tamannya seperti diceritakan di atas, ataukah bersikap lebih mirip dengan orang ini?
Kalau seandainya saudari-saudara merasa takut atau ragu-ragu, maka janganlah merasa malu. Ingatlah, bahwa Yesus pun ditimpa rasa takut pada waktu sakratmautnya di taman Getsemani. Namun apakah yang dilakukannya? Dia mohon kepada Bapa-Nya agar supaya diberikan penghiburan dan kekuatan. Oleh karena itu marilah kita menjadikan Yesus sebagai “model” kita semua. Berdoalah kepada Bapa surgawi guna menghibur dan memberikan kedamaian kepada kita.
Cilandak, 10 Februari 2010
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
*) Revisi dari tulisan saya tanggal 5 September 2009 sehubungan dengan kematian Sdr. Vicente Kunrath, OFM.